Rafael mengangkat sebelah sudut bibirnya ke atas, "Jadi begitu kelakuanmu di belakangku?" Delia tak mengerti maksud Rafael, wajah pria itu berubah menjadi dingin padahal tadi di depan Andrew dan Bara seolah-olah dia suami terbaik untuk Delia. Bahkan Rafael juga sempat menggandeng tangan Delia saat mereka pamit untuk pulang lebih dulu, sampai-sampai Andrew percaya bahwa kehidupan Delia bersama Rafael adalah kehidupan yang diinginkan semua orang. Hidup bahagia dan saling mencintai."Maaf aku sempat meragukan Rafael," bisik Andrew ketika Delia hendak berdiri tadi. Yang hanya Delia respon dengan senyuman tipis. Andrew tidak tau saja liciknya Rafael seperti apa, itu hanya topeng. Sekarang semua orang percaya bahwa Delia merupakan wanita terbahagia sejak menjadi istri Rafael. Baiklah, Delia akan mengikuti semua permainan Rafael. Delia yakin jika sesuatu hal diawali dengan keburukan, maka hal itu tidak akan bertahan lama. Percayalah."Wanita murahan!" desisnya tajam.Tidak ada jawaban dari
Delia terkapar di dalam kamar mandi yang penuh darah, setelah pagi tadi ia mendapat tamparan dan jambakan dari Rafael. Karena laki-laki itu tidak terima ketika Delia menceritakan bahwa dirinya telah dipermainkan oleh mendiang Renata. Delia menceritakan bahwa sebenarnya Renata tidak mencintai Rafael, diam-diam gadis itu menjalin hubungan di belakang Rafael dengan Tristan -seorang kapten basket di sekolahnya dulu. Terpaksa ia membuka rahasia yang selama ini Delia pendam, saat jam istirahat Delia hendak pergi ke uks dan tidak sengaja ia melihat Renata sedang berciuman dengan Tristan. Delia kaget hingga menjatuhkan buku dan bolpoinnya. Mendengar itu Renata dan Rafael menyudahi aktifitasnya, kemudian Renata mengajak Delia keluar area sekolah. Renata mengancam Delia bahkan hendak mendorong Delia ke tengah jalan raya, tapi karena Delia mundur alhasil Renata yang jatuh dan tertabrak mobil dari arah belakang hingga menyebabkan wanita itu tewas. Namun kejujuran yang Delia ucapkan tidak membu
Sorenya Anna mengajak Gerald pergi bertemu Gisela. "Anna!" Gisela melambaikan tangannya saat melihat Anna sedang mengandeng bocah laki-laki. Anna langsung berjalan menghampirinya, "Apa sudah lama?" Gisela menggeleng, "Tidak. Baru saja aku sampai." Ia melirik Gerald, "Apakah dia Gerald anakmu?" Anna mengangguk antusias, "Ya dia Gerlad." "Gerald kenalkan ini adalah Aunty Gisela, yang nanti akan mengajar Gerald di sekolah," ujar Anna mengenalkan Gisela kepada Gerald. Gerald mengulurkan tangannya, "Gerald Aunty." Gisela menerima uluran tangan Gerald, "Halo Gerald." Kemudian ia mengusap pucuk kepala Gerald. "Sepertinya Gerald tidak nyaman," bisik Gisela. "Iya Gerald belum terbiasa di tempat ramai seperti ini Gis," "Pesankan Gerald makanan An, aku kasian melihatnya," Gerald memang tidak pernah pergi ke tempat seperti ini, jadi ia tidak terbiasa dengan banyak orang. Biasanya Gerald hanya diam seorang diri di kamar sempit nan gelap itu, "Tenang Sayang, ada mommy di
Delia Anastasya menghembuskan nafasnya pelan menatap pantulan dirinya di cermin.Gaun putih panjang melekat di tubuh proporsionalnya membuat penampilannya malam ini begitu cantik. Hanya saja, semua terasa percuma karena Rafael Ardinata–calon suaminya–justru enggan menatap Delia.Bahkan sebelum acara, Rafael mencekal tangannya keras untuk menunjukkan kebenciannya pada dirinya karena mengira perjodohan keduanya akibat permintaan Delia. Padahal, dirinya pun tak kuasa akan pernikahan itu.Delia tak berani mengecewakan orang tuanya.CEKREK!Terdengar suara pintu terbuka.Delia sontak menoleh dan menemukan sang ibunda, dalam balutan kebaya berwarna caramel yang sengaja dipilih bersama calon ibu mertuanya."Del, sebentar lagi kamu keluar, ya," ucap sang ibu cepat, “Rafael sudah selesai mengucapkan ijab kabul.”Delia pun mengangguk–menahan degupan jantung yang semakin menggila.Tak sengaja, ia melirik tangannya yang terdapat sebuah goresan luka dari Rafael.Dengan cepat, ditariknya lengan gau
"Ugh!"Silau cahaya dan suara kendaraan membuat Delia terbangun. Ia melirik sekitar dan menemukan dirinya di kursi besi. "Ya Tuhan, jadi semalam aku tidur di sini?"Semalam, ia berbohong pada Andrew dan mengatakan bahwa Rafael memperlakukannya dengan baik. Tak mungkin bukan ia mengatakan bahwa terusir dari kamar pengantinnya sendiri, kan? Bisa-bisa, keluarga besarnya akan ribut.Delia menghela nafas berat. Diputuskannya kembali ke hotel.Ia akan mengambil beberapa barang lalu pulang ke rumah orang tuanya.Toh, tidak ada gunanya bagi Delia untuk tetap di sana. Lebih baik, perempuan itu bekerja.Namun, ketika Delia tiba di pintu kamar bernomor 107 itu, ia justru terdiam.Berulang kali, dia menarik nafas–menguatkan diri sebelum membuka pintu dengan sangat pelan."Kau dari mana saja?" sinis Rafael dengan wajah mengantuk. Pria itu bahkan masih bertelanjang dada.Delia tertegun. Tanpa sadar, matanya memperhatikan kondisi kamar hotel yang sangatlah berantakan. Terdapat banyak botol minum di
Setelah berhasil menenangkan diri, Delia sibuk membereskan kekacauan yang dibuat oleh Rafael dan Gladis selama satu setengah jam.Ia pun menghempaskan diri ke sofa sembari menyeka keringat yang turun di keningnya.Delia cukup lega menyelesaikan apa yang diperintah Rafael. Ia juga sudah memasak sesuai perintah keduanya.Namun, baru lima menit Delia merasakan damainya hidup, tiba-tiba Gladis bangun.Wanita kejam itu berjalan dengan angkuh menuju kitchen set. Dan tak lama, Rafael ikut menyusulnya.Delia memilih beranjak dari sofa kemudian berjalan ke kamar mandi."Huh makanan apa ini!"Delia mendengar suara Gladis yang seolah mencemoohnya, tapi kali ini Delia tidak peduli. Ia sudah lelah dengan pasangan gila itu."Makanan sampah!" ujarnya lagi."Aku tidak mau makan masakan istrimu, bagaimana kalau kita makan di bawah saja?" rengeknya sambil mengayun-ayunkan tangan Rafael."Ya, aku juga tidak sudi menyentuh masakannya."Delia tidak tuli. Namun, ia tidak bisa melakukan apa-apa, selain mere
Rafael meleparkan sebuah kunci kepada Delia, "Itu kunci kamarmu!""Jadi di mana kamarku?""Kamar pembantu!"Delia hanya mengangguk lalu pergi dari hadapannya. Ia berjalan ke belakang dengan gontai.Seolah tidak ada tenaga untuk menjawab Rafael.Instingnya membawa perempuan tersebut ke sebuah ruangan ber cat putih dengan ukuran yang tidak begitu luas.Ia sama sekali tidak keberatan berada di kamar itu.Jaraknya cukup jauh dari kamar Rafael, sehingga ia tidak akan melihat ketika suaminya membawa perempuan lain lagi.Delia merebahkan dirinya di sana, untung saja tadi Andrew tidak mendengar kala Rafael membentaknya. Meski dari raut wajahnya terlihat sedikit ketidakpercayaan saat ia mengatakan bahwa semua aman.Kruk..."Astaga! Ini bunyi perutku?" Ia menepuk perutnya yang rata. "Apa kau lapar hum? Aku lupa tidak memberimu makan ya?"Akhir-akhir ini dia sering lupa, jika belum memasukkan apapun di dalam perutnya. Dari pagi hingga petang, tidak ia rasakan.Mungkin terlalu banyak hal berisik
Delia kini tengah duduk di depan jendela kamar. Keadaannya jauh dari kata baik-baik saja.Jika tidak ada Bara–teman Andrew–, mungkin ia masih menangis seperti wanita gila di pinggir jalan.Kini ada satu lagi koleksi luka Delia, kali ini ia melakukannya hingga tiga kali.Tak ada lagi tangisan meraung-raung, ia cukup bisa mengontrol dirinya setelah membuat luka yang kesekian kalinya.Delia menatap nanar ke arah jendela, rambutnya kusut dan tidak ada kegiatan yang ia lakukan selain duduk merenung.Mungkin besok ia akan pergi ke Dokter Rania, dokter yang biasa menangani Delia.Sudah lama ia tidak mengkonsumsi obat, namun kali ini jika ia biarkan semakin lama Delia takut akan semakin parah.Rafael tak pernah tau setelah kejadian tujuh tahun yang lalu, Delia pernah lebih parah dari malam ini.Beberapa kali Delia mencoba bunuh diri untungnya selalu digagalkan oleh kedua orang tuanya.Rafael tidak pernah tau sehancur apa mentalnya atas tuduhan yang tidak pernah Delia lakukan.Ia juga tidak ta