Share

Pesona Istri Dadakan Sang Pewaris
Pesona Istri Dadakan Sang Pewaris
Author: Yuli F. Riyadi

1. Perintah Menikah

last update Last Updated: 2024-06-04 12:56:36

"Nikah?! Omong kosong apa ini?!"

Suara bariton itu naik satu oktaf. Mata pemilik suara itu melotot tak percaya. Spontan tangannya meremas kertas yang dia genggam dengan kesal. Dua alis tebal yang membingkai mata cokelatnya menyatu. Wajah tampannya memerah seketika. Javas Rashaka Wirahardja murka setelah membaca surat dari sang kakek yang memintanya untuk segera menikah.

"Bilang sama pria tua itu aku nggak mau menuruti perintahnya!" ujarnya kesal lalu melempar buntalan kertas yang dia remas ke arah pria dengan setelan jas abu yang berdiri di depannya.

"Presdir bilang warisan itu tidak akan pernah jatuh seutuhnya ke tangan Anda jika dalam satu bulan Anda belum membawa calon istri ke hadapannya," ucap Phil, nama pria berjas abu itu sembari masih mempertahankan senyumnya yang tenang.

"Damn it! Apa pria tua itu pikir mencari calon istri mudah?"

Phil tersenyum lagi, lantas bergerak maju untuk meletakkan amplop cokelat yang sedari tadi dia bawa. "Presdir menawarkan beberapa kandidat yang bisa Anda pilih di sini. Anda bisa mengencani mereka, lalu menentukan pilihan setelahnya."

"What?" Si tampan Javas mengusap wajah frustrasi. Dia menarik napas beberapa kali sebelum tangan kirinya menyambar amplop cokelat tersebut. Dengan malas, dia membuka ikatan tali amplop itu. Lalu mengeluarkan isinya. Berlembar-lembar foto wanita cantik kini tepat di depan matanya. "Apa kakek sudah gila? Aku disuruh mengencani wanita sebanyak ini?"

"Pilih salah satu yang Anda suka kalau begitu."

Lagi si pemilik rahang tegas itu membuang napas. Dilihatnya satu per satu foto-foto itu sampai akhir. Namun satu pun tak ada yang menarik di matanya. "Nggak ada yang menarik," tandasnya melempar foto terakhir.

Pria yang sudah bertahun-tahun menjadi asisten Javas itu menarik napas panjang. "Tidak heran kalau presdir mempercayai rumor yang beredar."

"Rumor apa?"

"Rumor kalau Anda penyuka sesama jenis."

"Are you kidding me?"

"Itulah yang saya dengar." Phil mengangkat bahu sambil membereskan foto-foto itu. Matanya menyipit ketika melihat salah satu wanita yang familiar. "Ini bukankah Aliya?" tanya pria itu sambil menunjukan foto itu pada Javas.

"Siapa Aliya?"

"Adik Amira."

Dengan cepat foto itu berpindah ke tangan Javas. "Apa iya?" Dia mengamati wajah di foto itu dengan seksama. Garis wajah itu memang mirip Amira. Namun senyumnya jelas beda. Sontak dia tertawa. "Fix, kakek benar-benar gila. Setelah gagal dengan kakaknya, aku ditawari mengencani adiknya. Sinting!"

"Tidak ada yang salah. Anda mau mencoba?" Alis Phil naik sebelah.

Namun cucu keluarga Wirahardja itu menggeleng tegas. "Sorry, aku tidak tertarik." Javas berdiri seraya melepas jas. "Kepalaku pusing aku mau cari angin."

"Semoga Anda beruntung."

Javas hanya tersenyum miring sambil mengayunkan langkah menuju pintu keluar. Dia tahu maksud kata 'beruntung' dalam kalimat asistennya itu. Agak menyebalkan memang. Selama ini dia menutup telinga perkara dirinya yang sudah lama sendiri. Tapi makin ke sana beritanya malah makin meresahkan. Penyuka sesama jenis mereka bilang? Itu jelas menyentil egonya sebagai pria sejati. Apollonya bereaksi melihat dada seksi, bukan dada berotot. Sialan!

***

Baru saja Javas keluar dari lift matanya menangkap adegan kekerasan. Dia sampai harus meringis mendengar bunyi keras telapak tangan seorang wanita yang mendarat sadis di pipi seorang pria. Dia bisa melihat wajah murka wanita itu, matanya melotot tajam seperti mau menerkam. Javas tidak peduli. Mungkin mereka hanya pasangan yang sedang bertengkar.

Langkah Javas langsung berbelok menuju koridor penghubung sebuah bar & cafe yang ada di rooftop gedung hotel yang dia pijak ini. Sebuah bar & cafe milik Erland, temannya, yang baru dibuka beberapa hari lalu. Dia melewatkan soft openingnya dan baru sempat datang malam ini.

Rooftop bar & cafe itu memiliki kubah kaca yang terbuka saat cuaca cerah seperti sekarang. Kubah itu akan bergerak menutup saat cuaca sedang tidak bersahabat. Saat masuk, Javas langsung suka dengan konsep yang Erland pilih itu.

Seorang pria tinggi dengan apron warna hitam di balik bar melambaikan tangan padanya. Dia Erland. Javas yang melihatnya langsung tersenyum dan dengan segera menghampiri pria tersebut.

"Akhirnya datang juga, Sob!" sapa Erland seraya mengangkat tangan memberi salam ala lelaki begitu Javas tepat di hadapannya.

"Sorry baru sempat ke sini." Javas mengamati suasana sembari duduk di salah satu stool. "Rame nih. Sukses kayaknya ini tempat."

"Thanks."

"Tiap hari begini?"

"Sejak buka seminggu lalu begini terus."

Javas menggeleng bangga. "Apa gue bilang. Sejak dulu harusnya lo incar tempat ini."

Erland tersenyum. "Kan harus cari modal dulu, Man."

Alasan klise yang sering Javas dengar. Padahal Javas tidak pernah keberatan jika Erland ingin dirinya berinvestasi pada bisnisnya.

"Oh ya? Mau minum apa? Gue traktir."

"Itu wajib. Yang enak di sini apa?"

"Well! Gue baru punya temuan racikan baru. Lo wajib coba karena ini pasti bakal enak banget."

Javas mengiyakan saja. Sambil menunggu Erland meracik minumannya dia memutar stool untuk melihat-lihat suasana bar ini. Ada live musik di sudut kafe. Di sudut lain ada gerombolan wanita yang tengah berhaha-hihi entah mengobrolkan apa. Lalu terlihat juga pasangan yang tengah menikmati hidangan kafe. Melirik ke meja lain Javas juga melihat---

"Sialan! Brengsek! Erland! Beri aku Smirnoff tanpa mix!"

Makian seorang wanita mengalihkan perhatian Javas. Ekor matanya melirik seseorang yang baru saja duduk di sebelahnya. Hanya terpaut satu stool sebagai jarak. Bukankah itu wanita yang di depan tadi? Wanita yang dengan sadis menampar pasangannya.

"Hei, What's up?" tanya Erland menanggapi wanita itu.

"Erland, Please," pinta wanita itu. Wajah gusarnya tidak bisa ditutupi.

"Oke, hanya satu sloki."

Diam-diam Javas memperhatikan wanita itu. Hidung wanita itu runcing jika dilihat dari samping. Dia memiliki rambut cokelat bergelombang sebatas punggung. Bibir merah mudanya terlihat mengkilap. Kulitnya putih dengan bentuk tubuh sedikit berisi. Lumayan seksi.

"Any problem, Pretty?" tanya Erland saat memberikan wanita itu satu sloki Smirnoff.

Javas sedikit terlupakan begitu wanita itu datang, untung dia sudah mendapatkan minumannya. Tiba-tiba saja wanita itu sesenggukan. Membuat Javas melirik di balik gelas minumannya. Dia menangis?

Erland langsung kalang kabut mencarikan wanita itu tisu. Dia terlihat khawatir. "Kamu bisa cerita pelan-pelan."

"Aku diputusin. Brengsek! Dia yang selingkuh aku yang diputusin!" ujar wanita itu lagi dengan nada sedih campur marah yang kental. "Dan kamu tau, siapa selingkuhannya? Sahabatku sendiri. Double kill banget kan?"

Wow, pantas saja pria tadi mendapat tamparan keras dari wanita itu. Diam-diam Javas memasang telinga. Merasa tertarik dengan sesi curhat wanita itu.

"I'm sorry to hear that, Honey. Aku yakin kamu bisa mendapat lelaki yang lebih baik daripada dia. Lelaki seperti itu nggak pantas kamu tangisi."

Sambil menyusut hidung mancungnya yang ikut berair, wanita itu mengangguk. "Ya, pasti itu. Aku bakal tunjukan sama pengkhianat-pengkhianat itu kalau aku bisa dapetin lelaki yang lebih baik segala-galanya. Makan tuh bekasku!"

Javas mengerjap saat melihat wanita itu langsung menandaskan isi slokinya dalam sekali teguk. Apa dia akan baik-baik saja? Satu detik, dua detik, sampai lima detik tidak ada yang berubah dari wanita itu. Javas pikir wanita itu bakal langsung mabuk.

"Satu sloki lagi, Please."

Erland menggeleng. "Aku buatin minuman lain. Sea breeze cocok buat hati yang lagi galau."

"Aku nggak galau! Aku bakal bikin dia menyesal udah mutusin aku dan malah bersama si pagar makan tanaman itu!"

"I know. Makanya jangan mabuk kalau kamu nggak galau."

"Satu botol vodka nggak akan bikin aku mabuk."

"Aku nggak mau berurusan sama Gyan."

"Dia lagi bucin sama calon istrinya. Nggak bakal ngurusin aku."

"Sorry, Dear."

Wanita itu menggeram jengkel. "Nyebelin banget sih. Aku obrak-abrik juga nih bar!"

"Kasih aja, Land. Gue yang tanggung jawab kalau dia mabuk." Akhirnya Javas angkat suara. Bibirnya melengkung ke atas saat wanita itu menoleh ke arahnya. "Hei, aku Javas," sapanya sembari mengulurkan tangan.

Wanita di depannya tidak langsung menyambut. Tatap birunya malah memperhatikan tampang Javas dengan seksama. Dari wajah, bola matanya bergerak turun ke bahu dan dada pria itu. Lumayan seksi dan tampan. Setelah sekian detik berlalu, barulah dia menyambut uluran tangan Javas.

"Kavia."

Comments (4)
goodnovel comment avatar
Bundanya Ichaekaaksay
permulaan n pertemuan yg menarik,,lanjut Thor,,smga seru jga
goodnovel comment avatar
Enisensi Klara
Bagus nih ceritanya ......
goodnovel comment avatar
arwa
seru kaaak
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

  • Pesona Istri Dadakan Sang Pewaris    2. Sebuah Penawaran

    Erland meninggalkan mereka saat seseorang membutuhkannya. Satu botol vodka sudah dia berikan kepada Javas. Pria berambut ikal itu juga sempat berpesan tentang Kavia yang biasanya tidak bisa menoleransi di gelas ketiga. Sepeninggalnya Erland, Javas menuang vodka itu ke dalam sloki milik Kavia. "Kenal Erland di mana?" tanyanya sembari mendorong kembali sloki ke depan wanita itu. "Dia teman kakakku. Kamu?" "Erland teman satu kuliah dulu." Kavia mengangguk dan mulai meneguk isi gelasnya lagi. Meski sedang sakit hati parah, dia tidak boleh mabuk atau jika Gyan—kakaknya—tahu dia bisa disidang di depan papi. Bisa-bisa papi menyuruhnya pulang ke rumah lagi. "Jadi, lelaki itu mutusin kamu dan malah jalan sama sahabat kamu? Aku turut prihatin." "Hei, nggak baik menguping pembicaraan orang." Javas mengangkat bahu. "Kamu bicara sambil teriak. Telingaku masih normal anyway." Wanita dengan rambut cokelat bergelombang itu mendecih. Dia agak malas dengan lelaki asing yang suka ikut cam

    Last Updated : 2024-06-04
  • Pesona Istri Dadakan Sang Pewaris    3. Menggalau

    Bunyi 'klik' tanda kunci apartemen berhasil dibuka dari luar tidak membuat Kavia lantas bangun dari rebahan. Terlalu malas buat sekedar menyeret langkah untuk tahu siapa yang datang. Kalau bukan Gyan, paling Dian. Hanya dua orang itu yang dia amanahi password apartemennya. Bahkan papi sama maminya tidak. Kavia makin merapatkan selimut. Kantuk masih bergelayut. Sudah dua hari ini dia mendekam di apartemen. Sengaja minta cuti dari kerjaan. Tidak ada yang dia lakukan kecuali makan dan tidur. Mandi pun cuma sekali sehari saking magernya."Ya ampuunnn! Kaviaaa!" Dengan cepat Kavia menyambar bantal untuk menutupi telinganya. Suara menggelegar yang bisa mengguncangkan gedung apartemen itu dia yakini berasal dari living room unitnya. Dan siapa lagi yang bisa teriak dengan kekuatan penuh seperti itu kalau bukan sahabatnya? "Perawan kok rumahnya kumuh, jorok gini! Ini apartemen apa tempat sampah?!" 'malas, Di.' Kavia cuma menyahut dalam hati. Dia yakin sebentar lagi Dian akan kembali merepe

    Last Updated : 2024-06-04
  • Pesona Istri Dadakan Sang Pewaris    4. Sebuah Kontrak

    Mungkin ini terlalu impulsif. Namun telepon singkat kemarin malam itu membawa Kavia bertemu lagi dengan Javas. Dian terus mendukungnya untuk bertemu dengan pria itu. Bukan di tempat Erland seperti waktu itu. Kali ini mereka bertemu di salah satu restoran yang berada di kawasan sebuah industri estate di pinggiran kota. Kavia langsung bisa melihat pria itu ketika memasuki restoran. Javas terlihat lebih menonjol dibandingkan pengunjung lain sehingga wanita itu bisa dengan cepat menemukannya. "Aku nggak tau kalau ada restoran di kawasan industri begini," ujar Kavia begitu sampai di meja Javas. "Makanya aku meminta kita bertemu di sini agar kamu tau. Silakan duduk," sahut Javas sopan. Tidak seperti malam itu yang lebih santai, outfit Javas siang ini terlihat begitu sopan. "Ini seperti kita sedang melakukan transaksi rahasia. Bertemu di kawasan yang menurutku kurang..." bola mata biru itu bergerak, mengedar ke sekeliling. "ramai." Javas tertawa. Jenis tawa membuatnya semakin tampan sep

    Last Updated : 2024-06-04
  • Pesona Istri Dadakan Sang Pewaris    5. Si Tuan Takur

    Mungkin kakek tua itu seumuran Daniel, papinya. Atau bisa jadi lebih. Uban putihnya menutupi hampir semua kepalanya. Bahkan jambang dan kumisnya yang melintang pun berwarna putih. Mata legamnya yang terbingkai alis lebat itu menatap begitu tajam. Agak mengerikan seperti Tuan Takur Sing di serial India yang sering Bi Sari—asisten rumah tangga di rumah Kakek Ricko—tonton dulu jaman Kavia masih kecil. Malam ini Javas membawa Kavia ke rumah besar Kakek Javendra. Kakek yang menurut Javas sering berseberangan dengan dirinya. Dari sini Kavia tahu betapa kaya rayanya keluarga Wirahardja itu. Rumahnya serupa penthouse milik almarhum Nani di Florencia. Jika dibanding Fabby yang berasal dari keluarga biasa jelas mantannya itu kalah telak. Tapi Kavia mencintai pria biasa brengsek itu. Jujur dari lubuk hatinya yang paling dalam, dia masih ingin bersama Pria bedebah itu. Deheman keras membuat Kavia tersentak. Dia segera sadar dari kenyataan bahwa dirinya saat ini berada di ruang tamu besar keluar

    Last Updated : 2024-06-04
  • Pesona Istri Dadakan Sang Pewaris    6. Melamar

    Yang paling menyeramkan saat ini adalah tatapan mata Gyan yang menghunus. Kavia tahu pria itu satu-satunya orang yang paling kesal di sini. Mungkin merasa rencana pernikahannya sudah disabotase. Tapi Kavia berusaha masa bodo. Javas di sisinya tampak tenang. Tangannya meletakkan cangkir ke meja kembali setelah berhasil menyesap isinya. Kembali pria itu menatap Daniel dan Delotta yang duduk tepat di seberangnya. "Maaf jika kedatangan saya begitu tiba-tiba. Tapi saya ke sini dengan niat baik." Dia menoleh ke sisi Kavia. "Dengan tulus, saya berniat meminang putri cantik Anda dan menjadikannya istri saya." Kembali matanya menatap Daniel. "Saya harap Pak Daniel dan Bu Delotta menyambut niat baik saya." "Kalian kenal di mana?" tanya Gyan menyambar. Sejak tadi dia terus mengawasi pria yang dibawa adiknya itu. Meski terdengar tidak sopan lantaran pertanyaan itu menyela proses pinangan itu, Javas tetap menjawab. "Kami mengenal di sebuah kafe." "Berapa lama kalian saling kenal?" Mendengar

    Last Updated : 2024-06-21
  • Pesona Istri Dadakan Sang Pewaris    7. Topeng

    Mungkin ini berlebihan, tapi Kavia melakukannya. Siang ini dia berdandan habis-habisan lantaran ada janji temu dengan Fabby. Bahkan daripada lelaki itu, dia datang terlebih dulu ke tempat yang dijanjikan. Namun sudah sepuluh menit menunggu, batang hidung lelaki itu belum juga tampak. Kavia mulai gelisah di tempat. Beberapa kali dia menengok jam tangan, dan pintu masuk restoran secara berganti. Seharusnya memang tidak semudah ini dia membuat janji temu. Namun dia tidak memungkiri bahwa ada rindu yang menggebu pada lelaki itu. Suara dehaman membuat Kavia terkesiap. Dadanya mendadak berdebar kencang. Itu suara Fabby, dia yakin. Dan...benar. Sontak Kavia berdiri. "Hai, sori. Nunggu lama," ujar pria berambut ikal itu saat berada di depan Kavia. Dia bergerak mendekat, hendak mencium pipi Kavia, tapi secara refleks wanita itu menghindar. Pria itu sempat tertegun, sebelum mengucapkan maaf lagi. Sudah menjadi kebiasaan. Dia lupa kalau hubungan mereka sekarang sudah tidak seperti dulu lagi.

    Last Updated : 2024-06-26
  • Pesona Istri Dadakan Sang Pewaris    8. Dua Kali Lipat Sakitnya

    Tisu di mobil Javas hampir habis. Kavia terus menggunakan itu untuk menyeka pipinya yang terus saja basah. Setelah meninggalkan restoran, dadanya yang terasa sesak meledak. Dia tidak tahan dan menangis kencang di dalam mobil. Memaki dengan berbagai macam umpatan. Rasa sakit itu bukannya hilang malah bertambah parah. "Sebenarnya apa yang kamu tangisi? Kamu sudah berhasil membuat mereka bungkam," ujar Javas sambil fokus ke jalan raya yang terpantau ramai lancar. "Aku, aku cuma nggak nyangka aja. Ternyata orang yang selama ini kuanggap teman baik, menyimpan benci sebegitu dalam. Aku pikir selama ini dia tulus. Sumpah, ini sakit banget." Kembali air mata Kavia menderas. "Jadi semua yang dia tunjukkan selama ini palsu. Aku bingung, sebagai teman aku berusaha bersikap baik, tapi ternyata dia menilai lain." Javas membelokkan kemudi memasuki sebuah gerbang kawasan perumahan elit dalam kota. Begitu melewati pintu gerbang yang dijaga ketat oleh dua sekuriti, pemandangan sekitar berubah menj

    Last Updated : 2024-06-27
  • Pesona Istri Dadakan Sang Pewaris    9. Bekas

    Langkah Kavia terhenti saat mendengar tepuk tangan meriah dari arah dalam rumah Jemma. Refleks dia meremas lengan Javas. Dia tahu betul itu tepuk tangan apa. Pasti mereka sudah berhasil menyematkan cincin satu sama lain. "Kenapa berhenti?" tanya Javas menoleh. Dia melihat wajah cantik Kavia menegang. "Kavia, ingat kata-kataku. Kamu bisa lebih bahagia dari mereka. Angkat dagumu tinggi-tinggi. Tanamkan pada diri kamu bahwa kamu jauh lebih beruntung karena memiliki calon suami yang lebih segalanya dari mantan kamu. Dan kamu akan selalu menang dari bekas temanmu itu." Kata-kata Javas lagi-lagi berhasil menyuntikkan semangat di hati Kavia. Dia menatap ke depan. Wajah sedihnya berubah menjadi lebih angkuh. "Hm, ayo kita jalan." "Good. Kamu wanita paling beruntung malam ini," ucap Javas tersenyum sambil menepuk pelan tangan Kavia sesaat. Saat hendak mencapai pintu masuk seseorang terdengar memanggil. Keduanya kembali menghentikan langkah dan menoleh ke asal datangnya suara. Dari posisiny

    Last Updated : 2024-06-27

Latest chapter

  • Pesona Istri Dadakan Sang Pewaris    Extra Part - Berkuda

    Selagi Karel tenang bermain bersama Kakek Javendra dan para asisten, Kavia dan Javas melipir ke arena berkuda. Kavia kangen menunggangi Evelyn. Kuda betina putih itu terawat dengan sangat baik saat Kavia melihatnya. Hewan tangguh berkaki empat itu ternyata masih mengenali wanita itu dengan baik. "Sayang! Ayo cepat!" teriak Javas di atas kudanya. Kavia melambaikan tinggi tangannya ke arah Javas, lalu bergerak menaiki pelana kuda. "Evelyn, kita susul suamimu sekarang," ujar Kavia sambil mengusap pelan leher betina tangguh yang dia tunggangi. Dengan cepat dia pun memacu kudanya menyusul Javas. Keduanya mengendarai kuda-kuda itu mengelilingi tanah lapang. Melewati penangkaran rusa milik Kakek, dan sebuah danau buatan yang dipenuhi angsa putih. Pohon-pohon rindang masih tumbuh dengan subur di beberapa area. Setelah beberapa lama saling berkejaran dengan Javas, Kavia menghentikan kudanya di dekat pepohonan yang tumbuh di tepi danau. "Kayak udah lama banget nggak ke sini. Aku kangen men

  • Pesona Istri Dadakan Sang Pewaris    Extra Part - Drama Kakek

    "Semua yang ada di sini kelak akan menjadi milikmu, Nak." Mata tua Javendra mengedar. Melihat betapa luasnya tanah yang dia miliki. Belum lagi rumah yang dia huni. Rumah kebanggaannya yang sampai saat ini masih eksis di pinggiran kota. Rumah masa depan yang sebenarnya dulu dia siapkan untuk putranya, Ravendra. "Mau bagaimana lagi? Papamu nggak mau menempati rumah ini dan memiliki rumah sendiri. Jadi rumah ini akan kakek wariskan padamu." Javendra terus mengajak Karel ngobrol. Seolah bayi sembilan bulan itu paham apa yang dia bicarakan. "Malah sekarang papamu beli rumah baru. Padahal apa salahnya tinggal di sini sama kakek. Iya kan? Toh rumah ini nanti bakal jadi milik kamu." Tidak jauh dari tempat pria tua itu, Kavia menggeser duduk memepet suaminya dan berbisik. "Kakek kenapa?" "Dia lagi jadi pemeran utama drama keluarga," sahut Javas asal, yang langsung mendapat pukulan ringan di lengan kanannya. Dia mengaduh sambil mengusap lengannya. "Apa sih, Yang? Aku ngomong bener kok."

  • Pesona Istri Dadakan Sang Pewaris    Extra Part - Mata Genit

    "Dia sudah nggak bekerja di anak cabang HYOT lagi." Kabar itu membuat Kavia yang sudah merebah segera mengangkat badannya lagi. "Sejak kapan?" Javas mengangkat bahu. "Kamu peduli banget?" Alis tebalnya tertaut. Agak tidak suka istrinya makin kepo. "Bukan peduli, tapi setahuku dia dulu berjuang banget buat dapat posisi bagus di perusahaan tempatnya bekerja." "Mungkin dia dapat tawaran yang lebih bagus." "Mungkin gara-gara dia dimutasi ke luar pulau." Javas menghela napas panjang lalu menarik tangan Kavia agar bergerak memeluknya. "Kenapa sih bahas mantan terus? Kamu nggak ada rencana buat ketemuan lagi kayak dulu kan?" Kavia mesem-mesem tak jelas mendengar pertanyaan Javas. Ekpresi dan cara bicara pria itu membuat Kavia makin merasa dicintai. Mungkin jika pertanyaan itu terlontar saat mereka masih belum menyadari perasaan masing-masing, Kavia bakal jawab iya-iya aja. Javas menjauhkan diri dan menatap Kavia. "Kok malah senyum-senyum?" Matanya refleks memelotot. "Jangan bilang ka

  • Pesona Istri Dadakan Sang Pewaris    Extra Part - Apa Kabar, Kavia?

    "Aku di farmer market. Kalian langsung ke sini aja ntar." "Oke. Kami masih di jalan. Tungguin kami ya, Macan.... " Kavia tersenyum mendengar suara Javas di seberang sana. Tangannya masih sibuk memilih buah pear di rak. "Oke, aku tutup dulu ya. Hati-hati, nggak usah ngebut." Tidak lama, dia mematikan panggilan dari suaminya itu dan kembali melanjutkan memilih buah segar yang tertata rapi di rak. Akhir-akhir ini Kavia senang membuat salad buah. Stok salad di kulkas cepat habis karena ternyata Javas juga menyukai salad buatannya itu. Senyumnya kembali merekah saat melihat rak bagian apel. Apel adalah buah yang wajib ada di rumah lantaran buah itu menjadi salah satu favoritnya. Mata Kavia tertarik dengan apel bulat yang terletak di tumpukan paling atas. Kulitnya mengkilat dan terlihat besar. Namun saat tangannya terjulur untuk meraih buah tersebut, tangan lain lebih dulu melakukannya. Sehingga tanpa sengaja tangannya menangkup tangan orang itu. Kavia refleks menarik tangannya. "Maaf.

  • Pesona Istri Dadakan Sang Pewaris    Extra Part - Pumping

    "Astagfirullah, suami orang ganteng banget!" Jeritan tertahan itu keluar dari bibir mungil wanita gemoy saat melihat Javas turun dari anak tangga sambil membawa Karel di gendongannya. Kavia di sebelahnya hanya menggeleng melihat muka mupeng sahabatnya itu. Sementara tangannya masih sibuk mempreteli buah anggur dari tangkainya. Javas tanpa atasan memang menggoda iman. Belum lagi tato besar di bahu hingga lengannya, menambah kesan maskulinnya yang menonjol. Memamerkan bentuk tubuhnya yang seksi itu sudah menjadi kebiasaannya jika berada dalam rumah. Kavia saja yang tiap hari melihat masih bisa terbuai, apalagi Dian? "Laki lo benar-benar hot daddy banget.""Ck!" Kavia melirik sekilas dengan tatapan sebal, namun yang ditatap malah terkikik. "Dia kelihatan sayang banget sama Karel. Gue mau dong satu yang begitu." Bibir Dian mencebik memandang Javas dengan tatapan penuh damba. "Cari coba di pasar loak," sahut Kavia asal. Sejurus kemudian dia mengaduh karena dapat cubitan manis dari Dia

  • Pesona Istri Dadakan Sang Pewaris    Extra Part - Sofa Baru

    "Sofa baru?" Kavia dan Javas saling pandang sesaat ketika melihat orang-orang suruhan Daniel mengangkut sebuah sofa yang masih terbungkus rapi dengan plastik. Orang-orang itu membawa sofa dengan kelir merah hati itu ke dalam rumah. "Pas kan diletakkan di ruang tamu kalian?" Daniel tersenyum bangga. "Ini papi impor langsung dari Italy loh. Masih satu produk sama sofa di rumah papi." "Harusnya papi nggak perlu repot-repot begini," ujar Javas meringis. Insiden sofa masih menjadi momok buat pria itu. Gara-gara itu pula, Kavia belum mau mengisi ruang tamu barunya. "Sama sekali nggak repot. Anggap aja ini hadiah buat rumah baru kalian. Iya kan, Baby?" Daniel tersenyum sambil menatap istrinya. "Iya. Toh kami nggak bisa ngasih apa-apa selain ini," timpal Delotta sambil mengusap lengan Daniel. "Memang aku nggak tau kalau papi ngasih harga diskon rumah ini sampe 50 persen?" tukas Kavia yang langsung membuat mata Javas melebar. "Harga rumah ini sebenarnya 10M kan? Aku sempat nanya kok sama

  • Pesona Istri Dadakan Sang Pewaris    Extra Part - Terlanjur Sayang

    Kecuali barang-barang yang ada di kamar Karen, tidak ada lagi barang yang Kavia bawa dari rumah Javas. Rumah dan isinya ditinggalkan begitu saja seolah sudah tidak berguna lagi. Bahkan ketika Javas meminta alat-alat gym untuk ikut dipindahkan, Kavia menolak tegas. "Nggak bisa. Siapa yang jamin alat-alat itu streril dari kalian?" Penolakan Kavia membuat Javas menganga tak percaya. "Ya ampun, Sayang. Kami nggak melakukan sampai sejauh itu. Rumah itu masih dalam keadaan kosong waktu itu. Ak—" Ucapan Javas kontan terhenti ketika dengan cepat Kavia mengangkat tangannya. "Aku nggak mau dengar dongeng jadul percintaan kamu lagi. Oh ya, soal sofa di ruang tamu itu, udah aku bakar." "Apa? Itu sofa bisa kita jual buat beli yang baru kalau kamu nggak mau pake lag—" Kembali Javas merapatkan mulut saat Kavia melotot padanya. "Oke, terserah kamu," lanjutnya pasrah. Benar-benar sudah tidak ada lagi yang bisa dia selamatkan. Dia menatap rumah besar kebanggaannya dengan pandangan merana. Ruma

  • Pesona Istri Dadakan Sang Pewaris    Extra Part - Perkara Rumah

    Mata Kavia berbinar saat melihat Javas sudah ada di kamar ketika dia datang. Seperti malam kemarin, pria itu masih membaca buku yang sama sebelum tidur. Buku tentang ilmu parenting. Alih-alih Kavia, malah Javas yang gencar belajar soal parenting, padahal siangnya pria itu masih berjibaku dengan tumpukan pekerjaan. Kavia mengambil sebuah flyer dari dalam tas. Flyer yang sengaja dia bawa dari kantor papinya. Dengan senyum yang dibuat semelengkung mungkin, wanita itu menghampiri Javas yang masih terlihat fokus. "Pa," panggilnya lirih sembari beranjak duduk di sisi Javas. "Hm." "Lihat ini deh."Pandangan Javas langsung teralihkan sesaat. Matanya melirik benda yang Kavia bawa. "Apa tuh?" tanya dia sebelum balik lagi ke bacaannya. "Ini flyer perumahan elite terbarunya Blue Jagland. Proyek milik Mas Gyan."Javas hanya mengangguk-angguk. Matanya masih lurus menatap barisan huruf di depannya. "Hunian kelas atas yang cuma ada 10 unit. Lokasinya juga nggak jauh dari kantor kamu. Strategis

  • Pesona Istri Dadakan Sang Pewaris    Extra Part - Face and body care

    Kavia membuka pintu kamar dengan pelan. Takut mengganggu dua anak dan ayah yang sedang terlelap dengan tenang. Hampir-hampir dia tertawa melihat posisi Karel yang tidur terlentang dengan tangan dan kaki yang merentang. Salah satu kakinya bahkan mengenai wajah Javas lantaran posisi tidurnya berlawanan arah dengan papanya. Javas sendiri terlihat sangat lelah. Mukanya kucel, ada beberapa stiker yang menempel di wajahnya. Rambutnya bahkan acak-acakan tak karuan. Kavia mendekati pria itu dengan hati-hati lantas berjongkok tepat di dekatnya. Tangannya terulur, mengusap wajah Javas. "Sayang, banguuun," bisiknya pelan, tepat di dekat telinga Javas. Hanya satu kali tiupan ringan, mata Javas langsung memicing. Pria itu terjaga dengan segera, dan agak terkejut menemukan kaki Karel ada di depan mulutnya. "Astaga," desahnya lirih. Membuat Kavia kontan terkikik pelan. Dengan hati-hati, Javas menyingkirkan kaki Karel sebelum beringsut. "Kamu baru pulang?" tanyanya setelah berhasil bangkit dari a

DMCA.com Protection Status