Setelah berbisik tanpa merasa bersalah, si Gendis berlalu begitu saja. Dia meninggalkanku dengan Ana di halte. Kurasa rumahnya anak itu dekat sini hingga tak perlu memerlukan kendaraan lagi, dia santai pulang berjalan kaki.
"Katanya abang tidak punya kenalan, tapi wanita yang tadi?" tanyanya.
"Dia bukan siapa-siapa Ana, aku bertemu di bis, tapi dia memang karyawan di kantor. Cuma dia tidak tahu jika aku ....." Aku menjeda ucapanku.
"Tidak tahu jika abang bosnya 'kan," ucapnya sambil tersenyum. Baru pertama kali kulihat dia begitu manis.
"Begitulah ...."
"Yang kayak begitu bisanya bisa dijadikan pasaanga." Aku mendengar itu seperti kata-kata penolakan olehnya. Penolakan agar aku segera mencari yang lain.
Hingga Irwan datang membuyarkan pembicaraan kami.
"Tuan, mobil sudah saya siapkan, apa kita langsung pulang? Nona Monica menelponku bertanya tuan ada dimana," jelas Irwan begitu sopan.
"Mau ikut, Ana?" tanyaku.
"Aku ada p
Malam ini aku tidak bisa tidur nyenyak memikirkan ucapan bunda. Beginilah nasib jomlo sepanjang masa. Sebenarnya bukan tidak mau pacaran, tapi sangat merepotkan kurasa yang namanya jatuh cinta ini. Apalagi kebanyakan dari mereka hanya melihat apa yang aku punya, bukan apa yang sedang dirasakan. Mungkin dari segi harta aku bisa berikan. Namun, bagaimana dengan hatiku apa aku bisa membahagiakannya. Gendis? Wanita itu jujur bukan list kriteriaku. Dia terlalu bar-bar menurutku. ***Pagi menyapa membuatku lebih semangat untuk bekerja. Kali ini aku harus mencari pendapat si Arya. Jika kepepet berarti aku harus menemui si Gendis. Gadis yang sebenarnya bukan list kriteriaku. "Bang, pagi amat?" tanya Monica yang heran melihatku. Bukan apa-apa aku hanya ingin menghindari bunda dan daddy yang akan banyak pertanyaannya dengan gadis yang kusuka, padahal kenyataan orangnya tidak ada. "Shaka, kalau bisa makan siang di rumah. Daddy sudah hubungi Arya agar pekerjaanmu hari
Kutinggalkan si Toni dan Gendis yang terus menatapku tidak percaya. Sisanya Arya yang akan membereskan. Semua menatapku dengan senyum memgembang karena si Toni hanya akan tinggal kenangan.Aku kembali meilhat di pergelangan tangan masih jam 11 siang. Secepatnya aku harus segera membereskan pekerjaan ini. Namun, lagi-lagi ada saja yang menganggu. "Kalau lihat tuan Shaka tadi persis adegan drama korea, seru!" Siapa lagi yang teriak kalau bukan si Arya. "Memang si botak itu harus diberi pelajaran. Trending saat ini semua jadi tau CEO nya adalah Shaka Adytama." Si Arya ceramah panjang kali lebar.Selama ini aku memang tidak pernah mengumumkan diri. Aku juga hanya pakai nama Adytama ketika di perusahaan, Shaka hanya untuk orang-orang tertentu ini guna kestabilan perusahaan karena aku masih muda bagi kalangan bisnis. Hanya beberapa orang yang tahu, aku juga malas jika banyak yang tahu siapa aku. Yang sedikit saja banyak yang cari perhatian apalagi lebih banyak lagi."Arya, apa benar kamu
"Iya, bund," jawabnya. Apa mereka saudara kandung? Tapi bukannya si Gendis bilang yatim piatu hidup sebatang kara."Itu siapa, mbak?" tanya bunda."Saudaranya Ana, cuma beda pemikiran dengan kami." Jadi mereka saudara. Astaga, untung aku belum buat kesepakatan."Maksudnya?" tanya bunda."Dia lebih senang hidup mandiri dan tidak bisa diatur, berbagai cara kami lakukan. Dia menentang ayahnya. Namun, mungkin sedang masa labil." Diih, kenapa dia bilang hidup sebatang kara. Benar-benar tu bocah."Kecerdasannya melebihi kecerdasn orang biasa, Nin. Dia memiliki IQ di atas rata-rata. Banyak yang bilang dia indigo. Tapi aku masih tetap percaya dia sama dengan yang lainnya. Masih normal," ucap om Gunawan."Dia lulusan S2 di Inggris. Pernah ikut akselerasi, kami sempat kewalahan dia buat. Gila buku, dan dia bertentangan dengan Ana." Lalu itu anak tujuannya ke perusahaan untuk apa?"Dia karyawan di kantor Shaka," jawabku.Bunda diam
Fix, kita NikahDiputuskan kami akan menikah hari minggu. Aku pulang dengan rasa yang tak menentu. Apa keputusanku ini benar. Apalagk ketika di taman rumahnya, si Gendis langsung menyerangku."Diih, ngebet banget pengen nikah," ucapnya meledekku."Bukannya kamu yang ngebet nikah denganku. Ada Arya juga yang jadi saksi kunci.""Awas aja si Arya tau aku nikah denganmu," ucapnya lagi."Aku kali yang gak pede denganmu," jawabku tak mau kalah."Bilang saja kamu mengkambing hitamkan aku karena ditolak sama kak Ana. Diih, cemen gitu jadi laki." Astagfirullah ini wanita."Siapa juga mau sama kamu yang penampilan sok kecakepan.""Wah, tuan Shaka ternyata begini ya, orangnya. Kalau mau nikah sama penampilan cari sana model atau artis ternama.""Gampang bagiku," jawabku lagi."Gampang-gampang , tapi gak laku-laku." Wah, ngajak perang ini orang."Ckck ... sepasang kekasih kok ribut. Tom and Jerry kalian." Siapa lagi yang nguping kalau bukan si Dokter itu. Benar-benar tidak jelas ini orang."Ckck
Setelah si Gendis berteriak dia dengan santainya kembali ke ruangannya."Ha, calon imamku?" tanya Arya."Maksud Gendis?" Si Arya terus bertanya membuat kepalaku mau pecah saja rasanya. Aku meninggalkan si Arya yang masih bingung. Biarkan saja si Arya berpikir keras dengan ucapan si Gendis.Ckck ... kelakuan si Gendis, sempat-sempatnya dia mengedipkan mata di meja kerjanya. Geli kurasa. Itu, sih, dia yang mau orang lain tahu. Lihat saja nanti kalau sudah sah kubuat makin tidak berkedip.Aku kembali ke ruangan dengan perasaan dongkol ke Gendis. Bikin tensi naik saja itu orang, sok cantik lagi. Pakai adegan jumpa fans dengan karyawan laki-laki. "Ciye calon imamku jan cemburu!" teriak si Arya, astaga itu anak. Pen ditabok kayaknya. Bahaya kalau si Arya tahu, bisa turun reputasiku sebagai pimpinan di kantor ini.Lagi jengkel, Monica menelpon lagi, pasti mau meledekku juga. Sejak kemarin Monica tak henti-hentinya meledekku. "Hai, hai, abangku yang sebentar lagi otewe nikah." Suaranya begi
POV AuthorSetelah menelpon Gendis, Shaka semakin tidak tenang. Monica juga tak kalah kagetnya mendengar penuturan Gendis yang minta mahar surat Ar Rahman. "Abang beneran hafal?" tanya Monica. Dia sangat khawatir melihat abangnya hapal atau tidak. Shaka hanya membalas dengan senyum kecut, semakin menambah deretan penasaran Monica. "Mengapa Monica?" tanya Reza yang melihat anak gadisnya panik."Kak Gendis minta Mahar surat Ar Rahman," jawab Monica."Ha? Apa juga?" tanya daddynya yang ikutan panik."Itu saja, katanya murah meriah. ""Abangmu setuju?" tanya Nina yang ikut nimbrung. Dia juga tak percaya apa anaknya hapal atau tidak. "Iya dia setuju, tapi kenapa Monica tidak yakin, ya," ucap Monica ragu.Setelah menelpon Gendis, Shaka langsung masuk kamar mengurung diri. Beberapa kali Monica, bundanya dan daddynya memanggil untuk sekedar makan, tapi Shaka tidak keluar. Semakin membuat tidak tenang keluarga Adytama.Sementara di rumah kediaman Atmadja, Gendis begitu bahagia karena meras
Setelah melafazkan surat Ar Rahman. Saatnya aku dipertemukan dengan Gendis. Jantungku berdegup dengan kencang tak menentu."Kami persilakan untuk mempelai wanita maju ke depan dalam penyerahan mahar dari mempelai laki-laki." Begitu MC memberi komando. Aku diminta untuk berdiri menunggu Gendis.Dengan senyum khasnya dia datang penuh anggun didampingi dengan Ana dan bundanya. Aku hampir tersandung melihat wajah ayunya yang begitu memesona. Namun, bukan Gendis namanya kalau tidak sedikit bar-bar. Si Arya sampai menutup mulut."Alamak ... jodoh tak terduga ini, mah," ucap si Arya meracau tidak jelas. Jangan tanya bagaimana debaran di hati ini. "Pengantinnya terlihat grogi, salaman dulu dengan suaminya," ucap salah satu tamu undangan. Entahlah kenapa aku begitu grogi. Dia pun juga hanya senyum-senyum. Pintar sekali dia akting."Silahkan mempelai wanita mencium tangan suaminya," kata MC mengarahkan. Astagfirullah, si Gendis pakai senyum-senyum segala. Aku yang salah tingkah dibuat.Dia me
Tak berselang lama kami sampai di rumah yang diberikan oleh daddy. Rumah mewah dikawasan elit. Aku pun baru tahu ini rumah pemberian daddy ketika aku menikah, selama ini mereka tidak pernah cerita mengenai ha ini. Irwan dengan sigap membantu kami keluar dari mobil. Lagi-lagi si Gendis, turun mengangkat gaunnya. Rumah konsep eropa yang begitu memesona. Siapa pun akan betah tinggal disini. Pelayan pun tak tanggung-tanggung daddy siapkan. "Selamat datang tuan muda dan istri, perkenalkan saya--bu Purwanti kepala pelayan di rumah ini," sambut bu Purwanti begitu sopan. "Terima kasih sambutannya bu Purwanti." Si Gendis dari jauh berjalan, dia kewalahan dengan gaun yang digunakan. "Abbaaang, tungguin dedek dong." Astaga panggilan apalagi itu. Dedek-dedek, geli aku dibuat. "Punya kaki, tangan, jalan sendiri." "Abang mah kagak mesra sama dedek," ucapnya lagi. Semua pelayan menutup mulut menahan tawa. Siapa coba yang tidak ketawa melihat tingkah si Gendis. "Kagak ada yang mau bantu," ucapk
POV ARVIANKali ini Aku merasa ada harapan melihat reaksi bunda yang mulai melirik ayah. Siapa yang tidak bahagia, setelah sekian lama harapan itu nampak di depan mata. Aku sama halnya dengan anak yang lain ingin orang tua yang utuh. Ingin keluarga bahagia yang tiap bangun tidur melihat mereka di depanku. "Kamu kenapa Arvian?" tanya Bani temanku yang biasa mendengar keluh kesahku."Doakan, ya, bunda dan ayahku bersatu lagi.""Bukannya daddy Aksenmu ada?" tanya Bani penasaran. "Mereka sudah lama pisah, Ban.""Semoga orang tuanmu bersatu lagi, Arvian.""Aamiin.""Kalau pun, tidak ada harapan aku harap kamu tetap jadi Arvian yang baik." Bani jauh lebih di atas tingkat dariku, dia sudah SMP. Namun, dia tidak mau dipanggil kakak. Bani adalah anak dari salah satu rekan dokter ayah.Aku bukan anak yang kuat, kadang Aku depresi melihat bagaimana teman-temanku bisa bahagia di usianya yang begitu indah. Main timezone dengan kedua orang tua lengkap, sementara Aku hanya bisa gigit jari melihat
Aku tak henti tersenyum hingga tak terasa kami sampai rumah. Benar-benar tidak bisa diprediksi itu orang. Bisa-bisanya dia berubah dalam sekejap. Dasar aneh!"Kamu kenapa, Nak? Wajahmu bersemu merah," ucap bunda. Wajah herannya tidak bisa disembunyikan."Mungkin dari pesan yang dibaca," balas daddy. Bisa-bisanya mereka ikut usil. Astagfirullaah Aku pun sendiri bingung dengan tingkah anehku."Apa, iya, dari Brayen? Bukannya tadi dia sedang berduka," sambung bunda lagi."Kamu kayak tidak tahu aja anak nakal itu, dia akan mengejar sampai dapat," balas daddy."Hooh, kayak abang, sih." Eh, kok mereka sekarang yang berdebat."Sudah sampai, Bund. Ayo kita masuk, Monica sudah lapar, apalagi lihat bunda dan Daddy berdebat makin buat Monica lapar." Mau bagaimana lagi, Daddy sama abang Brayen itu memiliki kemiripan. Itu tidak bisa dipungkiri jika mereka berdua susah ditebak.Aku hanya bisa menggelengkan kepala mengingat tingkah unik abang Brayen yang kurasa aneh. Entah mengapa jiwa usilku ngin
"Maksudnya?" tanya daddy memperjelas."Dokter Brayen baru saja menangani operasi besar, kemungkinan tidak mengaktifkan ponselnya," jawab dokter yang jaga di depan IGD."Syukurlah ...." Bunda ikut lega karena prasangka dari Arvian tidak benar.Sekarang aku yang panik karena ponselku terus bergetar karena pesan dari abang Brayen. Ya Allah, habis aku setelah ini."Arvian cari ayah dulu, Opa," kata Arvian."Iya, cucu eyang yang panikan," balas bunda. Dari masalah ini kami jadi paham jika Arvian selama ini menyimpan luka yang tidak kami sadari. Dia begitu menyanyangi ayahnya-Abang Brayen."Mon kamu mau kemana?" tanya bunda yang melihatku berbalik arah, sebenarnya mau kabur karena pesan yang kukirim pada abang Brayen pasti akan ditagih."Pulang, Bund.""Oh ....""Ayo kita pulang, biarkan Arvian bersama ayahnya," balas daddy."Abang tidak menemui anak nakalnya." Bunda ternyata iseng juga sama daddy. Melihat daddy salah tingkah membuat aku ikut tertawa juga. Lucu ekspresi daddy."Bunda iseng
"Maksudmu diantar Brayen?" tanya bunda dengan penuh senyuman. Kenapa bunda bahagia? Daddy juga tidak terlihat marah. Apa aku tidak salah lihat, sementara Arvian balik dan tidak berucap. Aneh kulihat oang-orang."Iya, Bund. Dia maksa mau antar pulang," balasku jujur."Tapi kamu mau," balas daddy menatapku."Dipaksa, Dad." "Bilang saja kamu bahagia diantar oleh si anak nakal itu," sambung daddy. Kenapa aku bahagia mendengar omelan daddy. Anak nakal itu seperti ungkapan kerinduan."Abang gak marah?" tanya bunda heran. Jangankan bunda, aku pun sangat heran."Kita sudah cukup tua untuk sakit hati, biarkan mereka yang menentukan apa yang terbaik bagi mereka." Ha? Apa aku gak salah dengar daddy Reza mengatakan hal tersebut."Wow, menyala abang Reza," sahut bunda. Ada yang menghangat di hatiku, ini tidak mimpi 'kan? semua seperti mendukung kami bersama."Jangan senyum-senyum sendiri, Mon," sambung daddy.Tu kan, semua isi pikiranku hanyalah khayalan semata. Aku tetap sadar diri agar tidak te
Ternyata abang Brayen tidak mau menyerah, dia mengikutiku dari belakang. Tanpa ragu dia bahkan menarik tanganku ke mobilnya. Aku yang ingin melepas diri, kalah dengan tangannya yang begitu kekar. "Biar nanti mobilnya diantar pak sopir saja," katanya enteng."Apa semua wanita begini menyusahkan," katanya lagi. Dia nampak sebal melihat Nugroho mendekatiku. Wajah cemburunya tidak bisa di sembunyikan."Mau kemana?" tanyaku spontan."Aku antar pulang, Daddy sudah menunggumu sejak tadi.""Maksudnya?" apa benar daddy menungguku. Darimana dia tahu. Bisa saja ini hanya akal-akalanya saja agar bisa mendekatiku."Kenapa heran begitu, bukannya kami berdua sama-sama tukang intip," balasnya sambil terkekeh.Dengan santainya dia menyetir, aku dibuat bingung sendiri dengan tingkahnya. Walau entah mengapa ada yang terasa hangat di hatiku. "Singkirkan pikiranmu bisa mencari laki-laki yang lain selain aku," katanya lagi. Kali ini nada bicaranya lebih intens. Ada ketegangan di wajahnya seperti sangat s
Dia terus menatapku membuatku salah tingkah. Dengan entengnya dia minum kopi yang aku pesan. Benar-benar meresahkan. Aku hanya bisa menunduk, tidak berani menatap wajahnya."Sejak kapan dokter Monica bisa minum kopi?" tanyanya lagi. Aku hanya bisa menunduk, tak kuat hanya sekedar memandangnya. Apa rasa ini tumbuh kembali? Mengingat dia jauh lebih fresh, serta hidupnya kulihat lebih teratur."Kenapa tidak berani memandangku?" tanyanya dengan santai. Cemilan yang bahkan kupesan ikut serta dia makan. Aku terus menarik napas agar bisa mengendalikan diri."Apa kerjaan dokter yang dikatakan hebat ini suka ngintip?" tanyaku. Aku tak mau kalah."Kalau bisa aku akan mengintipmu setiap saat, Sayang." Duh, kenapa dia menatapku seperti itu.Aku bangkit dan beranjak dari tempat duduk, tapi abang Brayen langsung menahanku. Mata kami beradu, dia bahkan menatapku dengan lekat."Mau kemana?" tanyanya."Mau kembali ke rumah sakit, gara-gara kalian hidupku tidak tenang, tidak daddy, anda pun demikian.
"Apa tidak salah dokter mau bekerja sama dengan hospital group, mengingat Perusahaan Adytama salah satu perusahaan terbesar di kota ini.""Tidak masalah, Bu. Yang punya kan daddy saya, sementara saya baru merintis." "Oh, baiklah."Ini bukan sekali dua kali ketika pertemuan mereka terlihat heran, tapi sebenarnya aku sengaja membuka identitasku di depan dokter Ika karena aku melihat dia membuka identitasnya waktu berkenalan. Sebagai pembisnis daddy selalu mengajarkan untuk tidak boleh terlihat lemah. Apalagi seperti orang yang heran dengan kekayaan atau kesuksesan orang lain, meski kita terlihat sederhana, tetapi harus tetap untuk menjaga pembawaan diri agar disegani oleh rival. Ini yang aku pegang, ketika menemukan sosok seperti dokter Ika, maka aku pun tidak boleh menunjukkan kelemahan di hadapan dia."Mari kita mulai, Dok," sambungnya.Setelah panjang lebar kami berkomunikasi akhirnya kami menemukan kesimpulan. Kami juga sepakat membangun kerja sama kedepannya. Fokus dengan tujuan,
Semalaman aku berpikir keras, amarah daddy masih nampak jelas di depanku. Kurasa itu sangat wajar, orang tua mana yang mau melihat anaknya susah untuk kedua kalinya. Aku pun heran bahkan sekian tahun berganti mengapa harus dia? Mengapa dia masih bertahta padahal kesalahannya begitu fatal. Harusnya aku menyadari bahwa dinding diantara kami begitu tinggi dan kokoh, bahkan aku sadar di kehidupan kedua pun tak ada yang merestui hubungan kami. "Monica, bunda boleh masuk?" tanya bunda yang sedang mengetuk pintu kamarku. "Boleh, Bund. Monica tidak menguncinya."Bunda masuk lalu mengajakku bicara, nampak sekali bunda terlihat cemas melihatku. Apakah aku terus yang akan membuat hatinya terluka? Tanpa berbicara pun, bunda paham dengan apa yang aku rasakan. "Apa ucapan daddy mengganggumu?" tanya bunda. "Gak, Bund. Menurutku itu hal wajar sebagai orang tua. Aku pun sebagai orang tua akan bersikap demikian jika membuat hati anakku sakit.""Apa susah bagimu melupakan cinta pertamamu?" tanya b
Ada hangat dalam hati ini yang tak bisa dilukiskan dengan kata-kata, setidaknya aku punya harapan bersamanya lagi tanpa merebut dia dari Aksen. Setitik asa mulai terlihat untuk mengulang kembali di masa depan bersamanya. Wajahnya bahkan senyumnya begitu candu bagiku. Aku rasa ini yang dinamakan cinta yang berbalik padaku, wanita yang pernah menjadi adik angkatku itu membuat hidupku berubah drastis. Apa aku serakah dengan perasaan ini? Walau jujur aku bahagia bisa melihatnya lebih dekat tanpa takut dia milik orang lain."Kenapa melamun begitu?" tanya Aksen tiba-tiba sudah ada di rumah sakit.Dia memang laki-laki tak terduga, kadang aku berpikir kenapa ada laki-laki sebaik dia. Meski aku pernah berkelahi dengannya tak sedikit pun dia membalas, dia justru selalu membantuku dalam diam. Hatinya seluas samudera yang kadang membuatku malu sendiri. Walau jujur aku heran dia belum memiliki keturunan bersama Monica."Sejak kapan di Indo?" tanyaku balik."Sudah seminggu ini," balasnya."Kenapa