"Gendis?" aku bertanya lagi untuk memastikan apakah dia Gendis atau tidak.Dia balik badan dan nampak terkejut melihatku."Siapa?" Dia malah balik bertanya padaku. Berkali-kali aku menarik napas ternyata dia bukanlah gendis. Aku memang sudah gila dibuat oleh Gendis."Belajarlah untuk move on saudara," ujar si Arya. "Kukira setelah seperti orang gila bekerja sudah bisa melupakannya," balas si Arya lagi."Cerewet lho, mau tak jitak sepertinya," balasku. Aku tak segan menjitak kepalanya. Eh, Si Arya malah terkekeh."Orang sudah meninggal masih saja dipanggil," ucap seseorang yang tidak asing. Siapa lagi kalau bukan Ana. Dia terlihat glamour dengan pakaian yang digunakan. Berubah seratus delapan puluh derajat.Aku melewatinya malas berdebat dengannya. Arya juga tak berani ikut campur, dia pergi meninggalkan kami berdua."Kamu pasti akan jadi milikku, Mas. Karena kita ditakdirkan untuk bersatu," jawabnya penuh percaya diri."Kamu tahu, laki-laki baik itu untuk wanita yang baik juga. Dan k
Sudah dua kali aku merasa seseorang yang mirip dengan Gendis. Apa karena aku sedang merindukannya? Atau ini hanyalah halusinasiku semata. Astaghfirullah ... kutahan napas berkali-kali. Ini tidak boleh dibiarkan, lama-lama bisa gila aku dibuat."Pak, ini pesanannya," ucap pelayan yang membawa makanan yang telah kupesan. Aku kembali fokus dengan makanan yang telah kupesan, meski selera makanku telah hilang. Dokter Rayyandra dan istrinya juga langsung pulang. Kejadian sudah hampir empat bulan dan masih menyisakan banyak rasa di hatiku. Aku memang mendengar jika dokter itu telah menikah dari kabarnya Arya. Sedang banyak melamun, tiba-tiba ada wanita yang duduk didepanku tanpa permisi."Maaf aku terlambat," katanya. Maksudnya? "Sudah lama menungguku, Mas?" tanyanya lagi. Aku bingung mau jawab apa. Dari jauh dokter Rayyandra yang sedang membayar di kasir, tak berhenti berkedip menatapku bersama dengan wanita yang di depanku."Bukannya kita janjian ketemuan disini, dan pas ini nomor meja
Tak terasa waktu terus berganti, mendalami bisnis disini benar-benar membuatku semakin dewasa dalam bersikap. Menjadi pemimpin dan bagaimana cara berbisnis dengan baik.Sedikit demi sedikit aku mulai melupakan semua masalah dalam hidupku. Irwan juga sangat profesional agar aku tetap fokus belajar disini."Ini buku yang dipelajari, tuan Shaka," ucap Irwan memberiku tumpukan buku."Iya, Irwan. Buku yang kemarin juga belum selesai dibaca.""Semangat, Tuan. Jangan kasih kendor.""Hoam ...." Hari ini kelas dimulai siang. Daddy benar-benar membuatku menderita, tak dikasih istirahat sedikit pun di sini. Laporan dan persentasi beserta speaking juga harus oke. Aku bahkan diminta hanya menelpon sekali seminggu. "Bisnis itu selain kecekatan, penting juga sebuah kepercayaan. Ketika orang percaya dengan kemampuan kita, maka orang akan berani membeli dengan harga berapa pun. Bisnis itu kadang membuat kita merasa di atas awan, kadang juga membuat kita merosot ke jurang." Profesor kali ini betul-be
Dia diam lalu membalikkan badan menghindari kami. Bahkan tatapan matanya masih sama seperti dulu. Baju yang digunakan nampak sederhana, dia bahkan hanya memakai kain sebagai roknya, persis seperti gadis desa lainnya. Dia bahkan sesederhana itu, keturunan Atmadja yang kaya raya dan sombong itu tak ada melekat pada dirinya. "Apa kamu begitu pengecut hingga menjauhi kami!" teriakku. Gendis berhenti melihat warga mulai mendekat. Dia menghela napas lebih dalam. Apa dia merasa terluka? Harusnya aku yang terluka di sini oleh keluarganya yang sok itu. Bahkan mereka tak tahu malu datang berkali-kali hanya ingin aku berpisah dengan Gendis. Kurasa keluarga Atmadja benar-benar aneh."Kurasa kamu dan keluargamu memang sama. Sama-sama pengecut!" teriakku lagi. "Siapa, dia, bunda Cantika?" tanya warga yang mengajaknya bicara. Gendis hanya diam tanpa memedulikan pertanyaan dari tetangganya. Dia menatapku sejenak lalu berpaling begitu saja, dia sama sekali tak peduli dengan kami yang masih menunggu
"Sabar, Tuan. Makanya kalau mau cari simpati itu jangan pakai emosi," bisik Irwan."Kamu sebenarnya bela tuanmu apa si Gendis, ha?""Tau, lah." Et, dah ini asisten makin berani kurasa. Pak RT pun terlihat bingung, tapi biarlah dia bingung. Takutnya kalau aku mengatakan suaminya si Gendis, bisa digebuk massa aku karena menelantarkan dia di sini. Hebatnya lagi keluarga Atmadja tidak merasa kehilangan justru merasa jika Gendis telah meninggal dunia."Besok saja kita kelilingnya, moodku gak baik, Wan." Irwan mengangguk. Meski dia sedang sebal, tapi dia menjagaku dengan hati-hati. Setiap warga yang mendekat dia hadang dengan tepat, seperti pengawal yang siaga menjaga tuannya.Sampai pnginapan, aku langsung membersihkan diri agar terasa fresh. Pikiranku terus memikirkan Gendis dan bayi mungil itu. Apa dia adalah darah dagingku, benar-benar menjadi misteri bagiku."Tuan, kita makan malam dulu," ucap Irwan."Sebentar, Wan. Nunggu salat isya dulu," jawabku."Oke, Tuan. Aku lihat ada masjid ti
Andai waktu bisa diulang, aku harap ini tidak terjadi diantara kita berdua. Membenci padahal saling merindukan. ****Irwan menepuk bahuku agar sadar bahwa ada Gendis di depanku. Dengan sedikit salah tingkah aku mengembalikan posisiku seperti semula. "Om, ini miss Rara." Rasanya napasku tercekat. Jadi disini dia dipanggil Miss Rara? Si Irwan langsung mengambil dompet dan memberikan uang. Mereka bersorak kegirangan karena mendapatkan uang dari Irwan, mereka tidak tahu jika kami sudah seperti patung karena terkejut. Gendis juga tidak ada pergerakan sama sekali. Sial, ini gara-gara asisten tidak jelas ini. Dia cukup mencurigakan. "Cepat kalian pergi!" usir Irwan menghalau mereka. Sekarang kami yang bingung karena tinggal berdua. Astagfirullah, berarti ini kerjaan si Irwan agar kami bisa berbicara berdua. Awas saja nanti. "Jangan pernah pengaruhi warga, aku sudah tenang disini. Kuharap ini yang terakhir bisa melihat wajahmu," tukasnya. Ada dendam yang terlihat di wajahnya. "Mengapa ka
"Pergilah ke tempat terpencil Rani," ucap ayah Gunawan memaksaku agar segera pergi dari tempat ini. "Berikan Shaka surat keterangan kamu tidak bisa memiliki keturunan," sambungnya lagi. Aku bahkan divonis mandul. Lalu bagaimana jika aku hamil? Mengingat aku pernah berhubungan badan dengan Shaka."Bagaimana jika aku hamil?" ayah hanya diam mendengar pertanyaanku.Apakah boleh aku mengatakan menyesal menjadi bagian dari mereka? Siapa yang ingin dibuang dan ditelantarkan seperti ini. Kurasa aku bukan anak mereka hingga setega ini."Jawab jujur, apakah aku anak ayah?" tanyaku menatap wajahnya."Iya, kamu anakku. Namun, kakek Atmadja membuat wasiat hanya mengakui satu keturuan saja." Kurasa itu hanya pernyataan ayah saja, sebenarnya aku bukan bagian dari mereka."Lalu apa salahku, yah. Kenapa bunda mau hamil jika tidak menginginkanku.""Ada satu alasan, kamu tidak perlu tahu. Tinggalkan Shaka karena dia sudah menggugatmu di pengadilan. " Bunda hanya diam ketika aku bertanya tentang ini, a
Kami hanya bisa tersenyum dari jauh melihat tingkah Gendis hingga melupakan Nuraini yang masih menatap kami."Selesaikan sama Nuraini," bisikku ke Irwan."Mau kemana?" tanyanya."Aku mau kejar istriku," bisikku lagi. Si Irwan hanya nyengir melihatku. Nuraini terlihat bingung melihat tingkah kami. Irwan juga turut pamit dan ikut mengejarku. Aku tahu dia pasti takut melihatku berjalan sendiri di desa ini.Udara pagi ini benar-benar membuatku merasa nyaman sekali. Pulang dari luar negeri dan tinggal di desa ini membuatku merasa sangat segar sekali."Kayaknya bakal ada yang mau tinggal disini.""Ada istri dan anakku di sini, Wan. Hampir setahun kami dipisahkan.""Untuk itu berjuanglah, nanti kita cari sinyal ke tuan besar. Hanya satu masalah yang harus tuan selesaikan bagaimana agar bisa tahu bayi mungil itu anak tuan juga," sambung Irwan.Dari jauh kami tidak menyangka jika Nuraini masih berjuang agar bisa dekat denganku, kali ini dia membawa ibunya."Aduh, dia belum menyerah, Tuan." "