Kami hanya bisa tersenyum dari jauh melihat tingkah Gendis hingga melupakan Nuraini yang masih menatap kami."Selesaikan sama Nuraini," bisikku ke Irwan."Mau kemana?" tanyanya."Aku mau kejar istriku," bisikku lagi. Si Irwan hanya nyengir melihatku. Nuraini terlihat bingung melihat tingkah kami. Irwan juga turut pamit dan ikut mengejarku. Aku tahu dia pasti takut melihatku berjalan sendiri di desa ini.Udara pagi ini benar-benar membuatku merasa nyaman sekali. Pulang dari luar negeri dan tinggal di desa ini membuatku merasa sangat segar sekali."Kayaknya bakal ada yang mau tinggal disini.""Ada istri dan anakku di sini, Wan. Hampir setahun kami dipisahkan.""Untuk itu berjuanglah, nanti kita cari sinyal ke tuan besar. Hanya satu masalah yang harus tuan selesaikan bagaimana agar bisa tahu bayi mungil itu anak tuan juga," sambung Irwan.Dari jauh kami tidak menyangka jika Nuraini masih berjuang agar bisa dekat denganku, kali ini dia membawa ibunya."Aduh, dia belum menyerah, Tuan." "
"Lepas, nanti kita bisa digebuk massa," ucap Gendis sambil melepas dirinya. "Apa tidak ada ruang dihatimu untuk kembali? Apa kamu tidak kasihan dengan bayi mungil itu?" tanyaku masih memegang tangannya. "Kamu tidak ada hak untuk hidupku," balasnya. Aku hanya menunduk pasrah dengan jawabannya. "Baiklah, terserah kamu menerimaku atau tidak, yang jelas aku akan perjuangkan bayi itu sebagai ayahnya." Gendis tidak mendengar ucapanku, dia langsung masuk ke dalam rumahnya tanpa menolehku. Ini sungguh berat menurutku karena Gendis masih belum menerimaku.Aku pulang dengan wajah lesu, harapan bertemu dengan bayi mungil itu sirna. Gendis masih tetap egois dengan pilihannya. Pilihan untuk melupakanku. Hingga aku berbalik ada beberapa warga melihatku dengan heran. Namun, aku tidak peduli karena bagiku Gendis dan putri kecil itu yang harus aku perjuangkan, aku tidak peduli dengan tatapan heran orang lain padaku."Apa hubungan anda sebenarnya hingga ada di depan rumah miss Rara," ucapnya dengan
Gendis langsung membereskan semua peralatan medisnya. Tak ada ucapan apa pun yang keluar dari mulutnya, aku justru yang sungkan berada di sampingnya."Darimana dapat alat ini?" tanyaku menunjuk alat medis yang Gendis punya. Peralatan layaknya seorang dokter."Tuan Shaka seperti tidak tahu saja, jika ayah dan kakakku dokter. Sebelum mereka membuangku mereka juga menyiapkan alat ini," jawabnya.Membuang? Berarti benar dugaan bunda jika Gendis dibuang ke tempat ini. Desa yang terpencil jauh dari semuanya. Benar-benar luar biasa dokter Gunawan."Berhentilah terlihat seperti anak muda," ucapnya judes. Apa dia cemburu melihatku yang disapa wanita-wanita di sini."Bagaimana tidak muda, jika istri hilang entah kemana," balasku kilat. Dia hanya tersenyum kecut. "Kalau cemburu bilang saja!" tukasku."Pede syekali tuan Shaka. Mimpi ketinggian." Spontan aku mencubit hidungnya."Apa dia anakku?" tanyaku lagi. Rasa penasaran ini harus terjawab, mumpung kami berdua di rumah ini.Dia langsung und
"Miss Rara tidak guyon, kan?" tanya salah satu dari mereka mendekat. Tentunya mereka penasaran dengan ucapan Gendis. "Aku tidak guyon, jika kalian tidak percaya aku punya bukti foto nikah kami berdua," balas Gendis. Dia langsung masuk kamar mengambil foto nikah kami berdua. Irwan menepuk pundakku agar ikut membela diri. Mengapa aku juga mendadak salah tingkah begini. Tak berselang lama Gendis keluar membawa foto nikah kami berdua. Selain itu dia juga membawa salinan fotokopi buku nikah kami. Dia memang luar biasa kurasa. "Jadi kuharap kalian tidak menggangguku lagi, di sini kami sedang berjuang untuk kembali bersama," ucapnya mantap sambil memegang tanganku. Satu per satu pemuda itu mundur teratur melihat Gendis yang memegang tanganku. Jangan ditanya tatapan mata mereka yang sinis melihatku. Ini pasti akan menjadi berita besar bagi mereka di desa ini. Aku sudah siap dengan segala resiko yang terjadi. Irwan pun ikut mundur teratur tanpa kuminta, setelah sepi Gendis langsung bereaks
"Pulanglah, yah. Aku memang bukan bagian Atmadja," balas Gendis."Aku peringatkan kamu sekali lagi," ucap Om Gunawan. "Peringatkan apalagi? Bukannya ayah sudah berhasil memisahkan kami berdua? Padahal putusan pengadilan belum turun." Hebat, Gendis berani membela diri. Ini memang tidak boleh dibiarkan, sekarang mungkin om Gunawan yang datang, bisa saja besok Ana yang datang ke tempat ini."Kamu tahu darimana?" tanya om Gunawan terdengar panik. Aku masih bersembunyi di kamar bersama Cantika yang sedang tertidur."Kebenaran itu selalu terungkap, jika kalian sudah menganggapku mati, kenapa masih terus menggangguku." Gendis berani melawan. Mendengar keributan di luar, Cantika menangis membuatku bingung. Sementara posisiku sedang bersembunyi. "Anakku menangis, yah. Pulanglah ... aku ingin istirahat." Terdengar Gendis mengusir ayahnya. Dengan pelan aku langsung menggendong Cantika, menenangkan dia agar tertidur lagi. Namun, langkah kaki membuat dadaku berdetak lebih cepat. Apa itu om Guna
Om Gunawan langsung mengetuk pintu rumah Gendis, aku mengendap ke depan langsung masuk ke dalam mobil di dekat Gendis. Ini darurat, mau tidak mau kami harus duduk dalam keadaan sempit. Aku bisa ketahuan jika duduk di belakang."Sempit, Bang," ucap Gendis. Aku langsung menutup mulutnya agar tidak mengomel."Ada ayah dan bundamu, di luar. Pak supir cepat berangkat," bisikku.Rasanya seperti tak bernapas ketika aunty Fatia mendekat mobil kami. "Cepat, Kang, jalan." "Iya, Tuan."Terdengar langkah kaki yang mengejar kami sambil berteriak."Tunggu sebentar kami mencari anak kami!" teriaknya. Gendis sampai gemetar karena kami hampir ketahuan."Bagaimana bisa ada bunda dan ayah?" tanya Gendis."Entahlah ... mereka seperti tahu apa yang kita kerjakan. Hampir ketahuan," balasku.Mobil melaju dengan cepat, debaran di dada ini jangan ditanya. Ada sesuatu yang masih mengganjal. Entah apa yang akan terjadi. Berkali-kali aku mengatur napas, hari ini seperti mimpi."Tuan, sepertinya kita diikuti mo
"Cantika ...!"Kami berteriak, kaca di depan kami hancur. Untuknya Gendis menahan pakai selimut yang dipakai. Namun, tangannya Gendis kena pecahan kaca dan berdarah. "Kalau begitu kita terobos saja!" Teriak kang Maman. Kang Maman memacu kendaraannya dengan kecepatan tinggi. Dengan brutal kang Maman menabrak motor di depannya tanpa ampun. Tak cukup itu kang Maman mundur dan menabrak lagi mereka dari belakang. Gendis meringis kesakitan, aku pun tak sadar jika ada setetes darah turun dari keningku."Pegangan, Tuan. Mereka berani, kita lebih berani," ucap kang Maman yang kurasa mengeluarkan sisi premannya. Cantika tak henti menangis, bayi mungil tak berdosa itu ikut menyaksikan pertempuran malam ini. Untungnya kang Maman di sini sangat pro. Dia terlihat sangat cekatan melawan para geng motor itu."Kasih ASI, Cantika," bisikku ke Gendis. Kuambil kain penutup agar Gendis nyaman memberikan Cantika ASI. Para preman di belakang masih berusaha untuk mengejar kami. Dua motor rusak parah, tet
"Siapa yang mencari kami?" tanyaku kembali."Sebentar, Tuan." Jangan ditanya debaran di dada ini. Tak berselang lama mereka kembali mengabari kami. Aku dan Gendis sudah siap mendengar siapa yang ada di luar mencari kami."Ternyata istri kang Maman," jawab mereka. Alhamdulillah. Kami bisa bernapas lega. Aku dan Gendis keluar menemui istri kang Maman. Gendis bahkan mencium tangannya, kami taksir umurnya mirip bunda Nina meski belum memiliki keturunan."Ini miss Rara?" tanyanya."Iya, ibu. Saya miss Rara.""Alhamdulillah, ibu senang bisa bersama kalian," balasnya. "Ini suamiku, Bu. Shaka Adytama," ucap Gendis. Aku hanya membalas dengan senyuman.Setelah basa basi kang Maman beserta istri meminta kami untuk beristirahat. Kami pun izin pamit untuk langsung ke kamar. Setidaknya kami dalam keadaan aman.Cantika masih tertidur pulas, tetapi menurut Gendis, setiap tengah malam Cantika sering bangun. Jadi harus siap begadang malam ini. "Iya, aku temani. Tenanglah.""Yakin?" tanyanya tidak p