Sepasang ibu dan anak tersebut saling menatap, seolah saling mempertanyakan apa yang telah mereka dengar.
"Apa yang harus Luna lakukan, dok?" tanya wanita tua tersebut dengan ekspresi menahan rasa sakit di dalam dadanya.
"Lebih baik Ibu berbaring, dan saya akan periksa terlebih dahulu. Jika keadaan Ibu sudah membaik, kita akan membicarakannya lagi," tutur sang dokter, seraya memberikan kode pada perawat untuk membantu wanita tua tersebut berbaring di tempat tidurnya.
Luna pun membantu sang ibu untuk menuruti perintah dari dokter yang akan menolong mereka. Wanita tua itu menatap sang dokter dengan mata yang berkaca-kaca, seraya berkata,
"Terima kasih, dok. Sepertinya Tuhan memberikan saya penyakit ini agar bisa bertemu dengan Dewa Penolong kami."
"Jangan berkata seperti itu, Bu. Lebih baik Ibu berdoa agar bisa cepat sembuh," ujar sang dokter, sembari meletakkan stetoskop di dadanya.
'Seharusnya saya yang berterima kasih pada kalian, karena telah menghadirkan Dewi Penolong untuk keluarga kami,' batin sang dokter meneruskan perkataannya.
Entah apa yang membuatnya merasa yakin pada wanita muda yang baru saja ditemuinya. Penampilan sederhana Luna, serta masalah yang sedang dihadapi wanita muda itu, sempat membuatnya menjadi iba dan ingin menolongnya. Hanya sebatas ingin, tidak ada maksud untuk benar-benar menolongnya, karena apa pun yang dilakukannya harus atas sepengetahuan sang istri.
Namun, sepertinya Tuhan berkehendak lain. Tanpa sengaja sang dokter berjanji akan menolong ibu dan anak itu keluar dari masalah yang sangat memberatkan hidup mereka. Tentunya dia juga merasa tertolong akan kehadiran Luna yang dapat mewujudkan keinginan mereka nantinya.
Semalam, Dokter Kenzo merasa bingung dengan permintaan dari sang istri yang menyuruhnya untuk mencari wanita sebagai ibu pengganti bayinya. Usia pernikahan yang sudah menginjak lima tahun, membuat keduanya merasa lelah dan tertekan oleh keinginan kedua keluarga untuk segera menghadirkan cucu di tengah-tengah keluarga besar mereka.
Tentu saja Dokter Kenzo menolak permintaan sang istri. Dia tidak ingin melukai hati wanita yang sangat dicintainya. Bukan cuma itu saja, dia bukanlah pria yang bisa membagi hatinya untuk dua orang wanita. Cukup Serena seorang saja baginya yang bisa menjadi istri, dan menemani hingga akhir hayatnya.
"Bagaimana keadaan Ibu saya, dok?" tanya Luna setelah sang dokter memeriksa ibunya.
"Sepertinya kita harus melakukan pemeriksaan lebih lanjut. Bukankah pasien mempunyai riwayat penyakit jantung yang sudah diketahui beberapa tahun lalu?" tanya balik sang dokter dengan tatapan menyelidik padanya.
"Dok! Pasien tidak sadarkan diri!" seru seorang perawat yang berusaha melakukan pertolongan pertama pada wanita tua tersebut.
Sang dokter bergegas menghampiri pasien, dan dengan cekatannya memberikan pertolongan pertama, serta diiringi doa dalam hatinya.
Tubuh Luna lemas seketika. Penyakit ibunya yang didapat ketika kepergian sang suami, kini kembali didapatkannya. Setelah sembuh dari penyakit jantungnya kala itu, hanya sakit-sakitan biasa yang dideritanya. Akan tetapi, karena kedatangan pria penagih utang yang menekannya, wanita tua itu kembali mendapatkan serangan jantung.
Air mata Luna menambah kepiluan nasib mereka. Betapa sakit hatinya kala mengingat sang ibu berusaha sadar dari pingsannya, dan sekuat tenaga mencoba untuk tetap sadar, demi melindunginya dari para penagih utang yang akan membawanya.
Melihat perjuangan sang ibu, membuat dadanya bertambah sesak. Tanpa sadar, air matanya pun luruh mengiringi ibunya yang sedang dipindahkan ke ruang ICU. Dari luar ruangan, dia hanya bisa menatap wajah sayu wanita tua yang terbaring tidak berdaya dengan bantuan beberapa alat medis. Ibunya kini kembali berjuang untuk bisa kembali ke dunia nyata.
"Jangan tinggalkan Luna, Bu. Luna tidak mau sendirian," gumam gadis bermata sembab di sela isakan tangisnya, sembari menatap sang ibu dari kaca ruangan tersebut.
Waktu pun berlalu. Luna tidak beranjak sedikit pun dari tempatnya. Dia tidak mau melewatkan saat sang ibu membuka mata untuk pertama kalinya. Bahkan dia mengabaikan kondisinya saat ini. Baginya yang terpenting adalah sang ibu, bukan dirinya sendiri.
Rambutnya yang terlihat acak-acakan, serta pakaiannya yang kusut dan jauh dari kata rapi, menambah kesan menyedihkan pada gadis bermata sembab itu. Bahkan wajahnya terlihat kusam dan dibanjiri oleh air matanya.
Tiba-tiba saja tangannya ditarik oleh dua orang dengan sangat kuat, sehingga tubuh lemahnya dapat mudah dikendalikan oleh si pelaku.
"Hentikan! Jangan bawa aku! Aku harus menemani Ibu!" seru Luna dengan sekuat tenaga untuk menghentikan kedua pria yang menyeretnya keluar dari ruangan tersebut.
Semua pasang mata mengarah pada ketiga orang tersebut. Sayangnya tidak ada yang berani ikut campur dalam permasalahan itu. Hanya pandangan mata mereka saja yang turut menyaksikan perbuatan kedua preman berbadan besar pada gadis lemah dan tidak berdaya.
Tepat pada saat itu rombongan para dokter sedang keluar dari ruangan pertemuan, dan berjalan menuju lobi rumah sakit tersebut. Tanpa sengaja pandangan mata seorang dokter pria tertuju pada Luna, sehingga kakinya pun berhenti melangkah.
"Ada apa Dokter Kenzo?" tanya seorang dokter pria yang ikut menghentikan langkahnya ketika berjalan bersama sang dokter.
Tanpa menjawab pertanyaan dari rekannya, Dokter Kenzo segera berlari ke arah Luna yang masih berusaha bertahan, agar kedua preman tersebut tidak bisa membawanya keluar dari rumah sakit.
"Lepaskan dia!" bentak sang dokter ketika sudah berada di dekat mereka.
Dada sang dokter bergerak naik turun, seiring dengan nafasnya yang memburu. Sontak saja kedua preman tersebut terkekeh melihat seorang dokter pria yang lagi-lagi menjadi pahlawan bagi gadis tawanan mereka.
"Lebih baik dokter kembali bekerja saja. Biarkan kita berdua juga melakukan pekerjaan kami," ujar salah satu dari kedua preman tersebut.
"Jangan halangi kami yang sedang bekerja, dok!" sahut preman yang berkepala botak.
"Segeralah pergi dari rumah sakit ini, dan jangan kembali lagi! Tinggalkan dia di sini, karena aku tidak akan membiarkan kalian membawanya!" bentak sang dokter pada kedua preman tersebut dengan tatapan bak seorang pembunuh.
Sontak saja kedua preman yang badannya penuh dengan tato kembali tertawa, hingga tawa mereka menggema memenuhi lobi rumah sakit tersebut. Bukan hanya itu saja, bahkan tatapan keduanya seolah sedang menghina sang dokter.
"Apa dia istri anda, dok? Atau mungkin anda ingin memilikinya?" tanya preman yang berkepala botak di sela tawanya.
"Jika anda ingin kami meninggalkannya di sini, maka lunasi semua utang mereka beserta bunganya!" sambung pria berambut ikal dengan tatapan yang seolah ingin menerkam sang dokter.
Dokter Kenzo dapat merasakan semua pasang mata yang tertuju padanya. Dia pun menghela nafas, seraya memejamkan matanya. Kedua tangan sang dokter pun mengepal, menahan emosi yang berhasil dibangkitkan oleh kedua preman tersebut.
Niat hati ingin menolong Luna yang juga diharapkan untuk bisa menolongnya menjadi ibu pengganti, seperti yang diharapkan oleh Serena, istri dari Dokter Kenzo. Akan tetapi, perkataan dari kedua preman tersebut di hadapan banyak orang, membuat sang dokter merasa malu, dan terpojok saat ini. Dalam hatinya menggerutu kesal,
'Sial! Bagaimana aku harus menolongnya jika situasinya seperti ini? Tapi, jika aku tidak menolongnya, maka dia akan dibawa oleh kedua preman ini. Lalu, bagaimana dengan istriku? Dia sudah terlanjur senang ketika aku beritahukan tentang Luna padanya.'
Melihat sang dokter yang sedang sibuk dengan pikirannya, kedua preman tersebut kembali memaksa Luna untuk ikut bersama dengan mereka.
"Lepaskan dia! Aku akan membayar semua utang beserta bunganya!" ujar sang dokter dengan berat hati di hadapan semua orang yang masih menyaksikan mereka.
Kedua preman tersebut pun tertawa, dan segera melepaskan Luna dengan mendorongnya ke arah Dokter Kenzo hingga mengenai tubuhnya. Dengan sigap sang dokter memegang tubuh Luna agar tidak terjatuh.
"Terima kasih, dok," ucap lirih Luna pada sang dokter.
"Ini tidak gratis. Kamu harus mau menjadi Dewi Penolong keluargaku," tutur Dokter Kenzo tanpa menatap wajah gadis yang sedang menatapnya.
"Dewi Penolong?" celetuk Luna dengan tatapan penuh tanya. Sang dokter mendengar pertanyaan yang diajukan Luna padanya. Hanya saja, dia mengabaikannya. Dokter tampan itu menatap tajam pada kedua preman berwajah bengis, dan berkata,"Akan saya hubungi kalian, jika semuanya sudah siap."Dokter Kenzo tidak mau membuang-buang waktu untuk berdebat dengan kedua preman itu. Terlebih lagi saat ini mereka menjadi pusat perhatian seluruh orang yang berada di lobi rumah sakit tersebut. Tidak terkecuali orang-orang yang barada di lantai atas sedang melihatnya."Bagaimana anda bisa menghubungi kami, jika kita belum saling mengenal?" tanya pria berkepala botak di sela kekehannya.Merasa kedua preman tersebut akan semakin memperpanjang percakapan mereka, sang dokter pun segera meraih tangan Luna, dan menariknya. Semua menatap heran pada Dokter Kenzo yang membawa gadis tersebut berjalan bersamanya menuju lantai atas, di mana ruangan sang dokter berada.Wanita muda yang berpenampilan acak-acakan itu,
"A-apa? Direktur Rumah Sakit?" celetuk Luna tanpa sadar.Sontak saja kedua dokter pria tersebut menoleh ke arah belakang, di mana sumber suara yang mengangetkan mereka berasal. Beruntungnya Luna cepat menyadari kecerobohannya, sehingga dengan tanggap dia berjongkok dan membungkam bibirnya menggunakan kedua tangan.Dua pria yang memakai jas putih tersebut saling menatap heran, setelah tidak melihat siapa pun berada di belakang mereka. "Tidak ada siapa-siapa," ucap salah satu dari mereka."Aneh," sahut rekan yang ada di sebelahnya.Mereka berdua kembali melanjutkan perjalanannya, tanpa mengetahui keberadaan Luna yang masih berjongkok di tempatnya. Tanpa ragu gadis yang sedang penasaran itu, kembali mengikuti kedua dokter tersebut. Dia berusaha mencuri dengar semua pembicaraan mereka mengenai Dokter Kenzo."Dokter Kenzo sangat beruntung. Dia lahir di tengah-tengah keluarga yang mempunyai garis keturunan konglomerat yang sangat kaya raya. Dan beruntungnya lagi, Ibunya merupakan pewaris d
Seketika Dokter Kenzo menoleh ke arah Luna, gadis yang akan menjadi tempat penitipan benihnya. "Enyahkan pikiran dangkal mu itu! Menjadi ibu pengganti bukan berarti harus menikah! Sekarang jaman sudah modern. Banyak tekhnologi canggih yang bisa membantu seorang wanita menjadi ibu tanpa melakukan hubungan badan dengan lawan jenisnya!" tegas Kenzo dengan emosinya. Terlihat kekesalan dari mata sang dokter yang sangat mencintai istrinya. Dia tidak mau jika sang kekasih hati meragukan cintanya. Bagi seorang Kenzo Matteo, Serena Hogan merupakan wanita sempurna. Selain cantik dan pintar, menurut Kenzo, Serena merupakan wanita terhebat di antara semua wanita yang pernah ditemuinya. Bahkan sejak pertama kali bertemu, sang dokter telah jatuh hati padanya. Seketika Luna beringsut ketakutan. Dia tidak berani menatap sang dokter yang sedang kesal padanya. Keberanian Luna pada Dokter Kenzo yang merasa dekat dengannya, kini pun telah sirna."Maaf karena telah lancang bertanya. Hanya itu yang ada
Di depan sebuah cermin besar yang berada di dalam ruang ganti, Luna menatap bayangan dirinya pada cermin tersebut. Diperhatikan dengan seksama gambar dirinya dari ujung kaki hingga ujung kepala. "Pantas saja dia tidak berminat padaku, ternyata aku tidak sebanding dengan istrinya," ucap lirih gadis tersebut diakhiri dengan helaan nafas yang terdengar begitu berat.Suara ketukan pintu membuatnya tersadar, dan menoleh ke arah sumber suara."Cepatlah keluar agar kita bisa segera melakukannya!" Suara pria yang sangat dikenalnya, membuat Luna semakin sadar jika dunia mereka berdua terlalu berbeda. Dengan terburu-buru, kakinya pun bergerak menghampiri pintu. Namun, tangannya berhenti bergerak ketika menyentuh gagang pintu.'Cukup, Luna. Hentikan perasaanmu pada Dokter Kenzo. Mulai sekarang kamu harus bersikap sebagai orang yang bekerja pada mereka, tidak boleh lebih dari itu,' batinnya.Pintu pun terbuka, sehingga membuat Luna terperanjat kaget melihat sosok sang dokter yang berada di bal
Di depan seorang pasien wanita yang masih belum sadarkan diri, Kenzo beserta istrinya dan juga Luna sedang berdiri di sampingnya. Mereka bertiga memperhatikan beberapa alat medis yang menempel pada tubuh pasien wanita tersebut. "Ibu adalah orang tua saya satu-satunya, dok. Ayah saya sudah meninggal beberapa tahun yang lalu," ucap Luna dengan menatap iba pada wanita yang terbaring di tempat tidur pasien.'Sial! Kenapa aku bisa melupakan hal ini?!' batinnya mengumpat marah.Namun, saat itu juga Kenzo teringat akan sesuatu. Tanpa memberitahukan pada sang istri, dia pun tanpa sadar mengatakan apa yang ada di dalam pikirannya."Sepertinya tidak mungkin jika kita harus menunggu ibumu sadar terlebih dahulu. Kita lakukan saja pernikahannya tanpa restu dari ibumu. Saya yakin ibumu tidak akan marah jika mengetahuinya."Serena menatap tajam pada sang dokter. Hatinya merasa marah mendengar keputusan suaminya. Akan tetapi, kemarahannya itu bisa dirasakan oleh Kenzo. Pria yang masih memakai jas pu
Kesal dan marah yang Serena rasakan saat ini. Perasaan tersebut membuatnya enggan membantu calon madunya untuk berpenampilan sesuai kasta mereka. Namun, dia tidak memiliki pilihan selain mendandani calon madunya untuk tampil cantik di hadapan kakek mertuanya.Luna, gadis lugu dan polos itu terlihat sangat cantik, modis, anggun dan berkelas. Hampir tidak ada bedanya dengan Serena untuk saat ini. Sang Nyonya Besar dari kediaman Kenzo Matteo menatap kesal pada gadis tersebut. Pasalnya, dia diberi tugas oleh sang suami untuk membantu Luna mendapatkan hati kakek mertuanya. Wanita mana yang bisa dengan tenang dan ikhlas melakukan itu semua?Begitu juga dengan Serena. Dia mencoba mencari cara untuk membuat Ron Matteo tidak menyukai calon istri kedua cucu kesayangannya. 'Shit!' umpatnya ketika mengingat perkataan suaminya yang memberitahu konsekuensi apabila Luna tidak bisa mengambil hati sang kakek."Bagaimana? Apa kamu menyukainya?" tanya Serena dengan malas pada calon madunya."Apa bena
"Itu bukan hal yang penting, Kek. Yang terpenting, kita berdua akan menikah, dan memberikan keluarga Matteo seorang penerus, seperti yang Kakek inginkan."Ucapan Kenzo membuat seorang Ron Matteo terkekeh. Terlebih lagi melihat kedua mata cucu kesayangannya yang mengisyaratkan sesuatu. "Jika kalian berdua tidak memiliki panggilan sayang, maka orang lain akan mengira jika pernikahan kalian hanya sandiwara saja," ucap sang kakek sembari menyeringai.Kenzo mengepalkan tangannya. Dia berusaha keras untuk menahan kekesalan dalam hatinya. Berbeda dengan sang kakek. Pria yang sudah berusia senja itu, kembali menyeringai, seolah sedang mengejek cucu kesayangannya."Apa dia pasienmu, Kenzo? Tidakkah dia calon istrimu? Jadi, bukankah seharusnya dia tidak memanggilmu dengan sebutan yang sama seperti pasienmu di rumah sakit?" imbuh sang kakek dengan tatapan menyelidik padanya."Dia bukan pasien Kenzo, Kek. Ibunya sedang dirawat di rumah sakit, dan kebetulan sekali Kenzo yang menjadi dokternya. Ja
Pagi ini suasana Metro Healthy Hospital terasa berbeda. Ron Matteo yang merupakan pemilik dari rumah sakit tersebut, benar-benar datang berkunjung ke sana. Sayangnya, kunjungannya kali ini bukan sesuai jadwal kunjungan sebagai seorang Presdir Metro Healthy Hospital, melainkan sebagai kakek dari Kenzo Matteo yang akan menjenguk calon besan cucunya.Kenzo merasa kesal dengan situasinya saat ini. Pasalnya, semua mempertanyakan tentang pelayanan terbaik yang didapatkan oleh Lidia, pasien wanita yang sebelumnya kesusahan dalam membayar biaya perawatan di rumah sakit tersebut."Kenapa pasien itu dipindahkan ke ruangan terbaik di rumah sakit ini?""Bukankah pihak administrasi pernah mencari putrinya untuk mengingatkan pembayaran perawatan pasien itu?""Lihatlah! Gadis itu dekat sekali dengan Presdir. Bukankah dia putri pasien yang sedang kalian bicarakan?" "Ada hubungan apa mereka?""Apa mungkin gadis itu meminta pertolongan pada Presdir untuk membantu biaya perawatan ibunya?""Apa jangan-j
Kenzo menghempaskan tangan istri pertamanya, dan menghampiri istri keduanya. Pria beristri dua tersebut memeluk erat istri keduanya, dan menatap tajam pada istri pertamanya. "Luna akan tetap bersamaku. Di mana pun dia berada, aku akan selalu ada di sampingnya," ucapnya dengan tegas. Serena terperangah melihatnya. Kini, dia bagaikan seorang istri yang terbuang. Parahnya lagi posisinya telah digantikan oleh madunya. Semua orang menatapnya seolah sedang menertawakannya. "Baguslah. Ayo kita pulang sekarang. Badanku sudah sangat lelah," ujar Kania sembari memijit tengkuk lehernya."Tetap di tempat! Semua sudah diputuskan. Hukuman kalian bertiga harus tetap dilakukan hingga selesai. Jika kalian tidak melakukan hukuman dengan baik, maka akan ditambah satu hari lagi untuk setiap kesalahan," tutur Ron Matteo dengan tegas."Tapi, Pa--""Diam!" bentak Ron Matteo menyahuti sang menantu yang ingin memprotesnya. Seketika Kania bersembunyi di belakang tubuh suaminya. Tangannya mencengkeram erat
"Ayo turun!" bentak seorang polisi yang membukakan pintu mobil untuk mereka. Kania, Serena, dan Carla turun bergantian dari dalam mobil. Kaki mereka terasa berat, sehingga enggan melangkah. "Kenapa masih berdiri di sini?!" tanya polisi tersebut dengan tegas.Ketiga wanita itu saling mendekat, merasa takut akan wajah garang polisi yang menggertak mereka. "Cepat jalan!" bentak polisi tersebut dengan mempertegas wajah garangnya. Sontak saja mereka bertiga saling mendorong untuk berjalan terlebih dahulu. Tidak hanya itu saja, bahkan suara mereka layaknya lebah yang mendengung untuk saling memerintah."Sepertinya peluru ini tidak akan meleset, meskipun dari jarak jauh," ujar sang polisi dengan meninggikan suaranya. Seketika badan mereka menegang. Saat itu juga ketiga wanita tersebut berjalan cepat, seolah sedang berlomba menuju bangunan yang berjarak tidak jauh dari tempat mereka berdiri. Para polisi terkekeh melihat tingkah ketiga wanita yang akan dihukum oleh keluarga Matteo, kelua
Seketika senjata yang dipegang oleh beberapa polisi mengarah pada Luna, wanita yang berdiri di samping Kenzo, suami Serena. Sontak saja Luna beringsut ketakutan. Wanitayang sedang hamil tersebut mencengkeram tangan suaminya, dan berpegangan erat padanya."Turunkan senjata kalian!" perintah Kenzo dengan tegas pada polisi-polisi tersebut. Sebagian polisi masih mengarahkan senjatanya pada ketiga wanita yang telah membuat keributan dalam rumah utama keluarga Matteo, dan sebagian lagi mengarahkan senjatanya pada Luna."Apa kalian tuli?! Turunkan senjata kalian! Wanita ini istriku! Dia sedang mengandung anakku!" bentak Kenzo sambil merangkul tubuh istri kecilnya. Ron Matteo memberikan tanda pada sang putra untuk menyelesaikan kekacauan yang ada. Damian pun mengerti. Pria paruh baya tersebut berjalan dengan penuh wibawa mendekati salah satu polisi yang mengarahkan senjatanya ke arah Luna. "Turunkan senjata kalian. Dia menantuku, dan sedang mengandung keturunan Matteo," perintahnya dengan
"A-apa?!""Panti Asuhan?!" Kania, Serena dan Carla serentak berseru, seraya membelalakkan matanya. Mereka terperangah mendengar perintah dari Ron Matteo. Damian menahan tawanya melihat ketiga wanita yang baru saja berulah bak seorang jagoan, kini terlihat pasrah dan tidak berdaya di hadapan seorang kakek tua bernama Ron Matteo. "Kalian bertiga harus tinggal di Panti Asuhan selama satu bulan," tegas Ron Matteo dengan menatap satu per satu dari ketiga wanita tersebut. "Tapi, Kek!""Satu bulan?!" "Kakek bercanda, kan?!" Suara mereka bertiga kembali bersahut-sahutan, sehingga membuat kemarahan sang kakek meluap, hingga naik ke kepala. "Diam!" bentak Ron Matteo dengan kilatan amarahnya yang terlihat pada kedua matanya.Seketika bibir ketiga wanita tersebut menutup rapat. Mereka kembali menundukkan kepalanya, setelah mata mereka saling bertemu dengan mata sang kakek. "Di sana kalian harus bekerja sosial selama dua puluh empat jam dalam sebulan penuh. Keputusan ini tidak bisa digangg
"Berhenti!" seru sang penguasa keluarga Matteo dari tempatnya berdiri saat ini. Seketika semua orang berhenti bergerak. Akan tetapi, mereka semua tidak berani menoleh ke arah sumber suara. Selama beberapa detik mereka tampak seperti patung yang tidak bergerak sedikit pun. Namun, tidak ada kelanjutan dari seruan tersebut, sehingga membuat tangan Serena kembali bergerak untuk melampiaskan kemarahannya kembali."Aaaaaaaahhhhhh!" Wanita paruh baya tersebut berteriak kaget, ketika tangan sang menantu berhasil meraih rambutnya, dan menjambaknya sekuat tenaga. Berbanding terbalik dengan Serena. Wanita muda yang mempunyai persamaan sifat dengan ibu mertua tirinya itu, kini tersenyum lebar melihat si pemilik rambut tersebut sedang berteriak kesakitan. "Lepaskan mamaku, Serena!' seru Carla sembari berusaha melepaskan tangan Serena dari rambut sang mama. Sayangnya, Serena tidak akan berhenti menyiksa orang yang menghinanya, sebelum orang tersebut meminta maaf sambil berlutut di hadapannya.
"Luna?!" ucap Kania tanpa sadar, kaget melihat istri kedua dari putra tirinya berani menegurnya. "Berani juga wanita udik ini berbicara seperti itu padaku," tukas Serena sembari menyeringai.Wanita angkuh tersebut berjalan menghampiri madunya yang berdiri tidak jauh darinya. Dengan cekatan Carla bergerak untuk menghalanginya. "Apa yang sedang kamu lakukan di sini?" tanyanya dengan ketus. Carla tidak gentar. Dia tidak bergerak sedikit pun dari hadapan Serena. Dengan tubuhnya, wanita yang pernah menaruh hati pada saudara tirinya itu berusaha melindungi istri kedua dari pria yang dicintainya. "Minggir!" bentak Serena dengan kilatan amarah yang terlihat jelas pada sorot matanya. "Tidak! Aku tidak akan membiarkanmu menyentuhnya!" ujar Carla tanpa takut sedikit pun padanya. Serena maju selangkah untuk mendekatinya. Wajah yang memancarkan begitu besar amarahnya, kini berada tepat di hadapan wajah Carla. "Apa kamu tahu akibatnya, jika menantang ku?" tanyanya dengan penuh penekanan."Ap
Serena menatap tajam pada Carla. Pasalnya, saudara tiri dari suaminya itu telah berani membentaknya. "Apa?! Kamu marah?! Tidak terima aku bilang mamamu berambisi menjadi seorang istri dan seorang ibu yang baik?! Kenyataannya memang seperti itu! Kenapa kamu marah?!" bentaknya membalas saudara ipar tirinya. "Jangan-jangan mamamu ini juga berambisi untuk menguasai semua harta dan aset keluarga Matteo, sama seperti kamu!" sambungnya sembari menyeringai.Seketika Carla melebarkan bola matanya, menatap tajam pada istri pertama dari saudara tirinya. Serena berdiri tegak dengan mengangkat dagunya, tidak gentar sedikit pun dengan perlawanan Carla bersama dengan ibunya."Tutup mulutmu, Serena!" sentak Carla dengan menatap penuh kebencian padanya. Wanita angkuh itu hanya tertawa melihat reaksi dari saudara tiri sang suami yang sedang direndahkannya. "Kenapa? Apa kamu merasa malu karena semua yang aku sampaikan semuanya benar?" tanyanya dengan santai, sambil tertawa melihat kedua wanita di ha
Sontak saja semua pasang mata mengarah pada sumber suara. Damian, pria paruh baya yang merupakan orang tua laki-laki dari Kenzo dan juga merupakan suami dari Kania, telah menyerukan perintah pada keduanya untuk menghentikan perdebatan mereka. Seketika bibir Kania melengkung ke atas. Hatinya merasa bahagia melihat sang suami yang sedang menghentikan putra kandungnya, ketika hendak mengarahkan tangannya, seolah akan memukulnya. Berbanding terbalik dengan Kenzo. Dirinya merasa kesal telah dihentikan oleh sang papa yang seolah lebih membela istri keduanya dibandingkan dengan putra kandungnya."Sayang, lihatlah Kenzo. Dia berani membentak ku dan mengangkat tangannya untuk memukulku," ucap Kania dengan memperlihatkan ekspresi mengibanya."Diam, Kania!" bentak Damian sembari menatap tegas padanya. Sontak saja semua orang terhenyak mendengarnya. Mereka diam, dan menantikan reaksi Damian selanjutnya. Termasuk Kenzo yang tidak menyangka jika sang papa bida membentak istrinya. "Sayang, kenapa
Dari balik tembok Kenzo mendengar sang ibu tirinya sedang protes pada sikap acuh papanya. Kini, dia merasa terjebak di tempat tersebut. 'Bagaimana ini? Jika aku kembali, maka aku harus menghadapi wanita licik itu. Aku yakin, jika dia punya sejuta rencana licik untuk menjatuhkan ku dari Luna. Tapi, jika aku tetap di sini, aku akan mendengar semua perdebatan antara Papa dengan istrinya. Lebih parahnya lagi, jika wanita itu yang terlebih dahulu pergi dari ruangan itu, maka dia akan mengira bahwa aku telah menguping pembicaraan mereka. Ah, harusnya wanita itu menemui Papa setelah aku duduk bersama dengan Kakek,' batinnya sembari menghela nafas. "Apa maksudmu, Kania? Siapa yang menghindari mu? Aku tidak menghindari mu. Mungkin hanya perasaanmu saja," ujar Damian sambil berpura-pura sibuk melihat sekelilingnya."Perasaanku saja, katamu? Seperti saat ini, kamu berbicara denganku, tapi sama sekali tidak melihat ke arahku. Apa ini juga hanya perasaanku saja?!" ucap Kania dengan meninggikan s