"Miss Rara tidak guyon, kan?" tanya salah satu dari mereka mendekat. Tentunya mereka penasaran dengan ucapan Gendis. "Aku tidak guyon, jika kalian tidak percaya aku punya bukti foto nikah kami berdua," balas Gendis. Dia langsung masuk kamar mengambil foto nikah kami berdua. Irwan menepuk pundakku agar ikut membela diri. Mengapa aku juga mendadak salah tingkah begini. Tak berselang lama Gendis keluar membawa foto nikah kami berdua. Selain itu dia juga membawa salinan fotokopi buku nikah kami. Dia memang luar biasa kurasa. "Jadi kuharap kalian tidak menggangguku lagi, di sini kami sedang berjuang untuk kembali bersama," ucapnya mantap sambil memegang tanganku. Satu per satu pemuda itu mundur teratur melihat Gendis yang memegang tanganku. Jangan ditanya tatapan mata mereka yang sinis melihatku. Ini pasti akan menjadi berita besar bagi mereka di desa ini. Aku sudah siap dengan segala resiko yang terjadi. Irwan pun ikut mundur teratur tanpa kuminta, setelah sepi Gendis langsung bereaks
"Pulanglah, yah. Aku memang bukan bagian Atmadja," balas Gendis."Aku peringatkan kamu sekali lagi," ucap Om Gunawan. "Peringatkan apalagi? Bukannya ayah sudah berhasil memisahkan kami berdua? Padahal putusan pengadilan belum turun." Hebat, Gendis berani membela diri. Ini memang tidak boleh dibiarkan, sekarang mungkin om Gunawan yang datang, bisa saja besok Ana yang datang ke tempat ini."Kamu tahu darimana?" tanya om Gunawan terdengar panik. Aku masih bersembunyi di kamar bersama Cantika yang sedang tertidur."Kebenaran itu selalu terungkap, jika kalian sudah menganggapku mati, kenapa masih terus menggangguku." Gendis berani melawan. Mendengar keributan di luar, Cantika menangis membuatku bingung. Sementara posisiku sedang bersembunyi. "Anakku menangis, yah. Pulanglah ... aku ingin istirahat." Terdengar Gendis mengusir ayahnya. Dengan pelan aku langsung menggendong Cantika, menenangkan dia agar tertidur lagi. Namun, langkah kaki membuat dadaku berdetak lebih cepat. Apa itu om Guna
Om Gunawan langsung mengetuk pintu rumah Gendis, aku mengendap ke depan langsung masuk ke dalam mobil di dekat Gendis. Ini darurat, mau tidak mau kami harus duduk dalam keadaan sempit. Aku bisa ketahuan jika duduk di belakang."Sempit, Bang," ucap Gendis. Aku langsung menutup mulutnya agar tidak mengomel."Ada ayah dan bundamu, di luar. Pak supir cepat berangkat," bisikku.Rasanya seperti tak bernapas ketika aunty Fatia mendekat mobil kami. "Cepat, Kang, jalan." "Iya, Tuan."Terdengar langkah kaki yang mengejar kami sambil berteriak."Tunggu sebentar kami mencari anak kami!" teriaknya. Gendis sampai gemetar karena kami hampir ketahuan."Bagaimana bisa ada bunda dan ayah?" tanya Gendis."Entahlah ... mereka seperti tahu apa yang kita kerjakan. Hampir ketahuan," balasku.Mobil melaju dengan cepat, debaran di dada ini jangan ditanya. Ada sesuatu yang masih mengganjal. Entah apa yang akan terjadi. Berkali-kali aku mengatur napas, hari ini seperti mimpi."Tuan, sepertinya kita diikuti mo
"Cantika ...!"Kami berteriak, kaca di depan kami hancur. Untuknya Gendis menahan pakai selimut yang dipakai. Namun, tangannya Gendis kena pecahan kaca dan berdarah. "Kalau begitu kita terobos saja!" Teriak kang Maman. Kang Maman memacu kendaraannya dengan kecepatan tinggi. Dengan brutal kang Maman menabrak motor di depannya tanpa ampun. Tak cukup itu kang Maman mundur dan menabrak lagi mereka dari belakang. Gendis meringis kesakitan, aku pun tak sadar jika ada setetes darah turun dari keningku."Pegangan, Tuan. Mereka berani, kita lebih berani," ucap kang Maman yang kurasa mengeluarkan sisi premannya. Cantika tak henti menangis, bayi mungil tak berdosa itu ikut menyaksikan pertempuran malam ini. Untungnya kang Maman di sini sangat pro. Dia terlihat sangat cekatan melawan para geng motor itu."Kasih ASI, Cantika," bisikku ke Gendis. Kuambil kain penutup agar Gendis nyaman memberikan Cantika ASI. Para preman di belakang masih berusaha untuk mengejar kami. Dua motor rusak parah, tet
"Siapa yang mencari kami?" tanyaku kembali."Sebentar, Tuan." Jangan ditanya debaran di dada ini. Tak berselang lama mereka kembali mengabari kami. Aku dan Gendis sudah siap mendengar siapa yang ada di luar mencari kami."Ternyata istri kang Maman," jawab mereka. Alhamdulillah. Kami bisa bernapas lega. Aku dan Gendis keluar menemui istri kang Maman. Gendis bahkan mencium tangannya, kami taksir umurnya mirip bunda Nina meski belum memiliki keturunan."Ini miss Rara?" tanyanya."Iya, ibu. Saya miss Rara.""Alhamdulillah, ibu senang bisa bersama kalian," balasnya. "Ini suamiku, Bu. Shaka Adytama," ucap Gendis. Aku hanya membalas dengan senyuman.Setelah basa basi kang Maman beserta istri meminta kami untuk beristirahat. Kami pun izin pamit untuk langsung ke kamar. Setidaknya kami dalam keadaan aman.Cantika masih tertidur pulas, tetapi menurut Gendis, setiap tengah malam Cantika sering bangun. Jadi harus siap begadang malam ini. "Iya, aku temani. Tenanglah.""Yakin?" tanyanya tidak p
Aku memeluknya, memberikan transfer cinta ke hatinya Gendis. Kami memang bukan pasangan yang dilanda kasmaran, dari awal nikah, kami bahkan tak pernah bermesraan seperti orang lain. Begitu sulit bagi kami hanya sekedar bercinta seperti yang lainnya. Dia bahkan panik ketika aku hanya sekedar memeluknya."Jangan takut, aku suamimu.""Siapa yang takut, abang kepedean," balasnya."Kita bahkan tidak pernah pacaran dan hidup bahagia," ucapku. "Kita pasti akan bahagia, karena pelangi selalu terbit setelah hujan." Dia memang tumbuh dengan dewasa."Ada anak kita yang menjadi penyejuk di hati kita."Cukup lama Gendis di pelukanku, kami berdua larut dalam pikiran masing-masing. Seperti kata Gendis, Cantika akan bangun ketika lapar, tepat jam empat pagi Cantika bangun lagi. Gendis dengan sigap memberikan ASI. Pola yang teratur diberikan Gendis membuat Cantika tidak terlalu rewel dan bangun di waktu tertentu. Usia Gendis sebentar lagi dua bulan, masih terlalu dini untuk dibawa kesana kemari.Men
POV Author Ambulance berpacu menyelamatkan korban kecelakaan malam ini. Bayi mungil itu yang pertama kali diambil oleh warga. Tiba-tiba hujan yang begitu derasnya langsung reda mendengar supir truk yang berteriak minta tolong. "Tolong ...!" Supir truk berteriak hingga warga berdatangan. Kang Maman dan istrinya sangat gelisah di rumah karena Gendis dan Shaka belum pulang. Mereka sudah menganggap Gendis dan Shaka adalah anak kandung mereka. "Kang, kenapa mereka belum pulang? Mana hujan deras," ucap istrinya kang Maman. Wajah kang Maman juga begitu gelisah, di tengah-tengah kegelisahannya. Warga datang mengabari jika Gendis dan Cantika ditemukan dan sudah dilarikan ke puskesmas terdekat. Kemungkinan besar akan di rujuk ke rumah sakit. Bergegas kang Maman dan istrinya ke puskesmas yang dimaksud. Air mata istri kang Maman tak henti-hentinya turun. Dipikirannya bagaimana keadaan mereka. Apalagi Cantika masih kecil, pasti dialah yang paling terluka saat ini. "Gimana dengan cucuku, Ka
Aku bangun melihat ada wanita yang tergerai rambutnya. Wajahnya begitu bersinar, senyum di bibirnya tak pernah lepas. Kepalaku masih terasa berat dan rasanya aku tertidur sangat lama."Alhamdulillah ... akhirnya mas sadar juga," ungkapnya. Kenapa dia terasa asing sekali. Aku dibuat bingung."Kamu siapa?" tanyaku. Dia terus tersenyum, aku tak mengerti maksud dari senyumnya."Aku istrimu," jawabnya. Entah mengapa aku tidak merasa ada ikatan apa pun dengannya. Justru aku merasa dia aneh."Apa benar kamu istriku?" tanyaku lagi. Wajahnya langsung berubah. Seketika aku bergidik ngeri. Mengapa dia seperti punya dua kepribadian. Kepalaku makin pusing dibuat. Segera dokter yang menanganiku memeriksa kondisiku. Aku seperti orang asing di sini, bahkan aku tidak tahu siapa diriku sebenarnya. Dokter yang menjaga begitu totalitas. Belum lagi pengawal yang menjaga kami. "Siapa aku?" tanyaku ke dokter yang memeriksaku."Tuan suaminya nyonya Ana," jawab dokter itu gugup. Mengapa dokter itu gugup. Ak