Pertama Eman dan sekarang bi Titin. Pasha mendapati pikirannya semakin kacau mengenangkan nasehat dua orang itu. Tapi memikirkan betapa ia tidak ingin kehilangan Hana..."Aku akan tetap melakukannya"Selama Hana akan selalu disisinya. Maka selama itu pula Pasha bertekad untuk terus membuatnya terkurung dalam sangkar indah yang telah disiapkannya.Menjelang siang, Hana masih mengurung diri dalam kamar. Pasha tak hentinya menggedor pintu agar Hana keluar.Tapi keheningan yang menyambutnya.Tok..tok.."Hana buka pintunya"Tok..tok.."Hana, kalau kamu tidak buka pintunya, maka akan saya dobrak"Tok..tok.."Han—"Pintu ditarik terbuka. Telah berdiri Hana di depan sana dengan wajah pucat dan bibir keringnya yang pasi."Bapak masih disini?" Menanyakan pertanyaan itu, tatapan Hana terlihat kosong."Saya kira bapak sudah kembali" Hana memutar langkahnya, berjalan perlahan mendatangi ranjang dan duduk diam seperti yang dilakukan sebelumnya.Pasha yang masih berdiri di luar pintu, menoleh pada b
Makan siang sudah disiapkan di paviliun yang menghadap tepat kearah pantai. Berbagai jenis masakan lezat yang disiapkan sendiri oleh Bi Titin sudah terhidang rapi di atas meja.Pasha dan Hana sama-sama makan dalam keheningan.Debur ombak dan angin pantai datang bergiliran menemani momentum makan siang pasutri itu.Hana yang tengah mengunyah makanan itu, sesekali mencuri pandang kearah Pasha. Ia ingin sekali mengatakan sesuatu pada suaminya itu.Pasha yang beberapa kali menangkap tatapannya, tau kalau Hana ingin mengatakan sesuatu padanya. "Ada apa?"Hana menjilat bibir bawahnya gugup. melirik Pasha sekilas. Memikirkan kejadian di kamar tadi, Hana memberanikan diri untuk mengatakan keinginannya."Pak Pasha""En?" Tampak Pasha yang sedang mengunyah makanan itu menatap lurus kearah Hana."S-saya mau pulang ke kota Z. Bolehkan pak?"Pasha mengambil segelas air dan meminumnya sedikit. Ia menghela nafas berat, "Kedepannya ini akan menjadi rumahmu"Mata Hana terbelalak lebar."Jadi jangan
Pasha menarik wajahnya menjauh. Matanya melihat bibir bawah Hana yang sudah berdarah. Suara isak tangis Hana terdengar menyedihkan. Tubuh kurus itu masih bergetar ketakutan dibawahnya.Lembut jempol Pasha menghapus darah yang ada di bibir Hana."Sekarang kamu masih bersikeras tidak mau makan?"Pasha tidak berniat melakukan lebih jauh. Ia sengaja berbuat seperti itu hanya untuk menakuti Hana.Hana hanya menangis sesenggukan sebagai jawaban."Jawab saya Hana" Pasha menarik dagu kecil Hana, membuat wajah istrinya itu fokus tertuju kearahnya."Masih tidak mau makan?""Hiks..engga" Hana menggeleng. Matanya yang basah menatap Pasha nanar, "Yang saya mau pulang..""Saya mau pulang""Pokoknya saya mau pulang huwaa.." Tangisan Hana menjadi keras.Mengepalkan tangannya, sepasang mata Pasha yang dingin sudah menggelap tersulut oleh amarah."Saya mau pulang..hiks..""Saya mau emp—"Sekali lagi Pasha menekan bibir Hana dan menciumnya keras dan marah.Ia marah karena Hana yang terus menolak makan da
"Jika anda ingin yang terbaik untuk istri anda. Berhenti bersikap egois dan bawa ia ke rumah sakit sekarang"Selesai mengatakan itu, dokter wanita itu langsung bersiap-siap untuk pergi meninggalkan vila.Tapi sebelum itu, ia berbalik menatap Pasha, "Apa anda masih tetap dengan pemikiran anda?"Pasha diam."Istri anda bisa saja mati jika anda terlalu lama berpikir" Dokter wanita itu sengaja mengatakan sesuatu yang dapat mengancam Pasha.Cemas dan takut. Pasha tidak punya pilihan lain. Ia pun menggendong Hana dan kembali bersama dengan dokter wanita itu ke kota Z.Karena tidak ada kendaraan, mereka berjalan kaki ke bandara yang memang ada di pulau terpencil itu.Sekalipun pulau itu tak berpenghuni, tapi sebagai tempat destinasi, maka bandara pun di bangun di pulau itu.Dokter wanita itu berjalan laju di depan dan dibelakangnya ada Pasha yang sedang menggendong Hana. Karena tubuh wanita itu telah kehilangan begitu banyak berat badan, Pasha merasa seperti sedang menggendong bantal guling.
"Kau sudah bangun?" Pasha terjaga dari tidurnya dan senyum bahagia langsung saja terpancar saat melihat sepasang mata Hana sudah terbuka. Pasha beranjak dari tempat duduknya dan nyaris saja terhuyung jatuh karena saking semangatnya ia menghampiri Hana. Hana membuka mulutnya, ingin mengatakan hati-hati. Tapi mengingat apa yang telah dilakukan Pasha malam itu padanya. Hatinya kembali menjadi sakit dan enggan mengatakan apapun. "Ah, akhirnya kau sudah sadar" Senyum merekah ruah di wajah tampan Pasha. Berkali-kali helaan nafas lega keluar dari mulutnya. Hana hanya memandangi itu tanpa ekspresi khusus di wajahnya. Saat itu terdengar ketukan di pintu dan seorang perawat masuk mendorong kereta makanan. "Sudah saatnya anda sarapan.." Perawat itu tersenyum mengangguk pada Hana. Kemudian ia meletakkan mangkuk bubur, telur rebus dan sebotol air mineral di atas meja samping ranjang. "Kalau begitu saya permisi" Pasha hanya mengangguk dan perawat itupun pergi meninggalkan ruangan. "Ayo sar
Hana sudah lama menatap selang infus yang tertusuk di punggung tangan kirinya sambil memikirkan antara mencabutnya atau tidak.Jika mencabutnya, ia dapat diam-diam pergi meninggalkan ruangan dan kabur dari rumah sakit. Tapi jika Pasha mengetahuinya, suaminya itu pasti akan marah besar lebih dari yang terakhir kali.Namun jika hanya tetap berbaring pasrah sambil menunggu Pasha datang. Pasti suaminya itu akan memboyongnya kembali ke pulau terpencil itu.Hana menghela nafas berat. Matanya menatap sendu langit-langit rumah sakit, "Aku tidak mengira.."Pangkal hidungnya terasa asam, "Pernikahan ini benar-benar merenggut semua kebebasan ku"Memikirkan kuliahnya yang belum selesai, merindukan berkumpul bersama Chaca dan Miftah sepulang kampus seperti dulu atau menemani kakak keduanya shopping di mall.Dada Hana merasa sesak dan pahit, mengenang ia tidak dapat melaksanakannya lagi.Tiba-tiba ia mendengar suara pintu di dorong terbuka. Ia mengira Pasha baru saja kembali. Tetapi ia terkejut men
"Sebenarnya ini cerita yang lumayan panjang, kamu tertarik mendengarnya?"Hana menggangguk.Shahbaz pun menceritakan kisah bagaimana Pasha kecil ditinggal kan oleh ibunya. Yang berawal dari kisahnya yang memutuskan untuk menceraikan istrinya. Membiarkan istrinya pergi menemukan kebahagiaan yang diinginkannya. Karena tidak ada kebahagiaan yang wanita itu dapatkan dalam pernikahan mereka. "Bagaimanapun kami menikah karena pernikahan politik. Sekalipun setelah menikah aku jatuh cinta padanya, tapi ternyata istri ku tidak""Setahun berlalu, hingga kami memiliki putra pertama kami. Aku pikir, kedepannya kami akan hidup dengan bahagia setelah memiliki anak. Tapi ternyata, istri ku makin hari menjadi semakin depresi. Itu terjadi, karena dia lelah berpura-pura..""Dia selalu berusaha keras tiap harinya, untuk menunjukkan penampilan terbaiknya sebagai istri yang penuh kasih kepada suaminya di hadapan orang-orang. Baik di pertemuan bisnis, publik dan bahkan keluarga""Terlebih setelah kami mem
Hana yang sudah berhenti menangis itu, mengusap kedua pipinya yang basah dan lengket karena bekas air mata. Senyum tak berdaya memenuhi wajahnya kala memandang suaminya yang masih tampak berang di tempat."Pak Pasha.." Hana memanggil Pasha. Panggilan itu membuat Pasha menoleh dan berjalan mendatangi Hana. "Apa orang itu menyakiti mu hum?" Tanya Pasha kemudian. Tubuhnya sedikit membungkuk kearah Hana yang tengah berbaring. Hana merasa geram dengan perangai suaminya itu.Biarpun merasa agak lemah, ia tetap berusaha mengangkat tangannya dan memukul lengan suaminya.Puk!"Aduh! Kenapa kamu malah memukul saya?"Pukulan Hana tidak sakit sama sekali. Hanya mulut Pasha refleks mengeluarkan kata aduh."Habisnya pak Pasha!""Saya kenapa?" Pasha menautkan sepasang alisnya."Bicaranya gak sopan sama bapak. Sana minta maaf!""Hah?"Pasha menoleh kearah Shahbaz.Pria tua itu baru saja tersenyum bangga mendapatkan pembelaan dari menantu perempuannya."Cepatan sana.." Desak Hana."Engga" Tolak Pas