"Mimpimu terlalu kejauhan Ana, apa kamu bisa jamin jika istri saya meninggal maka aku akan menerimamu. Mohon maaf aku tidak menikah dengan orang toxic sepertimu." Kali ini dia tidak melawanku."Dari dulu sampai sekarang aku tidak pernah mengajarkan karyawanku atau kolegaku bekerja tidak profesional, tidak bisa membedakan mana pekerjaan mana urusan pribadi. Untuk kasusku dengan keluarga Atmadja tidak ada sangkut pautnya dengan urusan pribadi!" tegasku.Dia semakin salah tingkah melihatku marah."Mulai besok dan kedepannya, aku Shaka Adytama tidak akan bergabung dalam urusan bisnis denganmu dan keluarga Atmadja!" tegasku. Kali ini kita harus berprinsip agar tidak mudah ditindas.Tak ingin melihat Ana aku pamit undur diri. Semua relasi dan karyawanku juga turut pamit undur diri. Kita harus bersama orang yang menghargai kita bukan menjatuhkan apalagi orang yang sudah niat ingin melihat perusahaan bangkrut. Aku kembali ke ruangan dengan menahan napas berkali-kali. Mencoba meresapi semua y
"Gendis?" aku bertanya lagi untuk memastikan apakah dia Gendis atau tidak.Dia balik badan dan nampak terkejut melihatku."Siapa?" Dia malah balik bertanya padaku. Berkali-kali aku menarik napas ternyata dia bukanlah gendis. Aku memang sudah gila dibuat oleh Gendis."Belajarlah untuk move on saudara," ujar si Arya. "Kukira setelah seperti orang gila bekerja sudah bisa melupakannya," balas si Arya lagi."Cerewet lho, mau tak jitak sepertinya," balasku. Aku tak segan menjitak kepalanya. Eh, Si Arya malah terkekeh."Orang sudah meninggal masih saja dipanggil," ucap seseorang yang tidak asing. Siapa lagi kalau bukan Ana. Dia terlihat glamour dengan pakaian yang digunakan. Berubah seratus delapan puluh derajat.Aku melewatinya malas berdebat dengannya. Arya juga tak berani ikut campur, dia pergi meninggalkan kami berdua."Kamu pasti akan jadi milikku, Mas. Karena kita ditakdirkan untuk bersatu," jawabnya penuh percaya diri."Kamu tahu, laki-laki baik itu untuk wanita yang baik juga. Dan k
Sudah dua kali aku merasa seseorang yang mirip dengan Gendis. Apa karena aku sedang merindukannya? Atau ini hanyalah halusinasiku semata. Astaghfirullah ... kutahan napas berkali-kali. Ini tidak boleh dibiarkan, lama-lama bisa gila aku dibuat."Pak, ini pesanannya," ucap pelayan yang membawa makanan yang telah kupesan. Aku kembali fokus dengan makanan yang telah kupesan, meski selera makanku telah hilang. Dokter Rayyandra dan istrinya juga langsung pulang. Kejadian sudah hampir empat bulan dan masih menyisakan banyak rasa di hatiku. Aku memang mendengar jika dokter itu telah menikah dari kabarnya Arya. Sedang banyak melamun, tiba-tiba ada wanita yang duduk didepanku tanpa permisi."Maaf aku terlambat," katanya. Maksudnya? "Sudah lama menungguku, Mas?" tanyanya lagi. Aku bingung mau jawab apa. Dari jauh dokter Rayyandra yang sedang membayar di kasir, tak berhenti berkedip menatapku bersama dengan wanita yang di depanku."Bukannya kita janjian ketemuan disini, dan pas ini nomor meja
Tak terasa waktu terus berganti, mendalami bisnis disini benar-benar membuatku semakin dewasa dalam bersikap. Menjadi pemimpin dan bagaimana cara berbisnis dengan baik.Sedikit demi sedikit aku mulai melupakan semua masalah dalam hidupku. Irwan juga sangat profesional agar aku tetap fokus belajar disini."Ini buku yang dipelajari, tuan Shaka," ucap Irwan memberiku tumpukan buku."Iya, Irwan. Buku yang kemarin juga belum selesai dibaca.""Semangat, Tuan. Jangan kasih kendor.""Hoam ...." Hari ini kelas dimulai siang. Daddy benar-benar membuatku menderita, tak dikasih istirahat sedikit pun di sini. Laporan dan persentasi beserta speaking juga harus oke. Aku bahkan diminta hanya menelpon sekali seminggu. "Bisnis itu selain kecekatan, penting juga sebuah kepercayaan. Ketika orang percaya dengan kemampuan kita, maka orang akan berani membeli dengan harga berapa pun. Bisnis itu kadang membuat kita merasa di atas awan, kadang juga membuat kita merosot ke jurang." Profesor kali ini betul-be
Dia diam lalu membalikkan badan menghindari kami. Bahkan tatapan matanya masih sama seperti dulu. Baju yang digunakan nampak sederhana, dia bahkan hanya memakai kain sebagai roknya, persis seperti gadis desa lainnya. Dia bahkan sesederhana itu, keturunan Atmadja yang kaya raya dan sombong itu tak ada melekat pada dirinya. "Apa kamu begitu pengecut hingga menjauhi kami!" teriakku. Gendis berhenti melihat warga mulai mendekat. Dia menghela napas lebih dalam. Apa dia merasa terluka? Harusnya aku yang terluka di sini oleh keluarganya yang sok itu. Bahkan mereka tak tahu malu datang berkali-kali hanya ingin aku berpisah dengan Gendis. Kurasa keluarga Atmadja benar-benar aneh."Kurasa kamu dan keluargamu memang sama. Sama-sama pengecut!" teriakku lagi. "Siapa, dia, bunda Cantika?" tanya warga yang mengajaknya bicara. Gendis hanya diam tanpa memedulikan pertanyaan dari tetangganya. Dia menatapku sejenak lalu berpaling begitu saja, dia sama sekali tak peduli dengan kami yang masih menunggu
"Sabar, Tuan. Makanya kalau mau cari simpati itu jangan pakai emosi," bisik Irwan."Kamu sebenarnya bela tuanmu apa si Gendis, ha?""Tau, lah." Et, dah ini asisten makin berani kurasa. Pak RT pun terlihat bingung, tapi biarlah dia bingung. Takutnya kalau aku mengatakan suaminya si Gendis, bisa digebuk massa aku karena menelantarkan dia di sini. Hebatnya lagi keluarga Atmadja tidak merasa kehilangan justru merasa jika Gendis telah meninggal dunia."Besok saja kita kelilingnya, moodku gak baik, Wan." Irwan mengangguk. Meski dia sedang sebal, tapi dia menjagaku dengan hati-hati. Setiap warga yang mendekat dia hadang dengan tepat, seperti pengawal yang siaga menjaga tuannya.Sampai pnginapan, aku langsung membersihkan diri agar terasa fresh. Pikiranku terus memikirkan Gendis dan bayi mungil itu. Apa dia adalah darah dagingku, benar-benar menjadi misteri bagiku."Tuan, kita makan malam dulu," ucap Irwan."Sebentar, Wan. Nunggu salat isya dulu," jawabku."Oke, Tuan. Aku lihat ada masjid ti
Andai waktu bisa diulang, aku harap ini tidak terjadi diantara kita berdua. Membenci padahal saling merindukan. ****Irwan menepuk bahuku agar sadar bahwa ada Gendis di depanku. Dengan sedikit salah tingkah aku mengembalikan posisiku seperti semula. "Om, ini miss Rara." Rasanya napasku tercekat. Jadi disini dia dipanggil Miss Rara? Si Irwan langsung mengambil dompet dan memberikan uang. Mereka bersorak kegirangan karena mendapatkan uang dari Irwan, mereka tidak tahu jika kami sudah seperti patung karena terkejut. Gendis juga tidak ada pergerakan sama sekali. Sial, ini gara-gara asisten tidak jelas ini. Dia cukup mencurigakan. "Cepat kalian pergi!" usir Irwan menghalau mereka. Sekarang kami yang bingung karena tinggal berdua. Astagfirullah, berarti ini kerjaan si Irwan agar kami bisa berbicara berdua. Awas saja nanti. "Jangan pernah pengaruhi warga, aku sudah tenang disini. Kuharap ini yang terakhir bisa melihat wajahmu," tukasnya. Ada dendam yang terlihat di wajahnya. "Mengapa ka
"Pergilah ke tempat terpencil Rani," ucap ayah Gunawan memaksaku agar segera pergi dari tempat ini. "Berikan Shaka surat keterangan kamu tidak bisa memiliki keturunan," sambungnya lagi. Aku bahkan divonis mandul. Lalu bagaimana jika aku hamil? Mengingat aku pernah berhubungan badan dengan Shaka."Bagaimana jika aku hamil?" ayah hanya diam mendengar pertanyaanku.Apakah boleh aku mengatakan menyesal menjadi bagian dari mereka? Siapa yang ingin dibuang dan ditelantarkan seperti ini. Kurasa aku bukan anak mereka hingga setega ini."Jawab jujur, apakah aku anak ayah?" tanyaku menatap wajahnya."Iya, kamu anakku. Namun, kakek Atmadja membuat wasiat hanya mengakui satu keturuan saja." Kurasa itu hanya pernyataan ayah saja, sebenarnya aku bukan bagian dari mereka."Lalu apa salahku, yah. Kenapa bunda mau hamil jika tidak menginginkanku.""Ada satu alasan, kamu tidak perlu tahu. Tinggalkan Shaka karena dia sudah menggugatmu di pengadilan. " Bunda hanya diam ketika aku bertanya tentang ini, a
POV ARVIANKali ini Aku merasa ada harapan melihat reaksi bunda yang mulai melirik ayah. Siapa yang tidak bahagia, setelah sekian lama harapan itu nampak di depan mata. Aku sama halnya dengan anak yang lain ingin orang tua yang utuh. Ingin keluarga bahagia yang tiap bangun tidur melihat mereka di depanku. "Kamu kenapa Arvian?" tanya Bani temanku yang biasa mendengar keluh kesahku."Doakan, ya, bunda dan ayahku bersatu lagi.""Bukannya daddy Aksenmu ada?" tanya Bani penasaran. "Mereka sudah lama pisah, Ban.""Semoga orang tuanmu bersatu lagi, Arvian.""Aamiin.""Kalau pun, tidak ada harapan aku harap kamu tetap jadi Arvian yang baik." Bani jauh lebih di atas tingkat dariku, dia sudah SMP. Namun, dia tidak mau dipanggil kakak. Bani adalah anak dari salah satu rekan dokter ayah.Aku bukan anak yang kuat, kadang Aku depresi melihat bagaimana teman-temanku bisa bahagia di usianya yang begitu indah. Main timezone dengan kedua orang tua lengkap, sementara Aku hanya bisa gigit jari melihat
Aku tak henti tersenyum hingga tak terasa kami sampai rumah. Benar-benar tidak bisa diprediksi itu orang. Bisa-bisanya dia berubah dalam sekejap. Dasar aneh!"Kamu kenapa, Nak? Wajahmu bersemu merah," ucap bunda. Wajah herannya tidak bisa disembunyikan."Mungkin dari pesan yang dibaca," balas daddy. Bisa-bisanya mereka ikut usil. Astagfirullaah Aku pun sendiri bingung dengan tingkah anehku."Apa, iya, dari Brayen? Bukannya tadi dia sedang berduka," sambung bunda lagi."Kamu kayak tidak tahu aja anak nakal itu, dia akan mengejar sampai dapat," balas daddy."Hooh, kayak abang, sih." Eh, kok mereka sekarang yang berdebat."Sudah sampai, Bund. Ayo kita masuk, Monica sudah lapar, apalagi lihat bunda dan Daddy berdebat makin buat Monica lapar." Mau bagaimana lagi, Daddy sama abang Brayen itu memiliki kemiripan. Itu tidak bisa dipungkiri jika mereka berdua susah ditebak.Aku hanya bisa menggelengkan kepala mengingat tingkah unik abang Brayen yang kurasa aneh. Entah mengapa jiwa usilku ngin
"Maksudnya?" tanya daddy memperjelas."Dokter Brayen baru saja menangani operasi besar, kemungkinan tidak mengaktifkan ponselnya," jawab dokter yang jaga di depan IGD."Syukurlah ...." Bunda ikut lega karena prasangka dari Arvian tidak benar.Sekarang aku yang panik karena ponselku terus bergetar karena pesan dari abang Brayen. Ya Allah, habis aku setelah ini."Arvian cari ayah dulu, Opa," kata Arvian."Iya, cucu eyang yang panikan," balas bunda. Dari masalah ini kami jadi paham jika Arvian selama ini menyimpan luka yang tidak kami sadari. Dia begitu menyanyangi ayahnya-Abang Brayen."Mon kamu mau kemana?" tanya bunda yang melihatku berbalik arah, sebenarnya mau kabur karena pesan yang kukirim pada abang Brayen pasti akan ditagih."Pulang, Bund.""Oh ....""Ayo kita pulang, biarkan Arvian bersama ayahnya," balas daddy."Abang tidak menemui anak nakalnya." Bunda ternyata iseng juga sama daddy. Melihat daddy salah tingkah membuat aku ikut tertawa juga. Lucu ekspresi daddy."Bunda iseng
"Maksudmu diantar Brayen?" tanya bunda dengan penuh senyuman. Kenapa bunda bahagia? Daddy juga tidak terlihat marah. Apa aku tidak salah lihat, sementara Arvian balik dan tidak berucap. Aneh kulihat oang-orang."Iya, Bund. Dia maksa mau antar pulang," balasku jujur."Tapi kamu mau," balas daddy menatapku."Dipaksa, Dad." "Bilang saja kamu bahagia diantar oleh si anak nakal itu," sambung daddy. Kenapa aku bahagia mendengar omelan daddy. Anak nakal itu seperti ungkapan kerinduan."Abang gak marah?" tanya bunda heran. Jangankan bunda, aku pun sangat heran."Kita sudah cukup tua untuk sakit hati, biarkan mereka yang menentukan apa yang terbaik bagi mereka." Ha? Apa aku gak salah dengar daddy Reza mengatakan hal tersebut."Wow, menyala abang Reza," sahut bunda. Ada yang menghangat di hatiku, ini tidak mimpi 'kan? semua seperti mendukung kami bersama."Jangan senyum-senyum sendiri, Mon," sambung daddy.Tu kan, semua isi pikiranku hanyalah khayalan semata. Aku tetap sadar diri agar tidak te
Ternyata abang Brayen tidak mau menyerah, dia mengikutiku dari belakang. Tanpa ragu dia bahkan menarik tanganku ke mobilnya. Aku yang ingin melepas diri, kalah dengan tangannya yang begitu kekar. "Biar nanti mobilnya diantar pak sopir saja," katanya enteng."Apa semua wanita begini menyusahkan," katanya lagi. Dia nampak sebal melihat Nugroho mendekatiku. Wajah cemburunya tidak bisa di sembunyikan."Mau kemana?" tanyaku spontan."Aku antar pulang, Daddy sudah menunggumu sejak tadi.""Maksudnya?" apa benar daddy menungguku. Darimana dia tahu. Bisa saja ini hanya akal-akalanya saja agar bisa mendekatiku."Kenapa heran begitu, bukannya kami berdua sama-sama tukang intip," balasnya sambil terkekeh.Dengan santainya dia menyetir, aku dibuat bingung sendiri dengan tingkahnya. Walau entah mengapa ada yang terasa hangat di hatiku. "Singkirkan pikiranmu bisa mencari laki-laki yang lain selain aku," katanya lagi. Kali ini nada bicaranya lebih intens. Ada ketegangan di wajahnya seperti sangat s
Dia terus menatapku membuatku salah tingkah. Dengan entengnya dia minum kopi yang aku pesan. Benar-benar meresahkan. Aku hanya bisa menunduk, tidak berani menatap wajahnya."Sejak kapan dokter Monica bisa minum kopi?" tanyanya lagi. Aku hanya bisa menunduk, tak kuat hanya sekedar memandangnya. Apa rasa ini tumbuh kembali? Mengingat dia jauh lebih fresh, serta hidupnya kulihat lebih teratur."Kenapa tidak berani memandangku?" tanyanya dengan santai. Cemilan yang bahkan kupesan ikut serta dia makan. Aku terus menarik napas agar bisa mengendalikan diri."Apa kerjaan dokter yang dikatakan hebat ini suka ngintip?" tanyaku. Aku tak mau kalah."Kalau bisa aku akan mengintipmu setiap saat, Sayang." Duh, kenapa dia menatapku seperti itu.Aku bangkit dan beranjak dari tempat duduk, tapi abang Brayen langsung menahanku. Mata kami beradu, dia bahkan menatapku dengan lekat."Mau kemana?" tanyanya."Mau kembali ke rumah sakit, gara-gara kalian hidupku tidak tenang, tidak daddy, anda pun demikian.
"Apa tidak salah dokter mau bekerja sama dengan hospital group, mengingat Perusahaan Adytama salah satu perusahaan terbesar di kota ini.""Tidak masalah, Bu. Yang punya kan daddy saya, sementara saya baru merintis." "Oh, baiklah."Ini bukan sekali dua kali ketika pertemuan mereka terlihat heran, tapi sebenarnya aku sengaja membuka identitasku di depan dokter Ika karena aku melihat dia membuka identitasnya waktu berkenalan. Sebagai pembisnis daddy selalu mengajarkan untuk tidak boleh terlihat lemah. Apalagi seperti orang yang heran dengan kekayaan atau kesuksesan orang lain, meski kita terlihat sederhana, tetapi harus tetap untuk menjaga pembawaan diri agar disegani oleh rival. Ini yang aku pegang, ketika menemukan sosok seperti dokter Ika, maka aku pun tidak boleh menunjukkan kelemahan di hadapan dia."Mari kita mulai, Dok," sambungnya.Setelah panjang lebar kami berkomunikasi akhirnya kami menemukan kesimpulan. Kami juga sepakat membangun kerja sama kedepannya. Fokus dengan tujuan,
Semalaman aku berpikir keras, amarah daddy masih nampak jelas di depanku. Kurasa itu sangat wajar, orang tua mana yang mau melihat anaknya susah untuk kedua kalinya. Aku pun heran bahkan sekian tahun berganti mengapa harus dia? Mengapa dia masih bertahta padahal kesalahannya begitu fatal. Harusnya aku menyadari bahwa dinding diantara kami begitu tinggi dan kokoh, bahkan aku sadar di kehidupan kedua pun tak ada yang merestui hubungan kami. "Monica, bunda boleh masuk?" tanya bunda yang sedang mengetuk pintu kamarku. "Boleh, Bund. Monica tidak menguncinya."Bunda masuk lalu mengajakku bicara, nampak sekali bunda terlihat cemas melihatku. Apakah aku terus yang akan membuat hatinya terluka? Tanpa berbicara pun, bunda paham dengan apa yang aku rasakan. "Apa ucapan daddy mengganggumu?" tanya bunda. "Gak, Bund. Menurutku itu hal wajar sebagai orang tua. Aku pun sebagai orang tua akan bersikap demikian jika membuat hati anakku sakit.""Apa susah bagimu melupakan cinta pertamamu?" tanya b
Ada hangat dalam hati ini yang tak bisa dilukiskan dengan kata-kata, setidaknya aku punya harapan bersamanya lagi tanpa merebut dia dari Aksen. Setitik asa mulai terlihat untuk mengulang kembali di masa depan bersamanya. Wajahnya bahkan senyumnya begitu candu bagiku. Aku rasa ini yang dinamakan cinta yang berbalik padaku, wanita yang pernah menjadi adik angkatku itu membuat hidupku berubah drastis. Apa aku serakah dengan perasaan ini? Walau jujur aku bahagia bisa melihatnya lebih dekat tanpa takut dia milik orang lain."Kenapa melamun begitu?" tanya Aksen tiba-tiba sudah ada di rumah sakit.Dia memang laki-laki tak terduga, kadang aku berpikir kenapa ada laki-laki sebaik dia. Meski aku pernah berkelahi dengannya tak sedikit pun dia membalas, dia justru selalu membantuku dalam diam. Hatinya seluas samudera yang kadang membuatku malu sendiri. Walau jujur aku heran dia belum memiliki keturunan bersama Monica."Sejak kapan di Indo?" tanyaku balik."Sudah seminggu ini," balasnya."Kenapa