"Istirahatlah nak," ucap bunda menenangkanku. "Pesan bunda jangan cepat menyimpulkan apa pun terhadap istrimu, kita tidak tahu apakah dia benar-benar terlibat atau tidak," sambung bunda."Entahlah Bun, tapi kenyataan ini membuat Shaka prutasi." Aku duduk di bawah kursi tempat bunda duduk. Rasanya sesedih dan sesakit ini.Tak ada yang baik-baik saja menghadapi semua ini. Ditinggalkan begitu saja tanpa ada sebab yang pasti."Memangnya masalah apa yang terjadi, Bang. Hingga dokter Gunawan dan keluarga berubah drastis?" tanya bunda ke daddy. Jangankan bunda, aku pun begitu penasaran melihat om Gunawan yang berubah drastis"Pelajarilah bisnis dengan baik. Kadang yang terlihat begitu baik, itu adalah musuh kita. Kurasa Gunawan ditekan oleh banyak orang hingga senekat ini," jawab Daddy.Saham yang dimiliki Atmadja akan dilelang bulan ini. Selain itu, Ana yang akan menjadi pengganti pemimpin perusahaan itu tertuang pada surat wasiat pak Atmadja. Om Gunawan tidak tahu ternyata bunyi surat was
Tak bisakah luka ini sembuh tanpa harus mengingatmu kembali. Membuang segala hal tentang dirimu. Namun, kenyataanya kepingan kenangan yang kau berikan, begitu sulit untukku lupakan.****Setelah terang-terangan aku memarahi Ana, mereka pulang karena takut mendengar amukanku. Bunda terus menyemangatiku agar mampu menahan emosi."Istigfar, Nak. Memang tidak mudah, tapi yakinlah kebenaran pasti akan terungkap." Aku hanya mengangguk, tidak berani memandang wajah bunda yang juga menahan marah karena berdebat dengan om Gunawan tadi."Bagaimana pernikahan Shaka, Dad. Beri Shaka gambaran?" tanyaku meminta solusi pada daddy."Tenangkan dirimu, Shaka. Nanti daddy cek kebenaran surat cerai itu, kita lihat perkembangan Gunawan dan koleganya.""Apa secepat itu mereka bisa mengalihkan kekayaan milik Gendis, Dad?" tanyaku. Jujur, aku masih belum percaya dengan semua ini."Begitu kamu menikah, bunyi wasiat pasti sudah langsung berubah, Shaka. Gunawan sangat cepat melangkah demi menyelamatkan perusah
Sesampai di kantor semua terlihat sibuk. Arya menungguku di depan loby. Dia terlihat panik seperti ada yang mengganggu pikirannya. "Kita dalam bahaya tuan Shaka, apakah ini semua perbuatan Gendis?" tanya Arya yang wajahnya bahkan tidak bisa disembunyikan dari rasa panik."Maksudmu?""Saham merosot tajam. Selain itu proyek yang kita ajukan semuanya mirip dengan yang dipaparkan perusahaan Atmadja," jawab Arya. Aku hanya menyimak dengan tenang, walau pikiranku kemana-mana. Mengapa ujian ini datang bertubi-tubi setelah mengenal Gendis."Cara kerjanya persis seperti pak Atmadja ketika muda," sambung Arya."Tahu darimana?" tanyaku lagi."Rekam jejaknya bahkan masih tersimpan, kurasa kita dikelabui oleh Gendis. Kamu korbannya," ucap Arya dengan tegas.Entah mengapa dendam mulai merasukiku. Gendis, Ana, Gunawan dan Fatia mereka kompak bersekongkol. Dan Gendis? Apakah ini caranya playing victim berkedok sebagai korban padahal dia adalah tersangka utama. Jujur, aku mulai membencinya. "Sial,
"Mimpimu terlalu kejauhan Ana, apa kamu bisa jamin jika istri saya meninggal maka aku akan menerimamu. Mohon maaf aku tidak menikah dengan orang toxic sepertimu." Kali ini dia tidak melawanku."Dari dulu sampai sekarang aku tidak pernah mengajarkan karyawanku atau kolegaku bekerja tidak profesional, tidak bisa membedakan mana pekerjaan mana urusan pribadi. Untuk kasusku dengan keluarga Atmadja tidak ada sangkut pautnya dengan urusan pribadi!" tegasku.Dia semakin salah tingkah melihatku marah."Mulai besok dan kedepannya, aku Shaka Adytama tidak akan bergabung dalam urusan bisnis denganmu dan keluarga Atmadja!" tegasku. Kali ini kita harus berprinsip agar tidak mudah ditindas.Tak ingin melihat Ana aku pamit undur diri. Semua relasi dan karyawanku juga turut pamit undur diri. Kita harus bersama orang yang menghargai kita bukan menjatuhkan apalagi orang yang sudah niat ingin melihat perusahaan bangkrut. Aku kembali ke ruangan dengan menahan napas berkali-kali. Mencoba meresapi semua y
"Gendis?" aku bertanya lagi untuk memastikan apakah dia Gendis atau tidak.Dia balik badan dan nampak terkejut melihatku."Siapa?" Dia malah balik bertanya padaku. Berkali-kali aku menarik napas ternyata dia bukanlah gendis. Aku memang sudah gila dibuat oleh Gendis."Belajarlah untuk move on saudara," ujar si Arya. "Kukira setelah seperti orang gila bekerja sudah bisa melupakannya," balas si Arya lagi."Cerewet lho, mau tak jitak sepertinya," balasku. Aku tak segan menjitak kepalanya. Eh, Si Arya malah terkekeh."Orang sudah meninggal masih saja dipanggil," ucap seseorang yang tidak asing. Siapa lagi kalau bukan Ana. Dia terlihat glamour dengan pakaian yang digunakan. Berubah seratus delapan puluh derajat.Aku melewatinya malas berdebat dengannya. Arya juga tak berani ikut campur, dia pergi meninggalkan kami berdua."Kamu pasti akan jadi milikku, Mas. Karena kita ditakdirkan untuk bersatu," jawabnya penuh percaya diri."Kamu tahu, laki-laki baik itu untuk wanita yang baik juga. Dan k
Sudah dua kali aku merasa seseorang yang mirip dengan Gendis. Apa karena aku sedang merindukannya? Atau ini hanyalah halusinasiku semata. Astaghfirullah ... kutahan napas berkali-kali. Ini tidak boleh dibiarkan, lama-lama bisa gila aku dibuat."Pak, ini pesanannya," ucap pelayan yang membawa makanan yang telah kupesan. Aku kembali fokus dengan makanan yang telah kupesan, meski selera makanku telah hilang. Dokter Rayyandra dan istrinya juga langsung pulang. Kejadian sudah hampir empat bulan dan masih menyisakan banyak rasa di hatiku. Aku memang mendengar jika dokter itu telah menikah dari kabarnya Arya. Sedang banyak melamun, tiba-tiba ada wanita yang duduk didepanku tanpa permisi."Maaf aku terlambat," katanya. Maksudnya? "Sudah lama menungguku, Mas?" tanyanya lagi. Aku bingung mau jawab apa. Dari jauh dokter Rayyandra yang sedang membayar di kasir, tak berhenti berkedip menatapku bersama dengan wanita yang di depanku."Bukannya kita janjian ketemuan disini, dan pas ini nomor meja
Tak terasa waktu terus berganti, mendalami bisnis disini benar-benar membuatku semakin dewasa dalam bersikap. Menjadi pemimpin dan bagaimana cara berbisnis dengan baik.Sedikit demi sedikit aku mulai melupakan semua masalah dalam hidupku. Irwan juga sangat profesional agar aku tetap fokus belajar disini."Ini buku yang dipelajari, tuan Shaka," ucap Irwan memberiku tumpukan buku."Iya, Irwan. Buku yang kemarin juga belum selesai dibaca.""Semangat, Tuan. Jangan kasih kendor.""Hoam ...." Hari ini kelas dimulai siang. Daddy benar-benar membuatku menderita, tak dikasih istirahat sedikit pun di sini. Laporan dan persentasi beserta speaking juga harus oke. Aku bahkan diminta hanya menelpon sekali seminggu. "Bisnis itu selain kecekatan, penting juga sebuah kepercayaan. Ketika orang percaya dengan kemampuan kita, maka orang akan berani membeli dengan harga berapa pun. Bisnis itu kadang membuat kita merasa di atas awan, kadang juga membuat kita merosot ke jurang." Profesor kali ini betul-be
Dia diam lalu membalikkan badan menghindari kami. Bahkan tatapan matanya masih sama seperti dulu. Baju yang digunakan nampak sederhana, dia bahkan hanya memakai kain sebagai roknya, persis seperti gadis desa lainnya. Dia bahkan sesederhana itu, keturunan Atmadja yang kaya raya dan sombong itu tak ada melekat pada dirinya. "Apa kamu begitu pengecut hingga menjauhi kami!" teriakku. Gendis berhenti melihat warga mulai mendekat. Dia menghela napas lebih dalam. Apa dia merasa terluka? Harusnya aku yang terluka di sini oleh keluarganya yang sok itu. Bahkan mereka tak tahu malu datang berkali-kali hanya ingin aku berpisah dengan Gendis. Kurasa keluarga Atmadja benar-benar aneh."Kurasa kamu dan keluargamu memang sama. Sama-sama pengecut!" teriakku lagi. "Siapa, dia, bunda Cantika?" tanya warga yang mengajaknya bicara. Gendis hanya diam tanpa memedulikan pertanyaan dari tetangganya. Dia menatapku sejenak lalu berpaling begitu saja, dia sama sekali tak peduli dengan kami yang masih menunggu