Home / Pernikahan / Pesona Istri Dadakan Sang Pewaris / 8. Dua Kali Lipat Sakitnya

Share

8. Dua Kali Lipat Sakitnya

Author: Yuli F. Riyadi
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

Tisu di mobil Javas hampir habis. Kavia terus menggunakan itu untuk menyeka pipinya yang terus saja basah. Setelah meninggalkan restoran, dadanya yang terasa sesak meledak. Dia tidak tahan dan menangis kencang di dalam mobil. Memaki dengan berbagai macam umpatan. Rasa sakit itu bukannya hilang malah bertambah parah.

"Sebenarnya apa yang kamu tangisi? Kamu sudah berhasil membuat mereka bungkam," ujar Javas sambil fokus ke jalan raya yang terpantau ramai lancar.

"Aku, aku cuma nggak nyangka aja. Ternyata orang yang selama ini kuanggap teman baik, menyimpan benci sebegitu dalam. Aku pikir selama ini dia tulus. Sumpah, ini sakit banget." Kembali air mata Kavia menderas. "Jadi semua yang dia tunjukkan selama ini palsu. Aku bingung, sebagai teman aku berusaha bersikap baik, tapi ternyata dia menilai lain."

Javas membelokkan kemudi memasuki sebuah gerbang kawasan perumahan elit dalam kota. Begitu melewati pintu gerbang yang dijaga ketat oleh dua sekuriti, pemandangan sekitar berubah menjadi lebih asri. Wilayah asri dengan pedestrian itu adalah arah menuju rumah Javas.

"Itu hal yang lumrah."

"Lumrah bagaimana? Aku sama Jemma sudah berteman sejak kami masih duduk di bangku sekolah. Aku bisa bertahan dengannya karena kupikir pertemanan yang dia tawarkan itu tulus. Kalau aku terlahir punya segalanya, memang itu salahku? Kenapa dia bisa sebenci itu?"

Bukan seperti perumahan pada umumnya yang memiliki kavling berdempetan, di kawasan ini rumah-rumahnya berjarak. Bangunanya bahkan ada yang memiliki empat lantai. Javas membelokkan kemudi ke kiri sebelum akhirnya mobilnya berhenti di depan sebuah pintu gerbang besi yang tertutup rapat. Pintu itu terbuka otomatis ketika dia membunyikan klakson.

"Itu namanya iri, dengki. Dia pasti sering gibahin kamu di belakang. Kamu nggak perlu membuang air mata buat teman seperti itu. Air matamu terlalu berharga." Javas menghentikan mobilnya di carport sebuah modern house dengan dominan warna gelap dan cokelat serta turunannya. Begitu menekan tombol rem dan mematikan mesin mobil, dia menoleh. "Yuk, turun."

"Ini di mana?" tanya Kavia celingukan, dia tidak menyadari ke mana Javas membawanya pergi.

"My home," sahut Javas seraya membuka pintu mobil. Kavia pun melakukan hal sama.

Wanita berambut cokelat itu mengedarkan pandang ke sekitar begitu turun. Rapi. Taman di halaman rumah ini rapi untuk ukuran penghuni seorang pria. Javas mengajaknya memasuki rumah dengan pintu ganda minimalis itu. Tidak sebesar rumah papi, tapi Kavia akui rumah ini bagus. Mencerminkan penghuninya sekali.

"Welcome to my—uhm, Our home. Kamu akan tinggal di sini setelah kita menikah nanti."

Kavia menyeka sudut matanya yang masih menyisakan air mata agar bisa melihat interior rumah dengan jelas. Sempurna! Dia berseru dalam hati. "Kamu tinggal di sini sama siapa?"

"Selama ini sendiri." Javas bergerak menuju dapur yang letaknya di seberang family room. Dia membuka kulkas dua pintu side to side dan mengambil botol air mineral dari sana. Kavia yang mengikutinya beranjak duduk di kursi tinggi yang berbaris rapi di depan kitchen island. "Minum dulu. Di restoran tadi sepertinya minuman dan makanan kamu masih utuh." Javas menyerahkan botol air yang segelnya sudah dia buka.

"Ya, aku belum sempat menyentuh minuman, dan pelakor itu keburu datang."

Dari cara Kavia meneguk minuman itu Javas tahu wanita itu kehausan. Energinya pasti sudah terkuras habis. Setengah liter air itu tandas tak bersisa. Wow. Javas sedikit membungkuk dan menumpukkan dua tangannya ke kitchen island berhadapan dengan Kavia. "Setelah ini kamu akan merasa lebih baik."

Mata biru itu menatap Javas dan mengembuskan napas kasar. "Aku nggak yakin."

***

Acara pertunangan Fabby dan Jemma berlangsung di rumah orang tua Jemma. Seharian sebelum acara, Kavia terus uring-uringan di apartemen. Bahkan belum ada satu suap nasi pun yang masuk ke perutnya sejak pagi. Setegar-tegarnya dia, kalau sudah sendiri dan ingatan semua kenangan manis bersama Fabby bermunculan, air matanya akan meleleh dengan sendirinya.

Dia sadar sebentar lagi Javas akan datang menjemput, tapi dibandingkan siap-siap wanita itu lebih memilih meringkuk di atas sofa sambil meratapi nasib. Pesan dan panggilan dari Dian pun dia abaikan. Dia baru beranjak bangun ketika bel apartemen berbunyi. Dan saat membuka pintu sosok Javas yang sudah rapi muncul. Pria itu menaikkan sebelah alisnya ketika melihat penampilan Kavia yang acak-acakan.

"Aku nggak jadi datang ke acara pertunangan mereka," ujar wanita itu sebelum Javas protes dengan penampilannya yang acakadut.

"Why?"

Kavia tidak menjawab dan memilih berbalik masuk. Javas mengikutinya.

"Oh My God. Jangan bilang kamu habis nangis lagi dan galau seharian?" Javas menggeleng seraya menyentuh dahinya sendiri.

Mendengar itu Kavia menghentikan laju kakinya. Dia sudah berhasil menahan diri untuk tidak menangis lagi. Tapi keberadaan orang di dekatnya malah membuat hatinya kembali lemah. Rasa sakit itu menyeruak dan tangisnya pecah lagi. Bahunya terguncang hebat. Dia menyentuh dadanya yang terasa sangat sesak. Harusnya dia lebih bisa menahan diri. Memalukan. Sudah ketiga kalinya dia menangis seperti ini di depan Javas. Dia baru saja akan mengusap pipinya ketika dari belakang sepasang lengan merengkuhnya.

"Silakan kamu menangis sekarang, tapi di depan mereka jangan," ujar Javas pelan, membuat Kavia tertegun selama beberapa saat. Seolah tengah menemukan sandaran, wanita itu menangis kian parah. Dan dengan baik hati Javas membiarkan Kavia menumpahkan semua kepedihannya.

"Kamu cinta banget sama dia ya?" tanya pria itu. Dalam dekapannya, Kavia mengangguk. "Tidak apa-apa. Lukamu masih baru. Waktu yang akan menyembuhkan luka itu."

Setelah membiarkan wanita itu menangis di pelukannya, dan memastikan Kavia sudah kembali tenang, Javas meyakinkan wanita itu untuk datang ke acara pertunangan itu meskipun hanya sebentar. "Setidaknya kamu harus menunjukkan pada mereka bahwa kamu baik-baik saja meskipun sebentar. Kamu ingat tujuan kita kan?"

Padahal Kavia sudah memutuskan tidak akan datang, tapi mendengar kata-kata Gyan, jiwa dendamnya muncul lagi. Dia tidak boleh terus lemah. Javas benar.

Pria itu pun tersenyum saat akhirnya Kavia mengangguk. "Good."

Dan tidak berapa lama tiga orang pria menyusul masuk ke apartemennya. Kavia agak terkejut dengan kemunculan mereka. Satu di antaranya yang mengenakan setelan jas hitam Kavia mengenalnya sebagai asisten pribadi Javas. Namun dua orang pria lain yang mengiringi terlihat asing, tapi dari penampilan keduanya Kavia sepertinya tahu mereka siapa.

"Aduh, Nek. Kamu berantakan banget."

Kavia terkejut saat dua orang pria asing dengan gaya gemulai itu menggaet dua lengannya tiab-tiba. "Kalian—"

"Kami makeup artist dan fashion stylist yang akan mendendongi yey dari bebek burik jadi angsa cantik," jawab mereka kompak dan sangat berisik.

Sontak Kavia mengerutkan alis sembari menahan senyum dengan mata tertuju ke Javas. Pria itu cuma melambaikan tangan dan menyuruh dua pria setengah mateng itu membawa Kavia pergi.

Dan setelah beberapa lama menunggu akhirnya mereka berhasil mendandani Kavia sesuai keinginan Javas.

"Hai, Tampan! Liat ke sini, eike belum pernah mendendongi pere secantik calon istri yey!" seru salah satu pria gemulai itu sambil menenteng Kavia keluar kamar dengan penampilan yang jauh lebih fresh.

Javas yang duduk di sofa ditemani Phil, menoleh. Senyumnya perlahan mengembang melihat Kavia kembali menjadi wanita cantik lagi. Demi Tuhan! Saat Javas datang tadi, wanita itu sangat berantakan. Rambut awut-awutan, mata bengkak, wajah kusam, dan entah pakaian kumal dari mana yang wanita itu pakai.

Namun sekarang? Javas yakin daripada si pemilik acara, Kavia akan lebih terlihat menonjol di sana nanti.

"Good, Marly. Aku puas."

Pria yang dipanggil Marly menyentak kepala ke belakang, merasa bangga. "Seneng deh bisa muasin yey, Tampan," sahutnya genit.

Melihat itu Kavia menahan tawa. Dua pria gemulai itu begitu genit di depan Javas.

"Karena yey cantik banget, kita rela deh si tampan jadi suami yey, tapi kalau yey bosen, tolong kasih lepehannya ke kite," ujar pria yang berperan menjadi fashion stiylist Kavia malam ini.

"Sebaikanya kamu diam, Tince, kalau nggak mau mulutmu kujahit," gertak Javas, membuat pria yang disebut Tince itu sontak mingkem.

"Calon laki lo sadis," bisik Tince kepada Kavia. "Untung ganteng."

Kavia tidak tahan lagi. Tawanya lantas pecah melihat Tince dan Marly bersungut-sungut saat Javas mengusir mereka keluar.

"Nah, begitu. Kamu lebih cocok tertawa, daripada terus bersedih." Javas mengulurkan lengannya, dan membiarkan Kavia menyambutnya.

Comments (5)
goodnovel comment avatar
Michael Wirajaya
author semangat ya nulis cerita nya, jgn bikin pembaca menunggu
goodnovel comment avatar
Anies
yakin banget aku mereka bakal cepet saling jatuh cinta'nya, di tunggu kelanjutan ceritanya ya author sayang.. makasih udah Up dan semangat selalu
goodnovel comment avatar
Mahendra Sari Anwar
seru...kavia jd ketawA
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

  • Pesona Istri Dadakan Sang Pewaris    9. Bekas

    Langkah Kavia terhenti saat mendengar tepuk tangan meriah dari arah dalam rumah Jemma. Refleks dia meremas lengan Javas. Dia tahu betul itu tepuk tangan apa. Pasti mereka sudah berhasil menyematkan cincin satu sama lain. "Kenapa berhenti?" tanya Javas menoleh. Dia melihat wajah cantik Kavia menegang. "Kavia, ingat kata-kataku. Kamu bisa lebih bahagia dari mereka. Angkat dagumu tinggi-tinggi. Tanamkan pada diri kamu bahwa kamu jauh lebih beruntung karena memiliki calon suami yang lebih segalanya dari mantan kamu. Dan kamu akan selalu menang dari bekas temanmu itu." Kata-kata Javas lagi-lagi berhasil menyuntikkan semangat di hati Kavia. Dia menatap ke depan. Wajah sedihnya berubah menjadi lebih angkuh. "Hm, ayo kita jalan." "Good. Kamu wanita paling beruntung malam ini," ucap Javas tersenyum sambil menepuk pelan tangan Kavia sesaat. Saat hendak mencapai pintu masuk seseorang terdengar memanggil. Keduanya kembali menghentikan langkah dan menoleh ke asal datangnya suara. Dari posisiny

  • Pesona Istri Dadakan Sang Pewaris    10. Tidak Mau Bercinta

    Asap putih baru saja Kavia embuskan dari mulut. Dia berusaha membuang pikirannya yang kacau bersama kepulan-kepulan asap yang dia buat. Meski belum sepenuhnya, beban dalam dirinya sedikit membaik. Dian juga beberapa kali meyakinkan wanita itu bahwa dirinya akan selalu ada. Wanita berbadan subur itu sempat menitipkan Kavia pada penjagaan Javas ketika dia pamit pulang lantaran harus ke rumah sakit untuk menjaga adiknya yang baru saja operasi usus buntu. Saat ini Kavia dan Javas ada di VVIP room salah satu kelab malam setelah berhasil pergi dari pesta pertunangan sialan itu. Mata biru itu melirik gelas bir yang Javas dorong ke dekatnya. "Bir?" Kavia mengangkat sebelah alisnya lalu terkekeh. "Ini nggak akan cukup. Aku butuh yang kadar alkoholnya lebih tinggi. Seenggaknya beri aku whiskey." Javas menggeleng, menautkan tangannya, dan menatap wanita itu. "Kita harus menjaga kesehatan untuk beberapa hari ke depan. Kamu butuh tubuh yang fit di pernikahan kita nanti." "Astaga, Javas. Itu han

  • Pesona Istri Dadakan Sang Pewaris    11. Pesta Pernikahan

    Dengan mantap Javas menyambut tangan Kavia. Bibirnya melengkung sempurna. Diiringi musik romantis, keduanya memasuki ballroom yang sudah disulap menjadi taman buatan penuh bunga yang sempurna. Di atas walkway yang terbuat dari kaca, mereka melangkah diiringi tepukan tangan para tamu undangan. Javas tidak main-main soal pernikahan mewah yang dia janjikan kepada Kavia. Hanya dalam dua minggu, dia bisa menyelesaikan segalanya. Kavia tampak puas dengan tema yang diusung. Jika menatap langit-langit, dia akan menemukan bergerombol bunga putih menggantung berhiaskan lampu strip yang unik. Meja-meja tamu undangan di-set mengelilingi sebuah pohon buatan yang sangat estetik. Candle light yang menyebar di segala penjuru membuat suasana makin romantis. Belum lagi pilar-pilar buatan berwarna putih di beberapa area. Semuanya membuat Kavia merasa sedang berada di negeri dongeng. Wedding cake di salah satu sudut walkway menjadi pelengkap yang sempurna. Cake itu bertingkat-tingkat dengan ukuran sanga

  • Pesona Istri Dadakan Sang Pewaris    12. 365 Hari

    "Aku pikir Kakek Javendra nggak kenal papi," bisik Kavia ketika memperhatikan interaksi antara Daniel dan Javendra. "Jangankan Kakek, aku aja tau papi kamu. Hanya saja aku nggak pernah berinteraksi dengan papi kamu. Papi itu.... Serius seumuran kakek?" Dengan mata mengerjap ragu Javas menoleh ke istrinya. Kavia terkekeh. Pertanyaan ini sudah sering Kavia dengar. Dilontarkan dengan kalimat lain, tapi isinya kurang lebih sama. Tidak ada yang percaya kalau Daniel itu sudah kakek-kakek. Meskipun sebagian rambutnya sudah memutih, tapi tubuhnya masih sangat fit dan tegap. Bahkan Dian membandingkan Daniel serupa Richard Armitage. Ngaco! (seketika pov readers searching Richad Armitage wkwk) "Tahun ini papi genap 76 tahun," jawab Kavia seraya menatap sang papi yang terlihat masih bercengkrama dengan Kakek Javendra. "What?" Javas benar-benar menunjukkan ekspresi tidak percaya yang begitu kentara. "I think he's in his 50s."Sekarang Kavia tergelak seraya menutup mulutnya. "Please, jangan ka

  • Pesona Istri Dadakan Sang Pewaris    13. Tato Bunga Anggrek

    Kavia agak kaget melihat apa yang Javas tunjukkan. Tanpa sadar dia menelan ludah melihat begitu besarnya milik pria itu. "Kenapa kamu diam saja? Tidak tertarik untuk menyentuhnya?" goda Javas. Dia menyentak satu tangan Kavia dan mengarahkan ke kejantanannya yang sudah mengacung sempurna. "Ja-Javas.""Kenapa kamu mendadak gugup? It's yours. Kamu bisa melakukan apa pun padanya." Kavia masih mematung saat sebelah tangannya berhasil menyentuh milik pria itu. Keras dan menantang, bahkan satu genggamannya pun tak cukup. "Yakin kamu nggak mau merasakannya?" Javas makin gencar menggoda. Dia menuntun tangan Kavia bergerak naik turun di sepanjang batang berotot miliknya. Sementara wajahnya kembali menunduk dan menyasar puncak dada Kavia yang memerah. "Ah—Javas." Refleks mata wanita itu terpejam kala Javas kembali memainkan puncak dadanya. Satu tangannya yang berada di bahu lebar pria itu meremas kencang. Dari dada, ciuman Javas kembali merambat ke pundak dan leher Kavia, lalu menggigit ba

  • Pesona Istri Dadakan Sang Pewaris    14. Hadiah dari Kakek Javendra

    Kavia berlari-lari kecil keluar dari kamar ketika mendapat kabar dari Phil bahwa Kakek Javendra mengirimkan hadiah pernikahan untuknya. Javas sampai menurunkan kacamata bacanya melihat istrinya berlarian menuruni anak tangga. Phil yang mengikuti wanita itu hanya terkekeh kecil dengan tingkah sang istri bos itu. "Ada apa?" tanya Javas ketika Phil melewati pria itu. Pria yang selalu berpenampilan rapi itu menghentikan langkah. "Presdir mengirimkan hadiah buat Nyonya, Pak." "Oh ya?" Mendengar itu Javas langsung melepas kacamatanya. Dia lantas berdiri dan menyusul Kavia ke depan rumah. Dari teras, dia bisa melihat sebuah mobil jenis sedan dengan warna dark gray doff terparkir cantik di halaman rumah. Pita merah mengelilingi mobil keluaran terbaru pabrikan Jerman tersebut. Sial! Itu adalah mobil yang Javas incar karena diluncurkan dalam jumlah terbatas. Hanya tujuh unit di dunia. Bagaimana Kakek bisa mendapatkannya? Sementara itu Kavia berjingkrak-jingkrak bahagia mendapat hadiah itu.

  • Pesona Istri Dadakan Sang Pewaris    15. Saham

    Kavia menyambut ketika Javas mengulurkan tangan dari luar mobil. Kepala wanita itu menyembul dan langsung bisa melihat tower yang menjulang tinggi di depannya. Dia baru tahu jika tower yang cukup mendominasi di antara tower lainnya itu milik keluarga Wirahardja. Selain Phil, ternyata ada beberapa orang yang menyambutnya di depan gedung. Melihat mereka berpenampilan rapi seperti itu dan menyambut begitu ramah, Kavia merasa seperti anak presiden saja. "Selamat pagi, Bu Kavia. Selamat datang di HYOT." "Selamat pagi!" Javas bilang ada rapat besar yang harus mereka ikuti. Untuk perinciannya Kavia tidak mengerti. Hanya saja Phil sempat memberitahu dewan direksi akan berkumpul di rapat tersebut. Kavia melingkarkan tangan ke lengan Javas, baru kemudian berjalan memasuki tower dengan diikuti rombongan orang yang menyambut keduanya di depn lobi tadi. Lobi tower HYOT sangat luas. Interior klasik modernnya sangat berkelas. Nyaris semua dindingnya terbuat dari marble, termasuk lantai yang sek

  • Pesona Istri Dadakan Sang Pewaris    16. Kartu Sakti

    "Tua bangka itu benar-benar tidak bisa dipercaya. Bisa-bisanya dia mempermainkan aku. Entah apa lagi rencananya." Di dalam mobil Javas terus memaki kakeknya. Kemarahan pria itu belum bisa reda sepenuhnya. Dia merasa ditipu dan diperlakukan dengan tidak adil. Dia merasa sudah menuruti semua kemauan sang kakek. Bahkan melakukan apa pun syarat yang kakeknya ajukan termasuk terjun ke perusahaan, lalu menikah. Namun, kakek terlalu banyak mengulur waktu. "Phil, apa kamu tahu rencana pria tua itu selanjutnya?" "Saya tidak tahu. Presdir sulit ditebak." "Dia bahkan lebih percaya kamu daripada cucunya sendiri. Mustahil kamu nggak tahu rencana tua bangka itu." Sejujurnya telinga Kavia panas mendengar Javas terus menyebut Kakek Javendra dengan sebutan tidak sopan begitu. Hanya karena warisan, pria itu berlaku sangat tidak terpuji. Kavia merasa risih, dia tidak pernah bertingkah seperti suaminya meskipun sedang berselisih dengan Kakek Ricko. Apa lagi yang mereka ributkan ternyata tentang hart

Latest chapter

  • Pesona Istri Dadakan Sang Pewaris    Extra Part - Berkuda

    Selagi Karel tenang bermain bersama Kakek Javendra dan para asisten, Kavia dan Javas melipir ke arena berkuda. Kavia kangen menunggangi Evelyn. Kuda betina putih itu terawat dengan sangat baik saat Kavia melihatnya. Hewan tangguh berkaki empat itu ternyata masih mengenali wanita itu dengan baik. "Sayang! Ayo cepat!" teriak Javas di atas kudanya. Kavia melambaikan tinggi tangannya ke arah Javas, lalu bergerak menaiki pelana kuda. "Evelyn, kita susul suamimu sekarang," ujar Kavia sambil mengusap pelan leher betina tangguh yang dia tunggangi. Dengan cepat dia pun memacu kudanya menyusul Javas. Keduanya mengendarai kuda-kuda itu mengelilingi tanah lapang. Melewati penangkaran rusa milik Kakek, dan sebuah danau buatan yang dipenuhi angsa putih. Pohon-pohon rindang masih tumbuh dengan subur di beberapa area. Setelah beberapa lama saling berkejaran dengan Javas, Kavia menghentikan kudanya di dekat pepohonan yang tumbuh di tepi danau. "Kayak udah lama banget nggak ke sini. Aku kangen men

  • Pesona Istri Dadakan Sang Pewaris    Extra Part - Drama Kakek

    "Semua yang ada di sini kelak akan menjadi milikmu, Nak." Mata tua Javendra mengedar. Melihat betapa luasnya tanah yang dia miliki. Belum lagi rumah yang dia huni. Rumah kebanggaannya yang sampai saat ini masih eksis di pinggiran kota. Rumah masa depan yang sebenarnya dulu dia siapkan untuk putranya, Ravendra. "Mau bagaimana lagi? Papamu nggak mau menempati rumah ini dan memiliki rumah sendiri. Jadi rumah ini akan kakek wariskan padamu." Javendra terus mengajak Karel ngobrol. Seolah bayi sembilan bulan itu paham apa yang dia bicarakan. "Malah sekarang papamu beli rumah baru. Padahal apa salahnya tinggal di sini sama kakek. Iya kan? Toh rumah ini nanti bakal jadi milik kamu." Tidak jauh dari tempat pria tua itu, Kavia menggeser duduk memepet suaminya dan berbisik. "Kakek kenapa?" "Dia lagi jadi pemeran utama drama keluarga," sahut Javas asal, yang langsung mendapat pukulan ringan di lengan kanannya. Dia mengaduh sambil mengusap lengannya. "Apa sih, Yang? Aku ngomong bener kok."

  • Pesona Istri Dadakan Sang Pewaris    Extra Part - Mata Genit

    "Dia sudah nggak bekerja di anak cabang HYOT lagi." Kabar itu membuat Kavia yang sudah merebah segera mengangkat badannya lagi. "Sejak kapan?" Javas mengangkat bahu. "Kamu peduli banget?" Alis tebalnya tertaut. Agak tidak suka istrinya makin kepo. "Bukan peduli, tapi setahuku dia dulu berjuang banget buat dapat posisi bagus di perusahaan tempatnya bekerja." "Mungkin dia dapat tawaran yang lebih bagus." "Mungkin gara-gara dia dimutasi ke luar pulau." Javas menghela napas panjang lalu menarik tangan Kavia agar bergerak memeluknya. "Kenapa sih bahas mantan terus? Kamu nggak ada rencana buat ketemuan lagi kayak dulu kan?" Kavia mesem-mesem tak jelas mendengar pertanyaan Javas. Ekpresi dan cara bicara pria itu membuat Kavia makin merasa dicintai. Mungkin jika pertanyaan itu terlontar saat mereka masih belum menyadari perasaan masing-masing, Kavia bakal jawab iya-iya aja. Javas menjauhkan diri dan menatap Kavia. "Kok malah senyum-senyum?" Matanya refleks memelotot. "Jangan bilang ka

  • Pesona Istri Dadakan Sang Pewaris    Extra Part - Apa Kabar, Kavia?

    "Aku di farmer market. Kalian langsung ke sini aja ntar." "Oke. Kami masih di jalan. Tungguin kami ya, Macan.... " Kavia tersenyum mendengar suara Javas di seberang sana. Tangannya masih sibuk memilih buah pear di rak. "Oke, aku tutup dulu ya. Hati-hati, nggak usah ngebut." Tidak lama, dia mematikan panggilan dari suaminya itu dan kembali melanjutkan memilih buah segar yang tertata rapi di rak. Akhir-akhir ini Kavia senang membuat salad buah. Stok salad di kulkas cepat habis karena ternyata Javas juga menyukai salad buatannya itu. Senyumnya kembali merekah saat melihat rak bagian apel. Apel adalah buah yang wajib ada di rumah lantaran buah itu menjadi salah satu favoritnya. Mata Kavia tertarik dengan apel bulat yang terletak di tumpukan paling atas. Kulitnya mengkilat dan terlihat besar. Namun saat tangannya terjulur untuk meraih buah tersebut, tangan lain lebih dulu melakukannya. Sehingga tanpa sengaja tangannya menangkup tangan orang itu. Kavia refleks menarik tangannya. "Maaf.

  • Pesona Istri Dadakan Sang Pewaris    Extra Part - Pumping

    "Astagfirullah, suami orang ganteng banget!" Jeritan tertahan itu keluar dari bibir mungil wanita gemoy saat melihat Javas turun dari anak tangga sambil membawa Karel di gendongannya. Kavia di sebelahnya hanya menggeleng melihat muka mupeng sahabatnya itu. Sementara tangannya masih sibuk mempreteli buah anggur dari tangkainya. Javas tanpa atasan memang menggoda iman. Belum lagi tato besar di bahu hingga lengannya, menambah kesan maskulinnya yang menonjol. Memamerkan bentuk tubuhnya yang seksi itu sudah menjadi kebiasaannya jika berada dalam rumah. Kavia saja yang tiap hari melihat masih bisa terbuai, apalagi Dian? "Laki lo benar-benar hot daddy banget.""Ck!" Kavia melirik sekilas dengan tatapan sebal, namun yang ditatap malah terkikik. "Dia kelihatan sayang banget sama Karel. Gue mau dong satu yang begitu." Bibir Dian mencebik memandang Javas dengan tatapan penuh damba. "Cari coba di pasar loak," sahut Kavia asal. Sejurus kemudian dia mengaduh karena dapat cubitan manis dari Dia

  • Pesona Istri Dadakan Sang Pewaris    Extra Part - Sofa Baru

    "Sofa baru?" Kavia dan Javas saling pandang sesaat ketika melihat orang-orang suruhan Daniel mengangkut sebuah sofa yang masih terbungkus rapi dengan plastik. Orang-orang itu membawa sofa dengan kelir merah hati itu ke dalam rumah. "Pas kan diletakkan di ruang tamu kalian?" Daniel tersenyum bangga. "Ini papi impor langsung dari Italy loh. Masih satu produk sama sofa di rumah papi." "Harusnya papi nggak perlu repot-repot begini," ujar Javas meringis. Insiden sofa masih menjadi momok buat pria itu. Gara-gara itu pula, Kavia belum mau mengisi ruang tamu barunya. "Sama sekali nggak repot. Anggap aja ini hadiah buat rumah baru kalian. Iya kan, Baby?" Daniel tersenyum sambil menatap istrinya. "Iya. Toh kami nggak bisa ngasih apa-apa selain ini," timpal Delotta sambil mengusap lengan Daniel. "Memang aku nggak tau kalau papi ngasih harga diskon rumah ini sampe 50 persen?" tukas Kavia yang langsung membuat mata Javas melebar. "Harga rumah ini sebenarnya 10M kan? Aku sempat nanya kok sama

  • Pesona Istri Dadakan Sang Pewaris    Extra Part - Terlanjur Sayang

    Kecuali barang-barang yang ada di kamar Karen, tidak ada lagi barang yang Kavia bawa dari rumah Javas. Rumah dan isinya ditinggalkan begitu saja seolah sudah tidak berguna lagi. Bahkan ketika Javas meminta alat-alat gym untuk ikut dipindahkan, Kavia menolak tegas. "Nggak bisa. Siapa yang jamin alat-alat itu streril dari kalian?" Penolakan Kavia membuat Javas menganga tak percaya. "Ya ampun, Sayang. Kami nggak melakukan sampai sejauh itu. Rumah itu masih dalam keadaan kosong waktu itu. Ak—" Ucapan Javas kontan terhenti ketika dengan cepat Kavia mengangkat tangannya. "Aku nggak mau dengar dongeng jadul percintaan kamu lagi. Oh ya, soal sofa di ruang tamu itu, udah aku bakar." "Apa? Itu sofa bisa kita jual buat beli yang baru kalau kamu nggak mau pake lag—" Kembali Javas merapatkan mulut saat Kavia melotot padanya. "Oke, terserah kamu," lanjutnya pasrah. Benar-benar sudah tidak ada lagi yang bisa dia selamatkan. Dia menatap rumah besar kebanggaannya dengan pandangan merana. Ruma

  • Pesona Istri Dadakan Sang Pewaris    Extra Part - Perkara Rumah

    Mata Kavia berbinar saat melihat Javas sudah ada di kamar ketika dia datang. Seperti malam kemarin, pria itu masih membaca buku yang sama sebelum tidur. Buku tentang ilmu parenting. Alih-alih Kavia, malah Javas yang gencar belajar soal parenting, padahal siangnya pria itu masih berjibaku dengan tumpukan pekerjaan. Kavia mengambil sebuah flyer dari dalam tas. Flyer yang sengaja dia bawa dari kantor papinya. Dengan senyum yang dibuat semelengkung mungkin, wanita itu menghampiri Javas yang masih terlihat fokus. "Pa," panggilnya lirih sembari beranjak duduk di sisi Javas. "Hm." "Lihat ini deh."Pandangan Javas langsung teralihkan sesaat. Matanya melirik benda yang Kavia bawa. "Apa tuh?" tanya dia sebelum balik lagi ke bacaannya. "Ini flyer perumahan elite terbarunya Blue Jagland. Proyek milik Mas Gyan."Javas hanya mengangguk-angguk. Matanya masih lurus menatap barisan huruf di depannya. "Hunian kelas atas yang cuma ada 10 unit. Lokasinya juga nggak jauh dari kantor kamu. Strategis

  • Pesona Istri Dadakan Sang Pewaris    Extra Part - Face and body care

    Kavia membuka pintu kamar dengan pelan. Takut mengganggu dua anak dan ayah yang sedang terlelap dengan tenang. Hampir-hampir dia tertawa melihat posisi Karel yang tidur terlentang dengan tangan dan kaki yang merentang. Salah satu kakinya bahkan mengenai wajah Javas lantaran posisi tidurnya berlawanan arah dengan papanya. Javas sendiri terlihat sangat lelah. Mukanya kucel, ada beberapa stiker yang menempel di wajahnya. Rambutnya bahkan acak-acakan tak karuan. Kavia mendekati pria itu dengan hati-hati lantas berjongkok tepat di dekatnya. Tangannya terulur, mengusap wajah Javas. "Sayang, banguuun," bisiknya pelan, tepat di dekat telinga Javas. Hanya satu kali tiupan ringan, mata Javas langsung memicing. Pria itu terjaga dengan segera, dan agak terkejut menemukan kaki Karel ada di depan mulutnya. "Astaga," desahnya lirih. Membuat Kavia kontan terkikik pelan. Dengan hati-hati, Javas menyingkirkan kaki Karel sebelum beringsut. "Kamu baru pulang?" tanyanya setelah berhasil bangkit dari a

DMCA.com Protection Status