Mataku memanas melihat Gendis ditampar oleh Ana. Untuk apa Gendis ke rumah sakit? Ini yang kutakuti meninggalkannya sendiri di rumah. Aku terus merutuk Gendis yang datang ke rumah sakit menjenguk Ana tanpa aku disampingnya.Tak peduli dengan semua pekerjaan di kantor. Aku langsung ke rumah sakit menjemput Gendis."Apa istriku masih disana, Wan?" tanyaku ke Irwan yang masih di rumah sakit melihat Ana."Masih, tuan." Jujur aku jengkel dia ke rumah sakit menjenguk kakaknya. Ini salahku yang tidak berpesan pada Gendis agar dia tidak ke rumah sakit. Tak peduli dengan ramainya kendaraan sore ini aku melaju ke rumah sakit dengan kecepatan tinggi untuk menjemput Gendis. "Ruangan VVIP no. 5 tuan." Pesan dari Irwan. Aku langsung mencari kamar Ana, lebih tepatnya mencari Gendis. Namun, ketika membuka pintu kamar inap Ana, langkahku terhenti mendengar Ana memarahi Gendis. "Harusnya kamu tidak lahir di dunia ini Gendis!" teriak Ana."Apa itu tidak kebalik, Mbak. Harusnya mbak Ana yang tidak a
"Mengalah, lah demi kakakmu, Ran." Lagi ayah memintaku untuk mengalah."Ayah ... mengapa harus aku yang mengalah? Bukannya mbak Ana yang menolak Bang Shaka sebelumnya," jawabku. Kali ini ayah memanggilku tanpa sepengetahuan Shaka. Ayah bahkan memintaku untuk bertemu di taman dekat rumah yang kami tempati. Tak lupa bunda juga ikut menemani."Kakakmu sakit parah Rani, setelah diperiksa dia mengalami kanker kelenjar getah bening stadium akhir." Astagfirullah, apalagi ini."Dokter meminta agar membahagiakan kakakmu, mengikuti segala kemauannya diakhir sisa hidupnya. Jangan sampai dia ada pikiran hingga penyakitnya kambuh lagi." Ayah menjelaskan dengan detail. Rasanya sesak sekali. Aku bahkan diminta menyerah sebelum membela diri."Ketika selesai kamu akad nikah, kakakmu hampir mau bunuh diri di kamar karena menyesal menolak Shaka yang ternyata fasih dalam mengaji. Pikiran Ana, CEO seperti Shaka pasti tidak bisa apa-apa ternyata dia salah besar. Malam itu bahkan dia meraung-raung di kamar
Hal yang paling kutakuti selama ini adalah ketika aku mencintai, tapi dikhianati. Ditinggalkan begitu saja tanpa sebab yang pasti. ~Shaka_AdytamaSetelah berbicara sedikit keras, Gendis lebih banyak diam. Jujur, aku merasa bersalah, tapi masalah hati harusnya dia juga paham. Bagaimana jalan pikirannya yang mau menerima begitu saja keputusan keluarganya. Mandul? Kurasa pasti ada obatnya selama kita mau berusaha. Jujur aku dilema dibuat olehnya, meski aku bersikeras pun itu tidak akan mengubah pemikiran tentang keluarganya yang kurasa keluarga aneh. Lalu om Gunawan mengapa berubah drastis kurasa, kenapa dia begitu pro dengan satu anaknya. Kurasa didikian Atmadja mengalir di darahnya. Lalu aunty Fatia mengapa ikut-ikutan? Harusnya sebagai ibu dia tidak boleh memihak salah satu anaknya. Malam ini bahkan Gendis tidur membelakangiku."Tidak boleh membelakangi suami," ucapku tegas.Dia dengan pelan membalikkan badannya. Aku kira hanya cerita sinetron yang rela mengabaikan perasaannya untuk
"Istirahatlah nak," ucap bunda menenangkanku. "Pesan bunda jangan cepat menyimpulkan apa pun terhadap istrimu, kita tidak tahu apakah dia benar-benar terlibat atau tidak," sambung bunda."Entahlah Bun, tapi kenyataan ini membuat Shaka prutasi." Aku duduk di bawah kursi tempat bunda duduk. Rasanya sesedih dan sesakit ini.Tak ada yang baik-baik saja menghadapi semua ini. Ditinggalkan begitu saja tanpa ada sebab yang pasti."Memangnya masalah apa yang terjadi, Bang. Hingga dokter Gunawan dan keluarga berubah drastis?" tanya bunda ke daddy. Jangankan bunda, aku pun begitu penasaran melihat om Gunawan yang berubah drastis"Pelajarilah bisnis dengan baik. Kadang yang terlihat begitu baik, itu adalah musuh kita. Kurasa Gunawan ditekan oleh banyak orang hingga senekat ini," jawab Daddy.Saham yang dimiliki Atmadja akan dilelang bulan ini. Selain itu, Ana yang akan menjadi pengganti pemimpin perusahaan itu tertuang pada surat wasiat pak Atmadja. Om Gunawan tidak tahu ternyata bunyi surat was
Tak bisakah luka ini sembuh tanpa harus mengingatmu kembali. Membuang segala hal tentang dirimu. Namun, kenyataanya kepingan kenangan yang kau berikan, begitu sulit untukku lupakan.****Setelah terang-terangan aku memarahi Ana, mereka pulang karena takut mendengar amukanku. Bunda terus menyemangatiku agar mampu menahan emosi."Istigfar, Nak. Memang tidak mudah, tapi yakinlah kebenaran pasti akan terungkap." Aku hanya mengangguk, tidak berani memandang wajah bunda yang juga menahan marah karena berdebat dengan om Gunawan tadi."Bagaimana pernikahan Shaka, Dad. Beri Shaka gambaran?" tanyaku meminta solusi pada daddy."Tenangkan dirimu, Shaka. Nanti daddy cek kebenaran surat cerai itu, kita lihat perkembangan Gunawan dan koleganya.""Apa secepat itu mereka bisa mengalihkan kekayaan milik Gendis, Dad?" tanyaku. Jujur, aku masih belum percaya dengan semua ini."Begitu kamu menikah, bunyi wasiat pasti sudah langsung berubah, Shaka. Gunawan sangat cepat melangkah demi menyelamatkan perusah
Sesampai di kantor semua terlihat sibuk. Arya menungguku di depan loby. Dia terlihat panik seperti ada yang mengganggu pikirannya. "Kita dalam bahaya tuan Shaka, apakah ini semua perbuatan Gendis?" tanya Arya yang wajahnya bahkan tidak bisa disembunyikan dari rasa panik."Maksudmu?""Saham merosot tajam. Selain itu proyek yang kita ajukan semuanya mirip dengan yang dipaparkan perusahaan Atmadja," jawab Arya. Aku hanya menyimak dengan tenang, walau pikiranku kemana-mana. Mengapa ujian ini datang bertubi-tubi setelah mengenal Gendis."Cara kerjanya persis seperti pak Atmadja ketika muda," sambung Arya."Tahu darimana?" tanyaku lagi."Rekam jejaknya bahkan masih tersimpan, kurasa kita dikelabui oleh Gendis. Kamu korbannya," ucap Arya dengan tegas.Entah mengapa dendam mulai merasukiku. Gendis, Ana, Gunawan dan Fatia mereka kompak bersekongkol. Dan Gendis? Apakah ini caranya playing victim berkedok sebagai korban padahal dia adalah tersangka utama. Jujur, aku mulai membencinya. "Sial,
"Mimpimu terlalu kejauhan Ana, apa kamu bisa jamin jika istri saya meninggal maka aku akan menerimamu. Mohon maaf aku tidak menikah dengan orang toxic sepertimu." Kali ini dia tidak melawanku."Dari dulu sampai sekarang aku tidak pernah mengajarkan karyawanku atau kolegaku bekerja tidak profesional, tidak bisa membedakan mana pekerjaan mana urusan pribadi. Untuk kasusku dengan keluarga Atmadja tidak ada sangkut pautnya dengan urusan pribadi!" tegasku.Dia semakin salah tingkah melihatku marah."Mulai besok dan kedepannya, aku Shaka Adytama tidak akan bergabung dalam urusan bisnis denganmu dan keluarga Atmadja!" tegasku. Kali ini kita harus berprinsip agar tidak mudah ditindas.Tak ingin melihat Ana aku pamit undur diri. Semua relasi dan karyawanku juga turut pamit undur diri. Kita harus bersama orang yang menghargai kita bukan menjatuhkan apalagi orang yang sudah niat ingin melihat perusahaan bangkrut. Aku kembali ke ruangan dengan menahan napas berkali-kali. Mencoba meresapi semua y
"Gendis?" aku bertanya lagi untuk memastikan apakah dia Gendis atau tidak.Dia balik badan dan nampak terkejut melihatku."Siapa?" Dia malah balik bertanya padaku. Berkali-kali aku menarik napas ternyata dia bukanlah gendis. Aku memang sudah gila dibuat oleh Gendis."Belajarlah untuk move on saudara," ujar si Arya. "Kukira setelah seperti orang gila bekerja sudah bisa melupakannya," balas si Arya lagi."Cerewet lho, mau tak jitak sepertinya," balasku. Aku tak segan menjitak kepalanya. Eh, Si Arya malah terkekeh."Orang sudah meninggal masih saja dipanggil," ucap seseorang yang tidak asing. Siapa lagi kalau bukan Ana. Dia terlihat glamour dengan pakaian yang digunakan. Berubah seratus delapan puluh derajat.Aku melewatinya malas berdebat dengannya. Arya juga tak berani ikut campur, dia pergi meninggalkan kami berdua."Kamu pasti akan jadi milikku, Mas. Karena kita ditakdirkan untuk bersatu," jawabnya penuh percaya diri."Kamu tahu, laki-laki baik itu untuk wanita yang baik juga. Dan k