Sepasang ibu dan anak tersebut saling menatap, seolah saling mempertanyakan apa yang telah mereka dengar.
"Apa yang harus Luna lakukan, dok?" tanya wanita tua tersebut dengan ekspresi menahan rasa sakit di dalam dadanya.
"Lebih baik Ibu berbaring, dan saya akan periksa terlebih dahulu. Jika keadaan Ibu sudah membaik, kita akan membicarakannya lagi," tutur sang dokter, seraya memberikan kode pada perawat untuk membantu wanita tua tersebut berbaring di tempat tidurnya.
Luna pun membantu sang ibu untuk menuruti perintah dari dokter yang akan menolong mereka. Wanita tua itu menatap sang dokter dengan mata yang berkaca-kaca, seraya berkata,
"Terima kasih, dok. Sepertinya Tuhan memberikan saya penyakit ini agar bisa bertemu dengan Dewa Penolong kami."
"Jangan berkata seperti itu, Bu. Lebih baik Ibu berdoa agar bisa cepat sembuh," ujar sang dokter, sembari meletakkan stetoskop di dadanya.
'Seharusnya saya yang berterima kasih pada kalian, karena telah menghadirkan Dewi Penolong untuk keluarga kami,' batin sang dokter meneruskan perkataannya.
Entah apa yang membuatnya merasa yakin pada wanita muda yang baru saja ditemuinya. Penampilan sederhana Luna, serta masalah yang sedang dihadapi wanita muda itu, sempat membuatnya menjadi iba dan ingin menolongnya. Hanya sebatas ingin, tidak ada maksud untuk benar-benar menolongnya, karena apa pun yang dilakukannya harus atas sepengetahuan sang istri.
Namun, sepertinya Tuhan berkehendak lain. Tanpa sengaja sang dokter berjanji akan menolong ibu dan anak itu keluar dari masalah yang sangat memberatkan hidup mereka. Tentunya dia juga merasa tertolong akan kehadiran Luna yang dapat mewujudkan keinginan mereka nantinya.
Semalam, Dokter Kenzo merasa bingung dengan permintaan dari sang istri yang menyuruhnya untuk mencari wanita sebagai ibu pengganti bayinya. Usia pernikahan yang sudah menginjak lima tahun, membuat keduanya merasa lelah dan tertekan oleh keinginan kedua keluarga untuk segera menghadirkan cucu di tengah-tengah keluarga besar mereka.
Tentu saja Dokter Kenzo menolak permintaan sang istri. Dia tidak ingin melukai hati wanita yang sangat dicintainya. Bukan cuma itu saja, dia bukanlah pria yang bisa membagi hatinya untuk dua orang wanita. Cukup Serena seorang saja baginya yang bisa menjadi istri, dan menemani hingga akhir hayatnya.
"Bagaimana keadaan Ibu saya, dok?" tanya Luna setelah sang dokter memeriksa ibunya.
"Sepertinya kita harus melakukan pemeriksaan lebih lanjut. Bukankah pasien mempunyai riwayat penyakit jantung yang sudah diketahui beberapa tahun lalu?" tanya balik sang dokter dengan tatapan menyelidik padanya.
"Dok! Pasien tidak sadarkan diri!" seru seorang perawat yang berusaha melakukan pertolongan pertama pada wanita tua tersebut.
Sang dokter bergegas menghampiri pasien, dan dengan cekatannya memberikan pertolongan pertama, serta diiringi doa dalam hatinya.
Tubuh Luna lemas seketika. Penyakit ibunya yang didapat ketika kepergian sang suami, kini kembali didapatkannya. Setelah sembuh dari penyakit jantungnya kala itu, hanya sakit-sakitan biasa yang dideritanya. Akan tetapi, karena kedatangan pria penagih utang yang menekannya, wanita tua itu kembali mendapatkan serangan jantung.
Air mata Luna menambah kepiluan nasib mereka. Betapa sakit hatinya kala mengingat sang ibu berusaha sadar dari pingsannya, dan sekuat tenaga mencoba untuk tetap sadar, demi melindunginya dari para penagih utang yang akan membawanya.
Melihat perjuangan sang ibu, membuat dadanya bertambah sesak. Tanpa sadar, air matanya pun luruh mengiringi ibunya yang sedang dipindahkan ke ruang ICU. Dari luar ruangan, dia hanya bisa menatap wajah sayu wanita tua yang terbaring tidak berdaya dengan bantuan beberapa alat medis. Ibunya kini kembali berjuang untuk bisa kembali ke dunia nyata.
"Jangan tinggalkan Luna, Bu. Luna tidak mau sendirian," gumam gadis bermata sembab di sela isakan tangisnya, sembari menatap sang ibu dari kaca ruangan tersebut.
Waktu pun berlalu. Luna tidak beranjak sedikit pun dari tempatnya. Dia tidak mau melewatkan saat sang ibu membuka mata untuk pertama kalinya. Bahkan dia mengabaikan kondisinya saat ini. Baginya yang terpenting adalah sang ibu, bukan dirinya sendiri.
Rambutnya yang terlihat acak-acakan, serta pakaiannya yang kusut dan jauh dari kata rapi, menambah kesan menyedihkan pada gadis bermata sembab itu. Bahkan wajahnya terlihat kusam dan dibanjiri oleh air matanya.
Tiba-tiba saja tangannya ditarik oleh dua orang dengan sangat kuat, sehingga tubuh lemahnya dapat mudah dikendalikan oleh si pelaku.
"Hentikan! Jangan bawa aku! Aku harus menemani Ibu!" seru Luna dengan sekuat tenaga untuk menghentikan kedua pria yang menyeretnya keluar dari ruangan tersebut.
Semua pasang mata mengarah pada ketiga orang tersebut. Sayangnya tidak ada yang berani ikut campur dalam permasalahan itu. Hanya pandangan mata mereka saja yang turut menyaksikan perbuatan kedua preman berbadan besar pada gadis lemah dan tidak berdaya.
Tepat pada saat itu rombongan para dokter sedang keluar dari ruangan pertemuan, dan berjalan menuju lobi rumah sakit tersebut. Tanpa sengaja pandangan mata seorang dokter pria tertuju pada Luna, sehingga kakinya pun berhenti melangkah.
"Ada apa Dokter Kenzo?" tanya seorang dokter pria yang ikut menghentikan langkahnya ketika berjalan bersama sang dokter.
Tanpa menjawab pertanyaan dari rekannya, Dokter Kenzo segera berlari ke arah Luna yang masih berusaha bertahan, agar kedua preman tersebut tidak bisa membawanya keluar dari rumah sakit.
"Lepaskan dia!" bentak sang dokter ketika sudah berada di dekat mereka.
Dada sang dokter bergerak naik turun, seiring dengan nafasnya yang memburu. Sontak saja kedua preman tersebut terkekeh melihat seorang dokter pria yang lagi-lagi menjadi pahlawan bagi gadis tawanan mereka.
"Lebih baik dokter kembali bekerja saja. Biarkan kita berdua juga melakukan pekerjaan kami," ujar salah satu dari kedua preman tersebut.
"Jangan halangi kami yang sedang bekerja, dok!" sahut preman yang berkepala botak.
"Segeralah pergi dari rumah sakit ini, dan jangan kembali lagi! Tinggalkan dia di sini, karena aku tidak akan membiarkan kalian membawanya!" bentak sang dokter pada kedua preman tersebut dengan tatapan bak seorang pembunuh.
Sontak saja kedua preman yang badannya penuh dengan tato kembali tertawa, hingga tawa mereka menggema memenuhi lobi rumah sakit tersebut. Bukan hanya itu saja, bahkan tatapan keduanya seolah sedang menghina sang dokter.
"Apa dia istri anda, dok? Atau mungkin anda ingin memilikinya?" tanya preman yang berkepala botak di sela tawanya.
"Jika anda ingin kami meninggalkannya di sini, maka lunasi semua utang mereka beserta bunganya!" sambung pria berambut ikal dengan tatapan yang seolah ingin menerkam sang dokter.
Dokter Kenzo dapat merasakan semua pasang mata yang tertuju padanya. Dia pun menghela nafas, seraya memejamkan matanya. Kedua tangan sang dokter pun mengepal, menahan emosi yang berhasil dibangkitkan oleh kedua preman tersebut.
Niat hati ingin menolong Luna yang juga diharapkan untuk bisa menolongnya menjadi ibu pengganti, seperti yang diharapkan oleh Serena, istri dari Dokter Kenzo. Akan tetapi, perkataan dari kedua preman tersebut di hadapan banyak orang, membuat sang dokter merasa malu, dan terpojok saat ini. Dalam hatinya menggerutu kesal,
'Sial! Bagaimana aku harus menolongnya jika situasinya seperti ini? Tapi, jika aku tidak menolongnya, maka dia akan dibawa oleh kedua preman ini. Lalu, bagaimana dengan istriku? Dia sudah terlanjur senang ketika aku beritahukan tentang Luna padanya.'
Melihat sang dokter yang sedang sibuk dengan pikirannya, kedua preman tersebut kembali memaksa Luna untuk ikut bersama dengan mereka.
"Lepaskan dia! Aku akan membayar semua utang beserta bunganya!" ujar sang dokter dengan berat hati di hadapan semua orang yang masih menyaksikan mereka.
Kedua preman tersebut pun tertawa, dan segera melepaskan Luna dengan mendorongnya ke arah Dokter Kenzo hingga mengenai tubuhnya. Dengan sigap sang dokter memegang tubuh Luna agar tidak terjatuh.
"Terima kasih, dok," ucap lirih Luna pada sang dokter.
"Ini tidak gratis. Kamu harus mau menjadi Dewi Penolong keluargaku," tutur Dokter Kenzo tanpa menatap wajah gadis yang sedang menatapnya.
"Dewi Penolong?" celetuk Luna dengan tatapan penuh tanya. Sang dokter mendengar pertanyaan yang diajukan Luna padanya. Hanya saja, dia mengabaikannya. Dokter tampan itu menatap tajam pada kedua preman berwajah bengis, dan berkata,"Akan saya hubungi kalian, jika semuanya sudah siap."Dokter Kenzo tidak mau membuang-buang waktu untuk berdebat dengan kedua preman itu. Terlebih lagi saat ini mereka menjadi pusat perhatian seluruh orang yang berada di lobi rumah sakit tersebut. Tidak terkecuali orang-orang yang barada di lantai atas sedang melihatnya."Bagaimana anda bisa menghubungi kami, jika kita belum saling mengenal?" tanya pria berkepala botak di sela kekehannya.Merasa kedua preman tersebut akan semakin memperpanjang percakapan mereka, sang dokter pun segera meraih tangan Luna, dan menariknya. Semua menatap heran pada Dokter Kenzo yang membawa gadis tersebut berjalan bersamanya menuju lantai atas, di mana ruangan sang dokter berada.Wanita muda yang berpenampilan acak-acakan itu,
"A-apa? Direktur Rumah Sakit?" celetuk Luna tanpa sadar.Sontak saja kedua dokter pria tersebut menoleh ke arah belakang, di mana sumber suara yang mengangetkan mereka berasal. Beruntungnya Luna cepat menyadari kecerobohannya, sehingga dengan tanggap dia berjongkok dan membungkam bibirnya menggunakan kedua tangan.Dua pria yang memakai jas putih tersebut saling menatap heran, setelah tidak melihat siapa pun berada di belakang mereka. "Tidak ada siapa-siapa," ucap salah satu dari mereka."Aneh," sahut rekan yang ada di sebelahnya.Mereka berdua kembali melanjutkan perjalanannya, tanpa mengetahui keberadaan Luna yang masih berjongkok di tempatnya. Tanpa ragu gadis yang sedang penasaran itu, kembali mengikuti kedua dokter tersebut. Dia berusaha mencuri dengar semua pembicaraan mereka mengenai Dokter Kenzo."Dokter Kenzo sangat beruntung. Dia lahir di tengah-tengah keluarga yang mempunyai garis keturunan konglomerat yang sangat kaya raya. Dan beruntungnya lagi, Ibunya merupakan pewaris d
Seketika Dokter Kenzo menoleh ke arah Luna, gadis yang akan menjadi tempat penitipan benihnya. "Enyahkan pikiran dangkal mu itu! Menjadi ibu pengganti bukan berarti harus menikah! Sekarang jaman sudah modern. Banyak tekhnologi canggih yang bisa membantu seorang wanita menjadi ibu tanpa melakukan hubungan badan dengan lawan jenisnya!" tegas Kenzo dengan emosinya. Terlihat kekesalan dari mata sang dokter yang sangat mencintai istrinya. Dia tidak mau jika sang kekasih hati meragukan cintanya. Bagi seorang Kenzo Matteo, Serena Hogan merupakan wanita sempurna. Selain cantik dan pintar, menurut Kenzo, Serena merupakan wanita terhebat di antara semua wanita yang pernah ditemuinya. Bahkan sejak pertama kali bertemu, sang dokter telah jatuh hati padanya. Seketika Luna beringsut ketakutan. Dia tidak berani menatap sang dokter yang sedang kesal padanya. Keberanian Luna pada Dokter Kenzo yang merasa dekat dengannya, kini pun telah sirna."Maaf karena telah lancang bertanya. Hanya itu yang ada
Di depan sebuah cermin besar yang berada di dalam ruang ganti, Luna menatap bayangan dirinya pada cermin tersebut. Diperhatikan dengan seksama gambar dirinya dari ujung kaki hingga ujung kepala. "Pantas saja dia tidak berminat padaku, ternyata aku tidak sebanding dengan istrinya," ucap lirih gadis tersebut diakhiri dengan helaan nafas yang terdengar begitu berat.Suara ketukan pintu membuatnya tersadar, dan menoleh ke arah sumber suara."Cepatlah keluar agar kita bisa segera melakukannya!" Suara pria yang sangat dikenalnya, membuat Luna semakin sadar jika dunia mereka berdua terlalu berbeda. Dengan terburu-buru, kakinya pun bergerak menghampiri pintu. Namun, tangannya berhenti bergerak ketika menyentuh gagang pintu.'Cukup, Luna. Hentikan perasaanmu pada Dokter Kenzo. Mulai sekarang kamu harus bersikap sebagai orang yang bekerja pada mereka, tidak boleh lebih dari itu,' batinnya.Pintu pun terbuka, sehingga membuat Luna terperanjat kaget melihat sosok sang dokter yang berada di bal
Di depan seorang pasien wanita yang masih belum sadarkan diri, Kenzo beserta istrinya dan juga Luna sedang berdiri di sampingnya. Mereka bertiga memperhatikan beberapa alat medis yang menempel pada tubuh pasien wanita tersebut. "Ibu adalah orang tua saya satu-satunya, dok. Ayah saya sudah meninggal beberapa tahun yang lalu," ucap Luna dengan menatap iba pada wanita yang terbaring di tempat tidur pasien.'Sial! Kenapa aku bisa melupakan hal ini?!' batinnya mengumpat marah.Namun, saat itu juga Kenzo teringat akan sesuatu. Tanpa memberitahukan pada sang istri, dia pun tanpa sadar mengatakan apa yang ada di dalam pikirannya."Sepertinya tidak mungkin jika kita harus menunggu ibumu sadar terlebih dahulu. Kita lakukan saja pernikahannya tanpa restu dari ibumu. Saya yakin ibumu tidak akan marah jika mengetahuinya."Serena menatap tajam pada sang dokter. Hatinya merasa marah mendengar keputusan suaminya. Akan tetapi, kemarahannya itu bisa dirasakan oleh Kenzo. Pria yang masih memakai jas pu
Kesal dan marah yang Serena rasakan saat ini. Perasaan tersebut membuatnya enggan membantu calon madunya untuk berpenampilan sesuai kasta mereka. Namun, dia tidak memiliki pilihan selain mendandani calon madunya untuk tampil cantik di hadapan kakek mertuanya.Luna, gadis lugu dan polos itu terlihat sangat cantik, modis, anggun dan berkelas. Hampir tidak ada bedanya dengan Serena untuk saat ini. Sang Nyonya Besar dari kediaman Kenzo Matteo menatap kesal pada gadis tersebut. Pasalnya, dia diberi tugas oleh sang suami untuk membantu Luna mendapatkan hati kakek mertuanya. Wanita mana yang bisa dengan tenang dan ikhlas melakukan itu semua?Begitu juga dengan Serena. Dia mencoba mencari cara untuk membuat Ron Matteo tidak menyukai calon istri kedua cucu kesayangannya. 'Shit!' umpatnya ketika mengingat perkataan suaminya yang memberitahu konsekuensi apabila Luna tidak bisa mengambil hati sang kakek."Bagaimana? Apa kamu menyukainya?" tanya Serena dengan malas pada calon madunya."Apa bena
"Itu bukan hal yang penting, Kek. Yang terpenting, kita berdua akan menikah, dan memberikan keluarga Matteo seorang penerus, seperti yang Kakek inginkan."Ucapan Kenzo membuat seorang Ron Matteo terkekeh. Terlebih lagi melihat kedua mata cucu kesayangannya yang mengisyaratkan sesuatu. "Jika kalian berdua tidak memiliki panggilan sayang, maka orang lain akan mengira jika pernikahan kalian hanya sandiwara saja," ucap sang kakek sembari menyeringai.Kenzo mengepalkan tangannya. Dia berusaha keras untuk menahan kekesalan dalam hatinya. Berbeda dengan sang kakek. Pria yang sudah berusia senja itu, kembali menyeringai, seolah sedang mengejek cucu kesayangannya."Apa dia pasienmu, Kenzo? Tidakkah dia calon istrimu? Jadi, bukankah seharusnya dia tidak memanggilmu dengan sebutan yang sama seperti pasienmu di rumah sakit?" imbuh sang kakek dengan tatapan menyelidik padanya."Dia bukan pasien Kenzo, Kek. Ibunya sedang dirawat di rumah sakit, dan kebetulan sekali Kenzo yang menjadi dokternya. Ja
Pagi ini suasana Metro Healthy Hospital terasa berbeda. Ron Matteo yang merupakan pemilik dari rumah sakit tersebut, benar-benar datang berkunjung ke sana. Sayangnya, kunjungannya kali ini bukan sesuai jadwal kunjungan sebagai seorang Presdir Metro Healthy Hospital, melainkan sebagai kakek dari Kenzo Matteo yang akan menjenguk calon besan cucunya.Kenzo merasa kesal dengan situasinya saat ini. Pasalnya, semua mempertanyakan tentang pelayanan terbaik yang didapatkan oleh Lidia, pasien wanita yang sebelumnya kesusahan dalam membayar biaya perawatan di rumah sakit tersebut."Kenapa pasien itu dipindahkan ke ruangan terbaik di rumah sakit ini?""Bukankah pihak administrasi pernah mencari putrinya untuk mengingatkan pembayaran perawatan pasien itu?""Lihatlah! Gadis itu dekat sekali dengan Presdir. Bukankah dia putri pasien yang sedang kalian bicarakan?" "Ada hubungan apa mereka?""Apa mungkin gadis itu meminta pertolongan pada Presdir untuk membantu biaya perawatan ibunya?""Apa jangan-j
"Bagaimana? Apa semuanya sudah siap?" Serena terkesiap mendengar suara wanita tua yang dianggapnya sebagai musuh dalam selimut. Sontak saja dia menoleh ke arah si pemilik suara."Ada acara apa? Memangnya siapa yang akan datang?" tanyanya dengan penasaran. "Tuan Kenzo hanya memerintahkan kami untuk menyiapkan makanan yang sangat spesial, karena akan kedatanganmu tamu spesial di rumah ini," jawab sang nenek dengan sopan."Siapa?!" tanyanya dengan meninggikan suaranya. Tiba-tiba saja mereka dikagetkan dengan datangnya seorang pelayan yang berlari dan menyerukan sesuatu."Tuan Kenzo sudah datang!" Seketika sang nenek bergerak cepat untuk menyiapkan makanan dengan bantuan beberapa pelayan. Mereka mengacuhkan kehadiran sang nyonya yang masih berdiri di sana sambil melipat kedua tangannya di depan dada, dan memperhatikan semuanya. 'Ada apa sebenarnya ini?' batinnya bertanya-tanya. Beberapa saat kemudian, terdengar suara pintu terbuka. Dari suara sepatu dan langkah kaki yang semakin men
"Apa yang kalian lakukan?!" Seketika ekspresi wajah para wanita tersebut berubah menegang. Suara berat dan tegas yang menegur mereka, seolah tamparan keras bagi semuanya. Pria tersebut menerobos masuk di antara para wanita yang mengerumuni Luna. Dengan gerakan cepatnya, wanita muda yang sedang hamil tersebut berada di belakang tubuhnya. Sorot mata tajamnya menghunus satu per satu dari para wanita yang merendahkan, serta mengancam istri keduanya. "Apa yang kalian lakukan padanya?!" tanyanya kembali dengan tegas."Ka-kami--""Kenapa kamu menyalahkan mereka, Sayang?!" sahut Serena sembari berjalan menghampiri suaminya. "Lebih baik kalian semua pergi," bisiknya ketika berada di belakang salah satu dari para wanita tersebut. Sontak saja wanita itu memberi tanda menggunakan matanya pada mereka semua untuk pergi dari tempat itu. Sayangnya, semua itu dapat dibaca dengan jelas oleh Kenzo. Pria yang akan segera dinobatkan sebagai penguasa kerajaan bisnis keluarga Matteo itu semakin marah p
Suara dering telepon yang berasal dari sebuah ponsel, membuat Serena terbangun dari tidurnya. Baru beberapa jam yang lalu matanya bisa terpejam, dan kini tidurnya terganggu oleh suara bising yang membangkitkan kemarahannya. Dengan mata yang terpejam, tangannya meraba-raba nakas untuk mengambil ponsel miliknya. "Hmmmm," gumamnya setelah menekan tombol hijau pada layar ponselnya.Seketika matanya terbelalak mendengar perkataan dari sang penelpon. Saat itu juga dia beranjak duduk, dan memasang telinganya baik-baik untuk mendengarnya. "Apa kamu bisa mengirimkan gambar wanita yang sedang bersamanya?" Beberapa detik kemudian, terdengar suara notifikasi pesan yang dikirimkan oleh sang penelpon. Matanya kembali terbelalak melihat foto wanita yang dibicarakan oleh sang penelpon."Sial! Bisa-bisanya dia menampakkan diri di hadapan semua orang!" ujarnya dengan mengeratkan gigi-giginya. Tiba-tiba saja ponselnya kembali berdering. Tertera pada layar ponsel tersebut nama orang yang sama sedang
Bak petir yang menyambar di sekitar mereka, kedua wanita yang berstatus sebagai istri Kenzo Matteo terperangah mendengar sang suami menyerukan perceraian pada salah satu istrinya. "Apa? Kamu menceraikan ku, Ken?!" tanya Serena dengan menatap tidak percaya pada suaminya. Kenzo meraih tubuh Luna, dan menjauhkan dari istri pertamanya. Akan tetapi, Serena tidak menyerah begitu saja. Wanita yang telah lebih dulu menikah dengan Kenzo Matteo, merasa tidak terima diceraikan olehnya. Tangannya berusaha kembali meraih bagian tubuh madunya yang sedang berada dalam pelukan suami mereka. Dengan gerakan cepatnya, Kenzo menghalangi tubuh istri mudanya, ketika melihat pergerakan tangan dari istri pertamanya. Tanpa disadari Luna, kini dirinya berada di belakang tubuh suaminya. "Hentikan, Serena!" bentak Kenzo dengan tatapan penuh amarah."Tidak! Aku tidak akan berhenti sampai dia pergi dari rumah ini!" ujar Serena dengan sangat berani menantang suaminya. Tidak puas dengan tindakannya, Serena mela
Serena menoleh ke arah sumber suara. Matanya terbelalak. Jantungnya berdebar kencang melihat api kemarahan pada tatapan suaminya. "Ken?!""Apa yang sedang kamu lakukan di sini, Serena?!" tanya Kenzo dengan tegas."A-aku ...," ucapnya dengan gugup. Otaknya bekerja keras untuk berpikir, mencari alasan yang tepat, sambil menggerakkan bola matanya ke kiri, dan kanan.Tiba-tiba saja terdengar suara lenguhan dari orang yang berada di atas ranjang tersebut."Ada apa? Kenapa berisik sekali?" tanyanya sembari mengusap kedua matanya.Sontak saja semua pasang mata mengarah pada orang tersebut. Saat itu juga bibir Serena melengkung ke atas. Dalam keadaan terjepit, dia menemukan sebuah ide yang sangat cerdas. "Sayang, aku--""Lihatlah dia, Ken!" sahut Serena seraya menyeringai, dan menunjuk ke arah wanita yang duduk di atas ranjang dengan selimut menutupi tubuhnya. Serena mengalihkan pandangannya pada pria yang berdiri di depan pintu kamar tersebut. "Wanita ini sengaja membuat kamu membenciku!
Wanita tua yang menjadi kepala pelayan di rumah Kenzo merasa bersalah pada Luna, istri kedua dari Kenzo Matteo. Pasalnya, dialah yang membawa Luna untuk bersembunyi di sebuah rumah sekitar kediaman Kenzo berada. Rumah tersebut adalah milik sang nenek yang dihuninya sebelum pindah ke rumah milik tuannya. Memang benar rumah itu sudah lama tidak dihuninya, tapi nenek pemilik rumah selalu membersihkan rumahnya setelah pekerjaan intinya di rumah Kenzo selesai. Tidak ada yang tahu rumah tersebut kecuali Kenzo. Sang nenek pernah mengajak Kenzo ke rumah miliknya untuk mengetahui bagaimana kehidupan wanita tua tersebut sehari-hari. Di luar dugaan sang nenek, Kenzo sama sekali tidak keberatan masuk ke dalam rumah kecil itu. Bahkan dia duduk pada kursi tua ruang tamu sambil menikmati teh hangat buatan sang nenek. "Cepat tunjukkan tempatnya, Nenek tua!" ujar Serena sembari menarik dengan kuat tangan sang nenek. Wanita tua itu tidak bisa mempertahankan tubuhnya. Kekuatan Serena lebih kuat
"Serena!" teriak Kenzo berulang kali dengan suara yang semakin meninggi. "Iya, Sayang. Aku datang!" teriak Serena sambil berjalan keluar dari dalam kamarnya. "Cepatlah!" teriak Kenzo dengan menatap penuh amarah pada sang istri yang sedang berjalan menghampirinya. "Lari!" teriaknya kembali dengan tegas.Serena berlari kecil sembari tersenyum bahagia mendengar suaminya seolah tidak sabar menemuinya. "Ken!" panggilnya dengan riang sambil berjalan menghampiri suaminya. Kenzo menatap sang istri dengan kilatan amarah yang terlihat dari matanya. "Kamu sudah pulang, Sayang?" tanya sang istri pertama sambil tersenyum padanya. "Lambat sekali jalanmu!" ujar Kenzo dengan ketusnya.Serena tersenyum manja, dan melingkarkan kedua tangannya pada leher suaminya. "Kamu ini, kenapa tidak sabar sekali menungguku?" tanyanya dengan gaya menggoda yang selalu diberikannya pada setiap pria."Apa ini?" tanya Kenzo dengan tegas, sambil memperlihatkan layar ponselnya yang sedang menayangkan adegan penind
"Sesuai dengan perjanjian yang tertulis. Dilarang jatuh cinta pada Kenzo. Jangan berdekatan dengan Kenzo dalam kondisi apa pun. Setelah bayi itu lahir, pergilah dari kehidupan kami tanpa membawa bayi yang telah kamu lahirkan. Hapus ingatanmu tentang kami semua, tak terkecuali bayi yang kamu lahirkan, dan jangan pernah menghubungi kami lagi, termasuk anak-anakmu meskipun mereka telah dewasa." Duar! Luna merasa bak tersambar petir mendengar syarat yang diajukan oleh Serena. Jantungnya berdegup dengan kencang, hatinya merasa sangat sakit, dan dadanya terasa sangat sesak, hingga tidak bisa berkata-kata. Dia hanya diam membisu sembari menatap sang nyonya dengan mata yang berkaca-kaca. "Bagaimana? Kamu sanggup, bukan?" tanya Serena sembari menyeringai. Luna menggeleng pelan. Dia merasa ragu-ragu. Dalam hatinya berkata harus harus menolak syarat tersebut, tapi dia juga merasa harus melakukannya. "Tidak, kamu tidak bisa menolaknya," ucap Serena sembari terkekeh. "Apa kamu lupa
"Maaf, Nyonya. Saya hanya takut Nyonya Serena kembali kecewa. Lagu pula, Luna saja yang mengatakan bahwa dirinya sedang hamil, sampai detik ini belum menyiapkan apa-apa. Entah dia lupa, belum menyiapkan, atau mungkin memang tidak menyiapkan apa pun," ucap pelayan kepercayaan Serena tanpa beban."Apa maksudmu?" tanya Serena sembari mengernyitkan dahinya. Pelayan tersebut melihat ke sekelilingnya. Setelah merasa tidak ada seorang pun di sana, dia mulai terlihat serius menghadap sang nyonya. "Apa Nyonya Serena sudah pernah melihat hasil pemeriksaan kehamilan Luna secara langsung?" tanyanya dengan menatap serius pada sang nyonya."Kenapa kamu bertanya tentang hal itu? Apa hubungannya dengan bayi itu?" tanya balik Serena sembari menatap curiga pada pelayan tersebut. Sang pelayan mendekati nyonya majikannya, dan mengatakan sesuatu dengan suara lirih. "Saya hanya curiga saja, Nyonya. Apa jangan-jangan dia hanya berpura-pura hamil saja, tapi nyatanya zonk."Dahi Serena mengernyit. Dia men