Setelah si Gendis berteriak dia dengan santainya kembali ke ruangannya."Ha, calon imamku?" tanya Arya."Maksud Gendis?" Si Arya terus bertanya membuat kepalaku mau pecah saja rasanya. Aku meninggalkan si Arya yang masih bingung. Biarkan saja si Arya berpikir keras dengan ucapan si Gendis.Ckck ... kelakuan si Gendis, sempat-sempatnya dia mengedipkan mata di meja kerjanya. Geli kurasa. Itu, sih, dia yang mau orang lain tahu. Lihat saja nanti kalau sudah sah kubuat makin tidak berkedip.Aku kembali ke ruangan dengan perasaan dongkol ke Gendis. Bikin tensi naik saja itu orang, sok cantik lagi. Pakai adegan jumpa fans dengan karyawan laki-laki. "Ciye calon imamku jan cemburu!" teriak si Arya, astaga itu anak. Pen ditabok kayaknya. Bahaya kalau si Arya tahu, bisa turun reputasiku sebagai pimpinan di kantor ini.Lagi jengkel, Monica menelpon lagi, pasti mau meledekku juga. Sejak kemarin Monica tak henti-hentinya meledekku. "Hai, hai, abangku yang sebentar lagi otewe nikah." Suaranya begi
POV AuthorSetelah menelpon Gendis, Shaka semakin tidak tenang. Monica juga tak kalah kagetnya mendengar penuturan Gendis yang minta mahar surat Ar Rahman. "Abang beneran hafal?" tanya Monica. Dia sangat khawatir melihat abangnya hapal atau tidak. Shaka hanya membalas dengan senyum kecut, semakin menambah deretan penasaran Monica. "Mengapa Monica?" tanya Reza yang melihat anak gadisnya panik."Kak Gendis minta Mahar surat Ar Rahman," jawab Monica."Ha? Apa juga?" tanya daddynya yang ikutan panik."Itu saja, katanya murah meriah. ""Abangmu setuju?" tanya Nina yang ikut nimbrung. Dia juga tak percaya apa anaknya hapal atau tidak. "Iya dia setuju, tapi kenapa Monica tidak yakin, ya," ucap Monica ragu.Setelah menelpon Gendis, Shaka langsung masuk kamar mengurung diri. Beberapa kali Monica, bundanya dan daddynya memanggil untuk sekedar makan, tapi Shaka tidak keluar. Semakin membuat tidak tenang keluarga Adytama.Sementara di rumah kediaman Atmadja, Gendis begitu bahagia karena meras
Setelah melafazkan surat Ar Rahman. Saatnya aku dipertemukan dengan Gendis. Jantungku berdegup dengan kencang tak menentu."Kami persilakan untuk mempelai wanita maju ke depan dalam penyerahan mahar dari mempelai laki-laki." Begitu MC memberi komando. Aku diminta untuk berdiri menunggu Gendis.Dengan senyum khasnya dia datang penuh anggun didampingi dengan Ana dan bundanya. Aku hampir tersandung melihat wajah ayunya yang begitu memesona. Namun, bukan Gendis namanya kalau tidak sedikit bar-bar. Si Arya sampai menutup mulut."Alamak ... jodoh tak terduga ini, mah," ucap si Arya meracau tidak jelas. Jangan tanya bagaimana debaran di hati ini. "Pengantinnya terlihat grogi, salaman dulu dengan suaminya," ucap salah satu tamu undangan. Entahlah kenapa aku begitu grogi. Dia pun juga hanya senyum-senyum. Pintar sekali dia akting."Silahkan mempelai wanita mencium tangan suaminya," kata MC mengarahkan. Astagfirullah, si Gendis pakai senyum-senyum segala. Aku yang salah tingkah dibuat.Dia me
Tak berselang lama kami sampai di rumah yang diberikan oleh daddy. Rumah mewah dikawasan elit. Aku pun baru tahu ini rumah pemberian daddy ketika aku menikah, selama ini mereka tidak pernah cerita mengenai ha ini. Irwan dengan sigap membantu kami keluar dari mobil. Lagi-lagi si Gendis, turun mengangkat gaunnya. Rumah konsep eropa yang begitu memesona. Siapa pun akan betah tinggal disini. Pelayan pun tak tanggung-tanggung daddy siapkan. "Selamat datang tuan muda dan istri, perkenalkan saya--bu Purwanti kepala pelayan di rumah ini," sambut bu Purwanti begitu sopan. "Terima kasih sambutannya bu Purwanti." Si Gendis dari jauh berjalan, dia kewalahan dengan gaun yang digunakan. "Abbaaang, tungguin dedek dong." Astaga panggilan apalagi itu. Dedek-dedek, geli aku dibuat. "Punya kaki, tangan, jalan sendiri." "Abang mah kagak mesra sama dedek," ucapnya lagi. Semua pelayan menutup mulut menahan tawa. Siapa coba yang tidak ketawa melihat tingkah si Gendis. "Kagak ada yang mau bantu," ucapk
Entah mengapa setelah adegan ciuman yang spontan membuatku malu untuk ke kamar. Daripada aku kedinginan di luar, lebih baik aku langsung masuk kamar. Si Gendis bersiap tidur, bajunya pun sudah diganti. Dengan mengendap aku masuk kamar biar tidak ketahuan oleh si Gendis."Diam, jangan bergerak!" teriaknya. Astaga itu anak, aku jadi ketahuan."Abaang tidur di shofa, aku sendiri di kasur ini," ucapnya."Balik badan!" titahnya lagi.Diih, itu anak sudah persis pemimpin upacara ketika apel bendera. "Siapa juga mau tidur sama kamu, bawel," ucapku lagi.Aku langsung membuka bajuku karena kegerahan. "Eh, enak saja buka baju didepanku," ucapnya sambil menutup mata."Kenapa? Terpesona sayang?" tanyaku lagi." "Siapa juga terpesona denganmu, bwang." "Kita sudah halal sayang, sah lahir dan bathin." Si Gendis mundur teratur. Hahaha ... bisa takut juga ini bocah.Kucari bajuku terlebih dahulu, tanpa maku aku membukanya di depan Gendis. Biar saja ini bocah dikerjain. Sedang mengganti pakaian. Te
"Bye bye sayangkuh, tunggu kami datang." Bunda mengakhiri telponnya. Ini sih emak-emak meresahkan. "Dingin tau keramas, kamu aja yang keramas. Aku kan pakai jilbab." Si Gendis membela diri."Terserah maumu, lah. Pusing pala," jawabku."Diih, ngarep pasti 'kan aku ikut keramas.""Jangan salahkan aku jika bundamu minta buka jilbab. Hm?" Aku tak mau kalah. Dia mendelik, biarkan saja.Pernikahan macam apa ini, tiap saat mumet rasanya.Aku langsung mengambil air wudu, sejak kecil bunda selalu mendidik kami untuk tidak melewatkan salat malam. Aku pun melihat si Gendis juga mencari mukenahnya. Lumayan, lah, dia punya kebiasaan baik untuk melaksanakan salat malam.Azan berkumandang, saatnya salat subuh."Gak ke masjid?" tanyanya kalem. Entah mengapa aku grogi kalau dia berubah jadi lembut."Aku belum tau lokasi masjid terdekat disini, nanti aku coba keluar untuk mencari posisinya.""Sip, laki-laki sebaiknya salat di masjid." Aduh, kenapa dia berubah jadi manis begini. Bikin hati aduhai dib
Kami sarapan berlima, si Gendis tak henti memegang tanganku. Entah apa yang dipikirkan sampai tidak mau lepas dariku."Rani, lepas tangan suaminya, takut sekali berjauhan.""Zaman sekarang pelakor dimana-mana bunda, tidak melihat teman atau saudara," jawabnya membalas bundanya. Benar-benar si Gendis, tak lupa dia memandang kakaknya dengan tajam."Mbak Ana kenapa memandangku begitu?" tanyanya. "Memangnya gak boleh, adikku sayang?" tanyanya balik."Gak boleh, mbak. Karena mbak bukan memandangku, tapi memandang suamiku," bisiknya. Aku juga merasa heran mengapa Ana memandangku sangat aneh. Aku dibuat salah tingkah dengan tatapannya.Daddy dan om Gunawan ikut bergabung. Terasa sekali kekeluargaannya meski aku risih karena Ana memandangku terus menerus. "Jaga pandangan, Bwang," bisik si Gendis."Santai saja, jangan cemburu begitu. Aku sudah ditolak kakakmu maka pantang bagiku luluh kembali.""Jangan sangka, dia punya pesona. Ana Chairunnisa itu dari dulu banyak yang suka," bisiknya kemba
Dia diam, lalu menatapku sebentar."Maafkan aku." Hanya itu yang diucapkan. Setelah itu mood bulan madu pun rusak. Meski begitu aku tetap berkemas tanpa banyak kata yang keluar dari mulutku. Mungkin selama ini dia bebas melakukan apa yang diinginkan tanpa musyawarah terlebih dahulu. Kalau aku jelas beda, semua selalu kudiskusikan dengan bunda dan daddy. Kulihat dia pun berkemas, dari awal memang pernikahan ini terkesan dipaksakan mau seperti apa pun tetap hati kami yang bergejolak. Irwan sudah menyiapkan mobil untuk kami bulan madu, kami memilih di puncak. Lebih tepatnya pilihan Gendis yang menginginkan di puncak. Kata bunda, dulu om Gunawan sangat mencintai bunda, tapi jodoh mereka yang tak sampai. Aku seperti merasa ini hukuman untukku. Hukuman hatiku yang seperti dijerat dengan anaknya om Gunawan."Lagi sakit gigi, bang?" tanyanya. "Hm." Aku hanya menjawabnya dengan deheman. "Atau lagi sariawan." Astaga, ini anak, dia pakai adegan mencubit agar memastikan."Bilang, dong. Bagaim