Mungkin ini berlebihan, tapi Kavia melakukannya. Siang ini dia berdandan habis-habisan lantaran ada janji temu dengan Fabby. Bahkan daripada lelaki itu, dia datang terlebih dulu ke tempat yang dijanjikan. Namun sudah sepuluh menit menunggu, batang hidung lelaki itu belum juga tampak. Kavia mulai gelisah di tempat. Beberapa kali dia menengok jam tangan, dan pintu masuk restoran secara berganti.
Seharusnya memang tidak semudah ini dia membuat janji temu. Namun dia tidak memungkiri bahwa ada rindu yang menggebu pada lelaki itu.
Suara dehaman membuat Kavia terkesiap. Dadanya mendadak berdebar kencang. Itu suara Fabby, dia yakin. Dan...benar. Sontak Kavia berdiri.
"Hai, sori. Nunggu lama," ujar pria berambut ikal itu saat berada di depan Kavia. Dia bergerak mendekat, hendak mencium pipi Kavia, tapi secara refleks wanita itu menghindar. Pria itu sempat tertegun, sebelum mengucapkan maaf lagi.
Sudah menjadi kebiasaan. Dia lupa kalau hubungan mereka sekarang sudah tidak seperti dulu lagi.
Kavia meneguk ludah sambil tersenyum kaku. Rasanya aneh bersikap canggung begini. "Silakan duduk," ucapnya, yang lantas mendapat anggukan dari Fabby.
"Apa kabarmu?" tanya pria itu, menatap lekat Kavia. Di mata dan hatinya Kavia selalu istimewa. Tidak ada yang berubah sedikit pun.
Sudut bibir Kavia sedikit terangkat. Kalau boleh, dia ingin memaki lagi seperti malam itu. Bisa-bisanya lelaki itu menanyakan kabar setelah membuatnya hancur. Seandainya bisa, Kavia ingin berteriak : Aku berantakan! Dan gara-gara kamu, aku akan menikah dengan pria yang tidak aku cinta! Dasar Bedebah!
Tapi Kavia tidak akan bertindak bar-bar lagi. Dia ingin main cantik sekarang.
"Very well," sahutnya mengangkat dagu. Dia ingin menunjukkan pada Fabby bahwa dirinya bisa bertahan. Ya, meskipun mati-matian dia menahan diri untuk tidak memeluk pria itu. Demi Tuhan! Dia rindu.
"Kamu udah pesan?" tanya Fabby sembari menarik buku menu. "Aku pesenin matcha latte ya."
Sial! Di bawah meja tangan Kavia mengepal. Dalam hati terus merapal doa agar dirinya tidak baper dengan perlakuan lelaki itu, tapi....
"Kasih ekstra topping mozzarella ya selain wortel. Matcha lattenya normal sugar. Sekalian minta air mineralnya."
Si brengsek itu paling tahu dan paling mengerti tentang dirinya. Itulah sebabnya Kavia susah melupakan. Seandainya kesalahan yang Fabby lakukan tidak sefatal itu, Kavia akan ikhlas memaafkannya.
"Baik, ditunggu sebentar ya, Kak." Pelayan yang mencatat pesanan mereka pun berlalu.
Fabby memusatkan perhatian sepenuhnya pada wanita di depannya. Dia menghela napas sejenak, sebelum membuka mulut lagi. "Aku minta maaf untuk semuanya."
"Aku ke sini bukan untuk mendengar permintaan maaf kamu."
"Iya, tapi aku merasa perlu melakukannya lagi sebelum kamu benar-benar memberiku maaf."
"Aku nggak semurah hati itu memaafkan kalian. Kesalahan kalian fatal!"
"Aku tau, Vi. Ya, aku memang bodoh. Aku sebenarnya nggak mau begini, tapi..." Fabby hendak meraih tangan Kavia, tapi dengan segera wanita itu menjauhkan diri. Raut kecewa kontan tercetak jelas di wajahnya. "Vi, andai aku—"
Ucapan lelaki itu terhenti saat tiba-tiba Kavia menaruh sesuatu ke atas meja dan mendorong ke dekatnya. Fabby terkesiap saat tahu benda itu. "Ini..."
Bukan cuma Fabby yang bisa memberinya undangan pertunangan, Kavia juga bisa melakukan hal sama. Malah selangkah lebih maju karena yang dia beri adalah undangan pernikahan langsung.
"Sabtu nanti. Aku harap kamu bisa datang."
Kavia bisa mendengar ada umpatan kecil yang keluar dari bibir pria itu. Wajah Fabby tampak syok menatap undangan berbentuk persegi berhias bunga kering yang direkat wax stamp gold dengan inisial dua huruf.
Tangan Fabby bergetar meraih benda bertema vintage itu. Bibirnya terkunci rapat. Dengan pelan dia membuka lipatan kertas bertekstur tersebut. Di halaman pertama Fabby disambut foto mesra Kavia dan seorang pria tampan. Rahangnya mengeras, terlebih ketika membaca isi undangan itu.
Dia kembali menatap Kavia. Tatapannya tajam namun menyiratkan luka. "Are you kidding me?" desisnya tak percaya. Dia melempar undangan itu seraya menggeleng. "That's impossible."
"Why?" respons Kavia heran. "Kamu bahkan memberiku undangan lebih dulu."
"Itu persoalan lain, Kavia."
"Persoalan lain apa?"
Fabby mengusap wajah. Dia sudah tidak bisa terlihat santai. "Kavia, listen to me. Aku dan Jemma—"
"Kalian menusukku dari belakang," potong Kavia cepat. "Lukaku belum kering tapi kalian sudah melempar luka lagi dengan memberiku undangan pertunangan. Apa yang sekarang aku lakukan salah?"
"Kamu sedang berusaha membalas kami?"
"Kalau iya kenapa? Tindakanku benar kan?"
"Astaga, Kavia." Kembali Fabby mengusap wajah. "Aku dan Jemma nggak seperti yang kamu pikir. Aku hanya—"
"Permisi, pesanannya, Pak."
Fabby membuang napas. Sejenak dia berusaha menenangkan diri selagi pelayan menyajikan pesanan ke meja. Setelah mengucapkan terimakasih, dia kembali fokus pada wanita yang sebenarnya masih dia cinta itu.
"Kamu nggak serius kan?"
"Aku nggak pernah seserius ini."
Fabby membenarkan posisi duduk. Wajahnya terlihat serius dengan mata menatap lurus. "Kavia, asala kamu tau, aku—"
"Sayang, sori aku lama."
Seorang wanita datang menginterupsi percakapan mereka. Dia bahkan langsung mengecup pipi Fabby tanpa peduli dengan keberadaan Kavia.
Fabby yang kaget langsung salah tingkah. Apalagi ketika melihat reaksi Kavia.
"Eh?! Ada my bestie, sori tadi aku nggak liat," seru wanita itu saat menemukan Kavia. Wajahnya tampak terkejut, entah itu beneran atau hanya pura-pura.
Kavia berdecih. Reaksinya benar-benar terlihat palsu. Wanita itu Jemma. Si pagar makan tanaman. Pengkhianat, pelakor, musang berbulu domba, dan masih banyak lagi sebutan yang Dian sematkan untuk wanita itu.
Jemma memasang wajah sedih lalu mendekati Kavia. "Vi, gue beneran minta maaf. Gue nggak bermaksud merebut Fabby dari lo, gue—" Jemma terkejut saat Kavia menyentak tangannya yang akan menyentuh wanita itu. Dia spontan menunduk. "Lo pasti benci banget sama gue."
"Menurut lo? Nggak usah berdrama deh."
Tepat dugaan Kavia. Setelah pura-pura minta maaf, Jemma tampak menyeringai. Benar-benar musang!
"Tapi lo emang pantes sih ditinggalin," ujar Jemma lalu bergerak mundur dan beranjak duduk di sisi Fabby. Raut sedihnya hilang tak berbekas. Berganti dengan raut kebencian yang kental. "Gue muak jadi kacung lo selama ini. Gue benci selalu berada di belakang lo. Kalau bukan karena keluarga lo yang kaya, lo itu nothing! Lo hanya lebih beruntung soal itu."
Mata biru Kavia melebar. Dia tidak menyangka kalimat itu keluar dari mulut orang yang selama ini dia anggap sahabat.
"Lo selalu saja merebut apa yang gue punya. Semua orang sayang sama lo, perhatian sama lo, peduli sama lo yang sebenarnya nggak butuh apa-apa lagi, bahkan orang yang gue sayang pun lo ambil. Kurang apa gue selama ini ke lo sampai lo berlaku nggak adil gini ke gue?"
"Jemma, cukup. Tenangin diri kamu." Fabby di samping wanita itu kembali gusar.
"Lo itu manusia teregois yang pernah gue kenal! Gue benci sama lo, gue muak jadi temen lo! Manusia sombong kayak lo nggak pantas dijadikan teman."
Seperti dihantam kenyataan pahit, Kavia terhenyak. Dia tidak bisa merespons lantaran terlalu syok. Dia tidak menyangka sahabat yang dia sayang dengan tulus ternyata bukan hanya menikamnya dari belakang, tapi juga sudah menyimpan kebencian sejak lama.
Jadi, yang dia lihat selama ini apa? Sikap baik Jemma padanya, dukungan wanita itu selama ini. Semua itu apa?
"Jangan salahin gue kalau akhirnya Fabby lebih pilih gue dibanding lo. Lo itu memang toxic!"
Kavia tertegun. Toxic dia bilang? Matanya membayang, tapi dia tidak ingin menangis. Setidaknya bukan di tempat ramai begini. Baiklah, sekarang sudah jelas. Dia cukup tahu.
"Siapa yang berani mengatai calon istriku toxic?"
Suara bariton itu! Mata biru Kavia kontan bergerak cepat. Dia baru sadar kalau pengunjung restoran hampir semua menatap ke arahnya. Ya wajar sih, dia kena labrak di depan umum begini.
Javas kemudian muncul. Sosoknya yang dominan dengan cepat menyedot perhatian semua mata yang ada di sana. Dia masih mengenakan setelan jas lengkap. Auranya benar-benar menyihir tiap pengunjung tak terkecuali Jemma dan Fabby.
"Javas, kamu kenapa ada di sini?" Tanya Kavia bingung dengan pria itu yang tiba-tiba saja muncul.
"Mau jemput kamu dong, Sayang," sahut pria itu seraya mengusap kepala Kavia. "Jadi, Sayang. Apa ada yang membuat masalah denganmu di sini?"
"Uhm...." Kavia melirik sedikit ke arah Jemma yang melongo dan Fabby yang tampak kesal. "Nggak ada kok."
Kavia segera berdiri dan menyampirkan tas ke bahu. Dia kembali menangkat dagu. "Dia Javas, calon suami gue. Gue ke sini sebenarnya cuma mau kasih undangan, eh nggak taunya malah ada yang buka topeng di sini. Whatever sih, gue nggak peduli," ujarnya mengangkat bahu. "Jangan khawatir gue pasti datang ke acara pertunangan kalian kok, ya meskipun nanti pasti acaranya biasa aja." Kavia berdecap meremehkan.
Dia puas melihat wajah Jemma yang merah padam, tapi dia tak peduli.
"Udah kan, Sayang? Yuk! Kita pergi. Nggak baik bergaul lama-lama sama mereka. Beda level," ujar Javas tersenyum lebar. Matanya sempat melirik sepasang sejoli yang tampak tidak bisa berkutik itu.
Kavia langsung merangkul lengan Javas, lalu melenggang meninggalkan meja itu.
Demi apa pun! Hatinya saat ini tidak setegar ucapannya.
Halo! Masih di Pesona series keluarga Jagland. Kali ini giliran anak kedua Papi Daniel ya yang kubikin cerita. Semoga bisa menghibur teman-teman semua. Jangan lupa tambahkan cerita ini ke library dan pastikan tinggalin ulasan bintang lima teman-teman di cover depan. Happy reading!
Tisu di mobil Javas hampir habis. Kavia terus menggunakan itu untuk menyeka pipinya yang terus saja basah. Setelah meninggalkan restoran, dadanya yang terasa sesak meledak. Dia tidak tahan dan menangis kencang di dalam mobil. Memaki dengan berbagai macam umpatan. Rasa sakit itu bukannya hilang malah bertambah parah. "Sebenarnya apa yang kamu tangisi? Kamu sudah berhasil membuat mereka bungkam," ujar Javas sambil fokus ke jalan raya yang terpantau ramai lancar. "Aku, aku cuma nggak nyangka aja. Ternyata orang yang selama ini kuanggap teman baik, menyimpan benci sebegitu dalam. Aku pikir selama ini dia tulus. Sumpah, ini sakit banget." Kembali air mata Kavia menderas. "Jadi semua yang dia tunjukkan selama ini palsu. Aku bingung, sebagai teman aku berusaha bersikap baik, tapi ternyata dia menilai lain." Javas membelokkan kemudi memasuki sebuah gerbang kawasan perumahan elit dalam kota. Begitu melewati pintu gerbang yang dijaga ketat oleh dua sekuriti, pemandangan sekitar berubah menj
Langkah Kavia terhenti saat mendengar tepuk tangan meriah dari arah dalam rumah Jemma. Refleks dia meremas lengan Javas. Dia tahu betul itu tepuk tangan apa. Pasti mereka sudah berhasil menyematkan cincin satu sama lain. "Kenapa berhenti?" tanya Javas menoleh. Dia melihat wajah cantik Kavia menegang. "Kavia, ingat kata-kataku. Kamu bisa lebih bahagia dari mereka. Angkat dagumu tinggi-tinggi. Tanamkan pada diri kamu bahwa kamu jauh lebih beruntung karena memiliki calon suami yang lebih segalanya dari mantan kamu. Dan kamu akan selalu menang dari bekas temanmu itu." Kata-kata Javas lagi-lagi berhasil menyuntikkan semangat di hati Kavia. Dia menatap ke depan. Wajah sedihnya berubah menjadi lebih angkuh. "Hm, ayo kita jalan." "Good. Kamu wanita paling beruntung malam ini," ucap Javas tersenyum sambil menepuk pelan tangan Kavia sesaat. Saat hendak mencapai pintu masuk seseorang terdengar memanggil. Keduanya kembali menghentikan langkah dan menoleh ke asal datangnya suara. Dari posisiny
Asap putih baru saja Kavia embuskan dari mulut. Dia berusaha membuang pikirannya yang kacau bersama kepulan-kepulan asap yang dia buat. Meski belum sepenuhnya, beban dalam dirinya sedikit membaik. Dian juga beberapa kali meyakinkan wanita itu bahwa dirinya akan selalu ada. Wanita berbadan subur itu sempat menitipkan Kavia pada penjagaan Javas ketika dia pamit pulang lantaran harus ke rumah sakit untuk menjaga adiknya yang baru saja operasi usus buntu. Saat ini Kavia dan Javas ada di VVIP room salah satu kelab malam setelah berhasil pergi dari pesta pertunangan sialan itu. Mata biru itu melirik gelas bir yang Javas dorong ke dekatnya. "Bir?" Kavia mengangkat sebelah alisnya lalu terkekeh. "Ini nggak akan cukup. Aku butuh yang kadar alkoholnya lebih tinggi. Seenggaknya beri aku whiskey." Javas menggeleng, menautkan tangannya, dan menatap wanita itu. "Kita harus menjaga kesehatan untuk beberapa hari ke depan. Kamu butuh tubuh yang fit di pernikahan kita nanti." "Astaga, Javas. Itu han
Dengan mantap Javas menyambut tangan Kavia. Bibirnya melengkung sempurna. Diiringi musik romantis, keduanya memasuki ballroom yang sudah disulap menjadi taman buatan penuh bunga yang sempurna. Di atas walkway yang terbuat dari kaca, mereka melangkah diiringi tepukan tangan para tamu undangan. Javas tidak main-main soal pernikahan mewah yang dia janjikan kepada Kavia. Hanya dalam dua minggu, dia bisa menyelesaikan segalanya. Kavia tampak puas dengan tema yang diusung. Jika menatap langit-langit, dia akan menemukan bergerombol bunga putih menggantung berhiaskan lampu strip yang unik. Meja-meja tamu undangan di-set mengelilingi sebuah pohon buatan yang sangat estetik. Candle light yang menyebar di segala penjuru membuat suasana makin romantis. Belum lagi pilar-pilar buatan berwarna putih di beberapa area. Semuanya membuat Kavia merasa sedang berada di negeri dongeng. Wedding cake di salah satu sudut walkway menjadi pelengkap yang sempurna. Cake itu bertingkat-tingkat dengan ukuran sanga
"Aku pikir Kakek Javendra nggak kenal papi," bisik Kavia ketika memperhatikan interaksi antara Daniel dan Javendra. "Jangankan Kakek, aku aja tau papi kamu. Hanya saja aku nggak pernah berinteraksi dengan papi kamu. Papi itu.... Serius seumuran kakek?" Dengan mata mengerjap ragu Javas menoleh ke istrinya. Kavia terkekeh. Pertanyaan ini sudah sering Kavia dengar. Dilontarkan dengan kalimat lain, tapi isinya kurang lebih sama. Tidak ada yang percaya kalau Daniel itu sudah kakek-kakek. Meskipun sebagian rambutnya sudah memutih, tapi tubuhnya masih sangat fit dan tegap. Bahkan Dian membandingkan Daniel serupa Richard Armitage. Ngaco! (seketika pov readers searching Richad Armitage wkwk) "Tahun ini papi genap 76 tahun," jawab Kavia seraya menatap sang papi yang terlihat masih bercengkrama dengan Kakek Javendra. "What?" Javas benar-benar menunjukkan ekspresi tidak percaya yang begitu kentara. "I think he's in his 50s."Sekarang Kavia tergelak seraya menutup mulutnya. "Please, jangan ka
Kavia agak kaget melihat apa yang Javas tunjukkan. Tanpa sadar dia menelan ludah melihat begitu besarnya milik pria itu. "Kenapa kamu diam saja? Tidak tertarik untuk menyentuhnya?" goda Javas. Dia menyentak satu tangan Kavia dan mengarahkan ke kejantanannya yang sudah mengacung sempurna. "Ja-Javas.""Kenapa kamu mendadak gugup? It's yours. Kamu bisa melakukan apa pun padanya." Kavia masih mematung saat sebelah tangannya berhasil menyentuh milik pria itu. Keras dan menantang, bahkan satu genggamannya pun tak cukup. "Yakin kamu nggak mau merasakannya?" Javas makin gencar menggoda. Dia menuntun tangan Kavia bergerak naik turun di sepanjang batang berotot miliknya. Sementara wajahnya kembali menunduk dan menyasar puncak dada Kavia yang memerah. "Ah—Javas." Refleks mata wanita itu terpejam kala Javas kembali memainkan puncak dadanya. Satu tangannya yang berada di bahu lebar pria itu meremas kencang. Dari dada, ciuman Javas kembali merambat ke pundak dan leher Kavia, lalu menggigit ba
Kavia berlari-lari kecil keluar dari kamar ketika mendapat kabar dari Phil bahwa Kakek Javendra mengirimkan hadiah pernikahan untuknya. Javas sampai menurunkan kacamata bacanya melihat istrinya berlarian menuruni anak tangga. Phil yang mengikuti wanita itu hanya terkekeh kecil dengan tingkah sang istri bos itu. "Ada apa?" tanya Javas ketika Phil melewati pria itu. Pria yang selalu berpenampilan rapi itu menghentikan langkah. "Presdir mengirimkan hadiah buat Nyonya, Pak." "Oh ya?" Mendengar itu Javas langsung melepas kacamatanya. Dia lantas berdiri dan menyusul Kavia ke depan rumah. Dari teras, dia bisa melihat sebuah mobil jenis sedan dengan warna dark gray doff terparkir cantik di halaman rumah. Pita merah mengelilingi mobil keluaran terbaru pabrikan Jerman tersebut. Sial! Itu adalah mobil yang Javas incar karena diluncurkan dalam jumlah terbatas. Hanya tujuh unit di dunia. Bagaimana Kakek bisa mendapatkannya? Sementara itu Kavia berjingkrak-jingkrak bahagia mendapat hadiah itu.
Kavia menyambut ketika Javas mengulurkan tangan dari luar mobil. Kepala wanita itu menyembul dan langsung bisa melihat tower yang menjulang tinggi di depannya. Dia baru tahu jika tower yang cukup mendominasi di antara tower lainnya itu milik keluarga Wirahardja. Selain Phil, ternyata ada beberapa orang yang menyambutnya di depan gedung. Melihat mereka berpenampilan rapi seperti itu dan menyambut begitu ramah, Kavia merasa seperti anak presiden saja. "Selamat pagi, Bu Kavia. Selamat datang di HYOT." "Selamat pagi!" Javas bilang ada rapat besar yang harus mereka ikuti. Untuk perinciannya Kavia tidak mengerti. Hanya saja Phil sempat memberitahu dewan direksi akan berkumpul di rapat tersebut. Kavia melingkarkan tangan ke lengan Javas, baru kemudian berjalan memasuki tower dengan diikuti rombongan orang yang menyambut keduanya di depn lobi tadi. Lobi tower HYOT sangat luas. Interior klasik modernnya sangat berkelas. Nyaris semua dindingnya terbuat dari marble, termasuk lantai yang sek
Selagi Karel tenang bermain bersama Kakek Javendra dan para asisten, Kavia dan Javas melipir ke arena berkuda. Kavia kangen menunggangi Evelyn. Kuda betina putih itu terawat dengan sangat baik saat Kavia melihatnya. Hewan tangguh berkaki empat itu ternyata masih mengenali wanita itu dengan baik. "Sayang! Ayo cepat!" teriak Javas di atas kudanya. Kavia melambaikan tinggi tangannya ke arah Javas, lalu bergerak menaiki pelana kuda. "Evelyn, kita susul suamimu sekarang," ujar Kavia sambil mengusap pelan leher betina tangguh yang dia tunggangi. Dengan cepat dia pun memacu kudanya menyusul Javas. Keduanya mengendarai kuda-kuda itu mengelilingi tanah lapang. Melewati penangkaran rusa milik Kakek, dan sebuah danau buatan yang dipenuhi angsa putih. Pohon-pohon rindang masih tumbuh dengan subur di beberapa area. Setelah beberapa lama saling berkejaran dengan Javas, Kavia menghentikan kudanya di dekat pepohonan yang tumbuh di tepi danau. "Kayak udah lama banget nggak ke sini. Aku kangen men
"Semua yang ada di sini kelak akan menjadi milikmu, Nak." Mata tua Javendra mengedar. Melihat betapa luasnya tanah yang dia miliki. Belum lagi rumah yang dia huni. Rumah kebanggaannya yang sampai saat ini masih eksis di pinggiran kota. Rumah masa depan yang sebenarnya dulu dia siapkan untuk putranya, Ravendra. "Mau bagaimana lagi? Papamu nggak mau menempati rumah ini dan memiliki rumah sendiri. Jadi rumah ini akan kakek wariskan padamu." Javendra terus mengajak Karel ngobrol. Seolah bayi sembilan bulan itu paham apa yang dia bicarakan. "Malah sekarang papamu beli rumah baru. Padahal apa salahnya tinggal di sini sama kakek. Iya kan? Toh rumah ini nanti bakal jadi milik kamu." Tidak jauh dari tempat pria tua itu, Kavia menggeser duduk memepet suaminya dan berbisik. "Kakek kenapa?" "Dia lagi jadi pemeran utama drama keluarga," sahut Javas asal, yang langsung mendapat pukulan ringan di lengan kanannya. Dia mengaduh sambil mengusap lengannya. "Apa sih, Yang? Aku ngomong bener kok."
"Dia sudah nggak bekerja di anak cabang HYOT lagi." Kabar itu membuat Kavia yang sudah merebah segera mengangkat badannya lagi. "Sejak kapan?" Javas mengangkat bahu. "Kamu peduli banget?" Alis tebalnya tertaut. Agak tidak suka istrinya makin kepo. "Bukan peduli, tapi setahuku dia dulu berjuang banget buat dapat posisi bagus di perusahaan tempatnya bekerja." "Mungkin dia dapat tawaran yang lebih bagus." "Mungkin gara-gara dia dimutasi ke luar pulau." Javas menghela napas panjang lalu menarik tangan Kavia agar bergerak memeluknya. "Kenapa sih bahas mantan terus? Kamu nggak ada rencana buat ketemuan lagi kayak dulu kan?" Kavia mesem-mesem tak jelas mendengar pertanyaan Javas. Ekpresi dan cara bicara pria itu membuat Kavia makin merasa dicintai. Mungkin jika pertanyaan itu terlontar saat mereka masih belum menyadari perasaan masing-masing, Kavia bakal jawab iya-iya aja. Javas menjauhkan diri dan menatap Kavia. "Kok malah senyum-senyum?" Matanya refleks memelotot. "Jangan bilang ka
"Aku di farmer market. Kalian langsung ke sini aja ntar." "Oke. Kami masih di jalan. Tungguin kami ya, Macan.... " Kavia tersenyum mendengar suara Javas di seberang sana. Tangannya masih sibuk memilih buah pear di rak. "Oke, aku tutup dulu ya. Hati-hati, nggak usah ngebut." Tidak lama, dia mematikan panggilan dari suaminya itu dan kembali melanjutkan memilih buah segar yang tertata rapi di rak. Akhir-akhir ini Kavia senang membuat salad buah. Stok salad di kulkas cepat habis karena ternyata Javas juga menyukai salad buatannya itu. Senyumnya kembali merekah saat melihat rak bagian apel. Apel adalah buah yang wajib ada di rumah lantaran buah itu menjadi salah satu favoritnya. Mata Kavia tertarik dengan apel bulat yang terletak di tumpukan paling atas. Kulitnya mengkilat dan terlihat besar. Namun saat tangannya terjulur untuk meraih buah tersebut, tangan lain lebih dulu melakukannya. Sehingga tanpa sengaja tangannya menangkup tangan orang itu. Kavia refleks menarik tangannya. "Maaf.
"Astagfirullah, suami orang ganteng banget!" Jeritan tertahan itu keluar dari bibir mungil wanita gemoy saat melihat Javas turun dari anak tangga sambil membawa Karel di gendongannya. Kavia di sebelahnya hanya menggeleng melihat muka mupeng sahabatnya itu. Sementara tangannya masih sibuk mempreteli buah anggur dari tangkainya. Javas tanpa atasan memang menggoda iman. Belum lagi tato besar di bahu hingga lengannya, menambah kesan maskulinnya yang menonjol. Memamerkan bentuk tubuhnya yang seksi itu sudah menjadi kebiasaannya jika berada dalam rumah. Kavia saja yang tiap hari melihat masih bisa terbuai, apalagi Dian? "Laki lo benar-benar hot daddy banget.""Ck!" Kavia melirik sekilas dengan tatapan sebal, namun yang ditatap malah terkikik. "Dia kelihatan sayang banget sama Karel. Gue mau dong satu yang begitu." Bibir Dian mencebik memandang Javas dengan tatapan penuh damba. "Cari coba di pasar loak," sahut Kavia asal. Sejurus kemudian dia mengaduh karena dapat cubitan manis dari Dia
"Sofa baru?" Kavia dan Javas saling pandang sesaat ketika melihat orang-orang suruhan Daniel mengangkut sebuah sofa yang masih terbungkus rapi dengan plastik. Orang-orang itu membawa sofa dengan kelir merah hati itu ke dalam rumah. "Pas kan diletakkan di ruang tamu kalian?" Daniel tersenyum bangga. "Ini papi impor langsung dari Italy loh. Masih satu produk sama sofa di rumah papi." "Harusnya papi nggak perlu repot-repot begini," ujar Javas meringis. Insiden sofa masih menjadi momok buat pria itu. Gara-gara itu pula, Kavia belum mau mengisi ruang tamu barunya. "Sama sekali nggak repot. Anggap aja ini hadiah buat rumah baru kalian. Iya kan, Baby?" Daniel tersenyum sambil menatap istrinya. "Iya. Toh kami nggak bisa ngasih apa-apa selain ini," timpal Delotta sambil mengusap lengan Daniel. "Memang aku nggak tau kalau papi ngasih harga diskon rumah ini sampe 50 persen?" tukas Kavia yang langsung membuat mata Javas melebar. "Harga rumah ini sebenarnya 10M kan? Aku sempat nanya kok sama
Kecuali barang-barang yang ada di kamar Karen, tidak ada lagi barang yang Kavia bawa dari rumah Javas. Rumah dan isinya ditinggalkan begitu saja seolah sudah tidak berguna lagi. Bahkan ketika Javas meminta alat-alat gym untuk ikut dipindahkan, Kavia menolak tegas. "Nggak bisa. Siapa yang jamin alat-alat itu streril dari kalian?" Penolakan Kavia membuat Javas menganga tak percaya. "Ya ampun, Sayang. Kami nggak melakukan sampai sejauh itu. Rumah itu masih dalam keadaan kosong waktu itu. Ak—" Ucapan Javas kontan terhenti ketika dengan cepat Kavia mengangkat tangannya. "Aku nggak mau dengar dongeng jadul percintaan kamu lagi. Oh ya, soal sofa di ruang tamu itu, udah aku bakar." "Apa? Itu sofa bisa kita jual buat beli yang baru kalau kamu nggak mau pake lag—" Kembali Javas merapatkan mulut saat Kavia melotot padanya. "Oke, terserah kamu," lanjutnya pasrah. Benar-benar sudah tidak ada lagi yang bisa dia selamatkan. Dia menatap rumah besar kebanggaannya dengan pandangan merana. Ruma
Mata Kavia berbinar saat melihat Javas sudah ada di kamar ketika dia datang. Seperti malam kemarin, pria itu masih membaca buku yang sama sebelum tidur. Buku tentang ilmu parenting. Alih-alih Kavia, malah Javas yang gencar belajar soal parenting, padahal siangnya pria itu masih berjibaku dengan tumpukan pekerjaan. Kavia mengambil sebuah flyer dari dalam tas. Flyer yang sengaja dia bawa dari kantor papinya. Dengan senyum yang dibuat semelengkung mungkin, wanita itu menghampiri Javas yang masih terlihat fokus. "Pa," panggilnya lirih sembari beranjak duduk di sisi Javas. "Hm." "Lihat ini deh."Pandangan Javas langsung teralihkan sesaat. Matanya melirik benda yang Kavia bawa. "Apa tuh?" tanya dia sebelum balik lagi ke bacaannya. "Ini flyer perumahan elite terbarunya Blue Jagland. Proyek milik Mas Gyan."Javas hanya mengangguk-angguk. Matanya masih lurus menatap barisan huruf di depannya. "Hunian kelas atas yang cuma ada 10 unit. Lokasinya juga nggak jauh dari kantor kamu. Strategis
Kavia membuka pintu kamar dengan pelan. Takut mengganggu dua anak dan ayah yang sedang terlelap dengan tenang. Hampir-hampir dia tertawa melihat posisi Karel yang tidur terlentang dengan tangan dan kaki yang merentang. Salah satu kakinya bahkan mengenai wajah Javas lantaran posisi tidurnya berlawanan arah dengan papanya. Javas sendiri terlihat sangat lelah. Mukanya kucel, ada beberapa stiker yang menempel di wajahnya. Rambutnya bahkan acak-acakan tak karuan. Kavia mendekati pria itu dengan hati-hati lantas berjongkok tepat di dekatnya. Tangannya terulur, mengusap wajah Javas. "Sayang, banguuun," bisiknya pelan, tepat di dekat telinga Javas. Hanya satu kali tiupan ringan, mata Javas langsung memicing. Pria itu terjaga dengan segera, dan agak terkejut menemukan kaki Karel ada di depan mulutnya. "Astaga," desahnya lirih. Membuat Kavia kontan terkikik pelan. Dengan hati-hati, Javas menyingkirkan kaki Karel sebelum beringsut. "Kamu baru pulang?" tanyanya setelah berhasil bangkit dari a