"Astagfirullah, suami orang ganteng banget!" Jeritan tertahan itu keluar dari bibir mungil wanita gemoy saat melihat Javas turun dari anak tangga sambil membawa Karel di gendongannya. Kavia di sebelahnya hanya menggeleng melihat muka mupeng sahabatnya itu. Sementara tangannya masih sibuk mempreteli buah anggur dari tangkainya. Javas tanpa atasan memang menggoda iman. Belum lagi tato besar di bahu hingga lengannya, menambah kesan maskulinnya yang menonjol. Memamerkan bentuk tubuhnya yang seksi itu sudah menjadi kebiasaannya jika berada dalam rumah. Kavia saja yang tiap hari melihat masih bisa terbuai, apalagi Dian? "Laki lo benar-benar hot daddy banget.""Ck!" Kavia melirik sekilas dengan tatapan sebal, namun yang ditatap malah terkikik. "Dia kelihatan sayang banget sama Karel. Gue mau dong satu yang begitu." Bibir Dian mencebik memandang Javas dengan tatapan penuh damba. "Cari coba di pasar loak," sahut Kavia asal. Sejurus kemudian dia mengaduh karena dapat cubitan manis dari Dia
"Aku di farmer market. Kalian langsung ke sini aja ntar." "Oke. Kami masih di jalan. Tungguin kami ya, Macan.... " Kavia tersenyum mendengar suara Javas di seberang sana. Tangannya masih sibuk memilih buah pear di rak. "Oke, aku tutup dulu ya. Hati-hati, nggak usah ngebut." Tidak lama, dia mematikan panggilan dari suaminya itu dan kembali melanjutkan memilih buah segar yang tertata rapi di rak. Akhir-akhir ini Kavia senang membuat salad buah. Stok salad di kulkas cepat habis karena ternyata Javas juga menyukai salad buatannya itu. Senyumnya kembali merekah saat melihat rak bagian apel. Apel adalah buah yang wajib ada di rumah lantaran buah itu menjadi salah satu favoritnya. Mata Kavia tertarik dengan apel bulat yang terletak di tumpukan paling atas. Kulitnya mengkilat dan terlihat besar. Namun saat tangannya terjulur untuk meraih buah tersebut, tangan lain lebih dulu melakukannya. Sehingga tanpa sengaja tangannya menangkup tangan orang itu. Kavia refleks menarik tangannya. "Maaf.
"Dia sudah nggak bekerja di anak cabang HYOT lagi." Kabar itu membuat Kavia yang sudah merebah segera mengangkat badannya lagi. "Sejak kapan?" Javas mengangkat bahu. "Kamu peduli banget?" Alis tebalnya tertaut. Agak tidak suka istrinya makin kepo. "Bukan peduli, tapi setahuku dia dulu berjuang banget buat dapat posisi bagus di perusahaan tempatnya bekerja." "Mungkin dia dapat tawaran yang lebih bagus." "Mungkin gara-gara dia dimutasi ke luar pulau." Javas menghela napas panjang lalu menarik tangan Kavia agar bergerak memeluknya. "Kenapa sih bahas mantan terus? Kamu nggak ada rencana buat ketemuan lagi kayak dulu kan?" Kavia mesem-mesem tak jelas mendengar pertanyaan Javas. Ekpresi dan cara bicara pria itu membuat Kavia makin merasa dicintai. Mungkin jika pertanyaan itu terlontar saat mereka masih belum menyadari perasaan masing-masing, Kavia bakal jawab iya-iya aja. Javas menjauhkan diri dan menatap Kavia. "Kok malah senyum-senyum?" Matanya refleks memelotot. "Jangan bilang ka
"Semua yang ada di sini kelak akan menjadi milikmu, Nak." Mata tua Javendra mengedar. Melihat betapa luasnya tanah yang dia miliki. Belum lagi rumah yang dia huni. Rumah kebanggaannya yang sampai saat ini masih eksis di pinggiran kota. Rumah masa depan yang sebenarnya dulu dia siapkan untuk putranya, Ravendra. "Mau bagaimana lagi? Papamu nggak mau menempati rumah ini dan memiliki rumah sendiri. Jadi rumah ini akan kakek wariskan padamu." Javendra terus mengajak Karel ngobrol. Seolah bayi sembilan bulan itu paham apa yang dia bicarakan. "Malah sekarang papamu beli rumah baru. Padahal apa salahnya tinggal di sini sama kakek. Iya kan? Toh rumah ini nanti bakal jadi milik kamu." Tidak jauh dari tempat pria tua itu, Kavia menggeser duduk memepet suaminya dan berbisik. "Kakek kenapa?" "Dia lagi jadi pemeran utama drama keluarga," sahut Javas asal, yang langsung mendapat pukulan ringan di lengan kanannya. Dia mengaduh sambil mengusap lengannya. "Apa sih, Yang? Aku ngomong bener kok."
Selagi Karel tenang bermain bersama Kakek Javendra dan para asisten, Kavia dan Javas melipir ke arena berkuda. Kavia kangen menunggangi Evelyn. Kuda betina putih itu terawat dengan sangat baik saat Kavia melihatnya. Hewan tangguh berkaki empat itu ternyata masih mengenali wanita itu dengan baik. "Sayang! Ayo cepat!" teriak Javas di atas kudanya. Kavia melambaikan tinggi tangannya ke arah Javas, lalu bergerak menaiki pelana kuda. "Evelyn, kita susul suamimu sekarang," ujar Kavia sambil mengusap pelan leher betina tangguh yang dia tunggangi. Dengan cepat dia pun memacu kudanya menyusul Javas. Keduanya mengendarai kuda-kuda itu mengelilingi tanah lapang. Melewati penangkaran rusa milik Kakek, dan sebuah danau buatan yang dipenuhi angsa putih. Pohon-pohon rindang masih tumbuh dengan subur di beberapa area. Setelah beberapa lama saling berkejaran dengan Javas, Kavia menghentikan kudanya di dekat pepohonan yang tumbuh di tepi danau. "Kayak udah lama banget nggak ke sini. Aku kangen men
"Nikah?! Omong kosong apa ini?!" Suara bariton itu naik satu oktaf. Mata pemilik suara itu melotot tak percaya. Spontan tangannya meremas kertas yang dia genggam dengan kesal. Dua alis tebal yang membingkai mata cokelatnya menyatu. Wajah tampannya memerah seketika. Javas Rashaka Wirahardja murka setelah membaca surat dari sang kakek yang memintanya untuk segera menikah. "Bilang sama pria tua itu aku nggak mau menuruti perintahnya!" ujarnya kesal lalu melempar buntalan kertas yang dia remas ke arah pria dengan setelan jas abu yang berdiri di depannya. "Presdir bilang warisan itu tidak akan pernah jatuh seutuhnya ke tangan Anda jika dalam satu bulan Anda belum membawa calon istri ke hadapannya," ucap Phil, nama pria berjas abu itu sembari masih mempertahankan senyumnya yang tenang. "Damn it! Apa pria tua itu pikir mencari calon istri mudah?" Phil tersenyum lagi, lantas bergerak maju untuk meletakkan amplop cokelat yang sedari tadi dia bawa. "Presdir menawarkan beberapa kandidat yan
Erland meninggalkan mereka saat seseorang membutuhkannya. Satu botol vodka sudah dia berikan kepada Javas. Pria berambut ikal itu juga sempat berpesan tentang Kavia yang biasanya tidak bisa menoleransi di gelas ketiga. Sepeninggalnya Erland, Javas menuang vodka itu ke dalam sloki milik Kavia. "Kenal Erland di mana?" tanyanya sembari mendorong kembali sloki ke depan wanita itu. "Dia teman kakakku. Kamu?" "Erland teman satu kuliah dulu." Kavia mengangguk dan mulai meneguk isi gelasnya lagi. Meski sedang sakit hati parah, dia tidak boleh mabuk atau jika Gyan—kakaknya—tahu dia bisa disidang di depan papi. Bisa-bisa papi menyuruhnya pulang ke rumah lagi. "Jadi, lelaki itu mutusin kamu dan malah jalan sama sahabat kamu? Aku turut prihatin." "Hei, nggak baik menguping pembicaraan orang." Javas mengangkat bahu. "Kamu bicara sambil teriak. Telingaku masih normal anyway." Wanita dengan rambut cokelat bergelombang itu mendecih. Dia agak malas dengan lelaki asing yang suka ikut cam
Bunyi 'klik' tanda kunci apartemen berhasil dibuka dari luar tidak membuat Kavia lantas bangun dari rebahan. Terlalu malas buat sekedar menyeret langkah untuk tahu siapa yang datang. Kalau bukan Gyan, paling Dian. Hanya dua orang itu yang dia amanahi password apartemennya. Bahkan papi sama maminya tidak. Kavia makin merapatkan selimut. Kantuk masih bergelayut. Sudah dua hari ini dia mendekam di apartemen. Sengaja minta cuti dari kerjaan. Tidak ada yang dia lakukan kecuali makan dan tidur. Mandi pun cuma sekali sehari saking magernya."Ya ampuunnn! Kaviaaa!" Dengan cepat Kavia menyambar bantal untuk menutupi telinganya. Suara menggelegar yang bisa mengguncangkan gedung apartemen itu dia yakini berasal dari living room unitnya. Dan siapa lagi yang bisa teriak dengan kekuatan penuh seperti itu kalau bukan sahabatnya? "Perawan kok rumahnya kumuh, jorok gini! Ini apartemen apa tempat sampah?!" 'malas, Di.' Kavia cuma menyahut dalam hati. Dia yakin sebentar lagi Dian akan kembali merepe