Setelah berhasil menenangkan diri, Delia sibuk membereskan kekacauan yang dibuat oleh Rafael dan Gladis selama satu setengah jam.
Ia pun menghempaskan diri ke sofa sembari menyeka keringat yang turun di keningnya.
Delia cukup lega menyelesaikan apa yang diperintah Rafael. Ia juga sudah memasak sesuai perintah keduanya.
Namun, baru lima menit Delia merasakan damainya hidup, tiba-tiba Gladis bangun.
Wanita kejam itu berjalan dengan angkuh menuju kitchen set. Dan tak lama, Rafael ikut menyusulnya.
Delia memilih beranjak dari sofa kemudian berjalan ke kamar mandi.
"Huh makanan apa ini!"
Delia mendengar suara Gladis yang seolah mencemoohnya, tapi kali ini Delia tidak peduli. Ia sudah lelah dengan pasangan gila itu.
"Makanan sampah!" ujarnya lagi.
"Aku tidak mau makan masakan istrimu, bagaimana kalau kita makan di bawah saja?" rengeknya sambil mengayun-ayunkan tangan Rafael.
"Ya, aku juga tidak sudi menyentuh masakannya."
Delia tidak tuli. Namun, ia tidak bisa melakukan apa-apa, selain meredam semuanya sendiri.
Dibanding marah, perempuan itu memutuskan untuk segera mendinginkan kepalanya.
‘Segera mungkin, aku harus pergi dari tempat ini,’ tekadnya kuat.
****
Siangnya, ketika matahari tepat di atas kepala, Delia memutuskan untuk pulang. Tidak ada yang tau jika dirinya pergi, ia sengaja melakukannya secara diam-diam.
Dengan membawa beberapa baju yang ia pakai semalam, wanita itu masuk ke dalam sebuah mobil taxi yang baru ia pesan beberapa menit yang lalu.
Sedangkan Rafael dan Gladis masih ada di restauran hotel.
"Del...."
Suara dari seseorang itu membuat Delia mendongak, "Kamu pulang sendiri?" tanyanya sembari celingak-celinguk mencari keberadaan seseorang.
"Iya Delia pulang sendiri ma, Rafael ada urusan," jawabnya acuh, ia sudah menduga akan mendapat pertanyaan itu dari Mona-ibunya.
Wanita paruh bayah itu menaikkan sebelah alisnya, namun ia tidak terlalu ingin mencecar anaknya dengan banyak pertanyaan.
"Apa kamu bahagia menikah dengan Rafael?"
"Ya. Delia bahagia ma," bohongnya.
Mana mungkin ia menceritakan yang sebenarnya kepada Mona.
Jawaban dari sang anak membuat Mona tersenyum lebar, "Kan.... Apa mama bilang, kamu pasti bahagia bersama Rafael!"
Delia hanya mengangguk kemudian pamit untuk masuk ke dalam kamar.
"Bahagia?" lirihnya.
Ia merebahkan tubuhnya sambil menatap langit-langit kamarnya, mengingat wajah Mona yang begitu sumringat saat mendengar jawaban Delia.
"Sampai kapan aku akan berhohong seperti ini?"
Delia mulai sedikit mempertanyakan perasaannya terhadap Rafael.
Apakah masih sama seperti tujuh tahun yang lalu?
'Sesak rasanya ...' batinnya sembari menatap lurus ke depan.
Sedangkan di tempat lain Rafael menjadi geram ketika tidak menemukan keberadaan istrinya. Emosinya memuncak mengetahui Delia pergi.
"Sialan! Beraninya dia pergi!"
Mendengar kekasihnya mengamuk, Gladis ikut memastikan apa benar Delia pergi.
"Ya, dia tidak ada sayang,"
Masih menggunakan baju yang sama Rafael menyambar kunci mobilnya, ia hendak menyusul istrinya. Ia tidak mau Delia pergi tanpa sepengetauannya.
"Sayang, kamu akan pergi ke mana?" Wanita yang tidak terlalu tinggi itu menghadangnya.
Tetapi Rafael tidak peduli, ia harus segera menemukan Delia dan langsung membawanya pulang.
Mobil bmw keluaran terbaru melaju membelah jalanan ibukota. Tujuan utama Rafael menuju rumah mertuanya. Ia yakin istrinya berada di sana.
Setelah mobil berhenti di halaman rumah Delia, ia segera turun.
Pria itu merapikan bajunya sebentar sebelum melangkah masuk ke dalam.
Tok! Tok! Tok!
Tak lama pintu terbuka, sosok Mona menyambutnya.
"Oh kamu rupanya Raf, sini masuk-masuk," Wajah Mona seketika sumringah saat melihat menantunya datang.
"Terima kasih ma.,"
Di depan Mona, Rafael menunjukkan bahwa dirinya sangat mencintai Delia. Padahal itu hanya alibinya, agar kedua mertuanya percaya bahwa Delia akan sangat bahagia bersamanya.
"Kata Delia, kamu ada urusan Raf.,"
Rafael tersenyum tipis, "Sudah selesai ma. Makanya saya langsung ke sini, menjemput Delia."
"Ya namanya pengantin baru, maunya dekat-dekat terus," goda Mona.
Ia mengangguk meski dalam hatinya ia muak berbasa-basi mengenai Delia.
"Kamu mau makan apa Raf?"
"Ah sudah ma, tadi sebelum ke sini saya sudah sarapan," sahutnya. "Ma saya izin mau ke Delia dulu."
"Iya-iya, langsung aja kamu masuk ke dalam kamarnya Raf. Sejak datang dia ada di sana.,"
Rafael mengangguk lalu berlalu menuju kamar yang terletak di lantai dua.
Tanpa mengetuk Rafael langsung membuka pintu kamar Delia dengan kasar, "Kau berusaha kabur dariku hah?"
Delia tergagap ketika mendengar suara bariton yang ia kenal.
Buru-buru ia bangun, "Raf untuk apa kau ke sini?"
"Untuk apa?" sahutnya dengan nada dingin. "Kau pikir aku akan membiarkanmu bebas?" Ia menarik sudut bibirnya ke atas.
"Apa maksudmu?"
Rafael berjalan mendekat lalu menarik paksa Delia, "Secepatnya kita pulang!"
"Tunggu!" Dengan berani ia menyentak tangan Rafael. "Pulanglah jika kau ingin pulang, aku hendak mengemasi beberapa bajuku dulu!"
Mendengar jawaban Delia yang semakin berani membuat Rafael geram. Ia berjalan mendekat ke arah Delia dengan rahangnya yang mengeras dan tatapan tajam.
"Apa yang akan kau lakukan Raf?" lirihnya ketakutan.
Ia berusaha untuk mundur. Hingga tubuhnya menubruk tembok, detik itu juga Delia tidak lagi bisa berkutik.
Jarak mereka sangat dekat, bahkan Delia bisa merasakan deruan nafas milik pria tersebut.
"Ap-apa kau ingin membunuhku sekarang?" cicit Delia sembari menutup mata, ia tidak berani menatap wajah suaminya.
Rafael tersenyum tipis, "Tenang, aku masih ingin bermain-main denganmu."
Setelah itu ia menarik dagu Delia dengan jarinya, "Jangan sekali-kali kau membantahku!"
"Kau tidak akan bisa kabur dariku! Kau dengar!" gertaknya.
Delia mengangguk takut-takut, "Ya aku dengar."
Rafael langsung menyeretnya keluar.
Dan ketika pintu terbuka, terlihat Andrew berdiri tepat di depan kamar Delia sembari menatap dirinya juga Rafael dengan tatapan curiga.
Seketika wajah Delia pucat, ia benar-benar takut jika sepupunya itu mendengar bentakan Rafael, "Drew, apa kau sudah lama berdiri di sana?"
Rafael meleparkan sebuah kunci kepada Delia, "Itu kunci kamarmu!""Jadi di mana kamarku?""Kamar pembantu!"Delia hanya mengangguk lalu pergi dari hadapannya. Ia berjalan ke belakang dengan gontai.Seolah tidak ada tenaga untuk menjawab Rafael.Instingnya membawa perempuan tersebut ke sebuah ruangan ber cat putih dengan ukuran yang tidak begitu luas.Ia sama sekali tidak keberatan berada di kamar itu.Jaraknya cukup jauh dari kamar Rafael, sehingga ia tidak akan melihat ketika suaminya membawa perempuan lain lagi.Delia merebahkan dirinya di sana, untung saja tadi Andrew tidak mendengar kala Rafael membentaknya. Meski dari raut wajahnya terlihat sedikit ketidakpercayaan saat ia mengatakan bahwa semua aman.Kruk..."Astaga! Ini bunyi perutku?" Ia menepuk perutnya yang rata. "Apa kau lapar hum? Aku lupa tidak memberimu makan ya?"Akhir-akhir ini dia sering lupa, jika belum memasukkan apapun di dalam perutnya. Dari pagi hingga petang, tidak ia rasakan.Mungkin terlalu banyak hal berisik
Delia kini tengah duduk di depan jendela kamar. Keadaannya jauh dari kata baik-baik saja.Jika tidak ada Bara–teman Andrew–, mungkin ia masih menangis seperti wanita gila di pinggir jalan.Kini ada satu lagi koleksi luka Delia, kali ini ia melakukannya hingga tiga kali.Tak ada lagi tangisan meraung-raung, ia cukup bisa mengontrol dirinya setelah membuat luka yang kesekian kalinya.Delia menatap nanar ke arah jendela, rambutnya kusut dan tidak ada kegiatan yang ia lakukan selain duduk merenung.Mungkin besok ia akan pergi ke Dokter Rania, dokter yang biasa menangani Delia.Sudah lama ia tidak mengkonsumsi obat, namun kali ini jika ia biarkan semakin lama Delia takut akan semakin parah.Rafael tak pernah tau setelah kejadian tujuh tahun yang lalu, Delia pernah lebih parah dari malam ini.Beberapa kali Delia mencoba bunuh diri untungnya selalu digagalkan oleh kedua orang tuanya.Rafael tidak pernah tau sehancur apa mentalnya atas tuduhan yang tidak pernah Delia lakukan.Ia juga tidak ta
Semalam Rafael tidak pulang ke rumah. Delia cukup merasa lega. Setidaknya, ia bisa sedikit lebih bebas.Pagi ini, ia juga berniat pergi ke kantor. Bertemu banyak orang mungkin bisa mengurangi beban pikiran yang ditanggungnya.Setelan kemeja berwarna coklat ia padukan dengan rok span selutut, blazernya sengaja tidak Delia kenakan hanya wanita itu sampirkan.Ia menarik nafasnya panjang lalu ia hembuskan perlahan, "Aku percaya hari ini akan berjalan dengan baik." ucapnya sembari mengenakan heels berwarna putih.Delia mengambil tas kerjanya lalu bersiap berangkat. Namun, bertepatan saat ia membuka pintu Rafael datang.Matanya menatap Delia sayu, penampilannya juga jauh berantakan. Bahkan membuat Delia terpengarah dengan keadaan Rafael."Raf, apa kamu baik-baik saja?" tanyanya khawatir.Ia mencoba memegang lengan Rafael tetapi pria itu langsung menepisnya kasar."Jauhkan tanganmu dari tubuhku!"Rafael berusaha berjalan namun karena kepalanya pusing, ia ambruk ke pelukan Delia."Astaga!"
Sudah dua hari Delia tidak keluar kamar, wajahnya pucat dan tubuhnya mulai melemah. Ia menangis setiap hari, bahkan sejak hari itu ia membenci tubuhnya.Ini jauh lebih hancur ketika semua orang menuduhnya pembunuh. Tidak ada yang bisa menolong Delia sekarang, jika dia mati pun mungkin jenazahnya akan ditemukan satu minggu kemudian.Suara pintu digedor keras, Delia yang awalnya sedang menutup mata reflek membuka mata mendengar gedoran tak sabar dari seseorang."Kau keluarlah!" teriakannya memekakkan telinga Delia.Untuk bangkit dan berjalan saja, Delia tidak memiliki tenaga."Kau benar-benar ya! Apa sebenarnya yang kau mau hah!" murka Rafael. "Dasar beban!"Ceklek!Delia memunculkan wajahnya di balik pintu, sebisa mungkin ia menutupi keadaan kamarnya yang begitu berantakan."Ada apa Raf?""Oh jadi ini kerjaanmu! Berleha-leha layaknya ratu!" gertaknya dengan rahang mengeras. "Kau bukan permaisuri di sini.""Maafkan aku Raf. Aku sedang tidak enak badan," sahut Delia lemas, ia sengaja tid
Selang satu minggu setelah perdebatan mereka terakhir, Delia jauh lebih banyak diam. Ia tak lagi menjawab Rafael dengan suaranya yang terdengar rapuh. Entah apa yang akan Delia rencakan, yang pasti sekarang wanita tersebut memilih diam."Delia! Cepat kau bukakan pintu untuk Gladis!" teriakan menggelegar dari Rafael membuat Delia yang berada di dalam kamar langsung berdiri dan tanpa membantah membukakan pintu apartemen, sesuai perintahnya.Bukannya senang, Rafael malah sedikit kesal dengan kepatuhan Delia. Yang dia harapkan, Delia menderita, hancur sehancur-hancurnya agar dia merasa puas membalaskan dendam Renata. Hingga Rafael terbesit hendak menyiksanya semakin kejam."Hai Delia," sapanya dengan wajah ketus.Delia hanya menaikkan sebelah alisnya, lucu saja menurutnya. Bagaimana bisa seorang selingkuhan memandang hina istri sah? Ya, meskipun Delia tau Rafael tidak akan pernah sudi menganggapnya seorang istri."Ingat! Di sini kau hanya seekor anjing malang yang harus patuh pada majikanm
Pemandangan Delia yang selalu tampak saat berada di apartemen adalah melihat suaminya dan selingkuhannya bermesraan. Mereka tidak memiliki rasa malu melakukan hal menjijikan di depan Delia. Seperti sekarang ini, mereka sedang menonton film di ruang tengah sambil berpelukan, sesekali mereka berciuman sangat mesra di sana. Delia saja jijik melihatnya, ia terpaksa ada di sana sebab Rafael memintanya membuatkan makanan dan menyiapkan beberapa snack untuk mereka berdua. Delia menyadari bahwa di sana, dirinya tidak lebih dari seorang pembantu. Entah sampai kapan semuanya akan berakhir."Aku harus menyelesaikan semuanya," kata Delia lirih. Ia muak harus mendengar apa yang seharusnya tidak ia dengar.Tak butuh waktu lama dapur kembali bersih, Delia bergegas pergi ke kamarnya. Ia sudah tidak sabar untuk tidur, karena besok Delia harus bangun pagi. Aktivitasnya masih sama seperti hari-hari kemarin, membersihkan seluruh seluk beluk apartemen dan setelah itu ia akan kembali pergi ke kantor.Delia
"Del, apa semua baik-baik saja?" Tanya Andrew tiba-tiba. "Pernikahanmu berjalan semestinya 'kan?" Terdengar dari suaranya, Andrew sangat cemas pada Delia. Delia mengangguk, ia menarik sudut bibirnya ke atas membentuk sebuah lengkungan, "Semua baik. Jangan khawatir.""Kalau semuanya baik, tidak mungkin kau memintaku menjemput. Apalagi kau terlihat sangat panik tadi,"Astaga ternyata Andrew seintens itu mengawasinya. Ia harus lebih pintar menyembunyikan apa yang terjadi sebenarnya. Delia hanya tidak ingin keluarganya kepikiran mengenai hidupnya bersama Rafael, ya meski sebenarnya Delia sudah mulai ingin menyerah.Ia kembali mencoba fokus mengecek dokumen-dokumen yang harus Andrew tanda tangani. Sebisa mungkin ia harus seperti Delia yang di kenal Andrew sebelum menikah dengan Rafael.Hampir saja dia lupa menutupi tangannya yang banyak goresan baru di sana. Buru-buru Delia menarik lengan kemejanya yang sedikit tersingkap. Namun rupanya Andrew tidak mengawasi sampai ke sana, membuat Delia
Rafael mengangkat sebelah sudut bibirnya ke atas, "Jadi begitu kelakuanmu di belakangku?" Delia tak mengerti maksud Rafael, wajah pria itu berubah menjadi dingin padahal tadi di depan Andrew dan Bara seolah-olah dia suami terbaik untuk Delia. Bahkan Rafael juga sempat menggandeng tangan Delia saat mereka pamit untuk pulang lebih dulu, sampai-sampai Andrew percaya bahwa kehidupan Delia bersama Rafael adalah kehidupan yang diinginkan semua orang. Hidup bahagia dan saling mencintai."Maaf aku sempat meragukan Rafael," bisik Andrew ketika Delia hendak berdiri tadi. Yang hanya Delia respon dengan senyuman tipis. Andrew tidak tau saja liciknya Rafael seperti apa, itu hanya topeng. Sekarang semua orang percaya bahwa Delia merupakan wanita terbahagia sejak menjadi istri Rafael. Baiklah, Delia akan mengikuti semua permainan Rafael. Delia yakin jika sesuatu hal diawali dengan keburukan, maka hal itu tidak akan bertahan lama. Percayalah."Wanita murahan!" desisnya tajam.Tidak ada jawaban dari