Hari-hari berganti.Tak terasa seminggu sudah Hana menempati vila di pulau yang sama sekali tidak ada penduduknya itu. Awalnya Hana masih bisa bersantai. Menghabiskan hari dengan membaca di samping jendela yang menghadap lautan biru bersih.Menemani bibi Titin memasak di dapur sambil mempelajarinya dan kadang pun, menghabiskan sisa sore yang berselimut senja dengan secangkir teh chamomile kesukaannya di pinggir pantai.Seperti itu...Hana bersantai sembari menunggu kedatangan Pasha yang ia kira akan secepatnya selesai dengan kesibukannya dan segera berbulan madu bersamanya.Tapi tujuh hari dalam penantian. Pasha tidak kunjung menampakkan batang hidungnya. Hana terang saja menjadi gelisah. Tidak tau kenapa dia memiliki firasat buruk soal itu.Mengeluarkan ponselnya, Hana menatap layar persegi itu dengan perasaan rumit. Di karena kan jaringan yang tidak baik di tempat itu, Hana tidak dapat menggunakan ponselnya untuk menjelajahi internet apatah lagi untuk melakukan obrolan video dengan
Akhirnya siang itu, Hana yang sudah lelah menangis dan meluapkan segala ketakutannya, telah tertidur pulas di sofa panjang yang terletak tepat di dekat jendela. Melihat bagaimana angin laut memburu masuk memukul tirai. Bi Titin pergi mengambil selimut yang ada di ranjang dan menyelimuti Hana dengan itu.Tadinya bi Titin berpikir untuk membangunkan Hana buat makan siang. Tapi pada akhirnya, ia melepaskan Hana yang lelah karena menangis itu untuk terus melanjutkan tidur.Keluar dari kamar utama, bi Titin tak lupa menutup pintu. Ia berjalan ke ruang tengah. Mengambil telfonnya dan mulai menghubungi Pasha.Beberapa kali gagal tersambung karena tidak ada sinyal. Setelah beberapa kali mencoba..."Halo"Suara tegas Pasha terdengar dari talian."Assalamualaikum Pak, ini saya bi Titin"Pasha saat itu baru saja selesai dari rapat. Pasha berjalan meninggalkan meja rapat sambil memegang ponsel di samping telinganya, "Iya, ada apa bi? Apa ada sesuatu yang terjadi pada istri saya?"Jarang sekali bi
Tidak peduli dengan nasehat Eman. Akhirnya Pasha telah membiarkan Hana terkurung di pulau terpencil sebulan lamanya. Tidak terhubung dengan dunia luar dan hanya seorang diri bersama bi Titin sebagai teman.Hana hampir menggila menjalani hari-hari dengan hanya bertemu kan vila, pasir dan pantai.Berbagai cara dilakukannya untuk memberontak. Mulai dari mogok makan hingga pingsan. Memecahkan berbagai macam perabotan. Bahkan mengurung diri berhari-hari di dalam kamar sampai kehilangan kesadaran.Tapi itu juga tidak kunjung melunturkan tekad Pasha yang ternyata seperti firasat nya. Sengaja mengurungnya di pulau terpencil itu.Hana sungguh sudah kehabisan cara. Ia tidak tau harus melakukan apa lagi agar suaminya itu luluh dan mau membawanya pulang kembali ke kota Z."Nyonya, kenapa anda makan sedikit sekali?"Bi Titin menatap sedih tubuh Hana yang cukup kurus hingga tulang pipinya tampak begitu menonjol. Dalam waktu sebulan, wanita muda itu telah kehilangan begitu banyak berat badan."Tadi p
Pagi harinya, Bi Titin bangun awal seperti biasa. Setelah bersih-bersih, ia pergi menyiapkan sarapan di dapur. Lalu kemudian pergi ke lantai dua untuk membangunkan Hana."Semoga saja pintunya tidak dikunci"Menarik gagang pintu kebawah, pintu terbuka. Bi Titin menghela nafas lega. Ia awalnya cukup takut jika Hana kembali mengurung diri seharian seperti kemarin.Ceklek."Huft, Alhamdulillah pintunya tidak terkunci" Mendorong pintu terbuka, Bi Titin berjalan masuk kedalam. Ia menarik tirai dan membuka jendela. Sinar matahari pagi yang hangat pun menyeruak masuk ke dalam bersama angin pantai yang menyegarkan.Bi Titin membalikkan badannya untuk pergi membangun kan Hana. Tapi langkahnya seketika terhenti. Sepasang matanya membelalak kaget melihat tubuh kecil Hana bersama wajah cantiknya yang telah tenggelam dalam dekapan seorang pria.Merasakan sinar matahari yang masuk, Pasha perlahan terjaga dari tidurnya. Matanya menyipit dan menangkap sosok tubuh paruh baya yang tengah berdiri di d
Pertama Eman dan sekarang bi Titin. Pasha mendapati pikirannya semakin kacau mengenangkan nasehat dua orang itu. Tapi memikirkan betapa ia tidak ingin kehilangan Hana..."Aku akan tetap melakukannya"Selama Hana akan selalu disisinya. Maka selama itu pula Pasha bertekad untuk terus membuatnya terkurung dalam sangkar indah yang telah disiapkannya.Menjelang siang, Hana masih mengurung diri dalam kamar. Pasha tak hentinya menggedor pintu agar Hana keluar.Tapi keheningan yang menyambutnya.Tok..tok.."Hana buka pintunya"Tok..tok.."Hana, kalau kamu tidak buka pintunya, maka akan saya dobrak"Tok..tok.."Han—"Pintu ditarik terbuka. Telah berdiri Hana di depan sana dengan wajah pucat dan bibir keringnya yang pasi."Bapak masih disini?" Menanyakan pertanyaan itu, tatapan Hana terlihat kosong."Saya kira bapak sudah kembali" Hana memutar langkahnya, berjalan perlahan mendatangi ranjang dan duduk diam seperti yang dilakukan sebelumnya.Pasha yang masih berdiri di luar pintu, menoleh pada b
Makan siang sudah disiapkan di paviliun yang menghadap tepat kearah pantai. Berbagai jenis masakan lezat yang disiapkan sendiri oleh Bi Titin sudah terhidang rapi di atas meja.Pasha dan Hana sama-sama makan dalam keheningan.Debur ombak dan angin pantai datang bergiliran menemani momentum makan siang pasutri itu.Hana yang tengah mengunyah makanan itu, sesekali mencuri pandang kearah Pasha. Ia ingin sekali mengatakan sesuatu pada suaminya itu.Pasha yang beberapa kali menangkap tatapannya, tau kalau Hana ingin mengatakan sesuatu padanya. "Ada apa?"Hana menjilat bibir bawahnya gugup. melirik Pasha sekilas. Memikirkan kejadian di kamar tadi, Hana memberanikan diri untuk mengatakan keinginannya."Pak Pasha""En?" Tampak Pasha yang sedang mengunyah makanan itu menatap lurus kearah Hana."S-saya mau pulang ke kota Z. Bolehkan pak?"Pasha mengambil segelas air dan meminumnya sedikit. Ia menghela nafas berat, "Kedepannya ini akan menjadi rumahmu"Mata Hana terbelalak lebar."Jadi jangan
Pasha menarik wajahnya menjauh. Matanya melihat bibir bawah Hana yang sudah berdarah. Suara isak tangis Hana terdengar menyedihkan. Tubuh kurus itu masih bergetar ketakutan dibawahnya.Lembut jempol Pasha menghapus darah yang ada di bibir Hana."Sekarang kamu masih bersikeras tidak mau makan?"Pasha tidak berniat melakukan lebih jauh. Ia sengaja berbuat seperti itu hanya untuk menakuti Hana.Hana hanya menangis sesenggukan sebagai jawaban."Jawab saya Hana" Pasha menarik dagu kecil Hana, membuat wajah istrinya itu fokus tertuju kearahnya."Masih tidak mau makan?""Hiks..engga" Hana menggeleng. Matanya yang basah menatap Pasha nanar, "Yang saya mau pulang..""Saya mau pulang""Pokoknya saya mau pulang huwaa.." Tangisan Hana menjadi keras.Mengepalkan tangannya, sepasang mata Pasha yang dingin sudah menggelap tersulut oleh amarah."Saya mau pulang..hiks..""Saya mau emp—"Sekali lagi Pasha menekan bibir Hana dan menciumnya keras dan marah.Ia marah karena Hana yang terus menolak makan da
"Jika anda ingin yang terbaik untuk istri anda. Berhenti bersikap egois dan bawa ia ke rumah sakit sekarang"Selesai mengatakan itu, dokter wanita itu langsung bersiap-siap untuk pergi meninggalkan vila.Tapi sebelum itu, ia berbalik menatap Pasha, "Apa anda masih tetap dengan pemikiran anda?"Pasha diam."Istri anda bisa saja mati jika anda terlalu lama berpikir" Dokter wanita itu sengaja mengatakan sesuatu yang dapat mengancam Pasha.Cemas dan takut. Pasha tidak punya pilihan lain. Ia pun menggendong Hana dan kembali bersama dengan dokter wanita itu ke kota Z.Karena tidak ada kendaraan, mereka berjalan kaki ke bandara yang memang ada di pulau terpencil itu.Sekalipun pulau itu tak berpenghuni, tapi sebagai tempat destinasi, maka bandara pun di bangun di pulau itu.Dokter wanita itu berjalan laju di depan dan dibelakangnya ada Pasha yang sedang menggendong Hana. Karena tubuh wanita itu telah kehilangan begitu banyak berat badan, Pasha merasa seperti sedang menggendong bantal guling.
Pagi harinya, Ratna sudah berpakaian dengan rapi. Ia mengenakan setelan baju formal berwarna navy dan mencoba mengenakan hijab bewarna abu-abu pemberian dari Hana. "Sayang, kamu sudah selesai?" Eman membuka pintu kamar dan melongok kedalam. Sesaat matanya berkedip terkejut mendapati istrinya yang tiba-tiba mengenakan hijab di kepalanya. Itu membungkus indah wajah tirusnya, membuat penampilan formalnya terlihat anggun dan jumawa. "Gimana menurut kamu? Lucu ya aku berhijab begini?" "Anggun." "Ya?" Eman tersadar. Ia berdeham dan dengan daun telinganya yang memerah ia berujar, "Kamu terlihat menawan dengan berhijab seperti itu." Ratna merasa begitu manis dengan pujian tersebut. Hatinya langsung merasa tergelitik melihat daun telinga suaminya yang memerah. Padahal sudah beberapa bulan, tapi terkadang Eman masih malu-malu kepadanya. "Aku sudah selesai. Yuk kita pergi." "Sekarang?" Eman bergeming beberapa saat. "Ya terus kapan lagi." Ratna tergelak kecil. Ia mengapit lengan suaminy
Setengah tahun berlalu sudah. Dalam kurun waktu tersebut Hana berusaha keras untuk membagi perannya sebagai seorang istri, ibu dan juga sebagai mahasiswa. Dalam kurun waktu tersebut juga, berkat ketekunannya dan kegigihannya, ia berhasil mengejar semua ketertinggalan nya dan menyelesaikan studinya.Meskipun ia terlambat dan tertinggal dari teman-temannya yang sudah menyandang sarjana setahun ke belakang. Tapi ia tidak menyesali keterlambatan nya. Ia berpikiran positif dan yakin semua yang terjadi pasti ada hikmahnya."Selamat Hanaaaa...." Chaca dan Miftah menyerbunya dari kanan-kiri dan memeluknya erat. Seerat persahabatan yang telah mereka jalin selama ini."Akhirnya kamu menjadi sarjana juga Han." Tukas Miftah yang terharu menatap sahabatnya yang akhirnya telah mengenakan baju toga setelah semua hal-hal berat yang dilewatinya setahun ke belakang."Walaupun kita gak wisuda bareng, tapi ritual lempar topi toga nya harus tetap dilakukan barengan." Chaca mengambil topi toga dari atas ke
Saat ia merasakan tangan panas Pasha yang besar, mulai menggerayangi perutnya dari belakang. "Syuhh" Pasha menekan jari telunjuknya di bibir Hana."K-kamu ngapain? Buat apa tangan mu di situ?"Alih-alih menjawab, Pasha merapatkan dada bidangnya ke punggung telanjang Hana. Lengan kokoh nya mengukung tubuh kecil istrinya itu dalam kuasa tubuh kekarnya.Halusnya kulit Hana yang menyentuh kulit kerasnya, membuatnya merasa nyaman.Hana menjadi gugup saat suhu panas tubuh Pasha telah menguasai tubuhnya. Ia dapat mendengar nafas berat suaminya itu yang berhembus di dekat daun telinganya."Masa nifas mu, sudah selesai sejak tiga bulan yang lalu kan?""I-iya""Apakah kiranya kamu sudah siap?" Tanya Pasha, mulutnya tepat berada didepan telinga Hana.Hana menelan saliva nya gugup, saat merasakan nafas panas Pasha berhembus melewati daun telinganya."S-sejujurnya, aku masih b-belum siap..""Kalau begitu mari bercumbu seperti ini saja" Pasha menyapu bibir padatnya ke telinga istrinya. Membuka mul
Tepat setelah malam syukuran kelahiran Daud dikediaman Arya, pada hari ketujuhnya, Pasha melakukan aqiqah Daud di kediaman Shahbaz. Ia sudah sepakat dengan Hana untuk melakukannya di sana.Pasha sudah membeli dua ekor kambing yang cukup gemuk untuk anak laki-laki pertamanya itu dengan Hana.Tanpa sepengetahuan Pasha, seorang wanita yang sudah lama sekali tidak terlihat dimatanya muncul di acara aqiqah tersebut. Wanita itu bersembunyi dan diam-diam mencuri pandang kearah Pasha bersama istrinya yang sedang menggendong Daud."Kamu yakin tidak ingin datang menjumpainya?" Tanya Shahbaz, pada mantan istrinya itu.Wanita itu tersenyum kecil menggeleng, "Melihat dari sini saja sudah cukup, akan terlalu egois bagiku jika menemuinya sekarang"Shahbaz tidak berkata apa-apa lagi."Pasha cukup pandai memilih istri" Ucap wanita itu tersenyum, "Ia cantik sekali""Iya. Dia baik dan juga penurut" Sambung Shahbaz."Cucu kita juga sangat tampan, ingin rasanya aku menggendongnya""Apa kamu menyesal karen
Malam harinya, kediaman Arya dipenuhi oleh para tamu. Ia membuat syukuran untuk kelahiran cucunya dan mengundang semua koleganya untuk datang. Shahbaz sebagai besannya, juga turut diundang bersama keluarga besar. "Di mana Pasha dan Hana? Apa sudah sampai?" Tanya Arya pada Ratna"Mereka masih dijalan Paa" Jawab Ratna yang baru saja selesai menelpon Hana.Hingga tak berapa lama menit kemudian. Pasha dan Hana sudah tiba di kediaman Arya. Kehadiran mereka pun langsung mencuri perhatian para tamu.Malam itu Hana mengenakan setelan yang serasi dengan Pasha. Di mana Pasha tampil jumawa dalam baju Koko putih dan Hana tampil anggun dalam balutan abaya putih dan pashmina bewarna senada. Awalnya ia pikir Pasha akan menyuruhnya untuk berganti dengan kerudung biasa, teringat terakhir kali di acara keluarga Pasha melakukannya. Tapi anehnya kali ini tidak. Semenjak ia hamil Daud dan terlebih setelah melahirkannya, suaminya itu memang sudah banyak berubah. Di kediaman Arya sangat ramai. Cukup bany
"Hum" Pasha menyandarkan dagunya manja di atas pundak Hana dan memperhatikan mata mungil Daud yang mulai berkedip-kedip seperti akan tertidur."Daud sepertinya mulai mengantuk""Iya, Alhamdulillah""Lantunan shalawat mu yang merdu itu benar-benar membuatnya berhenti menangis"Hana tersenyum mengangguk, "Hem" Matanya yang penuh sorot keibuan itu, dengan lembut memperhatikan sepasang mata Daud yang kini sudah terpejam."Lain kali lakukan juga padaku" Tukas Pasha.Hana tergelak kecil, "Buat apa? Kamu kan sudah besar, bukan bayi yang—"Pasha mengecup bibir Hana dan menghisapnya lama. Hana memejamkan matanya dan sesaat terbuai dengan ciuman lembut itu.Pasha perlahan melepas bibir Hana dari bibirnya, "Aku juga ingin diperlakukan seperti itu saat susah tidur" Ucap Pasha, sambil menatap manik mata hitam Hana dalam."En, aku juga akan melakukannya padamu. Bayi besar ku.." Ucap Hana sambil mencium kening Pasha gemas."Aku tidak mau di panggil bayi"Hana tertawa kecil."Tidak lucu!" Mata dingin
Sama seperti malam-malam sebelumnya, Hana tidak dapat tidur nyenyak karena sebentar-sebentar terbangun mendengar suara tangis Daud. Jika sudah seperti itu Hana akan menepuk-nepuk lembut Daud yang sudah dibedung itu dan memberikannya asi.Tapi terkadang tangis Daud tidak kunjung berhenti. Seperti yang terjadi malam ini. Hana sampai menggigit jari karena bingung harus mendiamkannya seperti apa."Haak ahak..oek..oek..""Daud..""Hak..ahaak oek..oek...""Syuhh, gantengnya mama.. kenapa nangis terus hum?""Oek..oek..""Daud saayang...""Oek..oek..""Sholatullah salamullah.." Hana pun mulai bershalawat, mencoba menenangkan Daud yang tak kunjung berhenti menangis."Oek..haak..oek.."Pasha yang tengah tertidur itu, mengerutkan keningnya. Matanya menyipit dan sedikit terbuka, "Kenapa sayang? Daud nya nangis lagi?" Ucap Pasha dengan suara sengau dan serak nya."Iya nih, padahal udah aku kasih asi tapi masih gak berhenti nangisnya"Pasha perlahan bangun dari tidurnya dan setengah menguap. Ia men
Hana tersenyum tenang menanggapi mereka semua. Jempolnya mengusap lembut pipi bayinya dan menundukkan kepalanya, ia kembali mengecup lembut bayi mungilnya itu. "Pasha, masih belum sadar?" Tanya Hana pada mereka semua.Shahbaz menghela nafas panjang, "Kata dokter Pasha mengalami syok berat karena melihat keadaan mu di ruang persalinan tadi. Dan sampai sekarang ia masih belum sadar"Hana tersenyum tipis. Ia sudah menduganya, itu pasti terjadi karena Pasha terlalu mengkhawatirkan keadaannya."Kenapa dia jadi lelaki bisa lemah sekali? Bukannya menemani istrinya sampai selesai melahirkan, tapi ia malah pingsan" Ketus Keira.Ratna langsung menyikut perut Keira, "Jangan berkata begitu. Dia bisa selemah itu juga karena hampir mati ketakutan karena merisaukan keadaan Hana"Keira hanya memasang ekspresi cemberut.Brak!Tiba-tiba terdengar suara pintu terbuka. Tampak Pasha muncul dan setengah berlari menghampiri ranjang."Hanaa" Pasha langsung memeluk Hana yang tengah berbaring di ranjang. Kepa
Tak terasa kandungan Hana sudah menginjak usia sembilan bulan. Semenjak itu pula Pasha tidak lagi membuat Hana tinggal di mansion yang jaraknya cukup jauh dalam mencapai rumah sakit di kota. Karena itulah ia membawa Hana kembali ke apartemen yang selama ini diurus dengan baik oleh Bi Titin.Saat tanggal kelahiran yang diprediksi kan oleh dokter mulai mendekat, buat jaga-jaga, Pasha langsung mengambil cuti. Hal tersebut membuat kelipatan kerja Eman sebagai sekretarisnya bertambah.Pasha pun menghabiskan harinya dengan mengurus dan menjaga Hana sedemikian rupa. Ia masih menyiapkan makanan, membuat jus dan terkadang memijit pundak dan kaki Hana yang kerapkali merasa pegal.Sedangkan urusan apartemen, piring kotor dan pakaian, bi Titin yang mengurus semuanya."Pashaa, Hana mau minum jus bayam" Pinta Hana manja. Sebulan membiasakan diri memanggil Pasha tanpa sebutan 'pak', Hana akhirnya dapat melakukannya dengan lancar.Bahkan ia berpikir untuk memanggil suaminya itu dengan 'sayang' nantiny