Delia Anastasya menghembuskan nafasnya pelan menatap pantulan dirinya di cermin.
Gaun putih panjang melekat di tubuh proporsionalnya membuat penampilannya malam ini begitu cantik. Hanya saja, semua terasa percuma karena Rafael Ardinata–calon suaminya–justru enggan menatap Delia.Bahkan sebelum acara, Rafael mencekal tangannya keras untuk menunjukkan kebenciannya pada dirinya karena mengira perjodohan keduanya akibat permintaan Delia. Padahal, dirinya pun tak kuasa akan pernikahan itu.Delia tak berani mengecewakan orang tuanya.CEKREK!Terdengar suara pintu terbuka.Delia sontak menoleh dan menemukan sang ibunda, dalam balutan kebaya berwarna caramel yang sengaja dipilih bersama calon ibu mertuanya."Del, sebentar lagi kamu keluar, ya," ucap sang ibu cepat, “Rafael sudah selesai mengucapkan ijab kabul.”Delia pun mengangguk–menahan degupan jantung yang semakin menggila.Tak sengaja, ia melirik tangannya yang terdapat sebuah goresan luka dari Rafael.Dengan cepat, ditariknya lengan gaunnya yang cukup panjang, sehingga luka itu dapat ditutupi meski terasa perih.Delia menarik napas sebelum melangkahkan kaki menuju tempat akad berlangsung. “Aku pasti bisa.”*****"Sah!"Terdengar gemuruh suara para tamu undangan–menandakan Delia kini resmi menjadi istri dari Rafael Ardinata.Pertanyaannya, mampukah dirinya menjalani hari-hari setelah ini?Dengan langkah gontai, Delia berjalan berpegangan erat pada lengan Mona, seakan meminta kekuatan.Terlebih, saat ia menyadari Rafael hanya menatapnya datar di depan sana.Tanpa sadar, tubuh Delia gemetar kala pria itu mendekatkan kepala ke telinganya, "Bagaimana? Semua sudah berjalan sesuai rencanamu, kan?" sinisnya.Delia yang sejak tadi menunduk, menoleh sebentar.Sejujurnya, ia tak tahu harus berbuat apa menghadapi pria yang sejak dulu dicintainya ini.Delia akui, tujuh tahun yang lalu, ia sangat labil dan menghalalkan segala cara untuk mendapatkan Rafael seutuhnya, hingga tak sengaja terlibat dengan kecelakaan yang membuat kekasih pria itu meninggal. Tapi, Delia tak pernah berniat melakukannya. Kekasih Rafael lah yang mengajaknya bertengkar di pinggir jalan, hingga tertabrak ….Sayangnya, Rafael tak pernah mau mendengarkannya. Delia bahkan sampai menjauh dan trauma karena disalahkan begitu banyak orang. Namun, takdir mempermainkannya ….Entah bagaimana, keduanya justru dijodohkan dan berakhir di pelaminan seperti ini.Namun, tindakan Delia justru diterjemahkan lain oleh pria di hadapannya. "Kau tuli atau bisu?" desisnya tajam."Cukup Raf," lirih Delia. "Aku sedang tidak ada tenaga jika harus berdebat, aku lelah.""Ck!” Rafael berdecih. “Wanita banyak drama macam kamu yang semua keinginannya harus terpenuhi, bisa lelah juga ternyata?"“Kamu–”Tanpa menunggu ucapannya, Rafael justru pergi entah ke mana.Delia sontak menghela nafas pelan–berusaha untuk tetap tersenyum di hadapan tamu.Hanya saja, setelah semua keluarga besar telah pulang, Rafael tetap tidak terlihat di mana pun.Padahal, malam ini, orang tua Rafael sudah memesankan sebuah kamar hotel untuk pasangan baru itu menginap.Dengan langkah berat dan menunjukkan bahwa ia baik-baik saja, Delia menuju kamar itu seorang diri.“Hah,” lenguhnya lelah.Perempuan itu memutuskan menuju kamar mandi–hendak mengganti gaun pernikahannya itu dengan baju rumahan biasa.Namun, baru saja ia membuka resletingnya, ia mendengar suara pintu terbuka.Segera, Delia menaikkan kembali gaunnya."Raf, apakah itu kamu?" tanyanya.Hanya saja, tidak ada jawaban sama sekali.Delia sontak keluar untuk memastikan apakah benar itu Rafael. Namun, ia justru terkejut menemukan pemandangan di depannya.Suaminya itu tampak melirik Delia sebentar sebelum mencium wanita sexy yang tak dikenalnya sama sekali.Tubuh perempuan itu gemetar. "Siapa dia, Raf?""Ini Gladis,” jawab Rafael tampak bangga memperkenalkan wanita di sampingnya, “kekasihku!”Mendengar itu, Delia tertegun. Matanya tak lepas menatap suami dan wanita tersebut yang saling bermesraan di depannya."Hei, kau!" tunjuk wanita bernama Gladis itu mendadak ke arah Delia. "Untuk apa kau masih berdiri di situ? Keluarlah, aku ingin bersenang-senang dengan kekasihku!"Deg!Seorang istri terusir oleh kekasih dari suaminya sendiri? Delia pikir ini hanya akan terjadi di sinetron yang biasa Bibi di rumahnya tonton. Tapi, ternyata, ia juga mengalaminya…?Hati Delia terluka. Tetapi, alih-alih menunjukkan amarahnya atas perbuatan Rafael, perempuan itu justru menghela napas, sebelum berkata, "Ya aku akan keluar."Ia segera keluar dari kamar hotel tersebut meski tak tahu harus ke mana.Yang Delia bisa lakukan hanyalah berjalan menyusuri lorong guna keluar dari bangunan megah tersebut. Drrt!Ponsel Delia berbunyi.Segera, wanita itu mengambil dan membukanya. Ternyata, itu sang sepupu yang juga atasannya di kantor.“Delia, kau sedang di mana?” ucapnya dengan khawatir, “Suamimu itu tak macam-macam denganmu, kan?”
"Ugh!"Silau cahaya dan suara kendaraan membuat Delia terbangun. Ia melirik sekitar dan menemukan dirinya di kursi besi. "Ya Tuhan, jadi semalam aku tidur di sini?"Semalam, ia berbohong pada Andrew dan mengatakan bahwa Rafael memperlakukannya dengan baik. Tak mungkin bukan ia mengatakan bahwa terusir dari kamar pengantinnya sendiri, kan? Bisa-bisa, keluarga besarnya akan ribut.Delia menghela nafas berat. Diputuskannya kembali ke hotel.Ia akan mengambil beberapa barang lalu pulang ke rumah orang tuanya.Toh, tidak ada gunanya bagi Delia untuk tetap di sana. Lebih baik, perempuan itu bekerja.Namun, ketika Delia tiba di pintu kamar bernomor 107 itu, ia justru terdiam.Berulang kali, dia menarik nafas–menguatkan diri sebelum membuka pintu dengan sangat pelan."Kau dari mana saja?" sinis Rafael dengan wajah mengantuk. Pria itu bahkan masih bertelanjang dada.Delia tertegun. Tanpa sadar, matanya memperhatikan kondisi kamar hotel yang sangatlah berantakan. Terdapat banyak botol minum di
Setelah berhasil menenangkan diri, Delia sibuk membereskan kekacauan yang dibuat oleh Rafael dan Gladis selama satu setengah jam.Ia pun menghempaskan diri ke sofa sembari menyeka keringat yang turun di keningnya.Delia cukup lega menyelesaikan apa yang diperintah Rafael. Ia juga sudah memasak sesuai perintah keduanya.Namun, baru lima menit Delia merasakan damainya hidup, tiba-tiba Gladis bangun.Wanita kejam itu berjalan dengan angkuh menuju kitchen set. Dan tak lama, Rafael ikut menyusulnya.Delia memilih beranjak dari sofa kemudian berjalan ke kamar mandi."Huh makanan apa ini!"Delia mendengar suara Gladis yang seolah mencemoohnya, tapi kali ini Delia tidak peduli. Ia sudah lelah dengan pasangan gila itu."Makanan sampah!" ujarnya lagi."Aku tidak mau makan masakan istrimu, bagaimana kalau kita makan di bawah saja?" rengeknya sambil mengayun-ayunkan tangan Rafael."Ya, aku juga tidak sudi menyentuh masakannya."Delia tidak tuli. Namun, ia tidak bisa melakukan apa-apa, selain mere
Rafael meleparkan sebuah kunci kepada Delia, "Itu kunci kamarmu!""Jadi di mana kamarku?""Kamar pembantu!"Delia hanya mengangguk lalu pergi dari hadapannya. Ia berjalan ke belakang dengan gontai.Seolah tidak ada tenaga untuk menjawab Rafael.Instingnya membawa perempuan tersebut ke sebuah ruangan ber cat putih dengan ukuran yang tidak begitu luas.Ia sama sekali tidak keberatan berada di kamar itu.Jaraknya cukup jauh dari kamar Rafael, sehingga ia tidak akan melihat ketika suaminya membawa perempuan lain lagi.Delia merebahkan dirinya di sana, untung saja tadi Andrew tidak mendengar kala Rafael membentaknya. Meski dari raut wajahnya terlihat sedikit ketidakpercayaan saat ia mengatakan bahwa semua aman.Kruk..."Astaga! Ini bunyi perutku?" Ia menepuk perutnya yang rata. "Apa kau lapar hum? Aku lupa tidak memberimu makan ya?"Akhir-akhir ini dia sering lupa, jika belum memasukkan apapun di dalam perutnya. Dari pagi hingga petang, tidak ia rasakan.Mungkin terlalu banyak hal berisik
Delia kini tengah duduk di depan jendela kamar. Keadaannya jauh dari kata baik-baik saja.Jika tidak ada Bara–teman Andrew–, mungkin ia masih menangis seperti wanita gila di pinggir jalan.Kini ada satu lagi koleksi luka Delia, kali ini ia melakukannya hingga tiga kali.Tak ada lagi tangisan meraung-raung, ia cukup bisa mengontrol dirinya setelah membuat luka yang kesekian kalinya.Delia menatap nanar ke arah jendela, rambutnya kusut dan tidak ada kegiatan yang ia lakukan selain duduk merenung.Mungkin besok ia akan pergi ke Dokter Rania, dokter yang biasa menangani Delia.Sudah lama ia tidak mengkonsumsi obat, namun kali ini jika ia biarkan semakin lama Delia takut akan semakin parah.Rafael tak pernah tau setelah kejadian tujuh tahun yang lalu, Delia pernah lebih parah dari malam ini.Beberapa kali Delia mencoba bunuh diri untungnya selalu digagalkan oleh kedua orang tuanya.Rafael tidak pernah tau sehancur apa mentalnya atas tuduhan yang tidak pernah Delia lakukan.Ia juga tidak ta
Semalam Rafael tidak pulang ke rumah. Delia cukup merasa lega. Setidaknya, ia bisa sedikit lebih bebas.Pagi ini, ia juga berniat pergi ke kantor. Bertemu banyak orang mungkin bisa mengurangi beban pikiran yang ditanggungnya.Setelan kemeja berwarna coklat ia padukan dengan rok span selutut, blazernya sengaja tidak Delia kenakan hanya wanita itu sampirkan.Ia menarik nafasnya panjang lalu ia hembuskan perlahan, "Aku percaya hari ini akan berjalan dengan baik." ucapnya sembari mengenakan heels berwarna putih.Delia mengambil tas kerjanya lalu bersiap berangkat. Namun, bertepatan saat ia membuka pintu Rafael datang.Matanya menatap Delia sayu, penampilannya juga jauh berantakan. Bahkan membuat Delia terpengarah dengan keadaan Rafael."Raf, apa kamu baik-baik saja?" tanyanya khawatir.Ia mencoba memegang lengan Rafael tetapi pria itu langsung menepisnya kasar."Jauhkan tanganmu dari tubuhku!"Rafael berusaha berjalan namun karena kepalanya pusing, ia ambruk ke pelukan Delia."Astaga!"
Sudah dua hari Delia tidak keluar kamar, wajahnya pucat dan tubuhnya mulai melemah. Ia menangis setiap hari, bahkan sejak hari itu ia membenci tubuhnya.Ini jauh lebih hancur ketika semua orang menuduhnya pembunuh. Tidak ada yang bisa menolong Delia sekarang, jika dia mati pun mungkin jenazahnya akan ditemukan satu minggu kemudian.Suara pintu digedor keras, Delia yang awalnya sedang menutup mata reflek membuka mata mendengar gedoran tak sabar dari seseorang."Kau keluarlah!" teriakannya memekakkan telinga Delia.Untuk bangkit dan berjalan saja, Delia tidak memiliki tenaga."Kau benar-benar ya! Apa sebenarnya yang kau mau hah!" murka Rafael. "Dasar beban!"Ceklek!Delia memunculkan wajahnya di balik pintu, sebisa mungkin ia menutupi keadaan kamarnya yang begitu berantakan."Ada apa Raf?""Oh jadi ini kerjaanmu! Berleha-leha layaknya ratu!" gertaknya dengan rahang mengeras. "Kau bukan permaisuri di sini.""Maafkan aku Raf. Aku sedang tidak enak badan," sahut Delia lemas, ia sengaja tid
Selang satu minggu setelah perdebatan mereka terakhir, Delia jauh lebih banyak diam. Ia tak lagi menjawab Rafael dengan suaranya yang terdengar rapuh. Entah apa yang akan Delia rencakan, yang pasti sekarang wanita tersebut memilih diam."Delia! Cepat kau bukakan pintu untuk Gladis!" teriakan menggelegar dari Rafael membuat Delia yang berada di dalam kamar langsung berdiri dan tanpa membantah membukakan pintu apartemen, sesuai perintahnya.Bukannya senang, Rafael malah sedikit kesal dengan kepatuhan Delia. Yang dia harapkan, Delia menderita, hancur sehancur-hancurnya agar dia merasa puas membalaskan dendam Renata. Hingga Rafael terbesit hendak menyiksanya semakin kejam."Hai Delia," sapanya dengan wajah ketus.Delia hanya menaikkan sebelah alisnya, lucu saja menurutnya. Bagaimana bisa seorang selingkuhan memandang hina istri sah? Ya, meskipun Delia tau Rafael tidak akan pernah sudi menganggapnya seorang istri."Ingat! Di sini kau hanya seekor anjing malang yang harus patuh pada majikanm
Pemandangan Delia yang selalu tampak saat berada di apartemen adalah melihat suaminya dan selingkuhannya bermesraan. Mereka tidak memiliki rasa malu melakukan hal menjijikan di depan Delia. Seperti sekarang ini, mereka sedang menonton film di ruang tengah sambil berpelukan, sesekali mereka berciuman sangat mesra di sana. Delia saja jijik melihatnya, ia terpaksa ada di sana sebab Rafael memintanya membuatkan makanan dan menyiapkan beberapa snack untuk mereka berdua. Delia menyadari bahwa di sana, dirinya tidak lebih dari seorang pembantu. Entah sampai kapan semuanya akan berakhir."Aku harus menyelesaikan semuanya," kata Delia lirih. Ia muak harus mendengar apa yang seharusnya tidak ia dengar.Tak butuh waktu lama dapur kembali bersih, Delia bergegas pergi ke kamarnya. Ia sudah tidak sabar untuk tidur, karena besok Delia harus bangun pagi. Aktivitasnya masih sama seperti hari-hari kemarin, membersihkan seluruh seluk beluk apartemen dan setelah itu ia akan kembali pergi ke kantor.Delia