Share

6. Melamar

Yang paling menyeramkan saat ini adalah tatapan mata Gyan yang menghunus. Kavia tahu pria itu satu-satunya orang yang paling kesal di sini. Mungkin merasa rencana pernikahannya sudah disabotase. Tapi Kavia berusaha masa bodo.

Javas di sisinya tampak tenang. Tangannya meletakkan cangkir ke meja kembali setelah berhasil menyesap isinya. Kembali pria itu menatap Daniel dan Delotta yang duduk tepat di seberangnya.

"Maaf jika kedatangan saya begitu tiba-tiba. Tapi saya ke sini dengan niat baik." Dia menoleh ke sisi Kavia. "Dengan tulus, saya berniat meminang putri cantik Anda dan menjadikannya istri saya." Kembali matanya menatap Daniel. "Saya harap Pak Daniel dan Bu Delotta menyambut niat baik saya."

"Kalian kenal di mana?" tanya Gyan menyambar. Sejak tadi dia terus mengawasi pria yang dibawa adiknya itu.

Meski terdengar tidak sopan lantaran pertanyaan itu menyela proses pinangan itu, Javas tetap menjawab. "Kami mengenal di sebuah kafe."

"Berapa lama kalian saling kenal?"

Mendengar pertanyaan itu Kavia kontan gelisah. Dia buru-buru menjawab sebelum Javas yang melakukannya terlebih dulu. "Satu tahun lalu. Kami kenal di kafe satu tahun lalu. Ayolah, Mas. Biarkan Javas menyelesaikan ini."

Kening Gyan berkerut. "Kamu kenapa ngebet banget sih? Aku di sini itu mau melindungi kamu. Kamu adikku, wajar dong aku banyak tanya sama calon suami dadakanmu itu."

Bibir Kavia mengerut. Dia sudah menduga kalau kakaknya itu pasti akan mengintervensi mami dan papinya soal Javas ini.

"Javas pria baik dan dia juga dari keluarga baik-baik."

"Oh ya?" Alis Gyan menanjak sebelah. "Kalau dia serius seharusnya dia bawa orang tuanya ke sini untuk ikut melamar kamu."

Kavia hendak membalas, tapi dengan cepat Javas menahan lengannya. Pria itu lantas tersenyum tipis. "Kedua orang tua saya sudah meninggal sejak saya berusia 15 tahun."

Detik itu juga Gyan merasa mati kutu. Dia memundurkan badan dan langsung mengucapkan kata maaf.

"Saya hanya memiliki seorang kakek. Dan dua paman dari pihak Ibu," ucap Javas lagi.

"Jadi benar kakekmu itu Javendra Wirahardja?" tanya Daniel mulai angkat suara.

"Benar, Pak."

Daniel mengangguk-angguk. "Ya, aku pernah dengar Javendra memiliki seorang cucu. Sejak orang tuamu meninggal dia yang mengurus perusahaan keluarga. Tapi beberapa tahun ke belakang saya sempat mendengar perusahaan kalian sempat mengalami gonjang-ganjing."

Rumor itu ternyata benar-benar menyebar luas. Javas menarik napas. Dia tidak menduga wanita yang secara random dia ajak menikah ternyata bukan dari keluarga sembarangan. Javas tahu Blue Jagland Corp. Perusahaan properti besar yang sedang merambah bisnis di bidang pariwisata perhotelan.

Javas tersenyum. "Benar. Tapi kami bisa mengatasi itu semua. Anda bisa melihat index saham perusahaan kami sekarang."

"Ya, ya saya tahu. Saham kalian menguat dibanding perusahaan lain yang satu bidang dengan kalian."

Ada kebanggaan tersendiri mendengar Daniel mengetahui prestasi perusahaannya sekarang. Itu akan makin memudahkan misinya menikahi Kavia.

"Kembali ke tujuan awal. Saya meminta izin kepada Anda untuk menikahi Kavia."

Lagi-lagi Daniel tidak langsung menjawab. Dia malah menatap istrinya yang juga masih bungkam. Dia tidak meragukan latar belakang pria muda di depannya. Hanya saja pernikahan yang terkesan dadakan ini begitu mengganjal. Apalagi Gyan, putra pertamanya sedang mempersiapkan pernikahanya dua bulan ke depan.

"Saya sebenarnya bingung. Saat Kavia memberitahu kami tentang rencana pernikahan kalian yang mendadak ini. Apakah ada urgensi tertentu? Maaf, bukan kami ingin menghalangi, tapi ini masih terasa ganjil. Atas dasar apa kalian memutuskan menikah secepat ini?"

Sebelum datang menemui orang tua Kavia, Javas sudah memprediksi pertanyaan ini. Jadi, sebisa mungkin dia sudah mempersiapkan jawaban yang masuk akal.

"Saya mencintai putri Anda." Javas menoleh lagi kepada Kavia, kali ini ditambah bumbu adegan meraih tangan wanita itu. "Sebenarnya saya juga berjanji pada diri sendiri jika suatu saat menemukan wanita yang tepat, maka saya tidak akan menunda lagi untuk segera menikahinya. Dan saya bersyukur Kavia menjadi wanita yang tepat itu."

"Tapi dua minggu?" Daniel menyipit. "Pernikahan macam apa yang dipersiapkan dalam waktu dua minggu? Sebagai orang tua saya ingin membuat pernikahan putri saya berkesan."

"Kalau itu yang Anda cemaskan, Anda tak perlu khawatir. Saya sudah mempersiapkannya dengan matang," sahut Javas penuh rasa percaya diri. Sedikit lagi, sedikit lagi dia akan mendapat izin dari orang tua bermata biru itu.

Daniel tampak menghela napas. Dia melirik istrinya, yang juga menatapnya. Sepertinya Delotta juga tidak bisa berbuat banyak. Melihat keseriusan Javas, dia tampak luluh.

"Oke, saya—"

"Aku nggak mau dilangkah, Pi," sela Gyan yang sudah melihat gelagat sang papi akan menyetujui pernikahan mereka.

Masalah pun datang. Malam itu perdebatan tentang siapa yang duluan menikah menjadi makin alot. Kavia menyarankan untuk mereka menikah bersama. Namun, Gyan menolak tegas. Dia tetap ingin pernikahannya dilaksanakan terlebih dulu. Nyaris saja kepala Kavia meledak. Sebelum Delotta akhirnya menengahi perdebatan mereka dan memutuskan Gyan menikah lebih dulu secara agama.

***

Kavia berputar di depan Javas. Saat ini dirinya tengah melakukan fitting baju pengantin di sebuah butik bridal ternama. Salah satu privillege orang seperti Javas, dengan cepat dia bisa mendapatkan sepasang baju pengantin yang dibuat secara eksklusif oleh desainer kondang. Wanita itu bingung melihat tampang Javas yang malah melongo tanpa memberi komentar apa pun.

"Apa gaun ini nggak cocok?" tanya Kavia sembari memperhatikan gaun yang melekat pas di tubuhnya. "Aku pasti kelihatan gendut." Dia mencebik. Merasa kesal sendiri dia pun meminta pegawai butik memilihkan gaun lain.

"Nggak, jangan!" cegah Javas saat menyadari Kavia meminta gaun lain. "Kamu cocok pakai gaun itu. Aku suka."

"Aku nggak kelihatan gendut?"

"Nggak, siapa yang bilang begitu?" Javas beranjak berdiri dan mendekati Kavia. Sebenarnya dia tidak menyangka dengan balutan gaun pengantin warna putih Kavia makin terlihat cantik. Itu sebabnya dia sempat tercengang. "Kamu cantik."

Hanya satu kalimat singkat, tapi cukup membuat bibir merah Kavia melengkung. Wanita itu kembali menghadap cermin. Mata birunya mengerjap indah. Dia yakin di hari pernikahannya nanti, Fabby akan menyesal sudah berani mematahkan hatinya.

Kavia mendongak ketika Javas yang sudah berganti setelan jas pengantin berdiri di sampingnya. "Wow, ganteng juga calon suamiku," ujarnya seraya menggerak-gerakkan alis.

Sembari menyugar rambut, Javas berujar, "bukannya memang seharusnya begitu? Suamimu harus lebih tampan dari mantan kamu."

Wajah Kavia terlihat mengeras. Dia kembali menghadap cermin, memperhatikan penampilan dirinya dan Javas di pantulan cermin dengan serius. Keduanya tampak serasi. Tidak akan ada yang tahu jika keduanya memiliki tujuan tertentu di pernikahan nanti.

"Kalian benar-benar perfect couple goal," ucap seorang wanita dengan gaun off-shoulder berwarna maroon. Dia desainer yang menangani baju pengantin mereka. "Nggak perlu ada perbaikan khusus karena rancangan saya begitu pas di tubuh semampai calon istri Pak Javas."

"Terima kasih," balas Kavia singkat.

"Pak Javas Anda beruntung mendapat calon istri secantik Mbak Kavia."

Tanpa diduga Javas menarik pinggang Kavia dari samping hingga tubuh wanita itu merapat padanya. "Ya, kamu bisa fotokan kami berdua?"

Dan keesokan harinya berita tentang pernikahan mereka pun dengan cepat menyebar ke seantero negeri. Foto-foto mereka yang tengah fitting di butik tersebar di beberapa media elektronik dan menjadi perbincangan hangat. Kavia tidak menduga jika pengaruh Javas yang hanya seorang CFO begitu besar.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status