Dia diam, lalu menatapku sebentar."Maafkan aku." Hanya itu yang diucapkan. Setelah itu mood bulan madu pun rusak. Meski begitu aku tetap berkemas tanpa banyak kata yang keluar dari mulutku. Mungkin selama ini dia bebas melakukan apa yang diinginkan tanpa musyawarah terlebih dahulu. Kalau aku jelas beda, semua selalu kudiskusikan dengan bunda dan daddy. Kulihat dia pun berkemas, dari awal memang pernikahan ini terkesan dipaksakan mau seperti apa pun tetap hati kami yang bergejolak. Irwan sudah menyiapkan mobil untuk kami bulan madu, kami memilih di puncak. Lebih tepatnya pilihan Gendis yang menginginkan di puncak. Kata bunda, dulu om Gunawan sangat mencintai bunda, tapi jodoh mereka yang tak sampai. Aku seperti merasa ini hukuman untukku. Hukuman hatiku yang seperti dijerat dengan anaknya om Gunawan."Lagi sakit gigi, bang?" tanyanya. "Hm." Aku hanya menjawabnya dengan deheman. "Atau lagi sariawan." Astaga, ini anak, dia pakai adegan mencubit agar memastikan."Bilang, dong. Bagaim
Gendis mundur teratur, aku langsung memegang tangannya. Wajahnya terlihat tidak tenang. Bisa gemetar juga ini anak."Ambil jilbab, bunda nelpon," ucapku. Dia hanya mengangguk dan langsung mengambil jilbabnya untuk video call dengan bunda. Dia masih canggung ketika kembali mendekatiku, terlihat sekali dengan auranya yang beda. Aku jadi kasihan melihatnya."Kita ini suami istri jadi biasa saja, jangan canggung gitu," ucapku lagi. "Kamu membuatku takut.""Aku bukan monster, aku kesini karena bunda ingin memastikan apakah kita sekamar atau tidak.""Iya, aku paham itu.""Mendekatlah ... aku suamimu." Tak berselang lama Bunda menelpon lagi, aku menarik tangannya membuat posisi kami semakin dekat. Gendis masih canggung dan takut berada di sampingku."Bunda nelpon." Lagi, dia hanya mengangguk, apa dia grogi berada di dekatku. "Assalamualaikum, Shaka.""Waalaikumsalam, Bunda.""Mana menantu bunda?" tanyanya. Entah mengapa bunda penasaran aku sekamar atau tidak dengan Gendis."Ini, Bund." A
"Tidurlah, aku tidak akan memaksamu," ucapku dengan lembut membelai jilbabnya. Kadang kita harus melihat kesanggupan dari pasangan yang baru kita nikahi tanpa memaksanya.Untuk pertama kalinya kami tidur bersama meski kami belum melakukan ibadah sepasang suami istri. Mulai saat ini aku akan belajar memahaminya, belajar mengerti akan dirinya selayaknya pasangan suami istri lainnya. "Siapa laki-laki yang menunggu jawabanmu?" tanyaku lagi. Entah mengapa aku begitu penasaran."Dia anak keturunan Ningrat yang banyak aturannya.""Apa karena itu kamu tidak berani menjawabnya.""Iya, karena dia banyak aturan yang tentunya tidak mudah bagiku untuk mengikutinya." Suasana hening. "Apa kamu sebebas itu?""Tidak, aku punya prinsip dan hidupku penuh dendam," jawabnya enteng. Dendam? Kenapa dia begitu mudah mengucapkannya."Dengan siapa kamu dendam?" "Dengan orang tuaku yang selalu membela kakakku." Astagfirullah. Maksudnya?"Itu mungkin hanya pradugamu saja.""Bahkan abang membela mereka. Aku se
Kami tidur dalam keheningan. Kurasa Gendis memang sedang mengalami masalah yang tidak biasa di keluarganya. Namun, aku akan bicara pelan-pelan dengannya. "Bolehkah aku memelukmu, Bang?" tanyanya. Aku langsung mengangguk dan menerima pelukannya. Kurasakan dia memang mengalami masalah yang serius."Terasa sangat menenangkan," ucapnya. Bulir air matanya jatuh begitu saja. Jujur, aku masih belum percaya jika om Gunawan dan aunty Fatia begitu membedakan Gendis dan Ana."Bang, sebenarnya aku ingin tes DNA dengan ayah dan bundaku. Kurasa aku bukan anak kandungnya." Aku mengelus rambut Gendis ditengah isaknya. Ini masih diluar kendaliku jika selama ini Gendis begitu dibedakan di keluarganya."Kenapa kamu berfikir begitu?" tanyaku balik."Karena tidak ada orang tua yang setega ini," balasnya. Iya, benar, tidak ada setega ini. Aku jadi penasaran dibuat. Namun, bukannya diijab qobul kami, Gendis jelas anaknya karena menggunakan binti Gunawan."Kurasa kamu darah dagingnya om Gunawan, karena kema
Ana masih tetap berdiri menatap kami, apa sebenarnya yang Ana pikirkan? Bukannya dengan tegas dia menolakku tanpa memberiku kesempatan."Bolehkah aku ikut makan bebek?" tanyanya."Apa mbak tidak tau istilah bulan madu pengantin?" tanyaku lagi. Dia hanya diam, sementara Gendis memegang erat tanganku seperti memberi kode bahwa dia pun tak mau diganggu."Apa tidak boleh seorang kakak mendampingi adiknya hanya sekedar makan?" Dia ikut membalas pertanyaanku. Dia memang pintar berargumen."Untuk kali ini aku sebagai adik tidak menginginkan kehadiran kakak disini," jawab Gendis dengan tegas."Bukannya kamu selalu mengalah untuk mbak?" Dia masih belum menyerah."Kali ini aku bukan Rani yang mbak kenal!""Rani!" teriak seseorang memanggil Gendis, siapa lagi kalau bukan om Gunawan. Gendis langsung menarik napas dalam-dalam."Kakakmu jauh-jauh datang ingin melihat kalian." Gendis hanya diam."Untuk kali ini om, sebaiknya aku dukung istriku karena kami butuh privasi untuk berdua. Jika om sama m
Aku menarik tangan Gendis agar segera berkemas untuk pulang. Rasanya berlama-lama disini tak ada artinya. Tak peduli dengan kondisi Ana yang sedang diperiksa dengan ayah dan dokter Rayyandra, kami pulang tanpa pamitan."Ayo kita pulang, sayang," ajakku. Gendis tidak memberontak. Dia mengikutiku tanpa protes.Selama perjalanan menuju kamar, kami hanya diam, Gendis terlihat murung, air matanya turun tanpa diminta."Jangan menangisi sesuatu yang merugikanmu, Dik.""Aku justru takut, Bang," balasnya."Takut apa?" tanyaku."Takut jika abang kasihan padanya dan lebih memihaknya.""Sekali lagi abang katakan, jangan menangisi sesuatu yang tidak pasti, fokus terhadap apa yang di depan mata."Entah apa yang terjadi dengan pernikahan Om Gunawan dengan aunty Fatia hingga dia seperti ini. Aku justru kasihan dengan Gendis yang sejak kecil sudah menjadi orang yang terbuang. ****Kami pulang dengan perasaan lebih tenang. Tak menyangka ada bunda, Daddy dan Monica yang menunggu kami."Akhirnya pengant
Pagi menyapa, kulihat jam dinding kamar kami menunjukkan pukul tiga pagi. Kupandang istriku yang luar biasa ini. Dibalik bae-bar, pecicilannya dia mampu mengatasi semua masalah yang ada pada dirinya."Abang sudah bangun?" tanyanya tiba-tiba. "Sudah," jawabku."Jangan natap gitu, malu aku," balasnya. Aku justru mencubit hidungnya. Lucu kulihat."Aku mandi dulu, ya. Yang ini beneran keramas," sambungnya membalas cubitan di hidungku. Rasanya aku ingin menerkamnya lagi. Karena usil kukejar dia sampai kamar mandi, Gendis juatru berlari mengejekku. Kami sudah seperti bocil kasmaran."Eh, Abang mau ngapain lagi?" tanyanya."Mau menerkammu," jawabku tak kalah usil."Diih, Bang. Masih perih tahu bekas tadi malam.""Kagak ngaruh pada pengantin baru.""Eh, abang-abangan pecicilan ini mah." Dia terus mundur menjauhiku.Namun, aku tak kalah akal kukejar lalu menangkapnya. Kami persis seperti adegan bucin drama korea. Duuh, kenapa aku jadi alay seperti ini."Lepas, Bang!""Makanya jangan nakal j
Tak terasa sudah tujuh hari pernikahanku dengan Gendis. Kami begitu menikmati kemesraan ini. Gendis begitu setia melayaniku sepenuh hati. Itu terlihat dari caranya melayaniku dari bangun tidur sampai tidur lagi."Apa aku bekerja, sayang?" tanya Gendis."Mana baiknya, abang tidak pernah memaksa. Takutnya kalau di rumah terus bosan," jawabku."Aku di rumah saja, ya, dulu. Aku masih betah di rumah," ucap Gendis."Siyap, tidak bekerja pun gak ada yang larang. Bulan depan jadi 'kan kita bulan madu ke luar negeri?" tanyaku "Tentu sayang." Gendis begitu manja memelukku. Sebenarnya aku pun malas untuk bekerja, selama seminggu bersama Gendis rasanya tidak ingin ada hal yang terlewati begitu saja."Kirain tidak mau," ucapku menjahilinya."Awalnya, tapi kalau sama suami sepertinya beda," jawabnya.Gendis memasangkan aku dasi dengan lembut, menyiapkan segala keperluan kantorku dengan baik. Bahkan bekal makan siangku sudah dia siapkan. "Jangan capek, di rumah kerjakan apa yang membuatmu bahagia.