Aku menarik tangan Gendis agar segera berkemas untuk pulang. Rasanya berlama-lama disini tak ada artinya. Tak peduli dengan kondisi Ana yang sedang diperiksa dengan ayah dan dokter Rayyandra, kami pulang tanpa pamitan."Ayo kita pulang, sayang," ajakku. Gendis tidak memberontak. Dia mengikutiku tanpa protes.Selama perjalanan menuju kamar, kami hanya diam, Gendis terlihat murung, air matanya turun tanpa diminta."Jangan menangisi sesuatu yang merugikanmu, Dik.""Aku justru takut, Bang," balasnya."Takut apa?" tanyaku."Takut jika abang kasihan padanya dan lebih memihaknya.""Sekali lagi abang katakan, jangan menangisi sesuatu yang tidak pasti, fokus terhadap apa yang di depan mata."Entah apa yang terjadi dengan pernikahan Om Gunawan dengan aunty Fatia hingga dia seperti ini. Aku justru kasihan dengan Gendis yang sejak kecil sudah menjadi orang yang terbuang. ****Kami pulang dengan perasaan lebih tenang. Tak menyangka ada bunda, Daddy dan Monica yang menunggu kami."Akhirnya pengant
Pagi menyapa, kulihat jam dinding kamar kami menunjukkan pukul tiga pagi. Kupandang istriku yang luar biasa ini. Dibalik bae-bar, pecicilannya dia mampu mengatasi semua masalah yang ada pada dirinya."Abang sudah bangun?" tanyanya tiba-tiba. "Sudah," jawabku."Jangan natap gitu, malu aku," balasnya. Aku justru mencubit hidungnya. Lucu kulihat."Aku mandi dulu, ya. Yang ini beneran keramas," sambungnya membalas cubitan di hidungku. Rasanya aku ingin menerkamnya lagi. Karena usil kukejar dia sampai kamar mandi, Gendis juatru berlari mengejekku. Kami sudah seperti bocil kasmaran."Eh, Abang mau ngapain lagi?" tanyanya."Mau menerkammu," jawabku tak kalah usil."Diih, Bang. Masih perih tahu bekas tadi malam.""Kagak ngaruh pada pengantin baru.""Eh, abang-abangan pecicilan ini mah." Dia terus mundur menjauhiku.Namun, aku tak kalah akal kukejar lalu menangkapnya. Kami persis seperti adegan bucin drama korea. Duuh, kenapa aku jadi alay seperti ini."Lepas, Bang!""Makanya jangan nakal j
Tak terasa sudah tujuh hari pernikahanku dengan Gendis. Kami begitu menikmati kemesraan ini. Gendis begitu setia melayaniku sepenuh hati. Itu terlihat dari caranya melayaniku dari bangun tidur sampai tidur lagi."Apa aku bekerja, sayang?" tanya Gendis."Mana baiknya, abang tidak pernah memaksa. Takutnya kalau di rumah terus bosan," jawabku."Aku di rumah saja, ya, dulu. Aku masih betah di rumah," ucap Gendis."Siyap, tidak bekerja pun gak ada yang larang. Bulan depan jadi 'kan kita bulan madu ke luar negeri?" tanyaku "Tentu sayang." Gendis begitu manja memelukku. Sebenarnya aku pun malas untuk bekerja, selama seminggu bersama Gendis rasanya tidak ingin ada hal yang terlewati begitu saja."Kirain tidak mau," ucapku menjahilinya."Awalnya, tapi kalau sama suami sepertinya beda," jawabnya.Gendis memasangkan aku dasi dengan lembut, menyiapkan segala keperluan kantorku dengan baik. Bahkan bekal makan siangku sudah dia siapkan. "Jangan capek, di rumah kerjakan apa yang membuatmu bahagia.
Mataku memanas melihat Gendis ditampar oleh Ana. Untuk apa Gendis ke rumah sakit? Ini yang kutakuti meninggalkannya sendiri di rumah. Aku terus merutuk Gendis yang datang ke rumah sakit menjenguk Ana tanpa aku disampingnya.Tak peduli dengan semua pekerjaan di kantor. Aku langsung ke rumah sakit menjemput Gendis."Apa istriku masih disana, Wan?" tanyaku ke Irwan yang masih di rumah sakit melihat Ana."Masih, tuan." Jujur aku jengkel dia ke rumah sakit menjenguk kakaknya. Ini salahku yang tidak berpesan pada Gendis agar dia tidak ke rumah sakit. Tak peduli dengan ramainya kendaraan sore ini aku melaju ke rumah sakit dengan kecepatan tinggi untuk menjemput Gendis. "Ruangan VVIP no. 5 tuan." Pesan dari Irwan. Aku langsung mencari kamar Ana, lebih tepatnya mencari Gendis. Namun, ketika membuka pintu kamar inap Ana, langkahku terhenti mendengar Ana memarahi Gendis. "Harusnya kamu tidak lahir di dunia ini Gendis!" teriak Ana."Apa itu tidak kebalik, Mbak. Harusnya mbak Ana yang tidak a
"Mengalah, lah demi kakakmu, Ran." Lagi ayah memintaku untuk mengalah."Ayah ... mengapa harus aku yang mengalah? Bukannya mbak Ana yang menolak Bang Shaka sebelumnya," jawabku. Kali ini ayah memanggilku tanpa sepengetahuan Shaka. Ayah bahkan memintaku untuk bertemu di taman dekat rumah yang kami tempati. Tak lupa bunda juga ikut menemani."Kakakmu sakit parah Rani, setelah diperiksa dia mengalami kanker kelenjar getah bening stadium akhir." Astagfirullah, apalagi ini."Dokter meminta agar membahagiakan kakakmu, mengikuti segala kemauannya diakhir sisa hidupnya. Jangan sampai dia ada pikiran hingga penyakitnya kambuh lagi." Ayah menjelaskan dengan detail. Rasanya sesak sekali. Aku bahkan diminta menyerah sebelum membela diri."Ketika selesai kamu akad nikah, kakakmu hampir mau bunuh diri di kamar karena menyesal menolak Shaka yang ternyata fasih dalam mengaji. Pikiran Ana, CEO seperti Shaka pasti tidak bisa apa-apa ternyata dia salah besar. Malam itu bahkan dia meraung-raung di kamar
Hal yang paling kutakuti selama ini adalah ketika aku mencintai, tapi dikhianati. Ditinggalkan begitu saja tanpa sebab yang pasti. ~Shaka_AdytamaSetelah berbicara sedikit keras, Gendis lebih banyak diam. Jujur, aku merasa bersalah, tapi masalah hati harusnya dia juga paham. Bagaimana jalan pikirannya yang mau menerima begitu saja keputusan keluarganya. Mandul? Kurasa pasti ada obatnya selama kita mau berusaha. Jujur aku dilema dibuat olehnya, meski aku bersikeras pun itu tidak akan mengubah pemikiran tentang keluarganya yang kurasa keluarga aneh. Lalu om Gunawan mengapa berubah drastis kurasa, kenapa dia begitu pro dengan satu anaknya. Kurasa didikian Atmadja mengalir di darahnya. Lalu aunty Fatia mengapa ikut-ikutan? Harusnya sebagai ibu dia tidak boleh memihak salah satu anaknya. Malam ini bahkan Gendis tidur membelakangiku."Tidak boleh membelakangi suami," ucapku tegas.Dia dengan pelan membalikkan badannya. Aku kira hanya cerita sinetron yang rela mengabaikan perasaannya untuk
"Istirahatlah nak," ucap bunda menenangkanku. "Pesan bunda jangan cepat menyimpulkan apa pun terhadap istrimu, kita tidak tahu apakah dia benar-benar terlibat atau tidak," sambung bunda."Entahlah Bun, tapi kenyataan ini membuat Shaka prutasi." Aku duduk di bawah kursi tempat bunda duduk. Rasanya sesedih dan sesakit ini.Tak ada yang baik-baik saja menghadapi semua ini. Ditinggalkan begitu saja tanpa ada sebab yang pasti."Memangnya masalah apa yang terjadi, Bang. Hingga dokter Gunawan dan keluarga berubah drastis?" tanya bunda ke daddy. Jangankan bunda, aku pun begitu penasaran melihat om Gunawan yang berubah drastis"Pelajarilah bisnis dengan baik. Kadang yang terlihat begitu baik, itu adalah musuh kita. Kurasa Gunawan ditekan oleh banyak orang hingga senekat ini," jawab Daddy.Saham yang dimiliki Atmadja akan dilelang bulan ini. Selain itu, Ana yang akan menjadi pengganti pemimpin perusahaan itu tertuang pada surat wasiat pak Atmadja. Om Gunawan tidak tahu ternyata bunyi surat was
Tak bisakah luka ini sembuh tanpa harus mengingatmu kembali. Membuang segala hal tentang dirimu. Namun, kenyataanya kepingan kenangan yang kau berikan, begitu sulit untukku lupakan.****Setelah terang-terangan aku memarahi Ana, mereka pulang karena takut mendengar amukanku. Bunda terus menyemangatiku agar mampu menahan emosi."Istigfar, Nak. Memang tidak mudah, tapi yakinlah kebenaran pasti akan terungkap." Aku hanya mengangguk, tidak berani memandang wajah bunda yang juga menahan marah karena berdebat dengan om Gunawan tadi."Bagaimana pernikahan Shaka, Dad. Beri Shaka gambaran?" tanyaku meminta solusi pada daddy."Tenangkan dirimu, Shaka. Nanti daddy cek kebenaran surat cerai itu, kita lihat perkembangan Gunawan dan koleganya.""Apa secepat itu mereka bisa mengalihkan kekayaan milik Gendis, Dad?" tanyaku. Jujur, aku masih belum percaya dengan semua ini."Begitu kamu menikah, bunyi wasiat pasti sudah langsung berubah, Shaka. Gunawan sangat cepat melangkah demi menyelamatkan perusah