Share

2. Sebuah Penawaran

Erland meninggalkan mereka saat seseorang membutuhkannya. Satu botol vodka sudah dia berikan kepada Javas. Pria berambut ikal itu juga sempat berpesan tentang Kavia yang biasanya tidak bisa menoleransi di gelas ketiga.

Sepeninggalnya Erland, Javas menuang vodka itu ke dalam sloki milik Kavia. "Kenal Erland di mana?" tanyanya sembari mendorong kembali sloki ke depan wanita itu.

"Dia teman kakakku. Kamu?"

"Erland teman satu kuliah dulu."

Kavia mengangguk dan mulai meneguk isi gelasnya lagi. Meski sedang sakit hati parah, dia tidak boleh mabuk atau jika Gyan—kakaknya—tahu dia bisa disidang di depan papi. Bisa-bisa papi menyuruhnya pulang ke rumah lagi.

"Jadi, lelaki itu mutusin kamu dan malah jalan sama sahabat kamu? Aku turut prihatin."

"Hei, nggak baik menguping pembicaraan orang."

Javas mengangkat bahu. "Kamu bicara sambil teriak. Telingaku masih normal anyway."

Wanita dengan rambut cokelat bergelombang itu mendecih. Dia agak malas dengan lelaki asing yang suka ikut campur urusan orang.

"Nggak heran kalau kamu gampar dia." Javas meraih minuman hasil karya Erland di depannya. Sebelum Kavia protes, dia mengimbuhi ucapannya lagi. "Aku baru keluar dari lift ketika tangan kamu mendarat di pipi lelaki dungu itu."

Mendengar itu Kavia berlagak tak peduli. "Memang dia pantas dapetin itu."

"So, apa yang akan kamu lakuin setelah ini?"

"Nggak tau. Mungkin liburan." Tatapan Kavia menerawang. Sakit di hatinya seperti berlapis-lapis. Dia tidak yakin apa liburan bisa membuatnya bangkit? Bohong kalau dia tidak galau. Dia galau parah sekarang, sampai rasanya ingin mati saja. Tapi, bukan Kavia kalau tidak pandai menyembunyikan segala lukanya.

"Aku punya penawaran menarik," ujar Javas. Pikiran itu seketika terlintas di benaknya saat melihat raut sedih yang sedang wanita itu sembunyikan. Javas tahu betul rasanya dikhianati seperti apa.

Kavia tersenyum mengejek. Dia tampak mengambil sesuatu dari dalam saku blazernya. Sebuah kotak persegi. "Semenarik apa sampai kamu nawarin itu?" tanya dia seraya mengeluarkan satu batang rokok dari kotak itu.

"Menarik karena tawaran ini bernilai besar."

Ujung rokok itu menyala saat api kecil dari pemantik membakarnya. Kavia mengisap ujung lain yang dia jejalkan ke mulutnya. Kepulan asap putih membumbung pelan saat napasnya berembus dari mulut. "Oh ya? Apa itu?" Mata biru Kavia menangkap seorang bartender yang mendorong asbak kecil ke arahnya.

"Aku sedang mencari perempuan yang mau bersedia menjadi istriku."

"Terus apa urusannya denganku?"

"Mungkin kamu berminat." Javas tersenyum penuh percaya diri.

Ini Kavia tidak salah dengar kan? Dia menyentil ujung rokok yang sudah menjadi abu ke asbak sebelum perhatiannya dia limpahkan pada pria di sampingnya itu.

"Ini aku harus bersyukur atau sedih sih? Aku baru aja diputus pacar, eh sekarang ada pria tampan nawarin aku jadi istrinya." Kavia menertawakan keadaannya yang benar-benar konyol. "Kenapa kamu nawarin itu ke aku? Lelaki kayak kamu nggak usah nyari juga perempuan-perempuan juga pada menyerahkan diri. Kecuali aku, off course."

"Mungkin kamu benar. Tapi mereka bukan jenis perempuan yang bisa diajak kerjasama. Menikahlah denganku. Akan kubuat mantan kamu menyesal sudah menyia-nyiakan wanita secantik kamu."

Ajakan Javas kali ini terdengar serius sampai Kavia perlu menatap lamat-lamat pria itu. Javas jenis pria yang tak cukup dipandang hanya sekali saja. Bahkan Kavia mengakui pria itu jauh lebih tampan dari Fabby, mantannya. Javas memiliki postur tubuh tinggi dengan otot dan urat yang bertonjolan di dada dan lengannya yang tertutup kemeja navy.

Dan dari printilan yang Javas kenakan, Kavia tahu pria itu mungkin punya pekerjaan bagus. Ambil contoh saja jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kiri pria itu. Itu Patek Philippe, Kavia tahu karena itu salah satu jam tangan koleksi papinya yang harganya gila-gilaan. Minimal direkturlah kalau aksesorisnya saja bisa semahal itu.

"Pantas aja tawaran itu bernilai besar." Lagi-lagi Kavia tertawa.

"Kita bisa buat kesepakatan kalau kamu tertarik. Satu tahun, aku cuma butuh satu tahun."

Bagaimana ya? Kavia itu cantik, tapi bukan jenis cantik wanita kebanyakan yang sering Javas lihat. Ada sesuatu yang berbeda yang membuatnya tertarik, entah itu apa. Dan sekilas melihat saja, Javas bisa tahu wanita itu juga cerdas. Bentuk tubuhnya sangat enak dipandang. Satu lagi yang menarik dari wanita itu yang baru Javas sadari beberapa saat lalu. Kavia memiliki mata biru yang Javas yakin bukan dihasilkan dari softlens. Itu biru asli.

"Menikah dengan kesepakatan kayak gitu sama aja kamu mempermainkan lembaga pernikahan."

"Kamu nggak tanya benefit apa yang bisa kamu dapat kalau jadi istriku?"

Kavia menengadah seraya membuang napas, tapi kemudian membiarkan Javas membeberkan keuntungan yang dia tawarkan.

"Aku akan menjamin kehidupan mewah selama kamu menjadi istriku tanpa perlu kerja keras. Mobil, rumah, belanja sesuka hati, liburan keliling dunia, dan juga saham perusahaan."

Anjir! Kavia menatap Javas tak percaya. Pria itu tidak lagi membual kan?

"Kalau kamu mau, asistenku akan mengurusnya segera," tambah Javas lagi. Membuat Kavia yakin bahwa Javas bukanlah pria sembarangan.

Siapa Javas sebenarnya? Direktur BUMN? Anak seorang pejabat? Atau founder start up? Atau memang Kavia yang terlalu meremehkan?

Bukannya apa, Javas tampak seumuran dengan Fabby. Dan di usianya saat ini Fabby hanya menempati posisi manajer di salah satu perusahaan bergengsi. Itu saja sudah pencapaian yang luar biasa.

Lalu siapa Javas yang berani menawarkan benefit seroyal itu? Pikiran Kavia mungkin terlalu sempit jika menjadikan Fabby sebagai tolak ukur pencapaian seorang lelaki yang kebetulan seumuran dengan mantannya itu. Tapi jujur, Kavia tidak tertarik dengan penawaran itu. Dia bisa mendapatkan itu semua dari papinya tanpa perlu menjerumuskan diri menikah dengan pria asing yang baru dikenalnya.

"Sori, tapi aku nggak tertarik." Kavia kembali menyesap rokoknya.

"Seenggaknya pikirkan reaksi mantan kamu nanti. Dia pasti nggak nyangka kamu bisa dapat pengganti secepat itu. Tunjukkan padanya, kalau dia nggak ada apa-apanya buat hidup kamu."

"Tapi nggak dengan nikah juga. Bisa aja kan kamu pura-pura jadi pacar baruku?"

Javas menggeleng. "Sayangnya yang aku butuhin di sini status pernikahan."

"Ya udah kamu ajak aja sana pacar kamu. Kenapa kamu ngajakin aku? Bahkan kita belum kenal lebih dari satu jam." Kavia berdecak. "Orang gila mana yang baru bertemu langsung ngajak nikah?"

Pria bermata cokelat itu tertawa. "Memang agak konyol sih. Tapi aku beneran bingung."

"Jangan sembarangan ngajak nikah orang, Bung. Gimana kalau aku cuma mau manfaatin keadaan?"

"It's ok. Tujuan kita memang saling memanfaatkan." Javas meminta sticky note dan sebuah bolpoin dari bartender. Dia lalu menuliskan sesuatu di sana. "Hubungi aku di nomor ini kalau kamu berubah pikiran." Dia menyobek satu lembar kertas kecil itu lalu menyerahkannya kepada Kavia.

Untuk menghargai usaha dan traktiran pria itu, Kavia menerimanya. Dan memasukkan carik kertas itu ke dalam saku blazer. "Thanks buat traktirannya. Aku mau balik." Dia mematikan rokoknya yang tinggal setengah lalu beranjak turun dari stool.

"Mau aku antar?"

"No, Thanks."

Dari posisinya Javas terus memandangi punggung wanita itu yang makin menjauh. Sudut bibirnya terangkat. Aneh rasanya bisa langsung tertarik pada wanita yang baru dia lihat. Javas bukan jenis pria yang gampang klik pada pertemuan pertama. Kalau saja tidak begitu, mungkin dia sudah berhasil mengencani puluhan wanita yang kakeknya pilihkan.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Ainu Mahfudho
hai thorr aku mampir baca kisah kavia adik mas gyan...
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status