Kavia menyambut ketika Javas mengulurkan tangan dari luar mobil. Kepala wanita itu menyembul dan langsung bisa melihat tower yang menjulang tinggi di depannya. Dia baru tahu jika tower yang cukup mendominasi di antara tower lainnya itu milik keluarga Wirahardja. Selain Phil, ternyata ada beberapa orang yang menyambutnya di depan gedung. Melihat mereka berpenampilan rapi seperti itu dan menyambut begitu ramah, Kavia merasa seperti anak presiden saja. "Selamat pagi, Bu Kavia. Selamat datang di HYOT." "Selamat pagi!" Javas bilang ada rapat besar yang harus mereka ikuti. Untuk perinciannya Kavia tidak mengerti. Hanya saja Phil sempat memberitahu dewan direksi akan berkumpul di rapat tersebut. Kavia melingkarkan tangan ke lengan Javas, baru kemudian berjalan memasuki tower dengan diikuti rombongan orang yang menyambut keduanya di depn lobi tadi. Lobi tower HYOT sangat luas. Interior klasik modernnya sangat berkelas. Nyaris semua dindingnya terbuat dari marble, termasuk lantai yang sek
"Tua bangka itu benar-benar tidak bisa dipercaya. Bisa-bisanya dia mempermainkan aku. Entah apa lagi rencananya." Di dalam mobil Javas terus memaki kakeknya. Kemarahan pria itu belum bisa reda sepenuhnya. Dia merasa ditipu dan diperlakukan dengan tidak adil. Dia merasa sudah menuruti semua kemauan sang kakek. Bahkan melakukan apa pun syarat yang kakeknya ajukan termasuk terjun ke perusahaan, lalu menikah. Namun, kakek terlalu banyak mengulur waktu. "Phil, apa kamu tahu rencana pria tua itu selanjutnya?" "Saya tidak tahu. Presdir sulit ditebak." "Dia bahkan lebih percaya kamu daripada cucunya sendiri. Mustahil kamu nggak tahu rencana tua bangka itu." Sejujurnya telinga Kavia panas mendengar Javas terus menyebut Kakek Javendra dengan sebutan tidak sopan begitu. Hanya karena warisan, pria itu berlaku sangat tidak terpuji. Kavia merasa risih, dia tidak pernah bertingkah seperti suaminya meskipun sedang berselisih dengan Kakek Ricko. Apa lagi yang mereka ributkan ternyata tentang hart
"Kenapa kamu jalan-jalan sendirian? Mana suami kamu?" Tanpa sengaja Kavia bertemu Fabby. Wanita itu tidak pernah memikirkan kemungkinan akan bertemu lagi dengan pria itu, dia agak terkejut dengan kemunculan Fabby yang tiba-tiba. Pria itu mengenakan outfit formal kemeja lengan panjang yang dilapisi jas. Outfit keseharian yang dia pakai saat sedang bekerja. "Bukannya aku yang seharusnya nanya. Kenapa di jam kerja begini kamu berkeliaran di mal?" Pria berambut ikal itu tersenyum. "Kamu lupa ya kalau pekerjaanku kadang kala harus keluar kantor?" Bagaimana Kavia bisa melupakan itu? Bahkan dia sering janji temu makan siang jika Fabby kebetulan ada di luar. Wanita itu mengangguk-angguk. "Jadi, kamu lagi survei apa di sini?" "Aku nggak lagi survei, tapi lagi evaluasi." Fabby melirik pergelangan tangannya. "Jam makan siang bentar lagi. Mau makan siang bersama?" Tawaran itu membuat Kavia mengerjap. Dia menatap pria di depannya lekat-lekat. Tidak ada perubahan berarti, Fabby terlihat sama
Dua kali ini Kavia mengunjungi rumah Kakek Javendra. Namun sekarang bukan hanya untuk sekedar berkunjung saja. Mereka berniat menginap di sana untuk beberapa hari. Sesuatu yang mengejutkan baginya saat Javas tiba-tiba mengajaknya untuk berkemas. "Tradisi keluarga." Itu alasan yang Javas katakan. Apa pun alasannya yang mendasari, Kavia tidak keberatan. Mungkin ini akan jadi kesempatan terbaik agar Javas dan Kakek dekat kembali. Kavia melarikan pandangannya ke halaman rumah yang luas. Tidak ada yang berubah dari terakhir saat dia datang berkunjung. Yang disayangkan, kakek hanya tinggal sendiri di tempat seindah dan seluas ini. "Ayo, masuk!" Javas menyentak kesadaran Kavia. Wanita yang meng-curly rambut cokelatnya itu segera mengikuti Javas memasuki rumah. Salah seorang pelayan langsung mengantar keduanya ke tempat di mana Kakek berada. Ini mengejutkan bagi Kavia karena ternyata sang kakek sedang berkuda. "Aku nggak tahu kalau di belakang rumah ini ada arena berkuda!" seru Kavia yan
Semilir angin membuat rambut cokelat Kavia bergoyang. Wanita itu baru saja mengenakan kamisol yang sempat Javas lepas saat keduanya bercumbu. Matanya lantas memandangi padang rumput luas yang diselingi beberapa pepohonan rindang. Kuda mereka berdiri tidak jauh dari posisi keduanya, dekat dengan pepohonan lain. "Apa yang kamu pikirkan?" tanya Javas yang masih berbaring di atas rumput dengan dada telanjang. Telunjuknya menyentuh lengah Kavia yang terbuka. "Tanah kakek luas banget. Dia pasti menyiapkan ini untuk keluarga besarnya." "Kakek nggak punya keluarga besar. Aku cucu satu-satunya." Kavia menoleh ke belakang, melewati bahu. "Kamu nggak kasihan sama kakek sendirian?" "Kakek nggak sepenuhnya sendirian. Kamu bisa lihat sendiri orang-orang kakek banyak." "Mereka kan bukan keluarga kakek."Javas bangkit dari rebahan dan duduk bersila. "Demi kesehatan kakek, aku harus tinggal terpisah. Kami selalu ribut, dan itu nggak bagus buat kesehatan jantungnya." "Tapi kakek pasti kesepian."
Kavia menarik panah dari side quiver atau kantong panah yang menggantung di paha kanannya. Lantas melakukan nocking atau memasukkan ekor anak panah ke nocking point sebelum mengangkat busur. Dia memastikan arah sasaran sebelum melakukan drawing. Kavia mematok titik anchor point sebatas telinganya. Setelah memastikan dirinya siap, dia membidik dan melepas tembakan. Anak panah melesat cepat, meluncur, dan jatuh tepat mengenai lingkaran emas di papan target. Tiga kali tembak, tiga kali pula mata panahnya tepat sasaran. Kavia tersenyum puas, rambutnya yang dikucir kuda berkibar tertiup angin. Dia menoleh ke tempat Javas berdiri dan melihat pria itu mengacungkan dua ibu jarinya seraya tersenyum. Pria itu berjalan mendekat. Masih mengenakan pakaian kerja lengkap seperti pagi tadi. Begitu berada di sisi Kavia, tangannya langsung menyampir ke pinggang wanita itu. Agak sedikit menunduk dia berbisik di dekat telinga sang istri. "Seksi." Kavia terkekeh kecil dan menggeser tubuhnya. "Mau coba?
"Nikah?! Omong kosong apa ini?!" Suara bariton itu naik satu oktaf. Mata pemilik suara itu melotot tak percaya. Spontan tangannya meremas kertas yang dia genggam dengan kesal. Dua alis tebal yang membingkai mata cokelatnya menyatu. Wajah tampannya memerah seketika. Javas Rashaka Wirahardja murka setelah membaca surat dari sang kakek yang memintanya untuk segera menikah. "Bilang sama pria tua itu aku nggak mau menuruti perintahnya!" ujarnya kesal lalu melempar buntalan kertas yang dia remas ke arah pria dengan setelan jas abu yang berdiri di depannya. "Presdir bilang warisan itu tidak akan pernah jatuh seutuhnya ke tangan Anda jika dalam satu bulan Anda belum membawa calon istri ke hadapannya," ucap Phil, nama pria berjas abu itu sembari masih mempertahankan senyumnya yang tenang. "Damn it! Apa pria tua itu pikir mencari calon istri mudah?" Phil tersenyum lagi, lantas bergerak maju untuk meletakkan amplop cokelat yang sedari tadi dia bawa. "Presdir menawarkan beberapa kandidat yan
Erland meninggalkan mereka saat seseorang membutuhkannya. Satu botol vodka sudah dia berikan kepada Javas. Pria berambut ikal itu juga sempat berpesan tentang Kavia yang biasanya tidak bisa menoleransi di gelas ketiga. Sepeninggalnya Erland, Javas menuang vodka itu ke dalam sloki milik Kavia. "Kenal Erland di mana?" tanyanya sembari mendorong kembali sloki ke depan wanita itu. "Dia teman kakakku. Kamu?" "Erland teman satu kuliah dulu." Kavia mengangguk dan mulai meneguk isi gelasnya lagi. Meski sedang sakit hati parah, dia tidak boleh mabuk atau jika Gyan—kakaknya—tahu dia bisa disidang di depan papi. Bisa-bisa papi menyuruhnya pulang ke rumah lagi. "Jadi, lelaki itu mutusin kamu dan malah jalan sama sahabat kamu? Aku turut prihatin." "Hei, nggak baik menguping pembicaraan orang." Javas mengangkat bahu. "Kamu bicara sambil teriak. Telingaku masih normal anyway." Wanita dengan rambut cokelat bergelombang itu mendecih. Dia agak malas dengan lelaki asing yang suka ikut cam