"Engga ah, Bi. Saya maluu.." Hana langsung menolak keras ide bi Titin itu. Membayangkannya saja, berhasil membuat daun telinganya memerah."Eiy, tidak perlu malu. Kan pak Pasha suaminya nyonya Hana""Iya tetap aja Bi saya maluu""Ya karena itu belajar pelan-pelan nyonya biar gak malu"Hana menghembuskan nafas berat, menggeleng. Dipikirkan bagaimanapun, ia tidak cukup berani memanggil suaminya dengan sebutan 'sayang'. "Engga ah Bi, lidah saya kayanya gak bakalan sanggup""Pft.." Bi Titin tidak dapat menahan tawanya melihat ekspresi wajah Hana."Itulah nyonya belajar dari sekarang. Di latih pelan-pelan, nanti kalau sudah terbiasa, pasti lidah nyonya tidak kaku lagi memanggil 'sayang' buat pak Pasha"Hana menjilat bibir bawahnya, "Memangnya gak ada panggilan lain ya bi selain itu?""Eum..ada. Mas, kang mas, Abang..atau yang kebarat-baratan yang gaya anak zaman sekarang itu tu, hab-hab..""Hab-hab?""Bukan. Bibi lupa. Pokoknya hab-hab gitu""Maksud bi Titin hubby?""Ah, iya itu. Habbi"H
"Ada apa nyonya?" Bi Titin yang mendapati itu langsung meninggalkan pekerjaannya dan berlari menghampiri Hana."Ugh""Woek"Hana muntah lagi dan terus muntah.Bi Titin menggosok punggung Hana dengan cemas, "Aduh, kenapa bisa muntah-muntah gini Nya? Padahal kan tadi nyonya baik-baik aja"Hana menggeleng lemah, "Hana juga gak tau kenapa bi" Hana menyalakan kran air, membilas bersih mulutnya. Lalu menutupnya kembali."Apa jangan-jangan nyonya masuk angin ya?""Engga tau bi, tadi tiba-tiba aja Hana mual pas nyium aroma tumisan bumbu asam manisnya"Bi Titin menatap Hana prihatin, "Yaudah, kalau gitu nyonya istirahat aja ya di kamar. Biar bi Titin yang lanjutin semuanya""Tapi bi, saya kan—""Kan nyonya udah masak sebagian. Lagipula jika pak Pasha tau nyonya masak sampai muntah-muntah gini, bisa-bisa saya yang dimarahi"Hana diam sejenak."Nyonya tau sendiri kan pak Pasha gimana? Jadi dengerin bibi ya.."Hana akhirnya menurut dan pergi beristirahat di kamar.__••__"Jadi, pak Pasha gak jad
Tepat pukul sepuluh malam Pasha sudah tiba di vila yang terletak di pesisir pantai itu. Tempat di mana ia menyembunyikan permata nya yang berharga dari dunia luar.Di bawah sinar rembulan, Pasha berjalan di atas hamparan pasir sambil memandangi pesan di ponselnya yang sudah beberapa jam lalu ia kirim.'Saya akan ke sana malam ini'Keningnya sedikit mengeryit tak senang, "Dia tak membalas pesan ku?"Kesal Pasha memasukkan ponselnya ke dalam saku jas nya dan dengan langkah kaki panjangnya ia berjalan cepat menaiki tiap anak tangga teras dan berdiri di depan pintu. Pasha meletakkan koper dan mengeluarkan kunci dari sakunya. Ia pun membuka pintu dan keheningan menyambutnya. Bi Titin baru saja kembali dari dapur setelah bersih-bersih. Ia terkejut dengan kemunculan Pasha di ruang tengah."Pak Pasha akhirnya datang" Seru bi Titin sambil berlari senang menghampiri tuannya itu."Ya ampun pak, kemana aja sih pak? Sayang nyonya Hana nungguin bapak dari kemarin. Tapi bapak gak pulang-pulang. Ka
Tepat pukul delapan pagi, bi Titin sudah menyiapkan sarapan di atas meja. Pasha turun ke lantai bawah bersama Hana yang masih tidak banyak bicara. Sikap Hana yang seperti itu membuat Pasha agak tidak puas. Ia menginginkan Hana yang penuh senyum dan bersikap manis kepadanya seperti seminggu yang lalu.Tapi Hana hanya terus diam dan bersikap begitu jauh kearahnya. Setiba di ruang makan. Keduanya menarik kursi dan duduk bersebrangan.Pasha melirik sekilas kearah Hana. Tampak istrinya itu hanya menunduk, menatap bawah meja."Ekhem" Pasha berdeham.Baru saat itulah Hana mengangkat kepalanya dan melempar pandangan kearah Pasha. Tubuh Hana langsung menciut tatkala merasakan tatapan tajam suaminya itu."Pagi ini bi Titin buat sup ayam kampung untuk Nyonya Hana" Bi Titin datang memecah keheningan antar keduanya. Semangkuk sup ayam kampung hangat yang masih mengepulkan asap, ia letakkan di hadapan Hana.Detik itu Hana sedikit menghela nafas lega."Hem, aroma nya enak Bi" Hana mengangkat kepala
Setelah beberapa menit mengatur nafasnya normal kembali, Hana kembali mencium Pasha. Gerakan mulutnya yang maju mundur menekan lembut pipi suaminya itupun masih cepat seperti tadi, tak lupa dengan hatinya yang terus menghitung, 'Dua puluh satu, dua puluh dua, dua puluh tiga...' Pasha lanjut memejamkan mata, cukup menikmatinya. Bibir kecil Hana yang terus-menerus menabrak lembut pipinya itu, rasanya bagai menerima tekanan dari marshmallow manis yang empuk."Ugh"Pasha seketika membuka matanya. Hana langsung membekap mulutnya rapat, 'Kenapa tiba-tiba aku mual lagi?'"Ugh"Sepasang alis Pasha bertaut, "Asam lambung kamu kambuh lagi?""Engga tau pak, entah kenapa tiba-tiba—ugh" Merasakan gejolak asam yang hampir keluar dari kerongkongan nya, Hana seketika bangun dari pangkuan Pasha dan berlari ke kamar mandi.Pasha pun berdiri, turut mengikuti Hana ke kamar mandi. Tepat di depan pintu, ia mendengar suara muntah-muntah istrinya itu yang semakin menjadi-jadi.Tak berapa lama kemudian, Han
Kabar Pasha yang kembali ke kota Z dan membawa Hana ke rumah sakit itu sampai ke Shahbaz. Tentu saja yang memberitahunya tidak lain adalah Eman, sekretaris pribadi Pasha."Ha, apa lagi yang dilakukan anak itu kali ini pada Hana"Shahbaz yang mengkhawatirkan kondisi menantu kesayangannya itupun, bergegas pergi meninggalkan kediaman menuju rumah sakit Swasta yang diberitahukan oleh Eman.Setibanya di sana, Shahbaz langsung masuk ke dalam bersama seorang asisten pribadinya yang mengawal nya dari belakang.Setelah menebus obat di apotek rumah sakit, Pasha segera menyelesaikan administrasi. Kemudian ia pergi ke tempat terakhir kali ia mendudukkan Hana.Laju langkahnya langsung terhenti saat melihat Hana tengah mengobrol serius dengan seorang dokter muda yang tak lagi asing di matanya.'Fawaz!'Jari-jemarinya langsung terkepal dalam amarah. Sepasang matanya yang menatap tajam ke arah dua orang itu, seakan siap melepaskan panahnya untuk melesat jauh tepat ke jantung dokter muda itu. "Kamu te
Pasha tersenyum puas dengan apa yang didengarnya. Senyum yang nyaris mencapai dasar matanya itu, membuat Shahbaz geleng-geleng kepala. Lalu Shahbaz menepuk pundak putranya dan berkata dengan nada serius, "Sudah saatnya kamu berhenti mengurung istrimu di pulau antah-berantah itu. Belajar lah untuk mempercayainya dari sekarang. Sebelum segalanya terlambat, berikanlah pernikahan sempurna yang dokter muda bicarakan tadi pada istrimu. Jangan membuatnya kecewa karena telah bersedia untuk terus bersamamu"Pasha hanya diam dan menyimak ucapan ayahnya itu.Shahbaz menghela nafas pelan, ia sungguh berharap putranya itu memikirkan ucapannya barusan."Apa yang terjadi pada Hana? Kenapa kau sampai membawanya ke rumah sakit?"Pasha memandang wajah sang ayah, terus menjawab, "Hana hamil pa""Apa?" Shahbaz cukup kaget dengan kabar itu, "Sebentar, b-bagaimana bisa? Apa kalian selama ini melakukan 'itu' tanpa pengaman?"Melakukan itu?Sudut bibir Pasha meringkuk ke atas. Pasha ingat baru melakukannya d
Sudah lama sekali sejak Fawaz pergi dan suaminya itu masih belum kembali. Hana duduk dengan bosan sambil memperhatikan orang-orang yang berlalu lalang di depannya. Beberapa di antara mereka ada yang seorang perawat, pasien dan bahkan sanak keluarga yang datang menjenguk kerabat mereka yang sakit.Bau obat-obatan dan alkohol yang menyeruak di setiap lorong, tidak hentinya menusuk tajam hidungnya. Kening Hana berkerut. Tiap kali mencium aroma yang khas sekali rumah sakit itu, rasa mualnya bergejolak, membuatnya ingin muntah."Ugh!" Hana membekap rapat mulutnya.Hana berpikir masih dapat menahannya, tapi tak lama kemudian rasa asam yang bergejolak membuatnya merasa ingin muntah.Hana pun bangun dan bergegas berlari mencari toilet. Setelah muntah-muntah di wastafel, Hana memutar kran air dan membilas bersih mulutnya. Hana mengambil tisu dan bergegas pergi ke tempat duduknya barusan. Takut suaminya akan pergi mencarinya di sana."Kamu kemana saja?" Pasha berjalan mendatangi Hana yang terli