Hana yang sudah berhenti menangis itu, mengusap kedua pipinya yang basah dan lengket karena bekas air mata. Senyum tak berdaya memenuhi wajahnya kala memandang suaminya yang masih tampak berang di tempat."Pak Pasha.." Hana memanggil Pasha. Panggilan itu membuat Pasha menoleh dan berjalan mendatangi Hana. "Apa orang itu menyakiti mu hum?" Tanya Pasha kemudian. Tubuhnya sedikit membungkuk kearah Hana yang tengah berbaring. Hana merasa geram dengan perangai suaminya itu.Biarpun merasa agak lemah, ia tetap berusaha mengangkat tangannya dan memukul lengan suaminya.Puk!"Aduh! Kenapa kamu malah memukul saya?"Pukulan Hana tidak sakit sama sekali. Hanya mulut Pasha refleks mengeluarkan kata aduh."Habisnya pak Pasha!""Saya kenapa?" Pasha menautkan sepasang alisnya."Bicaranya gak sopan sama bapak. Sana minta maaf!""Hah?"Pasha menoleh kearah Shahbaz.Pria tua itu baru saja tersenyum bangga mendapatkan pembelaan dari menantu perempuannya."Cepatan sana.." Desak Hana."Engga" Tolak Pas
Setelah beberapa detik, malu-malu Hana melepaskan kecupannya."Berhenti mengancam saya pak, saya takut" Hana menatap Pasha dengan wajah cantiknya yang bersemu merah.Mata Pasha berkedip dan kerongkongannya tampak bergerak saat ia menelan Saliva nya berkata,"Kamu takut?""En"Pasha tersenyum dan mematuk bibir Hana lembut, "Karena itu kamu harus patuh. Mengerti?""En" Hana mengangguk pelan, matanya malu-malu menatap wajah tampan Pasha yang begitu dekat dengan wajahnya.Pasha berdiri tegak, "Saya akan menunggu diluar, kalian berdua berbincang lah dengan nyaman"Seusai mengatakan itu, Pasha mengambil langkah pergi meninggalkan ruangan.Ratna tersenyum dengan ekor mata memperhatikan punggung tegap Pasha yang sudah lenyap di sebalik pintu, "Suasana hatinya sepertinya cukup baik"Ratna berjalan mendekat, menghampiri ranjang tempat Hana berbaring. Mata Ratna tersenyum menggoda, "Hana, dari mana kamu mempelajari trik kecil ini?"Mata polos Hana berkedip bingung, "Trik kecil apa?""Kamu masih b
Apakah itu hanya perasaan Hana atau tidak. Tapi yang pasti, setelah kejadian tadi pagi itu, Hana menemukan tingkah laku Pasha yang cukup canggung di meja makan.Tangannya yang sedang memotong roti itu tampak terburu-buru seperti terusik sesuatu. Kunyahannya yang cepat seperti menyembunyikan keresahannya dan gestur tubuhnya yang kaku terlihat tegang.Ya. Hana memperhatikan segalanya.Itu adalah pertama kalinya Hana melihat seorang Pasha bisa bersikap begitu.Diam-diam Hana menahan senyum di sudut bibirnya."Pak Pasha pernah pacaran?""Huk..huk.." Pasha yang sedang minum segelas susu itu langsung tersedak mendengar lontaran pertanyaan Hana yang tiba-tiba. "Pelan-pelan pak minumnya" Hana menepuk lembut punggung Pasha.Meletakkan gelas di meja, Pasha mengambil saputangan dan menyapu bibirnya."Tidak pernah""...""Saya tidak pernah pacaran""Ohh.." Hana manggut-manggut dan mengigit roti selai strawberry nya lagi."Bagaimana denganmu?""Engga. Saya juga engga pernah" Hana menggeleng dan t
"Engga ah, Bi. Saya maluu.." Hana langsung menolak keras ide bi Titin itu. Membayangkannya saja, berhasil membuat daun telinganya memerah."Eiy, tidak perlu malu. Kan pak Pasha suaminya nyonya Hana""Iya tetap aja Bi saya maluu""Ya karena itu belajar pelan-pelan nyonya biar gak malu"Hana menghembuskan nafas berat, menggeleng. Dipikirkan bagaimanapun, ia tidak cukup berani memanggil suaminya dengan sebutan 'sayang'. "Engga ah Bi, lidah saya kayanya gak bakalan sanggup""Pft.." Bi Titin tidak dapat menahan tawanya melihat ekspresi wajah Hana."Itulah nyonya belajar dari sekarang. Di latih pelan-pelan, nanti kalau sudah terbiasa, pasti lidah nyonya tidak kaku lagi memanggil 'sayang' buat pak Pasha"Hana menjilat bibir bawahnya, "Memangnya gak ada panggilan lain ya bi selain itu?""Eum..ada. Mas, kang mas, Abang..atau yang kebarat-baratan yang gaya anak zaman sekarang itu tu, hab-hab..""Hab-hab?""Bukan. Bibi lupa. Pokoknya hab-hab gitu""Maksud bi Titin hubby?""Ah, iya itu. Habbi"H
"Ada apa nyonya?" Bi Titin yang mendapati itu langsung meninggalkan pekerjaannya dan berlari menghampiri Hana."Ugh""Woek"Hana muntah lagi dan terus muntah.Bi Titin menggosok punggung Hana dengan cemas, "Aduh, kenapa bisa muntah-muntah gini Nya? Padahal kan tadi nyonya baik-baik aja"Hana menggeleng lemah, "Hana juga gak tau kenapa bi" Hana menyalakan kran air, membilas bersih mulutnya. Lalu menutupnya kembali."Apa jangan-jangan nyonya masuk angin ya?""Engga tau bi, tadi tiba-tiba aja Hana mual pas nyium aroma tumisan bumbu asam manisnya"Bi Titin menatap Hana prihatin, "Yaudah, kalau gitu nyonya istirahat aja ya di kamar. Biar bi Titin yang lanjutin semuanya""Tapi bi, saya kan—""Kan nyonya udah masak sebagian. Lagipula jika pak Pasha tau nyonya masak sampai muntah-muntah gini, bisa-bisa saya yang dimarahi"Hana diam sejenak."Nyonya tau sendiri kan pak Pasha gimana? Jadi dengerin bibi ya.."Hana akhirnya menurut dan pergi beristirahat di kamar.__••__"Jadi, pak Pasha gak jad
Tepat pukul sepuluh malam Pasha sudah tiba di vila yang terletak di pesisir pantai itu. Tempat di mana ia menyembunyikan permata nya yang berharga dari dunia luar.Di bawah sinar rembulan, Pasha berjalan di atas hamparan pasir sambil memandangi pesan di ponselnya yang sudah beberapa jam lalu ia kirim.'Saya akan ke sana malam ini'Keningnya sedikit mengeryit tak senang, "Dia tak membalas pesan ku?"Kesal Pasha memasukkan ponselnya ke dalam saku jas nya dan dengan langkah kaki panjangnya ia berjalan cepat menaiki tiap anak tangga teras dan berdiri di depan pintu. Pasha meletakkan koper dan mengeluarkan kunci dari sakunya. Ia pun membuka pintu dan keheningan menyambutnya. Bi Titin baru saja kembali dari dapur setelah bersih-bersih. Ia terkejut dengan kemunculan Pasha di ruang tengah."Pak Pasha akhirnya datang" Seru bi Titin sambil berlari senang menghampiri tuannya itu."Ya ampun pak, kemana aja sih pak? Sayang nyonya Hana nungguin bapak dari kemarin. Tapi bapak gak pulang-pulang. Ka
Tepat pukul delapan pagi, bi Titin sudah menyiapkan sarapan di atas meja. Pasha turun ke lantai bawah bersama Hana yang masih tidak banyak bicara. Sikap Hana yang seperti itu membuat Pasha agak tidak puas. Ia menginginkan Hana yang penuh senyum dan bersikap manis kepadanya seperti seminggu yang lalu.Tapi Hana hanya terus diam dan bersikap begitu jauh kearahnya. Setiba di ruang makan. Keduanya menarik kursi dan duduk bersebrangan.Pasha melirik sekilas kearah Hana. Tampak istrinya itu hanya menunduk, menatap bawah meja."Ekhem" Pasha berdeham.Baru saat itulah Hana mengangkat kepalanya dan melempar pandangan kearah Pasha. Tubuh Hana langsung menciut tatkala merasakan tatapan tajam suaminya itu."Pagi ini bi Titin buat sup ayam kampung untuk Nyonya Hana" Bi Titin datang memecah keheningan antar keduanya. Semangkuk sup ayam kampung hangat yang masih mengepulkan asap, ia letakkan di hadapan Hana.Detik itu Hana sedikit menghela nafas lega."Hem, aroma nya enak Bi" Hana mengangkat kepala
Setelah beberapa menit mengatur nafasnya normal kembali, Hana kembali mencium Pasha. Gerakan mulutnya yang maju mundur menekan lembut pipi suaminya itupun masih cepat seperti tadi, tak lupa dengan hatinya yang terus menghitung, 'Dua puluh satu, dua puluh dua, dua puluh tiga...' Pasha lanjut memejamkan mata, cukup menikmatinya. Bibir kecil Hana yang terus-menerus menabrak lembut pipinya itu, rasanya bagai menerima tekanan dari marshmallow manis yang empuk."Ugh"Pasha seketika membuka matanya. Hana langsung membekap mulutnya rapat, 'Kenapa tiba-tiba aku mual lagi?'"Ugh"Sepasang alis Pasha bertaut, "Asam lambung kamu kambuh lagi?""Engga tau pak, entah kenapa tiba-tiba—ugh" Merasakan gejolak asam yang hampir keluar dari kerongkongan nya, Hana seketika bangun dari pangkuan Pasha dan berlari ke kamar mandi.Pasha pun berdiri, turut mengikuti Hana ke kamar mandi. Tepat di depan pintu, ia mendengar suara muntah-muntah istrinya itu yang semakin menjadi-jadi.Tak berapa lama kemudian, Han