Kami sarapan berlima, si Gendis tak henti memegang tanganku. Entah apa yang dipikirkan sampai tidak mau lepas dariku."Rani, lepas tangan suaminya, takut sekali berjauhan.""Zaman sekarang pelakor dimana-mana bunda, tidak melihat teman atau saudara," jawabnya membalas bundanya. Benar-benar si Gendis, tak lupa dia memandang kakaknya dengan tajam."Mbak Ana kenapa memandangku begitu?" tanyanya. "Memangnya gak boleh, adikku sayang?" tanyanya balik."Gak boleh, mbak. Karena mbak bukan memandangku, tapi memandang suamiku," bisiknya. Aku juga merasa heran mengapa Ana memandangku sangat aneh. Aku dibuat salah tingkah dengan tatapannya.Daddy dan om Gunawan ikut bergabung. Terasa sekali kekeluargaannya meski aku risih karena Ana memandangku terus menerus. "Jaga pandangan, Bwang," bisik si Gendis."Santai saja, jangan cemburu begitu. Aku sudah ditolak kakakmu maka pantang bagiku luluh kembali.""Jangan sangka, dia punya pesona. Ana Chairunnisa itu dari dulu banyak yang suka," bisiknya kemba
Dia diam, lalu menatapku sebentar."Maafkan aku." Hanya itu yang diucapkan. Setelah itu mood bulan madu pun rusak. Meski begitu aku tetap berkemas tanpa banyak kata yang keluar dari mulutku. Mungkin selama ini dia bebas melakukan apa yang diinginkan tanpa musyawarah terlebih dahulu. Kalau aku jelas beda, semua selalu kudiskusikan dengan bunda dan daddy. Kulihat dia pun berkemas, dari awal memang pernikahan ini terkesan dipaksakan mau seperti apa pun tetap hati kami yang bergejolak. Irwan sudah menyiapkan mobil untuk kami bulan madu, kami memilih di puncak. Lebih tepatnya pilihan Gendis yang menginginkan di puncak. Kata bunda, dulu om Gunawan sangat mencintai bunda, tapi jodoh mereka yang tak sampai. Aku seperti merasa ini hukuman untukku. Hukuman hatiku yang seperti dijerat dengan anaknya om Gunawan."Lagi sakit gigi, bang?" tanyanya. "Hm." Aku hanya menjawabnya dengan deheman. "Atau lagi sariawan." Astaga, ini anak, dia pakai adegan mencubit agar memastikan."Bilang, dong. Bagaim
Gendis mundur teratur, aku langsung memegang tangannya. Wajahnya terlihat tidak tenang. Bisa gemetar juga ini anak."Ambil jilbab, bunda nelpon," ucapku. Dia hanya mengangguk dan langsung mengambil jilbabnya untuk video call dengan bunda. Dia masih canggung ketika kembali mendekatiku, terlihat sekali dengan auranya yang beda. Aku jadi kasihan melihatnya."Kita ini suami istri jadi biasa saja, jangan canggung gitu," ucapku lagi. "Kamu membuatku takut.""Aku bukan monster, aku kesini karena bunda ingin memastikan apakah kita sekamar atau tidak.""Iya, aku paham itu.""Mendekatlah ... aku suamimu." Tak berselang lama Bunda menelpon lagi, aku menarik tangannya membuat posisi kami semakin dekat. Gendis masih canggung dan takut berada di sampingku."Bunda nelpon." Lagi, dia hanya mengangguk, apa dia grogi berada di dekatku. "Assalamualaikum, Shaka.""Waalaikumsalam, Bunda.""Mana menantu bunda?" tanyanya. Entah mengapa bunda penasaran aku sekamar atau tidak dengan Gendis."Ini, Bund." A
"Tidurlah, aku tidak akan memaksamu," ucapku dengan lembut membelai jilbabnya. Kadang kita harus melihat kesanggupan dari pasangan yang baru kita nikahi tanpa memaksanya.Untuk pertama kalinya kami tidur bersama meski kami belum melakukan ibadah sepasang suami istri. Mulai saat ini aku akan belajar memahaminya, belajar mengerti akan dirinya selayaknya pasangan suami istri lainnya. "Siapa laki-laki yang menunggu jawabanmu?" tanyaku lagi. Entah mengapa aku begitu penasaran."Dia anak keturunan Ningrat yang banyak aturannya.""Apa karena itu kamu tidak berani menjawabnya.""Iya, karena dia banyak aturan yang tentunya tidak mudah bagiku untuk mengikutinya." Suasana hening. "Apa kamu sebebas itu?""Tidak, aku punya prinsip dan hidupku penuh dendam," jawabnya enteng. Dendam? Kenapa dia begitu mudah mengucapkannya."Dengan siapa kamu dendam?" "Dengan orang tuaku yang selalu membela kakakku." Astagfirullah. Maksudnya?"Itu mungkin hanya pradugamu saja.""Bahkan abang membela mereka. Aku se
Kami tidur dalam keheningan. Kurasa Gendis memang sedang mengalami masalah yang tidak biasa di keluarganya. Namun, aku akan bicara pelan-pelan dengannya. "Bolehkah aku memelukmu, Bang?" tanyanya. Aku langsung mengangguk dan menerima pelukannya. Kurasakan dia memang mengalami masalah yang serius."Terasa sangat menenangkan," ucapnya. Bulir air matanya jatuh begitu saja. Jujur, aku masih belum percaya jika om Gunawan dan aunty Fatia begitu membedakan Gendis dan Ana."Bang, sebenarnya aku ingin tes DNA dengan ayah dan bundaku. Kurasa aku bukan anak kandungnya." Aku mengelus rambut Gendis ditengah isaknya. Ini masih diluar kendaliku jika selama ini Gendis begitu dibedakan di keluarganya."Kenapa kamu berfikir begitu?" tanyaku balik."Karena tidak ada orang tua yang setega ini," balasnya. Iya, benar, tidak ada setega ini. Aku jadi penasaran dibuat. Namun, bukannya diijab qobul kami, Gendis jelas anaknya karena menggunakan binti Gunawan."Kurasa kamu darah dagingnya om Gunawan, karena kema
Ana masih tetap berdiri menatap kami, apa sebenarnya yang Ana pikirkan? Bukannya dengan tegas dia menolakku tanpa memberiku kesempatan."Bolehkah aku ikut makan bebek?" tanyanya."Apa mbak tidak tau istilah bulan madu pengantin?" tanyaku lagi. Dia hanya diam, sementara Gendis memegang erat tanganku seperti memberi kode bahwa dia pun tak mau diganggu."Apa tidak boleh seorang kakak mendampingi adiknya hanya sekedar makan?" Dia ikut membalas pertanyaanku. Dia memang pintar berargumen."Untuk kali ini aku sebagai adik tidak menginginkan kehadiran kakak disini," jawab Gendis dengan tegas."Bukannya kamu selalu mengalah untuk mbak?" Dia masih belum menyerah."Kali ini aku bukan Rani yang mbak kenal!""Rani!" teriak seseorang memanggil Gendis, siapa lagi kalau bukan om Gunawan. Gendis langsung menarik napas dalam-dalam."Kakakmu jauh-jauh datang ingin melihat kalian." Gendis hanya diam."Untuk kali ini om, sebaiknya aku dukung istriku karena kami butuh privasi untuk berdua. Jika om sama m
Aku menarik tangan Gendis agar segera berkemas untuk pulang. Rasanya berlama-lama disini tak ada artinya. Tak peduli dengan kondisi Ana yang sedang diperiksa dengan ayah dan dokter Rayyandra, kami pulang tanpa pamitan."Ayo kita pulang, sayang," ajakku. Gendis tidak memberontak. Dia mengikutiku tanpa protes.Selama perjalanan menuju kamar, kami hanya diam, Gendis terlihat murung, air matanya turun tanpa diminta."Jangan menangisi sesuatu yang merugikanmu, Dik.""Aku justru takut, Bang," balasnya."Takut apa?" tanyaku."Takut jika abang kasihan padanya dan lebih memihaknya.""Sekali lagi abang katakan, jangan menangisi sesuatu yang tidak pasti, fokus terhadap apa yang di depan mata."Entah apa yang terjadi dengan pernikahan Om Gunawan dengan aunty Fatia hingga dia seperti ini. Aku justru kasihan dengan Gendis yang sejak kecil sudah menjadi orang yang terbuang. ****Kami pulang dengan perasaan lebih tenang. Tak menyangka ada bunda, Daddy dan Monica yang menunggu kami."Akhirnya pengant
Pagi menyapa, kulihat jam dinding kamar kami menunjukkan pukul tiga pagi. Kupandang istriku yang luar biasa ini. Dibalik bae-bar, pecicilannya dia mampu mengatasi semua masalah yang ada pada dirinya."Abang sudah bangun?" tanyanya tiba-tiba. "Sudah," jawabku."Jangan natap gitu, malu aku," balasnya. Aku justru mencubit hidungnya. Lucu kulihat."Aku mandi dulu, ya. Yang ini beneran keramas," sambungnya membalas cubitan di hidungku. Rasanya aku ingin menerkamnya lagi. Karena usil kukejar dia sampai kamar mandi, Gendis juatru berlari mengejekku. Kami sudah seperti bocil kasmaran."Eh, Abang mau ngapain lagi?" tanyanya."Mau menerkammu," jawabku tak kalah usil."Diih, Bang. Masih perih tahu bekas tadi malam.""Kagak ngaruh pada pengantin baru.""Eh, abang-abangan pecicilan ini mah." Dia terus mundur menjauhiku.Namun, aku tak kalah akal kukejar lalu menangkapnya. Kami persis seperti adegan bucin drama korea. Duuh, kenapa aku jadi alay seperti ini."Lepas, Bang!""Makanya jangan nakal j
Reza dilarikan ke rumah sakit karena ternyata Reza lemas dan mengalami sesak nafas. Kemungkinan yang terjadi karena Reza sempat emosi dan kepikiran Monica sehingga jantungnya kumat."Daddy kenapa, Bund.""Tiba-tiba lemas, padahal paginya daddy segar sekali.""Nafasnya naik turun, ya Allah bunda takut daddymu kenapa-kenapa." Nina menangis dipelukan Shaka. Monica yang mengira hanya chek up biasa ikut panik ketika dikabari abangnya jika Reza masuk ICU. Reza sampai tidak sadarkan diri menambah deretan kepanikan keluarganya."Bukannya tadi bunda bilang hanya chek up saja.""Iya, ternyata daddy lemas untung segera dilarikan ke rumah sakit.""Ya Allah Monica kira tidak separah ini." Terdengar suara serak Monica yang menangis mendengar Reza tidak sadarkan diri."Abang Brayen sudah menuju ke sana.""Iya, Dek. Kamu cepat ke sini," ucap Shaka yang meminta Monica langsung ke rumah sakit. Sementara Brayen shock melihat keadaan Reza, bayangan bersama ketika kecil membuat hati Brayen terenyuh dadd
Misiku kali ini bukan lagi untuk bersatu dengan abang Brayen, tapi memikirkan bagaimana agar abang Brayen bersama daddy seperti dulu lagi. Terkadang kita dipaksa kuat oleh keadaan dan dibuat ikhlas oleh kenyataan, jadi pandai-pandailah menjaga perasaan kita sendiri, karena disaat kita terpuruk, susah dan sedih tidak semua orang akan peduli. “Ikuti saja kata bunda, Dek. Sejauh mana kamu melangkah jika dia jodohmu pasti dia akan kembali mengejarmu.”“Iya, Bang.”“Abang yakin kamu bisa melewatinya, Dek. Demi daddy,” kata abang Shaka.“Makasih, Bang. Demi kalian semua.”Segala sesuatu itu pasti ada hikmahnya. sakitnya daddy pasti jalan agar abang Brayen dan daddy bersatu kembali. Aku juga harus sadar jika usia daddy tidak muda lagi. Aku mau daddy di hari tuanya bahagia tanpa beban."Belajar untuk tidak terlalu berharap kepada siapapun kecuali Allah, karena harapan yang berlebihan kepada manusia hanya akan menyakiti perasaanmu sendiri," ucap ababg Shaka memberi nasehat. "Saatnya kamu le
Reza kembali kumat, ternyata selama ini Reza ada riwayat jantung sehingga harus dikontrol minum obat setiap hari. Nina pun sadar semakin hari usia mereka sudah tidak muda lagi sehingga gampang sekali terkena penyakit.“Kasitahu anak-anak, Bang, kalau jantungmu sedang tidak baik-baik saja,” kata Nina pada Reza yang terbaring. Nina sadar semenjak Monica gagal menikah lagi, suaminya–Reza sering sakit-sakitan. Dia merasa gagal sebagai orang tua.“Bang, coba diubah pola pikirnya bahwa tidak semua keinginan kita selalu sejalan.”“Iya, Sayang. Daddy baik-baik saja, Bund.”“Baik-baik bagaimana, kata dokter abang harus berobat intensif.” “Tenang saja, Bund. Semua pasti baik-baik saja,” kata Reza. Jauh dari lubuk hatinya sebenarnya dia menginginkan yang terbaik bagi anak-anaknya. Shaka sudah bahagia dengan Gendhis. Sementara Monica masih dilema.“Apa abang memikirkan Monica?” tanya Nina. Dia penasaran akhir-akhir ini suaminya lebih pendiam.“Jangan dipendam, salah satu sumber penyakit adalah
Aku duduk ikut bergabung bersama daddy dan abang Brayen. Walau jujur tanganku gemetar melihat reaksi daddy, sementara abang Brayen tetap santai. “Monica yang memintaku dad, untuk datang menemui daddy. Dia memang tidak sabaran,” katanya begitu renyah. Astagfirullah itu orang benar-benar enteng berucap. Aku langsung melotot tak percaya, eh dia justru senyum-senyum tidak jelas melihatku.“Tanpa diminta pun aku akan tetap menemui daddy,” sambungnya lagi.“Aku tidak bisa hidup tanpa Monica dan Arvian, Dad.”“Paling kamu cuma modus anak nakal!” daddy langsung to the point. Aku kira abang Brayen akan marah ternyata dia tertawa melihat reaksi daddy. Dia memang orang yang sulit untuk ditebak.“Aku serius, Dad. Monica dan Arvian adalah hidupku. Rasanya hari-hari begitu sulit tanpa mereka.” Aku hanya menunduk ketika abang Brayen berucap demikian. Sepertinya kupu-kupu mulai berterbangan. Rasanya malu sekali, apalagi lirikan matanya yang membuat wajah ini tersipu malu.“Luka yang kamu buat begitu
Sampai rumah, daddy dan bunda menunggu di teras. Di mata mereka aku masih gadis kecil, yang jika setiap keluar rumah terlalu lama mereka pasti menungguku. Begitulah orang tua, selalu tersisa rasa yang sama, meski berkali-kali pernah terluka.“Apa Monica terlalu lama?” tanyaku padanya. Tak lupa pelukan hangat dari daddy yang selalu panik jika aku keluar terlalu lama.“Anaknya bukan anak kecil, Bang,” ucap bunda yang tak berhenti tersenyum.“Iya, bukan anak kecil, tapi kadang bikin panik dengan tingkahnya,” jawab daddy. Aku langsung memeluknya, percayalah semakin tua, orang tua pasti lebih protektif pada anaknya.“Apa Arvian bahagia?” tanya daddy. Aku mengangguk.“Syukurlah ….”“Dad ….”“Kenapa?” tanyanya.“Apa daddy merestui jika aku dan abang Brayen bersama lagi?” Daddy diam, sekarang aku yang canggung. Kebahagiaan yang tadi berubah menjadi rasa tidak nyaman.“Apa dia bisa menjamin berubah, sementara sampai detik ini daddy tidak melihat kesungguhannya.”Sekarang aku yang diam. “Jang
Berkali- kali aku menghapus air mata sedih dan bahagia tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Aku bahagia melihat senyumannya yang tak henti. Sesekali dia memandangku meski terjeda karena fokus menyetir.“Jangan mengatakan apa-apa lagi, jawabanmu membuatku tidak mau kamu mengucapkan hal yang aneh lagi.”“Tulis di sini biar aku akan tempel di sudut kamarku. Apakah kamu menerimaku atau tidak,” balasnya lagi. Dia memberikanku polpen dan selembar kertas, dia niat sekali membuatku tersipu malu. Pernyataannya bahkan seperti tahu jawabannya aku menerimanya kembali. Dasar tuan arogan.“Tulislah apa kamu menerimaku. Karena ini sangat penting bagi hidupku,” sambungnya lagi.“Anda terlalu pede tuan.”Aku langsung menyimpan di dalam tas. Dia mirip dengan daddy, dia pasti akan memaksa aku menjawab sesuai dengan maunya. Laki-laki jika ada maunya dia akan memaksa, tapi kalau sudah dapat apa yang dia mau, tak sedikit yang terkesan cuek.“Kenapa di simpan?”“Nanti pas pulang aku berikan,” balasku. Wa
"Bunda ...." Arvian memanggilku. Cepat sekali anak ini sampai padahal baru saja ayahnya menelponku. Apa sebenarnya mereka ada di sekitar sini."Hai, jagoan. Sama siapa ke sini?” tanya daddy menghampiri langsung Arvian."Sama ayah, Opa. Tapi dia menunggu di luar,” balas Arvian jujur. Apa abang Brayen yang mengajarkan Arvian untuk jujur.Daddy seketika diam. Bunda pun langsung memecahkan suasana agar tidak terlihat canggung. Aku hanya bisa menghela napas dalam-dalam, takut jika daddy kambuh lagi dengan tidak menginginkan kami kembali."Bersiaplah, Mon,” ujar bunda.Meski ragu, aku pun bersiap untuk berangkat dengan Arvian. Layaknya anak muda yang mau ketemuan aku sampai bingung menggunakan baju yang mana. Astagfirullah, kelakuanku makin aneh seperti abege labil. "Mon, lama sekali, kasihan Arvian lama menunggu." Bunda tiba-tiba datang ke kamar. Baru terasa malunya. Ada-ada saja kelakuanku yang makin aneh ini."Kamu kek anak muda saja, Mon. Milih baju saja lama sekali,” ledek Bunda."Haha
Beharap untk kembali Aku dilema bukan karena tidak ingin menerima abang Brayen kembali, tetapi ada rasa trauma takut merasakan kekecewaan lagi. Manusiawi kurasa jika Aku tidak mau kecewa lagi untuk kedua kalinya."Bund, apa Aku harus menerima abang Brayen lagi?" tanyaku pada bunda yang sedang duduk merawat tanamannya. Aku merasa hidup bunda Lebih baik dibanding denganku. Hidupnya tenang di masa tuanya, sementara aku seperti mencari kepastian."Perasaan Monica bagaimana?" tanya bunda."Dilema, Bund. Apa kesempatan kedua itu memang benar adanya?""Jangan pernah mendahului takdir sayang, jika kamu yakin kembalilah bersamanya. Namun, apabila kamu ragu mintalah pada sang pemberi harap yang tidak pernah membuat hambanya kecewa," balas bunda.Entah mengapa setetes bening jatuh di pipiku, dengan banyak hal yang telah kulalui rasanya tidak mudah sampai di titik ini."Dan mintalah restu pada daddymu, barangkali dengan keikhlasannya bisa membuatmu semakin yakin," sambung bunda memberiku nasihat
POV ARVIANKali ini Aku merasa ada harapan melihat reaksi bunda yang mulai melirik ayah. Siapa yang tidak bahagia, setelah sekian lama harapan itu nampak di depan mata. Aku sama halnya dengan anak yang lain ingin orang tua yang utuh. Ingin keluarga bahagia yang tiap bangun tidur melihat mereka di depanku. "Kamu kenapa Arvian?" tanya Bani temanku yang biasa mendengar keluh kesahku."Doakan, ya, bunda dan ayahku bersatu lagi.""Bukannya daddy Aksenmu ada?" tanya Bani penasaran. "Mereka sudah lama pisah, Ban.""Semoga orang tuanmu bersatu lagi, Arvian.""Aamiin.""Kalau pun, tidak ada harapan aku harap kamu tetap jadi Arvian yang baik." Bani jauh lebih di atas tingkat dariku, dia sudah SMP. Namun, dia tidak mau dipanggil kakak. Bani adalah anak dari salah satu rekan dokter ayah.Aku bukan anak yang kuat, kadang Aku depresi melihat bagaimana teman-temanku bisa bahagia di usianya yang begitu indah. Main timezone dengan kedua orang tua lengkap, sementara Aku hanya bisa gigit jari melihat