Brak!
Luna terkesiap saat mendengar suara pintu rumahnya didobrak, diikuti suara seorang pria yang berteriak keras.
"Nenek Tua! Cepat keluar! Atau akan kami hancurkan rumah tua ini!"
“Astaga! Ibu–” Luna diam-diam bergegas mencari sang ibu agar mereka bisa bersembunyi.
Namun, terlambat. Wanita tua itu telah keluar dan berdiri di hadapan dua orang pria berbadan besar dengan tubuh gemetar di tamu yang hanya berisi televisi usang dan perabotan lama. Sungguh kontras, Luna melihat,
“Tu-Tuan–”
"Cepat bayar semua utang-utangmu, Nenek Tua!" bentak salah satu dari mereka, hingga membuat wanita tua itu berjengit kaget.
Sang wanita tua semakin ketakutan. Kedua tangannya meremas ujung pakaian yang digunakannya. Kakinya pun gemetar, sehingga tidak bisa digerakkan sama sekali.
"Ma-maaf, Tuan. Saya belum bisa membayar sekarang," ucap sang wanita tua dengan terbata-bata, tanpa menghadap ke arah kedua pria yang menakutkan itu. Pandangannya tertuju pada lantai. “Saya belum punya uang untuk membayar–”
“Halah! Sudah berapa kali kamu mengatakan itu!?” Salah satu dari mereka menyentak tangan wanita tua tersebut dan mendorongnya hingga wanita itu tersungkur di lantai.
“Ibu!” Luna langsung keluar dan memeluk sang ibu.
"Cari di dalam rumahnya!” seru pria yang tadi mendorong ibu Luna pada rekannya. “Siapa tahu ada uang atau barang berharga yang disembunyikan olehnya!"
Masuklah pria botak berbadan kekar lebih dalam ke rumah Luna. Semua barang diobrak-abrik olehnya, hingga suaranya terdengar begitu jelas dari tempat Luna sekarang.
"Jangan! Tolong jangan rusak semua barang kami.” Ibu Luna mengiba. Wajahnya telah dipenuhi air mata saat ia memaksakan diri untuk menyentuh tangan si preman. “Hanya itu yang kami punya."
Namun, si preman dengan mudah mengibaskan tangannya dan bahkan menendang tubuh wanita tua itu.
“Ibu!” Luna lekas menangkap tubuh sang ibu sebelum wanita tua itu membentur lantai. Tatapannya kemudian terarah pada si preman, memandangnya dengan tajam. “Hei, jangan kasar!”
Pria itu tertawa mendengar perintah dari putri wanita tua tersebut.
"Tidak ada barang yang berharga di dalam. Bahkan hanya ada uang recehan saja di sana,” lapor rekan si preman pertama. Pandangannya jatuh pada soosk Luna yang masih memeluk ibunya. “Lebih baik bawa saja wanita cantik itu untuk menebus utang ibunya!"
Sang ibu terkesiap.
"Tidak! Jangan! Jangan sentuh anakku!” ucap wanita tua tersebut dengan berderai air mata. Ia mencoba bangkit dan menyentuh tangan si preman kembali. “Bawa saja aku untuk jadi budak bos kalian!"
Wanita muda itu tidak memedulikan kedua pria yang telah memporak porandakan rumahnya. Dia hanya memedulikan sang ibu dengan berusaha memeluk tubuh kurusnya yang dalam keadaan memprihatinkan.
“Bu, jangan–”
"Melihatmu saja bos kami bisa muntah, apalagi membawamu sebagai budaknya!" Pria berbadan kekar itu pun tertawa.
"Cepat bawa wanita cantik itu!" perintah pria itu kemudian.
Pria kedua, yang berkepala botak, berusaha membawa paksa Luna. Dengan sekuat tenaga wanita muda tersebut bertahan bersama sang ibu.
“Lepas!”
Akan tetapi, tenaganya jauh berbeda dengan kedua pria yang berusaha membawanya.
Tubuhnya dapat dengan mudah ditarik oleh pria botak yang sedang menertawakannya. Begitu banyak ancaman dan umpatan yang keluar dari bibir mungil wanita muda itu.
Sayangnya, tidak ada yang berbelas kasih menolongnya. Beberapa orang hanya melihat mereka seolah tontonan yang menjadi hiburan semata.
"Luna!" seru sang ibu dengan suara yang tertahan.
Tiba-tiba badan wanita tua itu terkulai lemas, dengan air mata pun menetes dari ujung matanya yang terpejam. Seketika wanita tua itu tidak sadarkan diri.
Melihat kondisi sang ibu, dengan sekuat tenaga Luna menghempaskan tangan pria yang berusaha membawanya, seraya berseru, "Ibu!"
Tubuh renta sang ibu dibawa dalam pelukannya. Tangisnya pecah ketika tidak mendapatkan reaksi apa pun dari tubuh wanita tua tersebut.
"Cepat bawa kami ke rumah sakit!" bentak Luna sembari menatap tajam pada kedua pria yang berdiri melihat mereka.
"Enak saja. Kami bukan dinas sosial! Tugas kami hanya untuk--"
"Jika ibuku meninggal, akan ku pastikan kalian berdua masuk dalam penjara karena membunuhnya!" sahut Luna yang berusaha mengancam mereka dengan tatapan penuh kebencian.
Kedua pria itu saling berbisik, dan sang pria berkepala botak pun berkata, "Baiklah. Kami akan membawa kalian ke rumah sakit. Tapi, setelah itu kamu harus ikut dengan kami untuk menebus utang ibumu!"
Tanpa berpikir panjang, Luna pun menyetujuinya. Dalam pikirannya hanya keselamatan sang ibu, satu-satunya orang tua yang tinggal bersamanya.
Kedua pria tersebut membawa tubuh sang wanita tua ke dalam mobil mereka, dan diikuti oleh Luna dengan deraian air matanya.
Sepanjang perjalanan menuju rumah sakit, tangan Luna mengusap lembut wajah sang ibu yang telah terdapat beberapa garis halus di bagian tertentu.
Digenggamnya dengan erat tangan wanita yang telah melahirkannya. Tangan itu terasa begitu kering dan terdapat sedikit keriput yang membuatnya meneteskan air mata, seraya berkata dalam hati,
'Tolong jangan tinggalkan Luna, Bu. Luna janji akan membayar semua utang kita. Luna juga akan membuat Ibu bahagia.'
Hanya beberapa menit saja mobil tersebut berhenti tepat di depan salah satu gedung rumah sakit yang bertuliskan IGD. Dengan cekatan dua orang perawat membawa wanita tua tersebut masuk ke dalam ruang IGD untuk segera ditangani.
"Ingat janjimu, Nona!" ancam pria berambut ikal dengan tatapan mata seorang pembunuh.
Luna tidak bergeming. Pandangan matanya hanya tertuju pada ruang IGD yang sedang memperjuangkan keselamatan ibunya. Begitu pula dengan hati dan pikirannya. Selang beberapa saat kemudian, pintu ruangan pun terbuka. Keluarlah seorang perawat yang menemuinya, dan berkata,
"Pasien sudah sadar."
Luna menghela napas lega dan bergegas menemui ibunya.
Namun, ketika kaki Luna hendak melangkah masuk, kedua tangannya dipegang oleh kedua pria yang menagih sang ibu.
"Nenek tua itu sudah sadar. Ikutlah bersama dengan kami untuk menebus utangnya!" ujar pria berkepala botak dengan suara yang mampu membuat bulu kuduk Luna merinding ketakutan.
Dari dalam ruangan tersebut sang ibu mendengar suara lantang pria yang sedang mengancam putrinya. Tanpa berpikir panjang, dia memegang tangan seorang dokter pria yang sedang memeriksanya, seraya berkata dengan penuh harap,
"Dok, tolong putri saya. Jangan biarkan mereka membawanya untuk menebus utang-utang saya."
“Biarkan aku ketemu ibuku dulu!”Sementara itu, kedua pria berwajah bengis yang memegang erat tangan Luna, tidak menghiraukan ocehan wanita muda itu. Mereka tetap memaksanya, meskipun Luna dengan sekuat tenaga mempertahankan dirinya agar tidak bisa bergerak sedikit pun dari depan ruangan tersebut.“Ibumu sudah sadar! Kau harus ikut kami sekarang!”"Tidak! Jangan bawa saya! Saya harus menemani Ibu!""Jangan melawan! Ikut kami atau kamu akan tahu akibatnya!"Kedua pria tersebut bergantian memberikan peringatan pada wanita muda yang sedang berusaha melawan. Bahkan seruannya membuat mereka bertambah geram dan marah. Pasalnya, pandangan semua orang di sekitar tertuju pada mereka."Hentikan!" Suara seorang pria dari dalam ruangan tersebut, membuat perhatian mereka beralih padanya. Kedua pria berbadan kekar itu tertegun melihat sosok pria yang seolah sedang menantang mereka. Pria tampan dengan tubuh proposional yang dibalut sebuah jas putih sedang menatap tajam pada keduanya."Jangan ikut c
Sepasang ibu dan anak tersebut saling menatap, seolah saling mempertanyakan apa yang telah mereka dengar. "Apa yang harus Luna lakukan, dok?" tanya wanita tua tersebut dengan ekspresi menahan rasa sakit di dalam dadanya."Lebih baik Ibu berbaring, dan saya akan periksa terlebih dahulu. Jika keadaan Ibu sudah membaik, kita akan membicarakannya lagi," tutur sang dokter, seraya memberikan kode pada perawat untuk membantu wanita tua tersebut berbaring di tempat tidurnya.Luna pun membantu sang ibu untuk menuruti perintah dari dokter yang akan menolong mereka. Wanita tua itu menatap sang dokter dengan mata yang berkaca-kaca, seraya berkata,"Terima kasih, dok. Sepertinya Tuhan memberikan saya penyakit ini agar bisa bertemu dengan Dewa Penolong kami.""Jangan berkata seperti itu, Bu. Lebih baik Ibu berdoa agar bisa cepat sembuh," ujar sang dokter, sembari meletakkan stetoskop di dadanya.'Seharusnya saya yang berterima kasih pada kalian, karena telah menghadirkan Dewi Penolong untuk keluar
"Dewi Penolong?" celetuk Luna dengan tatapan penuh tanya. Sang dokter mendengar pertanyaan yang diajukan Luna padanya. Hanya saja, dia mengabaikannya. Dokter tampan itu menatap tajam pada kedua preman berwajah bengis, dan berkata,"Akan saya hubungi kalian, jika semuanya sudah siap."Dokter Kenzo tidak mau membuang-buang waktu untuk berdebat dengan kedua preman itu. Terlebih lagi saat ini mereka menjadi pusat perhatian seluruh orang yang berada di lobi rumah sakit tersebut. Tidak terkecuali orang-orang yang barada di lantai atas sedang melihatnya."Bagaimana anda bisa menghubungi kami, jika kita belum saling mengenal?" tanya pria berkepala botak di sela kekehannya.Merasa kedua preman tersebut akan semakin memperpanjang percakapan mereka, sang dokter pun segera meraih tangan Luna, dan menariknya. Semua menatap heran pada Dokter Kenzo yang membawa gadis tersebut berjalan bersamanya menuju lantai atas, di mana ruangan sang dokter berada.Wanita muda yang berpenampilan acak-acakan itu,
"A-apa? Direktur Rumah Sakit?" celetuk Luna tanpa sadar.Sontak saja kedua dokter pria tersebut menoleh ke arah belakang, di mana sumber suara yang mengangetkan mereka berasal. Beruntungnya Luna cepat menyadari kecerobohannya, sehingga dengan tanggap dia berjongkok dan membungkam bibirnya menggunakan kedua tangan.Dua pria yang memakai jas putih tersebut saling menatap heran, setelah tidak melihat siapa pun berada di belakang mereka. "Tidak ada siapa-siapa," ucap salah satu dari mereka."Aneh," sahut rekan yang ada di sebelahnya.Mereka berdua kembali melanjutkan perjalanannya, tanpa mengetahui keberadaan Luna yang masih berjongkok di tempatnya. Tanpa ragu gadis yang sedang penasaran itu, kembali mengikuti kedua dokter tersebut. Dia berusaha mencuri dengar semua pembicaraan mereka mengenai Dokter Kenzo."Dokter Kenzo sangat beruntung. Dia lahir di tengah-tengah keluarga yang mempunyai garis keturunan konglomerat yang sangat kaya raya. Dan beruntungnya lagi, Ibunya merupakan pewaris d
Seketika Dokter Kenzo menoleh ke arah Luna, gadis yang akan menjadi tempat penitipan benihnya. "Enyahkan pikiran dangkal mu itu! Menjadi ibu pengganti bukan berarti harus menikah! Sekarang jaman sudah modern. Banyak tekhnologi canggih yang bisa membantu seorang wanita menjadi ibu tanpa melakukan hubungan badan dengan lawan jenisnya!" tegas Kenzo dengan emosinya. Terlihat kekesalan dari mata sang dokter yang sangat mencintai istrinya. Dia tidak mau jika sang kekasih hati meragukan cintanya. Bagi seorang Kenzo Matteo, Serena Hogan merupakan wanita sempurna. Selain cantik dan pintar, menurut Kenzo, Serena merupakan wanita terhebat di antara semua wanita yang pernah ditemuinya. Bahkan sejak pertama kali bertemu, sang dokter telah jatuh hati padanya. Seketika Luna beringsut ketakutan. Dia tidak berani menatap sang dokter yang sedang kesal padanya. Keberanian Luna pada Dokter Kenzo yang merasa dekat dengannya, kini pun telah sirna."Maaf karena telah lancang bertanya. Hanya itu yang ada
Di depan sebuah cermin besar yang berada di dalam ruang ganti, Luna menatap bayangan dirinya pada cermin tersebut. Diperhatikan dengan seksama gambar dirinya dari ujung kaki hingga ujung kepala. "Pantas saja dia tidak berminat padaku, ternyata aku tidak sebanding dengan istrinya," ucap lirih gadis tersebut diakhiri dengan helaan nafas yang terdengar begitu berat.Suara ketukan pintu membuatnya tersadar, dan menoleh ke arah sumber suara."Cepatlah keluar agar kita bisa segera melakukannya!" Suara pria yang sangat dikenalnya, membuat Luna semakin sadar jika dunia mereka berdua terlalu berbeda. Dengan terburu-buru, kakinya pun bergerak menghampiri pintu. Namun, tangannya berhenti bergerak ketika menyentuh gagang pintu.'Cukup, Luna. Hentikan perasaanmu pada Dokter Kenzo. Mulai sekarang kamu harus bersikap sebagai orang yang bekerja pada mereka, tidak boleh lebih dari itu,' batinnya.Pintu pun terbuka, sehingga membuat Luna terperanjat kaget melihat sosok sang dokter yang berada di bal
Di depan seorang pasien wanita yang masih belum sadarkan diri, Kenzo beserta istrinya dan juga Luna sedang berdiri di sampingnya. Mereka bertiga memperhatikan beberapa alat medis yang menempel pada tubuh pasien wanita tersebut. "Ibu adalah orang tua saya satu-satunya, dok. Ayah saya sudah meninggal beberapa tahun yang lalu," ucap Luna dengan menatap iba pada wanita yang terbaring di tempat tidur pasien.'Sial! Kenapa aku bisa melupakan hal ini?!' batinnya mengumpat marah.Namun, saat itu juga Kenzo teringat akan sesuatu. Tanpa memberitahukan pada sang istri, dia pun tanpa sadar mengatakan apa yang ada di dalam pikirannya."Sepertinya tidak mungkin jika kita harus menunggu ibumu sadar terlebih dahulu. Kita lakukan saja pernikahannya tanpa restu dari ibumu. Saya yakin ibumu tidak akan marah jika mengetahuinya."Serena menatap tajam pada sang dokter. Hatinya merasa marah mendengar keputusan suaminya. Akan tetapi, kemarahannya itu bisa dirasakan oleh Kenzo. Pria yang masih memakai jas pu
Kesal dan marah yang Serena rasakan saat ini. Perasaan tersebut membuatnya enggan membantu calon madunya untuk berpenampilan sesuai kasta mereka. Namun, dia tidak memiliki pilihan selain mendandani calon madunya untuk tampil cantik di hadapan kakek mertuanya.Luna, gadis lugu dan polos itu terlihat sangat cantik, modis, anggun dan berkelas. Hampir tidak ada bedanya dengan Serena untuk saat ini. Sang Nyonya Besar dari kediaman Kenzo Matteo menatap kesal pada gadis tersebut. Pasalnya, dia diberi tugas oleh sang suami untuk membantu Luna mendapatkan hati kakek mertuanya. Wanita mana yang bisa dengan tenang dan ikhlas melakukan itu semua?Begitu juga dengan Serena. Dia mencoba mencari cara untuk membuat Ron Matteo tidak menyukai calon istri kedua cucu kesayangannya. 'Shit!' umpatnya ketika mengingat perkataan suaminya yang memberitahu konsekuensi apabila Luna tidak bisa mengambil hati sang kakek."Bagaimana? Apa kamu menyukainya?" tanya Serena dengan malas pada calon madunya."Apa bena
Suara tangisan kencang dari ruang persalinan membuat Ron Matteo dan Damian Matteo tersenyum."Dengarlah, Damian. Suara bayi itu adalah--""Dengarlah suara tangisan ini, Pah," sahut Damian ketika mendengar suara tangisan bayi yang bersahut-sahutan.Mereka berdua tertawa bahagia menyambut kelahiran sang calon penguasa yang baru dalam keluarga Matteo. Mata kedua pria itu terbelalak mendengar suara tangisan bayi yang baru saja dilahirkan oleh istri kedua dari sang penguasa. "Lihatlah Damian. Ada berapa bayi dalam perut menantumu itu," ujar Ron Matteo sambil terkekeh. "Luna benar-benar hebat, Pa. Dia memberi kejutan pada kita semua," ucap Damian sembari terkekeh. "Benar. Bukankah dokter mengatakan jika hanya ada dua bayi dalam kandungannya?" tanya pria tua itu tanpa melepaskan pandangannya dari monitor yang memperlihatkan kegiatan dalam ruang persalinan. Hanya orang khusus saja yang bisa berada dalam ruangan tersebut. Dan merekalah pemilik rumah sakit itu. Sehingga mereka mempunyai a
Serena memang dalam keadaan kritis saat dilarikan ke rumah sakit. Selain dia tidak sadarkan diri, dia juga mengalami pendarahan parah yang terjadi di kepala, di dalam perut serta dadanya, dan darahnya pun juga keluar dari anggota tubuhnya yang terkena pukulan atau benturan keras. Setelah operasi selesai, Serena dipindahkan ke ruang ICU. Di dalam ruangan itu dia mendapatkan perawatan ekstra, tanpa ada perbedaan dengan pasien lain karena status tahanannya. "Seharusnya pasien sudah sadar setelah beberapa saat operasi selesai dilakukan, tapi sepertinya kita harus menunggu lebih lama lagi. Kami juga sudah berusaha membangunkannya, tapi pasien tetap tidak mau bereaksi. Bahkan dalam operasinya tidak ada kesalahan yang terjadi. Semua berjalan dengan baik. Mungkin takdir Tuhan yang membuat semua ini terjadi. Kita tunggu saja perkembangan pasien selanjutnya," tutur sang dokter pada seorang sipir yang bertugas menjaga Serena.Setelah kepergian dokter dari ruangan tersebut, sang sipir melaporka
"Brengsek!" umpat mantan mertua dari Kenzo Matteo. Hampir semua barang yang ada di sekitarnya telah menjadi pelampiasan kemarahannya. Dia merasa malu di hadapan semua orang yang menghadiri konferensi pers nya. Terlebih lagi orang-orang tersebut sangat berpengaruh dalam bidangnya. Dalam sekejap saja, berita tentang putrinya yang tidak bisa memberikan keturunan bagi keluarga Matteo telah menyebar ke seluruh pelosok negeri. Hingga putri yang telah dicoret dari keluarganya pun mendengar berita tersebut. Prang!"Kalian semua brengsek!" seru Serena dalam ruangan yang dikelilingi jeruji besi, sembari melempar piring makanannya ke arah tembok.Beberapa tahanan wanita yang berada dalam ruang tahanan tersebut menatap tajam padanya. Tanpa menunggu lama, seorang tahanan wanita berbadan besar meraih rambut panjang Serena yang diikat tidak beraturan. "Kamu tidak lihat kami semua sedang makan?!" tanyanya dengan menatap marah pada wanita si pemilik rambut yang dijambaknya. Serena menatap kesal p
"Dengan ini saya, Ron Matteo mengumumkan bahwa cucu saya, Kenzo Matteo akan menggantikan posisi saya di semua perusahaan yang bernaung di bawah keluarga Matteo."Sorak sorai tepukan tangan memenuhi ruangan tersebut. Acara berkonsep mewah dan sangat berkelas dengan iringan musik klasik menambah keindahan pesta malam itu. Kenzo Matteo kini telah diangkat menjadi sang penguasa untuk menggantikan kakeknya. Tentu saja hal itu didengar oleh Serena yang masih berada dalam jeratan jeruji besi. Wanita licik itu marah. Dia bersumpah akan merebut kembali hak miliknya."Luna. Bolehkah Nenek berbicara?" tanya sang kepala pelayan yang sudah sangat dekat dengan istri kedua Kenzo. Luna menganggukkan kepalanya, menyetujui keinginan dari wanita tua tersebut yang seolah menggantikan peran ibunya. "Apakah hatimu lega dengan mendiamkan suamimu?" tanyanya dengan lembut. Luna diam. Dia memikirkan pertanyaan dari sang nenek. Setelah itu, dia menggelengkan kepalanya. "Apakah hatimu baik-baik saja, dan bis
"Apa anda kira jika sudah menghapus rekaman CCTV di beberapa tempat bisa memusnahkannya? Termasuk rekaman CCTV di dalam kamar perawatan."Seketika Serena membelalakkan matanya. Penuturan dari pengacara keluarga Matteo membuat jantungnya berdegup sangat kencang, takut apabila dimasukkan ke dalam sel tahanan yang akan merusak nama baik dan kehormatannya serta keluarganya. Kedua tangan wanita yang merupakan istri pertama dari Kenzo mencengkeram roknya. Ketakutannya itu bisa dibaca oleh pria yang duduk di sampingnya. "Apa anda yakin jika orang yang berada di dalam kamar tersebut adalah Nyonya Serena? Bukankah tidak ada bukti jelas atau pun saksi yang menyatakan hal itu? Lagi pula, kita tidak bisa begitu saja menyatakan bahwa itu adalah klien kami, karena kita juga tidak tahu orang itu pria atau wanita. Benar bukan?" ujar sang pengacara Serena dengan tenang. "Saya yakin kita semua bisa melihat jika orang yang berpakaian serba hitam pada rekaman CCTV itu adalah seorang wanita. Lihat saja
"Kamu sangat cerdik, Serena," ujar Ron Matteo setelah menyudahi tepukan tangannya. Pria tua itu beranjak dari duduknya, dan berjalan menghampiri cucu menantu pertamanya. Hal itu membuat Serena tersenyum penuh kemenangan. "Kamu benar-benar licik. Tidak salah jika kami membiarkanmu masuk ke dalam keluarga Matteo. Semakin lama, kami semakin tahu kebusukan mu," tuturnya sembari menyeringai. "Apa maksudnya, Kek?" tanya Serena layaknya orang bodoh. Sang kakek hanya tersenyum miring menanggapi pertanyaan dari istri pertama cucunya. Wanita licik itu ditatapnya seolah sedang memperingatkannya. "Kita lihat saja sejauh mana kebenaran akan terungkap."Jantung Serena berdebar dengan kencang. Dia khawatir akan nasibnya saat ini. Nama baiknya dan keluarganya telah dipertaruhkan demi meraih kejayaan nama keluarga Hogan melalui keluarga Matteo. 'Sial! Apa yang harus aku lakukan sekarang?' tanyanya dalam hati. "Apa yang sebenarnya dia lakukan pada ibuku?" Tiba-tiba semua pasang mata beralih men
"Apa yang sebenarnya kamu lakukan semalam di kamar perawatan, Serena?" tanya Kenzo dengan tegas. Serena terhenyak. Dia salah tingkah melihat tatapan mata sang suami yang mencurigainya. 'Gawat. Sepertinya dia mencurigai ku. Tapi, aku tidak melakukannya. Kenapa aku harus takut?' batinnya dengan cemas. "Apa maksudmu, Sayang?" tanyanya dengan gugup. "Apa kamu kira aku bodoh?" tanya Kenzo kembali, sembari menyeringai padanya. Luna duduk bersama dengan nenek kepala pelayan di dalam ruangan tersebut. Dia memperhatikan sepasang suami istri itu yang seolah sedang memainkan peran masing-masing. "Sebaiknya kamu mengaku sekarang daripada aku membeberkan semuanya," ancam Kenzo dengan tegas pada istri pertamanya. "Mengaku?! Mengaku apa?! Aku tidak melakukan apa pun, tapi kamu memaksaku untuk mengaku. Maksud kamu apa, Ken?!' ujar Serena dengan emosinya yang meluap. Luna mendekatkan bibirnya pada telinga sang nenek. Dia pun berbisik padanya. 'Apa mereka.sedang membicarakan tentang kemat
Senyuman Serena merekah tiada henti. Suasana duka yang menyelimuti rumah tersebut, tidak bisa membuat hatinya merasakan iba. Hanya dia seorang diri yang terlihat sangat bahagia. Pemakaman itu hanya dihadiri oleh beberapa saudara yang berasal dari keluarga besar Matteo. Bahkan tidak ada tetangga sekitar yang mengucapkan bela sungkawa atau pun mengantar kepergian ibu mertua dari Kenzo Matteo, orang terkaya dan paling berkuasa di daerah tersebut. Luna bagaikan boneka yang hanya diam, dan meneteskan air mata. Tidak ada suara yang keluar dari bibirnya. Berkali-kali Kenzo mencoba untuk mendekatinya, tapi dengan segera Luna menolaknya. Bahkan dia enggan disentuh oleh suaminya. "Biarkan Luna bersama dengan saya, Tuan," ucap sang nenek yang sedari tadi menemani istri muda dari tuannya. Kenzo merasa sedih dan khawatir akan istri kesayangannya. Akan tetapi, dia tidak bisa menghiburnya seperti sedia kala. 'Aku harus segera mencari tahu kebenarannya. Jika tidak, mungkin aku bisa kehilangan wa
Luna memukul-mukul dada bidang suaminya. Ungkapan kekecewaan yang disertai isakan tangisnya menambah pedihnya hati seorang Kenzo Matteo. "Kenapa kamu jahat padaku," ucapnya lirih diiringi isakan tangisnya. Pukulan tangannya pun melemah. Semua tenaganya telah habis digunakannya untuk melampiaskan kesedihannya pada sang suami. Kenzo tidak menghindar dari pukulan, dan omelan kekecewaan sang istri padanya. Dia sadar jika ikut andil dalam peristiwa naas malam ini. Terlebih lagi dia juga sangat mengerti bagaimana perasaan seorang anak yang kehilangan ibu kandungnya. "Maaf, Sayang. Maafkan aku. Semua ini memang salahku. Aku tidak mengelaknya. Hanya saja aku merasa ada yang janggal dnegan semua ini," ucapnya lirih sembari memegang kedua tangan sang istri. Luna menatap serius pada suaminya. Dari sorot matanya, dapat disimpulkan ada rasa ingin tahu yang begitu besar dalam hatinya. "Apa? Kenapa janggal?" tanyanya penasaran. Kenzo menatap dalam kedua mata indah sang istri. Sayangnya mata it