Kavia menarik panah dari side quiver atau kantong panah yang menggantung di paha kanannya. Lantas melakukan nocking atau memasukkan ekor anak panah ke nocking point sebelum mengangkat busur. Dia memastikan arah sasaran sebelum melakukan drawing. Kavia mematok titik anchor point sebatas telinganya. Setelah memastikan dirinya siap, dia membidik dan melepas tembakan. Anak panah melesat cepat, meluncur, dan jatuh tepat mengenai lingkaran emas di papan target. Tiga kali tembak, tiga kali pula mata panahnya tepat sasaran. Kavia tersenyum puas, rambutnya yang dikucir kuda berkibar tertiup angin. Dia menoleh ke tempat Javas berdiri dan melihat pria itu mengacungkan dua ibu jarinya seraya tersenyum. Pria itu berjalan mendekat. Masih mengenakan pakaian kerja lengkap seperti pagi tadi. Begitu berada di sisi Kavia, tangannya langsung menyampir ke pinggang wanita itu. Agak sedikit menunduk dia berbisik di dekat telinga sang istri. "Seksi." Kavia terkekeh kecil dan menggeser tubuhnya. "Mau coba?"
"A-Athar?" Kavia kembali melangkah mundur ketika pria itu kian mendekat. Dia merapatkan kimono yang menutupi gaun tidurnya. Beruntung dia tidak lupa mengenakan kimono sebelum keluar kamar. "Kenapa kamu belum tidur selarut ini? Apa kamu juga kesulitan tidur sepertiku?" Kening Kavia mengerut. Dia tidak mengerti maksud ucapan pria yang baru dikenalnya beberapa jam itu. "Nggak, aku cuma mau ambil air minum." Dia menunjukkan gelasnya. Tersenyum singkat, Kavia pun memutuskan meninggalkan dapur. "Excuse me, aku mau kembali ke kamar dulu." Kavia harus cepat-cepat kabur, entahlah dia tidak nyaman berada di dekat anak angkat kakek itu. Tampan dan berkarisma, tapi tatapan mata pria itu yang seolah ingin menerkam dirinya membuat Kavia ngeri. "Tunggu." Kavia terkejut saat Athar mencekal lengannya. Dia refleks menyentaknya dan menatap pria itu horor. Langkahnya bergerak menjauh. "Sorry." Sepertinya Athar juga terkejut dengan reaksi Kavia. "Sorry, aku nggak bermaksud mengganggu. Ada yang ingi
Apa yang pria itu lakukan di sini? Itu pertanyaan yang langsung nyangkut di benak Kavia. Bukankah seharusnya dia di kantor bersama Kakek dan Javas? Dengan Athar berada di depan sekarang, Kavia tidak berani naik ke atas. Baju renang yang dia pakai terlampau terbuka. Dibanding bikini atau thong, ini lebih terbuka lagi. Sudah masuk ke jenis G-string, yang hanya memiliki tali yang menyelip di belahan bokong. Javas bisa ngamuk kalau tahu ada orang lain yang melihatnya dengan penampilan seperti ini. "Kamu perenang yang hebat," ujar Athar mendekat ke sisi di mana Kavia berada. "Mau aku bantu naik?" "Nggak perlu. Aku masih ingin berenang." Demi apa pun dia ingin Javas pulang. Tidak apa-apa deh, kalau dia bakal digasak habis-habisan. Yang penting lelaki itu pulang cepat. Kavia merasa aman dan bebas berkeliaran di rumah lantaran jika pagi sampai sore rumah sepi. Semua pergi ke kantor. Hanya ada beberapa pelayan perempuan yang menemani. Jadi kemunculan Athar yang tiba-tiba begini sama sekali
Peluh Javas mengucur saat sebuah barbel baru saja dia lepas. Alat pamungkasnya ngegym tiap pagi. Dia meraih handuk kecil dan mengusap keringat di dahi juga leher. Sambil terus menyeka, tatapnya dia larikan ke tempat Kavia berada.Melihat Kavia hanya berbalut sport bra dan legging ketat sepanjang lutut tengah berlari di atas running pad membuat pria itu terpana. Wanita terlihat begitu seksi. Rambutnya yang dikucir bergoyang. Lengan rampingnya terayun di sisi badan. Sebagai wanita Kavia benar-benar memiliki tubuh sempurna dengan lekukan yang pas.Awalnya Javas tidak menyadari itu, sampai dia bisa merasakannya sendiri. Meski begitu dia masih bisa menetapkan batasan pada diri sendiri agar tidak main hati di permainan yang sedang mereka jalani.Javas menyeret kaki panjangnya mendekati Kavia. Dan berdiri di depan wanita itu sambil memperhatikannya berlari."Ngapain di situ?" tanya Kavia dengan napas memburu. Dia menatap aneh suaminya itu."Pengin pake treadmillnya," sahut Javas lantas memin
Athar yang hendak olahraga di ruang gym terpaksa menghentikan niatnya ketika mendengar sayup-sayup rintihan seseorang. Langkahnya yang tadi bergerak semangat mendadak melambat begitu sampai di lantai tempat gym berada. Jika itu suara salah satu dari pekerja Javendra yang berani berbuat mesum di tempat itu, dia bersumpah akan memecat mereka saat itu juga. Namun ketika suara erangan dan desahan itu makin jelas terdengar, Athar tahu itu bukan salah satu dari suara pekerja. Athar sangat mengenali suara itu. Dadanya berdegup kencang, dia makin merapatkan diri ke dekat pintu. Menelan ludah, tangannya sedikit menekan handle pintu yang ternyata tidak dikunci. Dia kuak sedikit pintu tersebut. Dari jarak pandangnya, dia bisa melihat apa yang terjadi di dalam sana. "Oh, Javas. Lebih keras lagi." Dadanya bergemuruh mendengar suara desahan Kavia. Erangan Javas mengiringi di belakang perempuan itu. Dia bahkan sempat melihat wajah bergairah Kavia yang memerah. Mata wanita itu terpejam sementara m
Javas memegang mesra pinggang istrinya kala memasuki lobi sebuah hotel yang akan menjadi tempat pesta ulang tahun perusahaan. Dilaksanakan di ballroom dengan konsep standing party. Petinggi perusahaan, tamu undangan dari klien, kolega, investor, vendor, sampai steakholder akan mendatangi pesta tersebut. "Kamu akan jadi bintang malam ini," bisik Javas ketika moncong kamera menyambut lalu beberapa wartawan menyerbunya. "Kamu dong. Kan kamu yang akan pidato sambutan." Seperti halnya saat acara bakti sosial beberapa hari lalu, pesta ini pun akan diliput media. Mengingat Wirahadja juga pemilik salah satu stasiun TV nasional. Javas hanya memberi tanggapan dan menjawab beberapa pertanyaan sebelum memasuki tempat pesta. Dia sempat menjawab pertanyaan yang sifatnya pribadi terkait rumah tangganya yang terkesan tiba-tiba. "Anda hanya belum tahu saja, kalau saya sudah lama merencanakan menikahi istri saya ini," sahut Javas menanggapi salah satu pertanyaan. "Rumornya Anda menikah karena wari
Desclaimer : Bab ini agak dark ya, yang nggak kuat bisa skip aja. Khusus 21+ saja. ================== Athar melepas kasar tangan Fabby yang mencengkeram jasnya. Matanya menatap sengit ke arah pria yang berani memukulnya hingga tersungkur itu. Lalu berganti menatap Kavia yang wajahnya begitu tegang. Dan tanpa mengucapkan sapatah kata atau pun membalas apa yang Fabby lakukan, Athar meninggalkan tempat itu dengan wajah merah padam. Fabby langsung menghampiri Kavia begitu pria itu pergi. "Kamu nggak apa-apa?" tanya Fabby cemas. Melihat gaun Kavia yang kacau dia segera melepas jas dan memakaikannya ke bahu wanita itu. "Terima kasih, aku nggak apa-apa. Gimana kamu bisa ada di sini?" sahut Kavia seraya merapatkan jas milik Fabby ke tubuhnya. "Harusnya aku yang tanya. Kenapa kamu di sini bersama pria itu? Mana suami kamu?" Jika dipikir-pikir ini memang salahnya. Harusnya dia tetap berada di sisi Javas. Kavia meringis kecil. "Aku tadi bosan jadi waktu Athar menarikku keluar d
Kavia terbangun lantaran aroma wangi yang memenuhi rongga hidungnya. Bukan aroma wangi parfum, melainkan aroma wangi makanan. Dan benar, ketika dia membuka mata di nakas terdapat nampan berisi tiga coffee buns dan satu gelas susu. Kavia beringsut mendekati nakas. Perutnya makin keroncongan. Semalam, di pesta bahkan dia belum menyentuh makanan, tapi si brengsek Javas sudah mencuci perutnya sampai terkuras habis. Sial! Jika mengingat itu membuatnya bergidik dan mendadak mual lagi. Kavia menggeleng, mengenyahkan perbuatan kotor Javas padanya. Perutnya lebih membutuhkan perhatian sekarang. Tanpa menunggu lagi dia meraih coffee buns yang masih hangat itu dan langsung memakannya. Rasa lapar membuat dirinya tidak bisa mengendalikan diri. Dia berhasil menghabiskan satu roti rasa kopi itu dengan cepat. Bahkan tangannya saat ini memegang satu roti lainnya. Kavia tidak sadar Javas tengah memandanginya sambil tersenyum. Pria itu bersandar pada kusen pintu dengan tangan melipat di depan dada. "
Selagi Karel tenang bermain bersama Kakek Javendra dan para asisten, Kavia dan Javas melipir ke arena berkuda. Kavia kangen menunggangi Evelyn. Kuda betina putih itu terawat dengan sangat baik saat Kavia melihatnya. Hewan tangguh berkaki empat itu ternyata masih mengenali wanita itu dengan baik. "Sayang! Ayo cepat!" teriak Javas di atas kudanya. Kavia melambaikan tinggi tangannya ke arah Javas, lalu bergerak menaiki pelana kuda. "Evelyn, kita susul suamimu sekarang," ujar Kavia sambil mengusap pelan leher betina tangguh yang dia tunggangi. Dengan cepat dia pun memacu kudanya menyusul Javas. Keduanya mengendarai kuda-kuda itu mengelilingi tanah lapang. Melewati penangkaran rusa milik Kakek, dan sebuah danau buatan yang dipenuhi angsa putih. Pohon-pohon rindang masih tumbuh dengan subur di beberapa area. Setelah beberapa lama saling berkejaran dengan Javas, Kavia menghentikan kudanya di dekat pepohonan yang tumbuh di tepi danau. "Kayak udah lama banget nggak ke sini. Aku kangen men
"Semua yang ada di sini kelak akan menjadi milikmu, Nak." Mata tua Javendra mengedar. Melihat betapa luasnya tanah yang dia miliki. Belum lagi rumah yang dia huni. Rumah kebanggaannya yang sampai saat ini masih eksis di pinggiran kota. Rumah masa depan yang sebenarnya dulu dia siapkan untuk putranya, Ravendra. "Mau bagaimana lagi? Papamu nggak mau menempati rumah ini dan memiliki rumah sendiri. Jadi rumah ini akan kakek wariskan padamu." Javendra terus mengajak Karel ngobrol. Seolah bayi sembilan bulan itu paham apa yang dia bicarakan. "Malah sekarang papamu beli rumah baru. Padahal apa salahnya tinggal di sini sama kakek. Iya kan? Toh rumah ini nanti bakal jadi milik kamu." Tidak jauh dari tempat pria tua itu, Kavia menggeser duduk memepet suaminya dan berbisik. "Kakek kenapa?" "Dia lagi jadi pemeran utama drama keluarga," sahut Javas asal, yang langsung mendapat pukulan ringan di lengan kanannya. Dia mengaduh sambil mengusap lengannya. "Apa sih, Yang? Aku ngomong bener kok."
"Dia sudah nggak bekerja di anak cabang HYOT lagi." Kabar itu membuat Kavia yang sudah merebah segera mengangkat badannya lagi. "Sejak kapan?" Javas mengangkat bahu. "Kamu peduli banget?" Alis tebalnya tertaut. Agak tidak suka istrinya makin kepo. "Bukan peduli, tapi setahuku dia dulu berjuang banget buat dapat posisi bagus di perusahaan tempatnya bekerja." "Mungkin dia dapat tawaran yang lebih bagus." "Mungkin gara-gara dia dimutasi ke luar pulau." Javas menghela napas panjang lalu menarik tangan Kavia agar bergerak memeluknya. "Kenapa sih bahas mantan terus? Kamu nggak ada rencana buat ketemuan lagi kayak dulu kan?" Kavia mesem-mesem tak jelas mendengar pertanyaan Javas. Ekpresi dan cara bicara pria itu membuat Kavia makin merasa dicintai. Mungkin jika pertanyaan itu terlontar saat mereka masih belum menyadari perasaan masing-masing, Kavia bakal jawab iya-iya aja. Javas menjauhkan diri dan menatap Kavia. "Kok malah senyum-senyum?" Matanya refleks memelotot. "Jangan bilang ka
"Aku di farmer market. Kalian langsung ke sini aja ntar." "Oke. Kami masih di jalan. Tungguin kami ya, Macan.... " Kavia tersenyum mendengar suara Javas di seberang sana. Tangannya masih sibuk memilih buah pear di rak. "Oke, aku tutup dulu ya. Hati-hati, nggak usah ngebut." Tidak lama, dia mematikan panggilan dari suaminya itu dan kembali melanjutkan memilih buah segar yang tertata rapi di rak. Akhir-akhir ini Kavia senang membuat salad buah. Stok salad di kulkas cepat habis karena ternyata Javas juga menyukai salad buatannya itu. Senyumnya kembali merekah saat melihat rak bagian apel. Apel adalah buah yang wajib ada di rumah lantaran buah itu menjadi salah satu favoritnya. Mata Kavia tertarik dengan apel bulat yang terletak di tumpukan paling atas. Kulitnya mengkilat dan terlihat besar. Namun saat tangannya terjulur untuk meraih buah tersebut, tangan lain lebih dulu melakukannya. Sehingga tanpa sengaja tangannya menangkup tangan orang itu. Kavia refleks menarik tangannya. "Maaf.
"Astagfirullah, suami orang ganteng banget!" Jeritan tertahan itu keluar dari bibir mungil wanita gemoy saat melihat Javas turun dari anak tangga sambil membawa Karel di gendongannya. Kavia di sebelahnya hanya menggeleng melihat muka mupeng sahabatnya itu. Sementara tangannya masih sibuk mempreteli buah anggur dari tangkainya. Javas tanpa atasan memang menggoda iman. Belum lagi tato besar di bahu hingga lengannya, menambah kesan maskulinnya yang menonjol. Memamerkan bentuk tubuhnya yang seksi itu sudah menjadi kebiasaannya jika berada dalam rumah. Kavia saja yang tiap hari melihat masih bisa terbuai, apalagi Dian? "Laki lo benar-benar hot daddy banget.""Ck!" Kavia melirik sekilas dengan tatapan sebal, namun yang ditatap malah terkikik. "Dia kelihatan sayang banget sama Karel. Gue mau dong satu yang begitu." Bibir Dian mencebik memandang Javas dengan tatapan penuh damba. "Cari coba di pasar loak," sahut Kavia asal. Sejurus kemudian dia mengaduh karena dapat cubitan manis dari Dia
"Sofa baru?" Kavia dan Javas saling pandang sesaat ketika melihat orang-orang suruhan Daniel mengangkut sebuah sofa yang masih terbungkus rapi dengan plastik. Orang-orang itu membawa sofa dengan kelir merah hati itu ke dalam rumah. "Pas kan diletakkan di ruang tamu kalian?" Daniel tersenyum bangga. "Ini papi impor langsung dari Italy loh. Masih satu produk sama sofa di rumah papi." "Harusnya papi nggak perlu repot-repot begini," ujar Javas meringis. Insiden sofa masih menjadi momok buat pria itu. Gara-gara itu pula, Kavia belum mau mengisi ruang tamu barunya. "Sama sekali nggak repot. Anggap aja ini hadiah buat rumah baru kalian. Iya kan, Baby?" Daniel tersenyum sambil menatap istrinya. "Iya. Toh kami nggak bisa ngasih apa-apa selain ini," timpal Delotta sambil mengusap lengan Daniel. "Memang aku nggak tau kalau papi ngasih harga diskon rumah ini sampe 50 persen?" tukas Kavia yang langsung membuat mata Javas melebar. "Harga rumah ini sebenarnya 10M kan? Aku sempat nanya kok sama
Kecuali barang-barang yang ada di kamar Karen, tidak ada lagi barang yang Kavia bawa dari rumah Javas. Rumah dan isinya ditinggalkan begitu saja seolah sudah tidak berguna lagi. Bahkan ketika Javas meminta alat-alat gym untuk ikut dipindahkan, Kavia menolak tegas. "Nggak bisa. Siapa yang jamin alat-alat itu streril dari kalian?" Penolakan Kavia membuat Javas menganga tak percaya. "Ya ampun, Sayang. Kami nggak melakukan sampai sejauh itu. Rumah itu masih dalam keadaan kosong waktu itu. Ak—" Ucapan Javas kontan terhenti ketika dengan cepat Kavia mengangkat tangannya. "Aku nggak mau dengar dongeng jadul percintaan kamu lagi. Oh ya, soal sofa di ruang tamu itu, udah aku bakar." "Apa? Itu sofa bisa kita jual buat beli yang baru kalau kamu nggak mau pake lag—" Kembali Javas merapatkan mulut saat Kavia melotot padanya. "Oke, terserah kamu," lanjutnya pasrah. Benar-benar sudah tidak ada lagi yang bisa dia selamatkan. Dia menatap rumah besar kebanggaannya dengan pandangan merana. Ruma
Mata Kavia berbinar saat melihat Javas sudah ada di kamar ketika dia datang. Seperti malam kemarin, pria itu masih membaca buku yang sama sebelum tidur. Buku tentang ilmu parenting. Alih-alih Kavia, malah Javas yang gencar belajar soal parenting, padahal siangnya pria itu masih berjibaku dengan tumpukan pekerjaan. Kavia mengambil sebuah flyer dari dalam tas. Flyer yang sengaja dia bawa dari kantor papinya. Dengan senyum yang dibuat semelengkung mungkin, wanita itu menghampiri Javas yang masih terlihat fokus. "Pa," panggilnya lirih sembari beranjak duduk di sisi Javas. "Hm." "Lihat ini deh."Pandangan Javas langsung teralihkan sesaat. Matanya melirik benda yang Kavia bawa. "Apa tuh?" tanya dia sebelum balik lagi ke bacaannya. "Ini flyer perumahan elite terbarunya Blue Jagland. Proyek milik Mas Gyan."Javas hanya mengangguk-angguk. Matanya masih lurus menatap barisan huruf di depannya. "Hunian kelas atas yang cuma ada 10 unit. Lokasinya juga nggak jauh dari kantor kamu. Strategis
Kavia membuka pintu kamar dengan pelan. Takut mengganggu dua anak dan ayah yang sedang terlelap dengan tenang. Hampir-hampir dia tertawa melihat posisi Karel yang tidur terlentang dengan tangan dan kaki yang merentang. Salah satu kakinya bahkan mengenai wajah Javas lantaran posisi tidurnya berlawanan arah dengan papanya. Javas sendiri terlihat sangat lelah. Mukanya kucel, ada beberapa stiker yang menempel di wajahnya. Rambutnya bahkan acak-acakan tak karuan. Kavia mendekati pria itu dengan hati-hati lantas berjongkok tepat di dekatnya. Tangannya terulur, mengusap wajah Javas. "Sayang, banguuun," bisiknya pelan, tepat di dekat telinga Javas. Hanya satu kali tiupan ringan, mata Javas langsung memicing. Pria itu terjaga dengan segera, dan agak terkejut menemukan kaki Karel ada di depan mulutnya. "Astaga," desahnya lirih. Membuat Kavia kontan terkikik pelan. Dengan hati-hati, Javas menyingkirkan kaki Karel sebelum beringsut. "Kamu baru pulang?" tanyanya setelah berhasil bangkit dari a