"Kau sudah bangun?" Pasha terjaga dari tidurnya dan senyum bahagia langsung saja terpancar saat melihat sepasang mata Hana sudah terbuka. Pasha beranjak dari tempat duduknya dan nyaris saja terhuyung jatuh karena saking semangatnya ia menghampiri Hana. Hana membuka mulutnya, ingin mengatakan hati-hati. Tapi mengingat apa yang telah dilakukan Pasha malam itu padanya. Hatinya kembali menjadi sakit dan enggan mengatakan apapun. "Ah, akhirnya kau sudah sadar" Senyum merekah ruah di wajah tampan Pasha. Berkali-kali helaan nafas lega keluar dari mulutnya. Hana hanya memandangi itu tanpa ekspresi khusus di wajahnya. Saat itu terdengar ketukan di pintu dan seorang perawat masuk mendorong kereta makanan. "Sudah saatnya anda sarapan.." Perawat itu tersenyum mengangguk pada Hana. Kemudian ia meletakkan mangkuk bubur, telur rebus dan sebotol air mineral di atas meja samping ranjang. "Kalau begitu saya permisi" Pasha hanya mengangguk dan perawat itupun pergi meninggalkan ruangan. "Ayo sar
Hana sudah lama menatap selang infus yang tertusuk di punggung tangan kirinya sambil memikirkan antara mencabutnya atau tidak.Jika mencabutnya, ia dapat diam-diam pergi meninggalkan ruangan dan kabur dari rumah sakit. Tapi jika Pasha mengetahuinya, suaminya itu pasti akan marah besar lebih dari yang terakhir kali.Namun jika hanya tetap berbaring pasrah sambil menunggu Pasha datang. Pasti suaminya itu akan memboyongnya kembali ke pulau terpencil itu.Hana menghela nafas berat. Matanya menatap sendu langit-langit rumah sakit, "Aku tidak mengira.."Pangkal hidungnya terasa asam, "Pernikahan ini benar-benar merenggut semua kebebasan ku"Memikirkan kuliahnya yang belum selesai, merindukan berkumpul bersama Chaca dan Miftah sepulang kampus seperti dulu atau menemani kakak keduanya shopping di mall.Dada Hana merasa sesak dan pahit, mengenang ia tidak dapat melaksanakannya lagi.Tiba-tiba ia mendengar suara pintu di dorong terbuka. Ia mengira Pasha baru saja kembali. Tetapi ia terkejut men
"Sebenarnya ini cerita yang lumayan panjang, kamu tertarik mendengarnya?"Hana menggangguk.Shahbaz pun menceritakan kisah bagaimana Pasha kecil ditinggal kan oleh ibunya. Yang berawal dari kisahnya yang memutuskan untuk menceraikan istrinya. Membiarkan istrinya pergi menemukan kebahagiaan yang diinginkannya. Karena tidak ada kebahagiaan yang wanita itu dapatkan dalam pernikahan mereka. "Bagaimanapun kami menikah karena pernikahan politik. Sekalipun setelah menikah aku jatuh cinta padanya, tapi ternyata istri ku tidak""Setahun berlalu, hingga kami memiliki putra pertama kami. Aku pikir, kedepannya kami akan hidup dengan bahagia setelah memiliki anak. Tapi ternyata, istri ku makin hari menjadi semakin depresi. Itu terjadi, karena dia lelah berpura-pura..""Dia selalu berusaha keras tiap harinya, untuk menunjukkan penampilan terbaiknya sebagai istri yang penuh kasih kepada suaminya di hadapan orang-orang. Baik di pertemuan bisnis, publik dan bahkan keluarga""Terlebih setelah kami mem
Hana yang sudah berhenti menangis itu, mengusap kedua pipinya yang basah dan lengket karena bekas air mata. Senyum tak berdaya memenuhi wajahnya kala memandang suaminya yang masih tampak berang di tempat."Pak Pasha.." Hana memanggil Pasha. Panggilan itu membuat Pasha menoleh dan berjalan mendatangi Hana. "Apa orang itu menyakiti mu hum?" Tanya Pasha kemudian. Tubuhnya sedikit membungkuk kearah Hana yang tengah berbaring. Hana merasa geram dengan perangai suaminya itu.Biarpun merasa agak lemah, ia tetap berusaha mengangkat tangannya dan memukul lengan suaminya.Puk!"Aduh! Kenapa kamu malah memukul saya?"Pukulan Hana tidak sakit sama sekali. Hanya mulut Pasha refleks mengeluarkan kata aduh."Habisnya pak Pasha!""Saya kenapa?" Pasha menautkan sepasang alisnya."Bicaranya gak sopan sama bapak. Sana minta maaf!""Hah?"Pasha menoleh kearah Shahbaz.Pria tua itu baru saja tersenyum bangga mendapatkan pembelaan dari menantu perempuannya."Cepatan sana.." Desak Hana."Engga" Tolak Pas
Setelah beberapa detik, malu-malu Hana melepaskan kecupannya."Berhenti mengancam saya pak, saya takut" Hana menatap Pasha dengan wajah cantiknya yang bersemu merah.Mata Pasha berkedip dan kerongkongannya tampak bergerak saat ia menelan Saliva nya berkata,"Kamu takut?""En"Pasha tersenyum dan mematuk bibir Hana lembut, "Karena itu kamu harus patuh. Mengerti?""En" Hana mengangguk pelan, matanya malu-malu menatap wajah tampan Pasha yang begitu dekat dengan wajahnya.Pasha berdiri tegak, "Saya akan menunggu diluar, kalian berdua berbincang lah dengan nyaman"Seusai mengatakan itu, Pasha mengambil langkah pergi meninggalkan ruangan.Ratna tersenyum dengan ekor mata memperhatikan punggung tegap Pasha yang sudah lenyap di sebalik pintu, "Suasana hatinya sepertinya cukup baik"Ratna berjalan mendekat, menghampiri ranjang tempat Hana berbaring. Mata Ratna tersenyum menggoda, "Hana, dari mana kamu mempelajari trik kecil ini?"Mata polos Hana berkedip bingung, "Trik kecil apa?""Kamu masih b
Apakah itu hanya perasaan Hana atau tidak. Tapi yang pasti, setelah kejadian tadi pagi itu, Hana menemukan tingkah laku Pasha yang cukup canggung di meja makan.Tangannya yang sedang memotong roti itu tampak terburu-buru seperti terusik sesuatu. Kunyahannya yang cepat seperti menyembunyikan keresahannya dan gestur tubuhnya yang kaku terlihat tegang.Ya. Hana memperhatikan segalanya.Itu adalah pertama kalinya Hana melihat seorang Pasha bisa bersikap begitu.Diam-diam Hana menahan senyum di sudut bibirnya."Pak Pasha pernah pacaran?""Huk..huk.." Pasha yang sedang minum segelas susu itu langsung tersedak mendengar lontaran pertanyaan Hana yang tiba-tiba. "Pelan-pelan pak minumnya" Hana menepuk lembut punggung Pasha.Meletakkan gelas di meja, Pasha mengambil saputangan dan menyapu bibirnya."Tidak pernah""...""Saya tidak pernah pacaran""Ohh.." Hana manggut-manggut dan mengigit roti selai strawberry nya lagi."Bagaimana denganmu?""Engga. Saya juga engga pernah" Hana menggeleng dan t
"Engga ah, Bi. Saya maluu.." Hana langsung menolak keras ide bi Titin itu. Membayangkannya saja, berhasil membuat daun telinganya memerah."Eiy, tidak perlu malu. Kan pak Pasha suaminya nyonya Hana""Iya tetap aja Bi saya maluu""Ya karena itu belajar pelan-pelan nyonya biar gak malu"Hana menghembuskan nafas berat, menggeleng. Dipikirkan bagaimanapun, ia tidak cukup berani memanggil suaminya dengan sebutan 'sayang'. "Engga ah Bi, lidah saya kayanya gak bakalan sanggup""Pft.." Bi Titin tidak dapat menahan tawanya melihat ekspresi wajah Hana."Itulah nyonya belajar dari sekarang. Di latih pelan-pelan, nanti kalau sudah terbiasa, pasti lidah nyonya tidak kaku lagi memanggil 'sayang' buat pak Pasha"Hana menjilat bibir bawahnya, "Memangnya gak ada panggilan lain ya bi selain itu?""Eum..ada. Mas, kang mas, Abang..atau yang kebarat-baratan yang gaya anak zaman sekarang itu tu, hab-hab..""Hab-hab?""Bukan. Bibi lupa. Pokoknya hab-hab gitu""Maksud bi Titin hubby?""Ah, iya itu. Habbi"H
"Ada apa nyonya?" Bi Titin yang mendapati itu langsung meninggalkan pekerjaannya dan berlari menghampiri Hana."Ugh""Woek"Hana muntah lagi dan terus muntah.Bi Titin menggosok punggung Hana dengan cemas, "Aduh, kenapa bisa muntah-muntah gini Nya? Padahal kan tadi nyonya baik-baik aja"Hana menggeleng lemah, "Hana juga gak tau kenapa bi" Hana menyalakan kran air, membilas bersih mulutnya. Lalu menutupnya kembali."Apa jangan-jangan nyonya masuk angin ya?""Engga tau bi, tadi tiba-tiba aja Hana mual pas nyium aroma tumisan bumbu asam manisnya"Bi Titin menatap Hana prihatin, "Yaudah, kalau gitu nyonya istirahat aja ya di kamar. Biar bi Titin yang lanjutin semuanya""Tapi bi, saya kan—""Kan nyonya udah masak sebagian. Lagipula jika pak Pasha tau nyonya masak sampai muntah-muntah gini, bisa-bisa saya yang dimarahi"Hana diam sejenak."Nyonya tau sendiri kan pak Pasha gimana? Jadi dengerin bibi ya.."Hana akhirnya menurut dan pergi beristirahat di kamar.__••__"Jadi, pak Pasha gak jad