Kavia terbangun lantaran aroma wangi yang memenuhi rongga hidungnya. Bukan aroma wangi parfum, melainkan aroma wangi makanan. Dan benar, ketika dia membuka mata di nakas terdapat nampan berisi tiga coffee buns dan satu gelas susu. Kavia beringsut mendekati nakas. Perutnya makin keroncongan. Semalam, di pesta bahkan dia belum menyentuh makanan, tapi si brengsek Javas sudah mencuci perutnya sampai terkuras habis. Sial! Jika mengingat itu membuatnya bergidik dan mendadak mual lagi. Kavia menggeleng, mengenyahkan perbuatan kotor Javas padanya. Perutnya lebih membutuhkan perhatian sekarang. Tanpa menunggu lagi dia meraih coffee buns yang masih hangat itu dan langsung memakannya. Rasa lapar membuat dirinya tidak bisa mengendalikan diri. Dia berhasil menghabiskan satu roti rasa kopi itu dengan cepat. Bahkan tangannya saat ini memegang satu roti lainnya. Kavia tidak sadar Javas tengah memandanginya sambil tersenyum. Pria itu bersandar pada kusen pintu dengan tangan melipat di depan dada. "
Di lobi hotel Kavia dan Javas berpapasan dengan Kakek Javendra dan Athar serta rombongannya. Siang ini Athar dan Kakek akan pulang ke Jakarta. Tanpa sengaja tatapan Kavia bertemu dengan tatapan Athar. Jika mengingat kejadian semalam, ingin rasanya wanita itu merangsek maju dan menjotos pria itu sampai wajah tampannya pindah ke pantat. Benar-benar menjengkelkan. Sampai detik ini Kavia belum berani melaporkan kejadian yang sebenarnya kepada Javas. Dan kalau pun lapor, belum tentu juga Javas percaya. Dengan enggan Kavia berdiri di belakang punggung Javas. Dia terlalu muak berhadapan dengan anak angkat Javendra itu. "Kakek jadi pulang siang ini?" tanya Javas basa-basi. Ujung matanya melirik tingkah aneh istrinya. "Iya. Kalian di sini saja untuk memantau jalannya konser dan promo produk baru itu. Aku dan Athar masih harus menghadiri jamuan makan malam di Jakarta." "Baik, Kek." Kali ini tatap cokelat Javas menatap tajam Athar yang siang ini tampak begitu kalem. Namun dia tahu pria itu m
Usapan di paha membuat mata Kavia memicing sebelah. Tapi lebih dari itu rasa pengarlah yang membuatnya terjaga. Kavia sadar semalam minum terlalu banyak. "Javas, singkirkan tanganmu. Kepalaku sakit," rengek Kavia mencoba bangkit perlahan. Dia meremas kepalanya, lalu matanya mengerjap. Ternyata dia masih mengenakan pakaian semalam. Hanya saja bentuknya sudah berantakan. Segera dia melupakan sakit kepala yang mendera dan menarik tangan Javas yang masih terus mengusap-usap pahanya. "Kamu semalam menyentuhku?!" tanyanya dengan mata melotot. Javas berdecak seraya melepas paksa tangannya. "Kamu yang menyentuhku, bukan aku." "Mustahil." "Apanya yang mustahil? Coba ingat-ingat lagi siapa yang membuatku telanjang begini." Ya, pria itu hanya mengenakan selimut yang melorot sampai pinggul. Memamerkan bentuk tubuhnya yang seksi. Agak tidak percaya Kavia bisa melakukan itu. Javas pasti mengada-ada. "Aku nggak mau ambil resiko nggak bisa menyentuh kamu selamanya. Tapi kalau kasus semalam itu
Kembali Kavia menyesap rokoknya dengan santai. Wajah memerah Erland menjadi pertunjukan yang menarik buatnya. Dulu jika dia sudah berbuat nakal begitu, Erland tak segan membawanya ke tempat yang lebih privasi. Pria itu bisa melakukan lebih daripada sekedar menyundut rokok ke tubuh Kavia. "Kayaknya Javas nggak keberatan," ucapnya tersenyum. Padahal sejak sama Fabby Kavia tidak pernah praktek hal-hal seperti itu lagi. Pelan namun pasti, Fabby menggiringnya ke hubungan yang lebih sehat. Mantan kekasihnya benar-benar ikut andil dalam proses itu. "Pretty," desah Erland menggeleng. "Kenapa sih? Kamu mau coba lagi yang lebih dari itu?" Erland tahu Kavia hanya menggodanya, jadi dirinya cuma bisa menggeleng. Tidak terlalu menghiraukan. Dia bernapas lega ketika akhirnya Javas kembali. Segera mungkin dia membenarkan posisi duduk. "Kalian mau pesan apa? Ada menu baru yang lagi hits di sini," tanya Erland segera setelah Javas duduk kembali ke sofanya di sisi Kavia. "Oh ya? Kalau begitu gue s
Tangan Kavia melambai saat meninggalkan Erland dan restorannya. Sementara Javas di sisinya merangkul pinggang perempuan itu dan menggiringnya memasuki mobil. Pria itu kembali lebih cepat untuk menjemput Kavia lantaran urusannya berjalan cukup lancar. Dan itu membuat Kavia bisa mengembuskan napas lega. Godaan wanita itu pada Erland seperti kena batunya sendiri. Kavia bergidik sendiri mengingat tatapan Erland. Meski berlangsung sebentar, tatapan itu cukup mengintimidasi. Persis ketika dulu dirinya di bawah kekuasaan pria itu. Tanpa sadar Kavia mengusap lengan. Hanya mengingat saja bulu kuduknya langsung merinding. "Kamu dingin?" tanya Javas tiba-tiba. Agak terkesiap, Kavia menggeleng cepat. "Enggak.""Oh ya?" Kembali Javas merangkul lengan istrinya itu. Dia bisa merasakan pori-pori kulit Kavia menegang. "Sampe merinding gini, kamu bilang nggak dingin." Pria itu lantas meminta supir untuk mengecilkan AC mobil. Kavia merinding bukan karena AC. Seandainya isi kepalanya bisa Javas baca,
"Kalian benar-benar tidak pulang ke rumahku?" Pertanyaan kakek membuat Javas melirik Kavia yang duduk di sebelahnya. Wanita itu tampak cuek, terlihat fokus mengutak-atik ponsel. "Nggak, Kek. Kavia minta pulang ke rumahku." "Kapan kalian datang ke rumah lagi?" Javas menaikkan alisnya yang tebal. Tumben sekali pria tua itu menginginkan dirinya datang? Biasanya juga tidak peduli meskipun Javas datang hanya sebulan sekali. "Jangan GR, Kakek suka istrimu ada di sini, bukan kamunya." Hah! Sekali menyebalkan tetap menyebalkan. Javas memutar bola mata malas. "Istriku sepaket denganku. Mana mau dia tinggal di rumah kakek tanpa aku?" Di seberang sana kakek menggeram. "Ya sudah, salam buat istri kamu. Suruh sering-sering menjenguk kakek," pungkas Javendra di ujung sana sebelum mematikan ponsel sepihak. Javas menatap ponsel yang tiba-tiba mati seraya terkekeh. Kakeknya benar-benar sudah tertaut dengan menantunya. "Kenapa tertawa?" tanya Kavia melihat ke arah pria itu sekilas. Lalu balik
"Aku dengar rumor. Tapi aku nggak yakin kebenarannya. Entah kamu juga dengar atau nggak."Bola mata Kavia bergulir, menatap Fabby yang tampak serius bicara. Dia sampai menghentikan kegiatannya menggulung spaghetti bolognese kesukaannya demi memperhatikan apa yang akan pria itu sampaikan. "Soal apa?" tanya wanita itu. "Suami kamu.""Javas?"Fabby mengangguk. Dia tampak menelan ludah sebelum melontarkan hal yang cukup mengganggu itu. "Aku mendengar rumor kalau pernikahan kalian cuma pura-pura demi menutupi kelainan seksual suami kamu."Dahi Kavia mengernyit dalam. Dia sampai harus meletakkan garpu. "Maksudnya?""Gosip yang kudengar suami kamu itu gay." Hampir saja rahang Kavia jatuh. Astaga, gosip dari mana itu? Fine, dulu dia dan Dian juga sempat berpikir ke arah sana. Cuma tidak menyangka saja kalau itu beneran menjadi gosip yang menyebar. Ya Tuhan, gimana kalau Javas tahu? Mendadak kepala Kavia berdenyut kencang. "Rumor itu sebenarnya udah lama. Javas Wirahardja udah lama nggak t
Lagi-lagi rumor itu. Bahkan sekarang sudah sampai ke telinga Kavia. Javas membuang napas, mengusap wajahnya, dan menatap Kavia. "Terus kamu percaya berita itu?" tanya pria itu dengan suaranya yang berat. "Nggaklah. Mana mungkin cowok kayak kamu gay," sahut Kavia, pandangannya refleks jatuh ke pangkal paha pria itu. Sialan. Mereka tidak tahu saja jika naga Javas sudah bangun seperti apa. "Baguslah. Itu aja cukup kok. Aku nggak perlu membuktikan apa pun ke mereka." "Memangnya kamu nggak tersinggung? Nggak mau laporin orang yang nyebar fitnah itu?" "Itu cuma buang-buang waktu." Javas mengendurkan dasi, dan melepas benda itu dari kerah lehernya. "Daripada mengurusi mereka yang bahkan orangnya nggak kita kenal, lebih baik melakukan hal yang lebih penting." Pria itu berdiri, sambil membuka kancing lengan kemejanya. "Selain itu, apa lagi yang mantan kamu katakan?" Kavia menggeleng. "Nggak ada yang penting kok." Javas mengernyit lalu melepas kemejanya. "Lain kali kalau mau jatuhin aku