Akhirnya siang itu, Hana yang sudah lelah menangis dan meluapkan segala ketakutannya, telah tertidur pulas di sofa panjang yang terletak tepat di dekat jendela. Melihat bagaimana angin laut memburu masuk memukul tirai. Bi Titin pergi mengambil selimut yang ada di ranjang dan menyelimuti Hana dengan itu.Tadinya bi Titin berpikir untuk membangunkan Hana buat makan siang. Tapi pada akhirnya, ia melepaskan Hana yang lelah karena menangis itu untuk terus melanjutkan tidur.Keluar dari kamar utama, bi Titin tak lupa menutup pintu. Ia berjalan ke ruang tengah. Mengambil telfonnya dan mulai menghubungi Pasha.Beberapa kali gagal tersambung karena tidak ada sinyal. Setelah beberapa kali mencoba..."Halo"Suara tegas Pasha terdengar dari talian."Assalamualaikum Pak, ini saya bi Titin"Pasha saat itu baru saja selesai dari rapat. Pasha berjalan meninggalkan meja rapat sambil memegang ponsel di samping telinganya, "Iya, ada apa bi? Apa ada sesuatu yang terjadi pada istri saya?"Jarang sekali bi
Tidak peduli dengan nasehat Eman. Akhirnya Pasha telah membiarkan Hana terkurung di pulau terpencil sebulan lamanya. Tidak terhubung dengan dunia luar dan hanya seorang diri bersama bi Titin sebagai teman.Hana hampir menggila menjalani hari-hari dengan hanya bertemu kan vila, pasir dan pantai.Berbagai cara dilakukannya untuk memberontak. Mulai dari mogok makan hingga pingsan. Memecahkan berbagai macam perabotan. Bahkan mengurung diri berhari-hari di dalam kamar sampai kehilangan kesadaran.Tapi itu juga tidak kunjung melunturkan tekad Pasha yang ternyata seperti firasat nya. Sengaja mengurungnya di pulau terpencil itu.Hana sungguh sudah kehabisan cara. Ia tidak tau harus melakukan apa lagi agar suaminya itu luluh dan mau membawanya pulang kembali ke kota Z."Nyonya, kenapa anda makan sedikit sekali?"Bi Titin menatap sedih tubuh Hana yang cukup kurus hingga tulang pipinya tampak begitu menonjol. Dalam waktu sebulan, wanita muda itu telah kehilangan begitu banyak berat badan."Tadi p
Pagi harinya, Bi Titin bangun awal seperti biasa. Setelah bersih-bersih, ia pergi menyiapkan sarapan di dapur. Lalu kemudian pergi ke lantai dua untuk membangunkan Hana."Semoga saja pintunya tidak dikunci"Menarik gagang pintu kebawah, pintu terbuka. Bi Titin menghela nafas lega. Ia awalnya cukup takut jika Hana kembali mengurung diri seharian seperti kemarin.Ceklek."Huft, Alhamdulillah pintunya tidak terkunci" Mendorong pintu terbuka, Bi Titin berjalan masuk kedalam. Ia menarik tirai dan membuka jendela. Sinar matahari pagi yang hangat pun menyeruak masuk ke dalam bersama angin pantai yang menyegarkan.Bi Titin membalikkan badannya untuk pergi membangun kan Hana. Tapi langkahnya seketika terhenti. Sepasang matanya membelalak kaget melihat tubuh kecil Hana bersama wajah cantiknya yang telah tenggelam dalam dekapan seorang pria.Merasakan sinar matahari yang masuk, Pasha perlahan terjaga dari tidurnya. Matanya menyipit dan menangkap sosok tubuh paruh baya yang tengah berdiri di d
Pertama Eman dan sekarang bi Titin. Pasha mendapati pikirannya semakin kacau mengenangkan nasehat dua orang itu. Tapi memikirkan betapa ia tidak ingin kehilangan Hana..."Aku akan tetap melakukannya"Selama Hana akan selalu disisinya. Maka selama itu pula Pasha bertekad untuk terus membuatnya terkurung dalam sangkar indah yang telah disiapkannya.Menjelang siang, Hana masih mengurung diri dalam kamar. Pasha tak hentinya menggedor pintu agar Hana keluar.Tapi keheningan yang menyambutnya.Tok..tok.."Hana buka pintunya"Tok..tok.."Hana, kalau kamu tidak buka pintunya, maka akan saya dobrak"Tok..tok.."Han—"Pintu ditarik terbuka. Telah berdiri Hana di depan sana dengan wajah pucat dan bibir keringnya yang pasi."Bapak masih disini?" Menanyakan pertanyaan itu, tatapan Hana terlihat kosong."Saya kira bapak sudah kembali" Hana memutar langkahnya, berjalan perlahan mendatangi ranjang dan duduk diam seperti yang dilakukan sebelumnya.Pasha yang masih berdiri di luar pintu, menoleh pada b
Makan siang sudah disiapkan di paviliun yang menghadap tepat kearah pantai. Berbagai jenis masakan lezat yang disiapkan sendiri oleh Bi Titin sudah terhidang rapi di atas meja.Pasha dan Hana sama-sama makan dalam keheningan.Debur ombak dan angin pantai datang bergiliran menemani momentum makan siang pasutri itu.Hana yang tengah mengunyah makanan itu, sesekali mencuri pandang kearah Pasha. Ia ingin sekali mengatakan sesuatu pada suaminya itu.Pasha yang beberapa kali menangkap tatapannya, tau kalau Hana ingin mengatakan sesuatu padanya. "Ada apa?"Hana menjilat bibir bawahnya gugup. melirik Pasha sekilas. Memikirkan kejadian di kamar tadi, Hana memberanikan diri untuk mengatakan keinginannya."Pak Pasha""En?" Tampak Pasha yang sedang mengunyah makanan itu menatap lurus kearah Hana."S-saya mau pulang ke kota Z. Bolehkan pak?"Pasha mengambil segelas air dan meminumnya sedikit. Ia menghela nafas berat, "Kedepannya ini akan menjadi rumahmu"Mata Hana terbelalak lebar."Jadi jangan
Pasha menarik wajahnya menjauh. Matanya melihat bibir bawah Hana yang sudah berdarah. Suara isak tangis Hana terdengar menyedihkan. Tubuh kurus itu masih bergetar ketakutan dibawahnya.Lembut jempol Pasha menghapus darah yang ada di bibir Hana."Sekarang kamu masih bersikeras tidak mau makan?"Pasha tidak berniat melakukan lebih jauh. Ia sengaja berbuat seperti itu hanya untuk menakuti Hana.Hana hanya menangis sesenggukan sebagai jawaban."Jawab saya Hana" Pasha menarik dagu kecil Hana, membuat wajah istrinya itu fokus tertuju kearahnya."Masih tidak mau makan?""Hiks..engga" Hana menggeleng. Matanya yang basah menatap Pasha nanar, "Yang saya mau pulang..""Saya mau pulang""Pokoknya saya mau pulang huwaa.." Tangisan Hana menjadi keras.Mengepalkan tangannya, sepasang mata Pasha yang dingin sudah menggelap tersulut oleh amarah."Saya mau pulang..hiks..""Saya mau emp—"Sekali lagi Pasha menekan bibir Hana dan menciumnya keras dan marah.Ia marah karena Hana yang terus menolak makan da
"Jika anda ingin yang terbaik untuk istri anda. Berhenti bersikap egois dan bawa ia ke rumah sakit sekarang"Selesai mengatakan itu, dokter wanita itu langsung bersiap-siap untuk pergi meninggalkan vila.Tapi sebelum itu, ia berbalik menatap Pasha, "Apa anda masih tetap dengan pemikiran anda?"Pasha diam."Istri anda bisa saja mati jika anda terlalu lama berpikir" Dokter wanita itu sengaja mengatakan sesuatu yang dapat mengancam Pasha.Cemas dan takut. Pasha tidak punya pilihan lain. Ia pun menggendong Hana dan kembali bersama dengan dokter wanita itu ke kota Z.Karena tidak ada kendaraan, mereka berjalan kaki ke bandara yang memang ada di pulau terpencil itu.Sekalipun pulau itu tak berpenghuni, tapi sebagai tempat destinasi, maka bandara pun di bangun di pulau itu.Dokter wanita itu berjalan laju di depan dan dibelakangnya ada Pasha yang sedang menggendong Hana. Karena tubuh wanita itu telah kehilangan begitu banyak berat badan, Pasha merasa seperti sedang menggendong bantal guling.
"Kau sudah bangun?" Pasha terjaga dari tidurnya dan senyum bahagia langsung saja terpancar saat melihat sepasang mata Hana sudah terbuka. Pasha beranjak dari tempat duduknya dan nyaris saja terhuyung jatuh karena saking semangatnya ia menghampiri Hana. Hana membuka mulutnya, ingin mengatakan hati-hati. Tapi mengingat apa yang telah dilakukan Pasha malam itu padanya. Hatinya kembali menjadi sakit dan enggan mengatakan apapun. "Ah, akhirnya kau sudah sadar" Senyum merekah ruah di wajah tampan Pasha. Berkali-kali helaan nafas lega keluar dari mulutnya. Hana hanya memandangi itu tanpa ekspresi khusus di wajahnya. Saat itu terdengar ketukan di pintu dan seorang perawat masuk mendorong kereta makanan. "Sudah saatnya anda sarapan.." Perawat itu tersenyum mengangguk pada Hana. Kemudian ia meletakkan mangkuk bubur, telur rebus dan sebotol air mineral di atas meja samping ranjang. "Kalau begitu saya permisi" Pasha hanya mengangguk dan perawat itupun pergi meninggalkan ruangan. "Ayo sar