Kavia agak kaget melihat apa yang Javas tunjukkan. Tanpa sadar dia menelan ludah melihat begitu besarnya milik pria itu. "Kenapa kamu diam saja? Tidak tertarik untuk menyentuhnya?" goda Javas. Dia menyentak satu tangan Kavia dan mengarahkan ke kejantanannya yang sudah mengacung sempurna. "Ja-Javas.""Kenapa kamu mendadak gugup? It's yours. Kamu bisa melakukan apa pun padanya." Kavia masih mematung saat sebelah tangannya berhasil menyentuh milik pria itu. Keras dan menantang, bahkan satu genggamannya pun tak cukup. "Yakin kamu nggak mau merasakannya?" Javas makin gencar menggoda. Dia menuntun tangan Kavia bergerak naik turun di sepanjang batang berotot miliknya. Sementara wajahnya kembali menunduk dan menyasar puncak dada Kavia yang memerah. "Ah—Javas." Refleks mata wanita itu terpejam kala Javas kembali memainkan puncak dadanya. Satu tangannya yang berada di bahu lebar pria itu meremas kencang. Dari dada, ciuman Javas kembali merambat ke pundak dan leher Kavia, lalu menggigit ba
Kavia berlari-lari kecil keluar dari kamar ketika mendapat kabar dari Phil bahwa Kakek Javendra mengirimkan hadiah pernikahan untuknya. Javas sampai menurunkan kacamata bacanya melihat istrinya berlarian menuruni anak tangga. Phil yang mengikuti wanita itu hanya terkekeh kecil dengan tingkah sang istri bos itu. "Ada apa?" tanya Javas ketika Phil melewati pria itu. Pria yang selalu berpenampilan rapi itu menghentikan langkah. "Presdir mengirimkan hadiah buat Nyonya, Pak." "Oh ya?" Mendengar itu Javas langsung melepas kacamatanya. Dia lantas berdiri dan menyusul Kavia ke depan rumah. Dari teras, dia bisa melihat sebuah mobil jenis sedan dengan warna dark gray doff terparkir cantik di halaman rumah. Pita merah mengelilingi mobil keluaran terbaru pabrikan Jerman tersebut. Sial! Itu adalah mobil yang Javas incar karena diluncurkan dalam jumlah terbatas. Hanya tujuh unit di dunia. Bagaimana Kakek bisa mendapatkannya? Sementara itu Kavia berjingkrak-jingkrak bahagia mendapat hadiah itu.
Kavia menyambut ketika Javas mengulurkan tangan dari luar mobil. Kepala wanita itu menyembul dan langsung bisa melihat tower yang menjulang tinggi di depannya. Dia baru tahu jika tower yang cukup mendominasi di antara tower lainnya itu milik keluarga Wirahardja. Selain Phil, ternyata ada beberapa orang yang menyambutnya di depan gedung. Melihat mereka berpenampilan rapi seperti itu dan menyambut begitu ramah, Kavia merasa seperti anak presiden saja. "Selamat pagi, Bu Kavia. Selamat datang di HYOT." "Selamat pagi!" Javas bilang ada rapat besar yang harus mereka ikuti. Untuk perinciannya Kavia tidak mengerti. Hanya saja Phil sempat memberitahu dewan direksi akan berkumpul di rapat tersebut. Kavia melingkarkan tangan ke lengan Javas, baru kemudian berjalan memasuki tower dengan diikuti rombongan orang yang menyambut keduanya di depn lobi tadi. Lobi tower HYOT sangat luas. Interior klasik modernnya sangat berkelas. Nyaris semua dindingnya terbuat dari marble, termasuk lantai yang sek
"Tua bangka itu benar-benar tidak bisa dipercaya. Bisa-bisanya dia mempermainkan aku. Entah apa lagi rencananya." Di dalam mobil Javas terus memaki kakeknya. Kemarahan pria itu belum bisa reda sepenuhnya. Dia merasa ditipu dan diperlakukan dengan tidak adil. Dia merasa sudah menuruti semua kemauan sang kakek. Bahkan melakukan apa pun syarat yang kakeknya ajukan termasuk terjun ke perusahaan, lalu menikah. Namun, kakek terlalu banyak mengulur waktu. "Phil, apa kamu tahu rencana pria tua itu selanjutnya?" "Saya tidak tahu. Presdir sulit ditebak." "Dia bahkan lebih percaya kamu daripada cucunya sendiri. Mustahil kamu nggak tahu rencana tua bangka itu." Sejujurnya telinga Kavia panas mendengar Javas terus menyebut Kakek Javendra dengan sebutan tidak sopan begitu. Hanya karena warisan, pria itu berlaku sangat tidak terpuji. Kavia merasa risih, dia tidak pernah bertingkah seperti suaminya meskipun sedang berselisih dengan Kakek Ricko. Apa lagi yang mereka ributkan ternyata tentang hart
"Kenapa kamu jalan-jalan sendirian? Mana suami kamu?" Tanpa sengaja Kavia bertemu Fabby. Wanita itu tidak pernah memikirkan kemungkinan akan bertemu lagi dengan pria itu, dia agak terkejut dengan kemunculan Fabby yang tiba-tiba. Pria itu mengenakan outfit formal kemeja lengan panjang yang dilapisi jas. Outfit keseharian yang dia pakai saat sedang bekerja. "Bukannya aku yang seharusnya nanya. Kenapa di jam kerja begini kamu berkeliaran di mal?" Pria berambut ikal itu tersenyum. "Kamu lupa ya kalau pekerjaanku kadang kala harus keluar kantor?" Bagaimana Kavia bisa melupakan itu? Bahkan dia sering janji temu makan siang jika Fabby kebetulan ada di luar. Wanita itu mengangguk-angguk. "Jadi, kamu lagi survei apa di sini?" "Aku nggak lagi survei, tapi lagi evaluasi." Fabby melirik pergelangan tangannya. "Jam makan siang bentar lagi. Mau makan siang bersama?" Tawaran itu membuat Kavia mengerjap. Dia menatap pria di depannya lekat-lekat. Tidak ada perubahan berarti, Fabby terlihat sama
Dua kali ini Kavia mengunjungi rumah Kakek Javendra. Namun sekarang bukan hanya untuk sekedar berkunjung saja. Mereka berniat menginap di sana untuk beberapa hari. Sesuatu yang mengejutkan baginya saat Javas tiba-tiba mengajaknya untuk berkemas. "Tradisi keluarga." Itu alasan yang Javas katakan. Apa pun alasannya yang mendasari, Kavia tidak keberatan. Mungkin ini akan jadi kesempatan terbaik agar Javas dan Kakek dekat kembali. Kavia melarikan pandangannya ke halaman rumah yang luas. Tidak ada yang berubah dari terakhir saat dia datang berkunjung. Yang disayangkan, kakek hanya tinggal sendiri di tempat seindah dan seluas ini. "Ayo, masuk!" Javas menyentak kesadaran Kavia. Wanita yang meng-curly rambut cokelatnya itu segera mengikuti Javas memasuki rumah. Salah seorang pelayan langsung mengantar keduanya ke tempat di mana Kakek berada. Ini mengejutkan bagi Kavia karena ternyata sang kakek sedang berkuda. "Aku nggak tahu kalau di belakang rumah ini ada arena berkuda!" seru Kavia yan
Semilir angin membuat rambut cokelat Kavia bergoyang. Wanita itu baru saja mengenakan kamisol yang sempat Javas lepas saat keduanya bercumbu. Matanya lantas memandangi padang rumput luas yang diselingi beberapa pepohonan rindang. Kuda mereka berdiri tidak jauh dari posisi keduanya, dekat dengan pepohonan lain. "Apa yang kamu pikirkan?" tanya Javas yang masih berbaring di atas rumput dengan dada telanjang. Telunjuknya menyentuh lengah Kavia yang terbuka. "Tanah kakek luas banget. Dia pasti menyiapkan ini untuk keluarga besarnya." "Kakek nggak punya keluarga besar. Aku cucu satu-satunya." Kavia menoleh ke belakang, melewati bahu. "Kamu nggak kasihan sama kakek sendirian?" "Kakek nggak sepenuhnya sendirian. Kamu bisa lihat sendiri orang-orang kakek banyak." "Mereka kan bukan keluarga kakek."Javas bangkit dari rebahan dan duduk bersila. "Demi kesehatan kakek, aku harus tinggal terpisah. Kami selalu ribut, dan itu nggak bagus buat kesehatan jantungnya." "Tapi kakek pasti kesepian."
Kavia menarik panah dari side quiver atau kantong panah yang menggantung di paha kanannya. Lantas melakukan nocking atau memasukkan ekor anak panah ke nocking point sebelum mengangkat busur. Dia memastikan arah sasaran sebelum melakukan drawing. Kavia mematok titik anchor point sebatas telinganya. Setelah memastikan dirinya siap, dia membidik dan melepas tembakan. Anak panah melesat cepat, meluncur, dan jatuh tepat mengenai lingkaran emas di papan target. Tiga kali tembak, tiga kali pula mata panahnya tepat sasaran. Kavia tersenyum puas, rambutnya yang dikucir kuda berkibar tertiup angin. Dia menoleh ke tempat Javas berdiri dan melihat pria itu mengacungkan dua ibu jarinya seraya tersenyum. Pria itu berjalan mendekat. Masih mengenakan pakaian kerja lengkap seperti pagi tadi. Begitu berada di sisi Kavia, tangannya langsung menyampir ke pinggang wanita itu. Agak sedikit menunduk dia berbisik di dekat telinga sang istri. "Seksi." Kavia terkekeh kecil dan menggeser tubuhnya. "Mau coba?"
Selagi Karel tenang bermain bersama Kakek Javendra dan para asisten, Kavia dan Javas melipir ke arena berkuda. Kavia kangen menunggangi Evelyn. Kuda betina putih itu terawat dengan sangat baik saat Kavia melihatnya. Hewan tangguh berkaki empat itu ternyata masih mengenali wanita itu dengan baik. "Sayang! Ayo cepat!" teriak Javas di atas kudanya. Kavia melambaikan tinggi tangannya ke arah Javas, lalu bergerak menaiki pelana kuda. "Evelyn, kita susul suamimu sekarang," ujar Kavia sambil mengusap pelan leher betina tangguh yang dia tunggangi. Dengan cepat dia pun memacu kudanya menyusul Javas. Keduanya mengendarai kuda-kuda itu mengelilingi tanah lapang. Melewati penangkaran rusa milik Kakek, dan sebuah danau buatan yang dipenuhi angsa putih. Pohon-pohon rindang masih tumbuh dengan subur di beberapa area. Setelah beberapa lama saling berkejaran dengan Javas, Kavia menghentikan kudanya di dekat pepohonan yang tumbuh di tepi danau. "Kayak udah lama banget nggak ke sini. Aku kangen men
"Semua yang ada di sini kelak akan menjadi milikmu, Nak." Mata tua Javendra mengedar. Melihat betapa luasnya tanah yang dia miliki. Belum lagi rumah yang dia huni. Rumah kebanggaannya yang sampai saat ini masih eksis di pinggiran kota. Rumah masa depan yang sebenarnya dulu dia siapkan untuk putranya, Ravendra. "Mau bagaimana lagi? Papamu nggak mau menempati rumah ini dan memiliki rumah sendiri. Jadi rumah ini akan kakek wariskan padamu." Javendra terus mengajak Karel ngobrol. Seolah bayi sembilan bulan itu paham apa yang dia bicarakan. "Malah sekarang papamu beli rumah baru. Padahal apa salahnya tinggal di sini sama kakek. Iya kan? Toh rumah ini nanti bakal jadi milik kamu." Tidak jauh dari tempat pria tua itu, Kavia menggeser duduk memepet suaminya dan berbisik. "Kakek kenapa?" "Dia lagi jadi pemeran utama drama keluarga," sahut Javas asal, yang langsung mendapat pukulan ringan di lengan kanannya. Dia mengaduh sambil mengusap lengannya. "Apa sih, Yang? Aku ngomong bener kok."
"Dia sudah nggak bekerja di anak cabang HYOT lagi." Kabar itu membuat Kavia yang sudah merebah segera mengangkat badannya lagi. "Sejak kapan?" Javas mengangkat bahu. "Kamu peduli banget?" Alis tebalnya tertaut. Agak tidak suka istrinya makin kepo. "Bukan peduli, tapi setahuku dia dulu berjuang banget buat dapat posisi bagus di perusahaan tempatnya bekerja." "Mungkin dia dapat tawaran yang lebih bagus." "Mungkin gara-gara dia dimutasi ke luar pulau." Javas menghela napas panjang lalu menarik tangan Kavia agar bergerak memeluknya. "Kenapa sih bahas mantan terus? Kamu nggak ada rencana buat ketemuan lagi kayak dulu kan?" Kavia mesem-mesem tak jelas mendengar pertanyaan Javas. Ekpresi dan cara bicara pria itu membuat Kavia makin merasa dicintai. Mungkin jika pertanyaan itu terlontar saat mereka masih belum menyadari perasaan masing-masing, Kavia bakal jawab iya-iya aja. Javas menjauhkan diri dan menatap Kavia. "Kok malah senyum-senyum?" Matanya refleks memelotot. "Jangan bilang ka
"Aku di farmer market. Kalian langsung ke sini aja ntar." "Oke. Kami masih di jalan. Tungguin kami ya, Macan.... " Kavia tersenyum mendengar suara Javas di seberang sana. Tangannya masih sibuk memilih buah pear di rak. "Oke, aku tutup dulu ya. Hati-hati, nggak usah ngebut." Tidak lama, dia mematikan panggilan dari suaminya itu dan kembali melanjutkan memilih buah segar yang tertata rapi di rak. Akhir-akhir ini Kavia senang membuat salad buah. Stok salad di kulkas cepat habis karena ternyata Javas juga menyukai salad buatannya itu. Senyumnya kembali merekah saat melihat rak bagian apel. Apel adalah buah yang wajib ada di rumah lantaran buah itu menjadi salah satu favoritnya. Mata Kavia tertarik dengan apel bulat yang terletak di tumpukan paling atas. Kulitnya mengkilat dan terlihat besar. Namun saat tangannya terjulur untuk meraih buah tersebut, tangan lain lebih dulu melakukannya. Sehingga tanpa sengaja tangannya menangkup tangan orang itu. Kavia refleks menarik tangannya. "Maaf.
"Astagfirullah, suami orang ganteng banget!" Jeritan tertahan itu keluar dari bibir mungil wanita gemoy saat melihat Javas turun dari anak tangga sambil membawa Karel di gendongannya. Kavia di sebelahnya hanya menggeleng melihat muka mupeng sahabatnya itu. Sementara tangannya masih sibuk mempreteli buah anggur dari tangkainya. Javas tanpa atasan memang menggoda iman. Belum lagi tato besar di bahu hingga lengannya, menambah kesan maskulinnya yang menonjol. Memamerkan bentuk tubuhnya yang seksi itu sudah menjadi kebiasaannya jika berada dalam rumah. Kavia saja yang tiap hari melihat masih bisa terbuai, apalagi Dian? "Laki lo benar-benar hot daddy banget.""Ck!" Kavia melirik sekilas dengan tatapan sebal, namun yang ditatap malah terkikik. "Dia kelihatan sayang banget sama Karel. Gue mau dong satu yang begitu." Bibir Dian mencebik memandang Javas dengan tatapan penuh damba. "Cari coba di pasar loak," sahut Kavia asal. Sejurus kemudian dia mengaduh karena dapat cubitan manis dari Dia
"Sofa baru?" Kavia dan Javas saling pandang sesaat ketika melihat orang-orang suruhan Daniel mengangkut sebuah sofa yang masih terbungkus rapi dengan plastik. Orang-orang itu membawa sofa dengan kelir merah hati itu ke dalam rumah. "Pas kan diletakkan di ruang tamu kalian?" Daniel tersenyum bangga. "Ini papi impor langsung dari Italy loh. Masih satu produk sama sofa di rumah papi." "Harusnya papi nggak perlu repot-repot begini," ujar Javas meringis. Insiden sofa masih menjadi momok buat pria itu. Gara-gara itu pula, Kavia belum mau mengisi ruang tamu barunya. "Sama sekali nggak repot. Anggap aja ini hadiah buat rumah baru kalian. Iya kan, Baby?" Daniel tersenyum sambil menatap istrinya. "Iya. Toh kami nggak bisa ngasih apa-apa selain ini," timpal Delotta sambil mengusap lengan Daniel. "Memang aku nggak tau kalau papi ngasih harga diskon rumah ini sampe 50 persen?" tukas Kavia yang langsung membuat mata Javas melebar. "Harga rumah ini sebenarnya 10M kan? Aku sempat nanya kok sama
Kecuali barang-barang yang ada di kamar Karen, tidak ada lagi barang yang Kavia bawa dari rumah Javas. Rumah dan isinya ditinggalkan begitu saja seolah sudah tidak berguna lagi. Bahkan ketika Javas meminta alat-alat gym untuk ikut dipindahkan, Kavia menolak tegas. "Nggak bisa. Siapa yang jamin alat-alat itu streril dari kalian?" Penolakan Kavia membuat Javas menganga tak percaya. "Ya ampun, Sayang. Kami nggak melakukan sampai sejauh itu. Rumah itu masih dalam keadaan kosong waktu itu. Ak—" Ucapan Javas kontan terhenti ketika dengan cepat Kavia mengangkat tangannya. "Aku nggak mau dengar dongeng jadul percintaan kamu lagi. Oh ya, soal sofa di ruang tamu itu, udah aku bakar." "Apa? Itu sofa bisa kita jual buat beli yang baru kalau kamu nggak mau pake lag—" Kembali Javas merapatkan mulut saat Kavia melotot padanya. "Oke, terserah kamu," lanjutnya pasrah. Benar-benar sudah tidak ada lagi yang bisa dia selamatkan. Dia menatap rumah besar kebanggaannya dengan pandangan merana. Ruma
Mata Kavia berbinar saat melihat Javas sudah ada di kamar ketika dia datang. Seperti malam kemarin, pria itu masih membaca buku yang sama sebelum tidur. Buku tentang ilmu parenting. Alih-alih Kavia, malah Javas yang gencar belajar soal parenting, padahal siangnya pria itu masih berjibaku dengan tumpukan pekerjaan. Kavia mengambil sebuah flyer dari dalam tas. Flyer yang sengaja dia bawa dari kantor papinya. Dengan senyum yang dibuat semelengkung mungkin, wanita itu menghampiri Javas yang masih terlihat fokus. "Pa," panggilnya lirih sembari beranjak duduk di sisi Javas. "Hm." "Lihat ini deh."Pandangan Javas langsung teralihkan sesaat. Matanya melirik benda yang Kavia bawa. "Apa tuh?" tanya dia sebelum balik lagi ke bacaannya. "Ini flyer perumahan elite terbarunya Blue Jagland. Proyek milik Mas Gyan."Javas hanya mengangguk-angguk. Matanya masih lurus menatap barisan huruf di depannya. "Hunian kelas atas yang cuma ada 10 unit. Lokasinya juga nggak jauh dari kantor kamu. Strategis
Kavia membuka pintu kamar dengan pelan. Takut mengganggu dua anak dan ayah yang sedang terlelap dengan tenang. Hampir-hampir dia tertawa melihat posisi Karel yang tidur terlentang dengan tangan dan kaki yang merentang. Salah satu kakinya bahkan mengenai wajah Javas lantaran posisi tidurnya berlawanan arah dengan papanya. Javas sendiri terlihat sangat lelah. Mukanya kucel, ada beberapa stiker yang menempel di wajahnya. Rambutnya bahkan acak-acakan tak karuan. Kavia mendekati pria itu dengan hati-hati lantas berjongkok tepat di dekatnya. Tangannya terulur, mengusap wajah Javas. "Sayang, banguuun," bisiknya pelan, tepat di dekat telinga Javas. Hanya satu kali tiupan ringan, mata Javas langsung memicing. Pria itu terjaga dengan segera, dan agak terkejut menemukan kaki Karel ada di depan mulutnya. "Astaga," desahnya lirih. Membuat Kavia kontan terkikik pelan. Dengan hati-hati, Javas menyingkirkan kaki Karel sebelum beringsut. "Kamu baru pulang?" tanyanya setelah berhasil bangkit dari a