"Iya, bund," jawabnya. Apa mereka saudara kandung? Tapi bukannya si Gendis bilang yatim piatu hidup sebatang kara."Itu siapa, mbak?" tanya bunda."Saudaranya Ana, cuma beda pemikiran dengan kami." Jadi mereka saudara. Astaga, untung aku belum buat kesepakatan."Maksudnya?" tanya bunda."Dia lebih senang hidup mandiri dan tidak bisa diatur, berbagai cara kami lakukan. Dia menentang ayahnya. Namun, mungkin sedang masa labil." Diih, kenapa dia bilang hidup sebatang kara. Benar-benar tu bocah."Kecerdasannya melebihi kecerdasn orang biasa, Nin. Dia memiliki IQ di atas rata-rata. Banyak yang bilang dia indigo. Tapi aku masih tetap percaya dia sama dengan yang lainnya. Masih normal," ucap om Gunawan."Dia lulusan S2 di Inggris. Pernah ikut akselerasi, kami sempat kewalahan dia buat. Gila buku, dan dia bertentangan dengan Ana." Lalu itu anak tujuannya ke perusahaan untuk apa?"Dia karyawan di kantor Shaka," jawabku.Bunda diam
Fix, kita NikahDiputuskan kami akan menikah hari minggu. Aku pulang dengan rasa yang tak menentu. Apa keputusanku ini benar. Apalagk ketika di taman rumahnya, si Gendis langsung menyerangku."Diih, ngebet banget pengen nikah," ucapnya meledekku."Bukannya kamu yang ngebet nikah denganku. Ada Arya juga yang jadi saksi kunci.""Awas aja si Arya tau aku nikah denganmu," ucapnya lagi."Aku kali yang gak pede denganmu," jawabku tak mau kalah."Bilang saja kamu mengkambing hitamkan aku karena ditolak sama kak Ana. Diih, cemen gitu jadi laki." Astagfirullah ini wanita."Siapa juga mau sama kamu yang penampilan sok kecakepan.""Wah, tuan Shaka ternyata begini ya, orangnya. Kalau mau nikah sama penampilan cari sana model atau artis ternama.""Gampang bagiku," jawabku lagi."Gampang-gampang , tapi gak laku-laku." Wah, ngajak perang ini orang."Ckck ... sepasang kekasih kok ribut. Tom and Jerry kalian." Siapa lagi yang nguping kalau bukan si Dokter itu. Benar-benar tidak jelas ini orang."Ckck
Setelah si Gendis berteriak dia dengan santainya kembali ke ruangannya."Ha, calon imamku?" tanya Arya."Maksud Gendis?" Si Arya terus bertanya membuat kepalaku mau pecah saja rasanya. Aku meninggalkan si Arya yang masih bingung. Biarkan saja si Arya berpikir keras dengan ucapan si Gendis.Ckck ... kelakuan si Gendis, sempat-sempatnya dia mengedipkan mata di meja kerjanya. Geli kurasa. Itu, sih, dia yang mau orang lain tahu. Lihat saja nanti kalau sudah sah kubuat makin tidak berkedip.Aku kembali ke ruangan dengan perasaan dongkol ke Gendis. Bikin tensi naik saja itu orang, sok cantik lagi. Pakai adegan jumpa fans dengan karyawan laki-laki. "Ciye calon imamku jan cemburu!" teriak si Arya, astaga itu anak. Pen ditabok kayaknya. Bahaya kalau si Arya tahu, bisa turun reputasiku sebagai pimpinan di kantor ini.Lagi jengkel, Monica menelpon lagi, pasti mau meledekku juga. Sejak kemarin Monica tak henti-hentinya meledekku. "Hai, hai, abangku yang sebentar lagi otewe nikah." Suaranya begi
POV AuthorSetelah menelpon Gendis, Shaka semakin tidak tenang. Monica juga tak kalah kagetnya mendengar penuturan Gendis yang minta mahar surat Ar Rahman. "Abang beneran hafal?" tanya Monica. Dia sangat khawatir melihat abangnya hapal atau tidak. Shaka hanya membalas dengan senyum kecut, semakin menambah deretan penasaran Monica. "Mengapa Monica?" tanya Reza yang melihat anak gadisnya panik."Kak Gendis minta Mahar surat Ar Rahman," jawab Monica."Ha? Apa juga?" tanya daddynya yang ikutan panik."Itu saja, katanya murah meriah. ""Abangmu setuju?" tanya Nina yang ikut nimbrung. Dia juga tak percaya apa anaknya hapal atau tidak. "Iya dia setuju, tapi kenapa Monica tidak yakin, ya," ucap Monica ragu.Setelah menelpon Gendis, Shaka langsung masuk kamar mengurung diri. Beberapa kali Monica, bundanya dan daddynya memanggil untuk sekedar makan, tapi Shaka tidak keluar. Semakin membuat tidak tenang keluarga Adytama.Sementara di rumah kediaman Atmadja, Gendis begitu bahagia karena meras
Setelah melafazkan surat Ar Rahman. Saatnya aku dipertemukan dengan Gendis. Jantungku berdegup dengan kencang tak menentu."Kami persilakan untuk mempelai wanita maju ke depan dalam penyerahan mahar dari mempelai laki-laki." Begitu MC memberi komando. Aku diminta untuk berdiri menunggu Gendis.Dengan senyum khasnya dia datang penuh anggun didampingi dengan Ana dan bundanya. Aku hampir tersandung melihat wajah ayunya yang begitu memesona. Namun, bukan Gendis namanya kalau tidak sedikit bar-bar. Si Arya sampai menutup mulut."Alamak ... jodoh tak terduga ini, mah," ucap si Arya meracau tidak jelas. Jangan tanya bagaimana debaran di hati ini. "Pengantinnya terlihat grogi, salaman dulu dengan suaminya," ucap salah satu tamu undangan. Entahlah kenapa aku begitu grogi. Dia pun juga hanya senyum-senyum. Pintar sekali dia akting."Silahkan mempelai wanita mencium tangan suaminya," kata MC mengarahkan. Astagfirullah, si Gendis pakai senyum-senyum segala. Aku yang salah tingkah dibuat.Dia me
Tak berselang lama kami sampai di rumah yang diberikan oleh daddy. Rumah mewah dikawasan elit. Aku pun baru tahu ini rumah pemberian daddy ketika aku menikah, selama ini mereka tidak pernah cerita mengenai ha ini. Irwan dengan sigap membantu kami keluar dari mobil. Lagi-lagi si Gendis, turun mengangkat gaunnya. Rumah konsep eropa yang begitu memesona. Siapa pun akan betah tinggal disini. Pelayan pun tak tanggung-tanggung daddy siapkan. "Selamat datang tuan muda dan istri, perkenalkan saya--bu Purwanti kepala pelayan di rumah ini," sambut bu Purwanti begitu sopan. "Terima kasih sambutannya bu Purwanti." Si Gendis dari jauh berjalan, dia kewalahan dengan gaun yang digunakan. "Abbaaang, tungguin dedek dong." Astaga panggilan apalagi itu. Dedek-dedek, geli aku dibuat. "Punya kaki, tangan, jalan sendiri." "Abang mah kagak mesra sama dedek," ucapnya lagi. Semua pelayan menutup mulut menahan tawa. Siapa coba yang tidak ketawa melihat tingkah si Gendis. "Kagak ada yang mau bantu," ucapk
Entah mengapa setelah adegan ciuman yang spontan membuatku malu untuk ke kamar. Daripada aku kedinginan di luar, lebih baik aku langsung masuk kamar. Si Gendis bersiap tidur, bajunya pun sudah diganti. Dengan mengendap aku masuk kamar biar tidak ketahuan oleh si Gendis."Diam, jangan bergerak!" teriaknya. Astaga itu anak, aku jadi ketahuan."Abaang tidur di shofa, aku sendiri di kasur ini," ucapnya."Balik badan!" titahnya lagi.Diih, itu anak sudah persis pemimpin upacara ketika apel bendera. "Siapa juga mau tidur sama kamu, bawel," ucapku lagi.Aku langsung membuka bajuku karena kegerahan. "Eh, enak saja buka baju didepanku," ucapnya sambil menutup mata."Kenapa? Terpesona sayang?" tanyaku lagi." "Siapa juga terpesona denganmu, bwang." "Kita sudah halal sayang, sah lahir dan bathin." Si Gendis mundur teratur. Hahaha ... bisa takut juga ini bocah.Kucari bajuku terlebih dahulu, tanpa maku aku membukanya di depan Gendis. Biar saja ini bocah dikerjain. Sedang mengganti pakaian. Te
"Bye bye sayangkuh, tunggu kami datang." Bunda mengakhiri telponnya. Ini sih emak-emak meresahkan. "Dingin tau keramas, kamu aja yang keramas. Aku kan pakai jilbab." Si Gendis membela diri."Terserah maumu, lah. Pusing pala," jawabku."Diih, ngarep pasti 'kan aku ikut keramas.""Jangan salahkan aku jika bundamu minta buka jilbab. Hm?" Aku tak mau kalah. Dia mendelik, biarkan saja.Pernikahan macam apa ini, tiap saat mumet rasanya.Aku langsung mengambil air wudu, sejak kecil bunda selalu mendidik kami untuk tidak melewatkan salat malam. Aku pun melihat si Gendis juga mencari mukenahnya. Lumayan, lah, dia punya kebiasaan baik untuk melaksanakan salat malam.Azan berkumandang, saatnya salat subuh."Gak ke masjid?" tanyanya kalem. Entah mengapa aku grogi kalau dia berubah jadi lembut."Aku belum tau lokasi masjid terdekat disini, nanti aku coba keluar untuk mencari posisinya.""Sip, laki-laki sebaiknya salat di masjid." Aduh, kenapa dia berubah jadi manis begini. Bikin hati aduhai dib
Reza dilarikan ke rumah sakit karena ternyata Reza lemas dan mengalami sesak nafas. Kemungkinan yang terjadi karena Reza sempat emosi dan kepikiran Monica sehingga jantungnya kumat."Daddy kenapa, Bund.""Tiba-tiba lemas, padahal paginya daddy segar sekali.""Nafasnya naik turun, ya Allah bunda takut daddymu kenapa-kenapa." Nina menangis dipelukan Shaka. Monica yang mengira hanya chek up biasa ikut panik ketika dikabari abangnya jika Reza masuk ICU. Reza sampai tidak sadarkan diri menambah deretan kepanikan keluarganya."Bukannya tadi bunda bilang hanya chek up saja.""Iya, ternyata daddy lemas untung segera dilarikan ke rumah sakit.""Ya Allah Monica kira tidak separah ini." Terdengar suara serak Monica yang menangis mendengar Reza tidak sadarkan diri."Abang Brayen sudah menuju ke sana.""Iya, Dek. Kamu cepat ke sini," ucap Shaka yang meminta Monica langsung ke rumah sakit. Sementara Brayen shock melihat keadaan Reza, bayangan bersama ketika kecil membuat hati Brayen terenyuh dadd
Misiku kali ini bukan lagi untuk bersatu dengan abang Brayen, tapi memikirkan bagaimana agar abang Brayen bersama daddy seperti dulu lagi. Terkadang kita dipaksa kuat oleh keadaan dan dibuat ikhlas oleh kenyataan, jadi pandai-pandailah menjaga perasaan kita sendiri, karena disaat kita terpuruk, susah dan sedih tidak semua orang akan peduli. “Ikuti saja kata bunda, Dek. Sejauh mana kamu melangkah jika dia jodohmu pasti dia akan kembali mengejarmu.”“Iya, Bang.”“Abang yakin kamu bisa melewatinya, Dek. Demi daddy,” kata abang Shaka.“Makasih, Bang. Demi kalian semua.”Segala sesuatu itu pasti ada hikmahnya. sakitnya daddy pasti jalan agar abang Brayen dan daddy bersatu kembali. Aku juga harus sadar jika usia daddy tidak muda lagi. Aku mau daddy di hari tuanya bahagia tanpa beban."Belajar untuk tidak terlalu berharap kepada siapapun kecuali Allah, karena harapan yang berlebihan kepada manusia hanya akan menyakiti perasaanmu sendiri," ucap ababg Shaka memberi nasehat. "Saatnya kamu le
Reza kembali kumat, ternyata selama ini Reza ada riwayat jantung sehingga harus dikontrol minum obat setiap hari. Nina pun sadar semakin hari usia mereka sudah tidak muda lagi sehingga gampang sekali terkena penyakit.“Kasitahu anak-anak, Bang, kalau jantungmu sedang tidak baik-baik saja,” kata Nina pada Reza yang terbaring. Nina sadar semenjak Monica gagal menikah lagi, suaminya–Reza sering sakit-sakitan. Dia merasa gagal sebagai orang tua.“Bang, coba diubah pola pikirnya bahwa tidak semua keinginan kita selalu sejalan.”“Iya, Sayang. Daddy baik-baik saja, Bund.”“Baik-baik bagaimana, kata dokter abang harus berobat intensif.” “Tenang saja, Bund. Semua pasti baik-baik saja,” kata Reza. Jauh dari lubuk hatinya sebenarnya dia menginginkan yang terbaik bagi anak-anaknya. Shaka sudah bahagia dengan Gendhis. Sementara Monica masih dilema.“Apa abang memikirkan Monica?” tanya Nina. Dia penasaran akhir-akhir ini suaminya lebih pendiam.“Jangan dipendam, salah satu sumber penyakit adalah
Aku duduk ikut bergabung bersama daddy dan abang Brayen. Walau jujur tanganku gemetar melihat reaksi daddy, sementara abang Brayen tetap santai. “Monica yang memintaku dad, untuk datang menemui daddy. Dia memang tidak sabaran,” katanya begitu renyah. Astagfirullah itu orang benar-benar enteng berucap. Aku langsung melotot tak percaya, eh dia justru senyum-senyum tidak jelas melihatku.“Tanpa diminta pun aku akan tetap menemui daddy,” sambungnya lagi.“Aku tidak bisa hidup tanpa Monica dan Arvian, Dad.”“Paling kamu cuma modus anak nakal!” daddy langsung to the point. Aku kira abang Brayen akan marah ternyata dia tertawa melihat reaksi daddy. Dia memang orang yang sulit untuk ditebak.“Aku serius, Dad. Monica dan Arvian adalah hidupku. Rasanya hari-hari begitu sulit tanpa mereka.” Aku hanya menunduk ketika abang Brayen berucap demikian. Sepertinya kupu-kupu mulai berterbangan. Rasanya malu sekali, apalagi lirikan matanya yang membuat wajah ini tersipu malu.“Luka yang kamu buat begitu
Sampai rumah, daddy dan bunda menunggu di teras. Di mata mereka aku masih gadis kecil, yang jika setiap keluar rumah terlalu lama mereka pasti menungguku. Begitulah orang tua, selalu tersisa rasa yang sama, meski berkali-kali pernah terluka.“Apa Monica terlalu lama?” tanyaku padanya. Tak lupa pelukan hangat dari daddy yang selalu panik jika aku keluar terlalu lama.“Anaknya bukan anak kecil, Bang,” ucap bunda yang tak berhenti tersenyum.“Iya, bukan anak kecil, tapi kadang bikin panik dengan tingkahnya,” jawab daddy. Aku langsung memeluknya, percayalah semakin tua, orang tua pasti lebih protektif pada anaknya.“Apa Arvian bahagia?” tanya daddy. Aku mengangguk.“Syukurlah ….”“Dad ….”“Kenapa?” tanyanya.“Apa daddy merestui jika aku dan abang Brayen bersama lagi?” Daddy diam, sekarang aku yang canggung. Kebahagiaan yang tadi berubah menjadi rasa tidak nyaman.“Apa dia bisa menjamin berubah, sementara sampai detik ini daddy tidak melihat kesungguhannya.”Sekarang aku yang diam. “Jang
Berkali- kali aku menghapus air mata sedih dan bahagia tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Aku bahagia melihat senyumannya yang tak henti. Sesekali dia memandangku meski terjeda karena fokus menyetir.“Jangan mengatakan apa-apa lagi, jawabanmu membuatku tidak mau kamu mengucapkan hal yang aneh lagi.”“Tulis di sini biar aku akan tempel di sudut kamarku. Apakah kamu menerimaku atau tidak,” balasnya lagi. Dia memberikanku polpen dan selembar kertas, dia niat sekali membuatku tersipu malu. Pernyataannya bahkan seperti tahu jawabannya aku menerimanya kembali. Dasar tuan arogan.“Tulislah apa kamu menerimaku. Karena ini sangat penting bagi hidupku,” sambungnya lagi.“Anda terlalu pede tuan.”Aku langsung menyimpan di dalam tas. Dia mirip dengan daddy, dia pasti akan memaksa aku menjawab sesuai dengan maunya. Laki-laki jika ada maunya dia akan memaksa, tapi kalau sudah dapat apa yang dia mau, tak sedikit yang terkesan cuek.“Kenapa di simpan?”“Nanti pas pulang aku berikan,” balasku. Wa
"Bunda ...." Arvian memanggilku. Cepat sekali anak ini sampai padahal baru saja ayahnya menelponku. Apa sebenarnya mereka ada di sekitar sini."Hai, jagoan. Sama siapa ke sini?” tanya daddy menghampiri langsung Arvian."Sama ayah, Opa. Tapi dia menunggu di luar,” balas Arvian jujur. Apa abang Brayen yang mengajarkan Arvian untuk jujur.Daddy seketika diam. Bunda pun langsung memecahkan suasana agar tidak terlihat canggung. Aku hanya bisa menghela napas dalam-dalam, takut jika daddy kambuh lagi dengan tidak menginginkan kami kembali."Bersiaplah, Mon,” ujar bunda.Meski ragu, aku pun bersiap untuk berangkat dengan Arvian. Layaknya anak muda yang mau ketemuan aku sampai bingung menggunakan baju yang mana. Astagfirullah, kelakuanku makin aneh seperti abege labil. "Mon, lama sekali, kasihan Arvian lama menunggu." Bunda tiba-tiba datang ke kamar. Baru terasa malunya. Ada-ada saja kelakuanku yang makin aneh ini."Kamu kek anak muda saja, Mon. Milih baju saja lama sekali,” ledek Bunda."Haha
Beharap untk kembali Aku dilema bukan karena tidak ingin menerima abang Brayen kembali, tetapi ada rasa trauma takut merasakan kekecewaan lagi. Manusiawi kurasa jika Aku tidak mau kecewa lagi untuk kedua kalinya."Bund, apa Aku harus menerima abang Brayen lagi?" tanyaku pada bunda yang sedang duduk merawat tanamannya. Aku merasa hidup bunda Lebih baik dibanding denganku. Hidupnya tenang di masa tuanya, sementara aku seperti mencari kepastian."Perasaan Monica bagaimana?" tanya bunda."Dilema, Bund. Apa kesempatan kedua itu memang benar adanya?""Jangan pernah mendahului takdir sayang, jika kamu yakin kembalilah bersamanya. Namun, apabila kamu ragu mintalah pada sang pemberi harap yang tidak pernah membuat hambanya kecewa," balas bunda.Entah mengapa setetes bening jatuh di pipiku, dengan banyak hal yang telah kulalui rasanya tidak mudah sampai di titik ini."Dan mintalah restu pada daddymu, barangkali dengan keikhlasannya bisa membuatmu semakin yakin," sambung bunda memberiku nasihat
POV ARVIANKali ini Aku merasa ada harapan melihat reaksi bunda yang mulai melirik ayah. Siapa yang tidak bahagia, setelah sekian lama harapan itu nampak di depan mata. Aku sama halnya dengan anak yang lain ingin orang tua yang utuh. Ingin keluarga bahagia yang tiap bangun tidur melihat mereka di depanku. "Kamu kenapa Arvian?" tanya Bani temanku yang biasa mendengar keluh kesahku."Doakan, ya, bunda dan ayahku bersatu lagi.""Bukannya daddy Aksenmu ada?" tanya Bani penasaran. "Mereka sudah lama pisah, Ban.""Semoga orang tuanmu bersatu lagi, Arvian.""Aamiin.""Kalau pun, tidak ada harapan aku harap kamu tetap jadi Arvian yang baik." Bani jauh lebih di atas tingkat dariku, dia sudah SMP. Namun, dia tidak mau dipanggil kakak. Bani adalah anak dari salah satu rekan dokter ayah.Aku bukan anak yang kuat, kadang Aku depresi melihat bagaimana teman-temanku bisa bahagia di usianya yang begitu indah. Main timezone dengan kedua orang tua lengkap, sementara Aku hanya bisa gigit jari melihat