"Ada apa nyonya?" Bi Titin yang mendapati itu langsung meninggalkan pekerjaannya dan berlari menghampiri Hana."Ugh""Woek"Hana muntah lagi dan terus muntah.Bi Titin menggosok punggung Hana dengan cemas, "Aduh, kenapa bisa muntah-muntah gini Nya? Padahal kan tadi nyonya baik-baik aja"Hana menggeleng lemah, "Hana juga gak tau kenapa bi" Hana menyalakan kran air, membilas bersih mulutnya. Lalu menutupnya kembali."Apa jangan-jangan nyonya masuk angin ya?""Engga tau bi, tadi tiba-tiba aja Hana mual pas nyium aroma tumisan bumbu asam manisnya"Bi Titin menatap Hana prihatin, "Yaudah, kalau gitu nyonya istirahat aja ya di kamar. Biar bi Titin yang lanjutin semuanya""Tapi bi, saya kan—""Kan nyonya udah masak sebagian. Lagipula jika pak Pasha tau nyonya masak sampai muntah-muntah gini, bisa-bisa saya yang dimarahi"Hana diam sejenak."Nyonya tau sendiri kan pak Pasha gimana? Jadi dengerin bibi ya.."Hana akhirnya menurut dan pergi beristirahat di kamar.__••__"Jadi, pak Pasha gak jad
Tepat pukul sepuluh malam Pasha sudah tiba di vila yang terletak di pesisir pantai itu. Tempat di mana ia menyembunyikan permata nya yang berharga dari dunia luar.Di bawah sinar rembulan, Pasha berjalan di atas hamparan pasir sambil memandangi pesan di ponselnya yang sudah beberapa jam lalu ia kirim.'Saya akan ke sana malam ini'Keningnya sedikit mengeryit tak senang, "Dia tak membalas pesan ku?"Kesal Pasha memasukkan ponselnya ke dalam saku jas nya dan dengan langkah kaki panjangnya ia berjalan cepat menaiki tiap anak tangga teras dan berdiri di depan pintu. Pasha meletakkan koper dan mengeluarkan kunci dari sakunya. Ia pun membuka pintu dan keheningan menyambutnya. Bi Titin baru saja kembali dari dapur setelah bersih-bersih. Ia terkejut dengan kemunculan Pasha di ruang tengah."Pak Pasha akhirnya datang" Seru bi Titin sambil berlari senang menghampiri tuannya itu."Ya ampun pak, kemana aja sih pak? Sayang nyonya Hana nungguin bapak dari kemarin. Tapi bapak gak pulang-pulang. Ka
Tepat pukul delapan pagi, bi Titin sudah menyiapkan sarapan di atas meja. Pasha turun ke lantai bawah bersama Hana yang masih tidak banyak bicara. Sikap Hana yang seperti itu membuat Pasha agak tidak puas. Ia menginginkan Hana yang penuh senyum dan bersikap manis kepadanya seperti seminggu yang lalu.Tapi Hana hanya terus diam dan bersikap begitu jauh kearahnya. Setiba di ruang makan. Keduanya menarik kursi dan duduk bersebrangan.Pasha melirik sekilas kearah Hana. Tampak istrinya itu hanya menunduk, menatap bawah meja."Ekhem" Pasha berdeham.Baru saat itulah Hana mengangkat kepalanya dan melempar pandangan kearah Pasha. Tubuh Hana langsung menciut tatkala merasakan tatapan tajam suaminya itu."Pagi ini bi Titin buat sup ayam kampung untuk Nyonya Hana" Bi Titin datang memecah keheningan antar keduanya. Semangkuk sup ayam kampung hangat yang masih mengepulkan asap, ia letakkan di hadapan Hana.Detik itu Hana sedikit menghela nafas lega."Hem, aroma nya enak Bi" Hana mengangkat kepala
Setelah beberapa menit mengatur nafasnya normal kembali, Hana kembali mencium Pasha. Gerakan mulutnya yang maju mundur menekan lembut pipi suaminya itupun masih cepat seperti tadi, tak lupa dengan hatinya yang terus menghitung, 'Dua puluh satu, dua puluh dua, dua puluh tiga...' Pasha lanjut memejamkan mata, cukup menikmatinya. Bibir kecil Hana yang terus-menerus menabrak lembut pipinya itu, rasanya bagai menerima tekanan dari marshmallow manis yang empuk."Ugh"Pasha seketika membuka matanya. Hana langsung membekap mulutnya rapat, 'Kenapa tiba-tiba aku mual lagi?'"Ugh"Sepasang alis Pasha bertaut, "Asam lambung kamu kambuh lagi?""Engga tau pak, entah kenapa tiba-tiba—ugh" Merasakan gejolak asam yang hampir keluar dari kerongkongan nya, Hana seketika bangun dari pangkuan Pasha dan berlari ke kamar mandi.Pasha pun berdiri, turut mengikuti Hana ke kamar mandi. Tepat di depan pintu, ia mendengar suara muntah-muntah istrinya itu yang semakin menjadi-jadi.Tak berapa lama kemudian, Han
Kabar Pasha yang kembali ke kota Z dan membawa Hana ke rumah sakit itu sampai ke Shahbaz. Tentu saja yang memberitahunya tidak lain adalah Eman, sekretaris pribadi Pasha."Ha, apa lagi yang dilakukan anak itu kali ini pada Hana"Shahbaz yang mengkhawatirkan kondisi menantu kesayangannya itupun, bergegas pergi meninggalkan kediaman menuju rumah sakit Swasta yang diberitahukan oleh Eman.Setibanya di sana, Shahbaz langsung masuk ke dalam bersama seorang asisten pribadinya yang mengawal nya dari belakang.Setelah menebus obat di apotek rumah sakit, Pasha segera menyelesaikan administrasi. Kemudian ia pergi ke tempat terakhir kali ia mendudukkan Hana.Laju langkahnya langsung terhenti saat melihat Hana tengah mengobrol serius dengan seorang dokter muda yang tak lagi asing di matanya.'Fawaz!'Jari-jemarinya langsung terkepal dalam amarah. Sepasang matanya yang menatap tajam ke arah dua orang itu, seakan siap melepaskan panahnya untuk melesat jauh tepat ke jantung dokter muda itu. "Kamu te
Pasha tersenyum puas dengan apa yang didengarnya. Senyum yang nyaris mencapai dasar matanya itu, membuat Shahbaz geleng-geleng kepala. Lalu Shahbaz menepuk pundak putranya dan berkata dengan nada serius, "Sudah saatnya kamu berhenti mengurung istrimu di pulau antah-berantah itu. Belajar lah untuk mempercayainya dari sekarang. Sebelum segalanya terlambat, berikanlah pernikahan sempurna yang dokter muda bicarakan tadi pada istrimu. Jangan membuatnya kecewa karena telah bersedia untuk terus bersamamu"Pasha hanya diam dan menyimak ucapan ayahnya itu.Shahbaz menghela nafas pelan, ia sungguh berharap putranya itu memikirkan ucapannya barusan."Apa yang terjadi pada Hana? Kenapa kau sampai membawanya ke rumah sakit?"Pasha memandang wajah sang ayah, terus menjawab, "Hana hamil pa""Apa?" Shahbaz cukup kaget dengan kabar itu, "Sebentar, b-bagaimana bisa? Apa kalian selama ini melakukan 'itu' tanpa pengaman?"Melakukan itu?Sudut bibir Pasha meringkuk ke atas. Pasha ingat baru melakukannya d
Sudah lama sekali sejak Fawaz pergi dan suaminya itu masih belum kembali. Hana duduk dengan bosan sambil memperhatikan orang-orang yang berlalu lalang di depannya. Beberapa di antara mereka ada yang seorang perawat, pasien dan bahkan sanak keluarga yang datang menjenguk kerabat mereka yang sakit.Bau obat-obatan dan alkohol yang menyeruak di setiap lorong, tidak hentinya menusuk tajam hidungnya. Kening Hana berkerut. Tiap kali mencium aroma yang khas sekali rumah sakit itu, rasa mualnya bergejolak, membuatnya ingin muntah."Ugh!" Hana membekap rapat mulutnya.Hana berpikir masih dapat menahannya, tapi tak lama kemudian rasa asam yang bergejolak membuatnya merasa ingin muntah.Hana pun bangun dan bergegas berlari mencari toilet. Setelah muntah-muntah di wastafel, Hana memutar kran air dan membilas bersih mulutnya. Hana mengambil tisu dan bergegas pergi ke tempat duduknya barusan. Takut suaminya akan pergi mencarinya di sana."Kamu kemana saja?" Pasha berjalan mendatangi Hana yang terli
Di perjalanan sepulang dari rumah sakit, Pasha berhenti di salah satu restoran. Mengingat Hana yang sudah banyak sekali muntah seharian ini, ia berpikir untuk membawa istrinya itu makan. Bagaimanapun Hana sekarang tengah mengandung, ia tidak boleh kekurangan nutrisi.Di sana ia membuat pesanan terkait makanan yang berbau ringan yang kiranya dapat dinikmati dengan nyaman oleh seorang wanita hamil. Pesanannya itu terang saja membuat seorang pelayan berpikir lama karena kebingungan harus menyarankan apa. Hingga kemudian ia berpikir untuk menyajikan sup ayam kampung. Tapi ketika semangkuk ayam kampung itu di letakkan di atas meja. Aroma sup hangat yang mengepul itu langsung membuat Hana merasa mual. Melihat itu sontak saja Pasha tak senang."Bukannya saya sudah bilang, saya ingin makanan yang dapat dinikmati dengan nyaman oleh istri saya yang sedang hamil""Maaf pak, sejauh ini yang terpikirkan di benak saya hanya sup ayam kampung ini. Saya tidak tau kalau ternyata itu membuat istri anda
Pagi harinya, Ratna sudah berpakaian dengan rapi. Ia mengenakan setelan baju formal berwarna navy dan mencoba mengenakan hijab bewarna abu-abu pemberian dari Hana. "Sayang, kamu sudah selesai?" Eman membuka pintu kamar dan melongok kedalam. Sesaat matanya berkedip terkejut mendapati istrinya yang tiba-tiba mengenakan hijab di kepalanya. Itu membungkus indah wajah tirusnya, membuat penampilan formalnya terlihat anggun dan jumawa. "Gimana menurut kamu? Lucu ya aku berhijab begini?" "Anggun." "Ya?" Eman tersadar. Ia berdeham dan dengan daun telinganya yang memerah ia berujar, "Kamu terlihat menawan dengan berhijab seperti itu." Ratna merasa begitu manis dengan pujian tersebut. Hatinya langsung merasa tergelitik melihat daun telinga suaminya yang memerah. Padahal sudah beberapa bulan, tapi terkadang Eman masih malu-malu kepadanya. "Aku sudah selesai. Yuk kita pergi." "Sekarang?" Eman bergeming beberapa saat. "Ya terus kapan lagi." Ratna tergelak kecil. Ia mengapit lengan suaminy
Setengah tahun berlalu sudah. Dalam kurun waktu tersebut Hana berusaha keras untuk membagi perannya sebagai seorang istri, ibu dan juga sebagai mahasiswa. Dalam kurun waktu tersebut juga, berkat ketekunannya dan kegigihannya, ia berhasil mengejar semua ketertinggalan nya dan menyelesaikan studinya.Meskipun ia terlambat dan tertinggal dari teman-temannya yang sudah menyandang sarjana setahun ke belakang. Tapi ia tidak menyesali keterlambatan nya. Ia berpikiran positif dan yakin semua yang terjadi pasti ada hikmahnya."Selamat Hanaaaa...." Chaca dan Miftah menyerbunya dari kanan-kiri dan memeluknya erat. Seerat persahabatan yang telah mereka jalin selama ini."Akhirnya kamu menjadi sarjana juga Han." Tukas Miftah yang terharu menatap sahabatnya yang akhirnya telah mengenakan baju toga setelah semua hal-hal berat yang dilewatinya setahun ke belakang."Walaupun kita gak wisuda bareng, tapi ritual lempar topi toga nya harus tetap dilakukan barengan." Chaca mengambil topi toga dari atas ke
Saat ia merasakan tangan panas Pasha yang besar, mulai menggerayangi perutnya dari belakang. "Syuhh" Pasha menekan jari telunjuknya di bibir Hana."K-kamu ngapain? Buat apa tangan mu di situ?"Alih-alih menjawab, Pasha merapatkan dada bidangnya ke punggung telanjang Hana. Lengan kokoh nya mengukung tubuh kecil istrinya itu dalam kuasa tubuh kekarnya.Halusnya kulit Hana yang menyentuh kulit kerasnya, membuatnya merasa nyaman.Hana menjadi gugup saat suhu panas tubuh Pasha telah menguasai tubuhnya. Ia dapat mendengar nafas berat suaminya itu yang berhembus di dekat daun telinganya."Masa nifas mu, sudah selesai sejak tiga bulan yang lalu kan?""I-iya""Apakah kiranya kamu sudah siap?" Tanya Pasha, mulutnya tepat berada didepan telinga Hana.Hana menelan saliva nya gugup, saat merasakan nafas panas Pasha berhembus melewati daun telinganya."S-sejujurnya, aku masih b-belum siap..""Kalau begitu mari bercumbu seperti ini saja" Pasha menyapu bibir padatnya ke telinga istrinya. Membuka mul
Tepat setelah malam syukuran kelahiran Daud dikediaman Arya, pada hari ketujuhnya, Pasha melakukan aqiqah Daud di kediaman Shahbaz. Ia sudah sepakat dengan Hana untuk melakukannya di sana.Pasha sudah membeli dua ekor kambing yang cukup gemuk untuk anak laki-laki pertamanya itu dengan Hana.Tanpa sepengetahuan Pasha, seorang wanita yang sudah lama sekali tidak terlihat dimatanya muncul di acara aqiqah tersebut. Wanita itu bersembunyi dan diam-diam mencuri pandang kearah Pasha bersama istrinya yang sedang menggendong Daud."Kamu yakin tidak ingin datang menjumpainya?" Tanya Shahbaz, pada mantan istrinya itu.Wanita itu tersenyum kecil menggeleng, "Melihat dari sini saja sudah cukup, akan terlalu egois bagiku jika menemuinya sekarang"Shahbaz tidak berkata apa-apa lagi."Pasha cukup pandai memilih istri" Ucap wanita itu tersenyum, "Ia cantik sekali""Iya. Dia baik dan juga penurut" Sambung Shahbaz."Cucu kita juga sangat tampan, ingin rasanya aku menggendongnya""Apa kamu menyesal karen
Malam harinya, kediaman Arya dipenuhi oleh para tamu. Ia membuat syukuran untuk kelahiran cucunya dan mengundang semua koleganya untuk datang. Shahbaz sebagai besannya, juga turut diundang bersama keluarga besar. "Di mana Pasha dan Hana? Apa sudah sampai?" Tanya Arya pada Ratna"Mereka masih dijalan Paa" Jawab Ratna yang baru saja selesai menelpon Hana.Hingga tak berapa lama menit kemudian. Pasha dan Hana sudah tiba di kediaman Arya. Kehadiran mereka pun langsung mencuri perhatian para tamu.Malam itu Hana mengenakan setelan yang serasi dengan Pasha. Di mana Pasha tampil jumawa dalam baju Koko putih dan Hana tampil anggun dalam balutan abaya putih dan pashmina bewarna senada. Awalnya ia pikir Pasha akan menyuruhnya untuk berganti dengan kerudung biasa, teringat terakhir kali di acara keluarga Pasha melakukannya. Tapi anehnya kali ini tidak. Semenjak ia hamil Daud dan terlebih setelah melahirkannya, suaminya itu memang sudah banyak berubah. Di kediaman Arya sangat ramai. Cukup bany
"Hum" Pasha menyandarkan dagunya manja di atas pundak Hana dan memperhatikan mata mungil Daud yang mulai berkedip-kedip seperti akan tertidur."Daud sepertinya mulai mengantuk""Iya, Alhamdulillah""Lantunan shalawat mu yang merdu itu benar-benar membuatnya berhenti menangis"Hana tersenyum mengangguk, "Hem" Matanya yang penuh sorot keibuan itu, dengan lembut memperhatikan sepasang mata Daud yang kini sudah terpejam."Lain kali lakukan juga padaku" Tukas Pasha.Hana tergelak kecil, "Buat apa? Kamu kan sudah besar, bukan bayi yang—"Pasha mengecup bibir Hana dan menghisapnya lama. Hana memejamkan matanya dan sesaat terbuai dengan ciuman lembut itu.Pasha perlahan melepas bibir Hana dari bibirnya, "Aku juga ingin diperlakukan seperti itu saat susah tidur" Ucap Pasha, sambil menatap manik mata hitam Hana dalam."En, aku juga akan melakukannya padamu. Bayi besar ku.." Ucap Hana sambil mencium kening Pasha gemas."Aku tidak mau di panggil bayi"Hana tertawa kecil."Tidak lucu!" Mata dingin
Sama seperti malam-malam sebelumnya, Hana tidak dapat tidur nyenyak karena sebentar-sebentar terbangun mendengar suara tangis Daud. Jika sudah seperti itu Hana akan menepuk-nepuk lembut Daud yang sudah dibedung itu dan memberikannya asi.Tapi terkadang tangis Daud tidak kunjung berhenti. Seperti yang terjadi malam ini. Hana sampai menggigit jari karena bingung harus mendiamkannya seperti apa."Haak ahak..oek..oek..""Daud..""Hak..ahaak oek..oek...""Syuhh, gantengnya mama.. kenapa nangis terus hum?""Oek..oek..""Daud saayang...""Oek..oek..""Sholatullah salamullah.." Hana pun mulai bershalawat, mencoba menenangkan Daud yang tak kunjung berhenti menangis."Oek..haak..oek.."Pasha yang tengah tertidur itu, mengerutkan keningnya. Matanya menyipit dan sedikit terbuka, "Kenapa sayang? Daud nya nangis lagi?" Ucap Pasha dengan suara sengau dan serak nya."Iya nih, padahal udah aku kasih asi tapi masih gak berhenti nangisnya"Pasha perlahan bangun dari tidurnya dan setengah menguap. Ia men
Hana tersenyum tenang menanggapi mereka semua. Jempolnya mengusap lembut pipi bayinya dan menundukkan kepalanya, ia kembali mengecup lembut bayi mungilnya itu. "Pasha, masih belum sadar?" Tanya Hana pada mereka semua.Shahbaz menghela nafas panjang, "Kata dokter Pasha mengalami syok berat karena melihat keadaan mu di ruang persalinan tadi. Dan sampai sekarang ia masih belum sadar"Hana tersenyum tipis. Ia sudah menduganya, itu pasti terjadi karena Pasha terlalu mengkhawatirkan keadaannya."Kenapa dia jadi lelaki bisa lemah sekali? Bukannya menemani istrinya sampai selesai melahirkan, tapi ia malah pingsan" Ketus Keira.Ratna langsung menyikut perut Keira, "Jangan berkata begitu. Dia bisa selemah itu juga karena hampir mati ketakutan karena merisaukan keadaan Hana"Keira hanya memasang ekspresi cemberut.Brak!Tiba-tiba terdengar suara pintu terbuka. Tampak Pasha muncul dan setengah berlari menghampiri ranjang."Hanaa" Pasha langsung memeluk Hana yang tengah berbaring di ranjang. Kepa
Tak terasa kandungan Hana sudah menginjak usia sembilan bulan. Semenjak itu pula Pasha tidak lagi membuat Hana tinggal di mansion yang jaraknya cukup jauh dalam mencapai rumah sakit di kota. Karena itulah ia membawa Hana kembali ke apartemen yang selama ini diurus dengan baik oleh Bi Titin.Saat tanggal kelahiran yang diprediksi kan oleh dokter mulai mendekat, buat jaga-jaga, Pasha langsung mengambil cuti. Hal tersebut membuat kelipatan kerja Eman sebagai sekretarisnya bertambah.Pasha pun menghabiskan harinya dengan mengurus dan menjaga Hana sedemikian rupa. Ia masih menyiapkan makanan, membuat jus dan terkadang memijit pundak dan kaki Hana yang kerapkali merasa pegal.Sedangkan urusan apartemen, piring kotor dan pakaian, bi Titin yang mengurus semuanya."Pashaa, Hana mau minum jus bayam" Pinta Hana manja. Sebulan membiasakan diri memanggil Pasha tanpa sebutan 'pak', Hana akhirnya dapat melakukannya dengan lancar.Bahkan ia berpikir untuk memanggil suaminya itu dengan 'sayang' nantiny