Semalam Rafael tidak pulang ke rumah.
Delia cukup merasa lega. Setidaknya, ia bisa sedikit lebih bebas.
Pagi ini, ia juga berniat pergi ke kantor. Bertemu banyak orang mungkin bisa mengurangi beban pikiran yang ditanggungnya.
Setelan kemeja berwarna coklat ia padukan dengan rok span selutut, blazernya sengaja tidak Delia kenakan hanya wanita itu sampirkan.
Ia menarik nafasnya panjang lalu ia hembuskan perlahan, "Aku percaya hari ini akan berjalan dengan baik." ucapnya sembari mengenakan heels berwarna putih.
Delia mengambil tas kerjanya lalu bersiap berangkat.
Namun, bertepatan saat ia membuka pintu Rafael datang.
Matanya menatap Delia sayu, penampilannya juga jauh berantakan. Bahkan membuat Delia terpengarah dengan keadaan Rafael.
"Raf, apa kamu baik-baik saja?" tanyanya khawatir.
Ia mencoba memegang lengan Rafael tetapi pria itu langsung menepisnya kasar.
"Jauhkan tanganmu dari tubuhku!"
Rafael berusaha berjalan namun karena kepalanya pusing, ia ambruk ke pelukan Delia.
"Astaga!" Delia menahannya. Dengan susah payah ia menahan beban Rafael kemudian membawanya ke dalam kamar pria tersebut.
Bruk!
Rafael jatuh ke kasur, Delia bernafas lega.
Hosh... Hosh... Hosh...
Dadanya naik turun, bahkan keringat turun membanjiri wajahnya, "Huh!"
Ia menoleh ke arah Rafael yang sudah memejamkan mata, ada perasaan kasihan sebenarnya melihat penampakan Rafael yang sekarang. Tapi ....
"Ah sudahlah aku harus segera pergi sebelum terlambat."
Saat ia berbalik arah tiba-tiba tangannya ditarik kuat. Hingga membuat Delia sedikit oleng jika dirinya tidak menahan badannya.
"Ugh!"
"Jangan pergi?"
Delia menaikkan sebelah alisnya, ia merasa salah dengar dengan ucapan Rafael.
Perlahan ia melepaskan tangan Rafael yang masih berada di pergelangan tangannya, "Raf aku harus pergi sekarang."
"Jangan..." cegah pria tersebut.
Tangannya pun masih belum lepas dari pergelangan Delia.
"Temani aku di sini,"
Ada perasaan bingung dengan sikap Rafael, namun ia bisa apa?
"Tapi sepertinya dia hanya mengigau," duga Delia, sebab mata pria itu masih terpejam.
Hap....
"Raf!" pekiknya cukup keras.
Sekuat tenaga ia menahan tubuhnya yang kini berada tepat di atas tubuh Rafael. Kedua tangannya memegang bahu pria tersebut, Delia berusaha untuk bangun namun tangan besar milik suaminya melingkar di pinggangnya.
"Raf, lepaskan!"
"Memangnya kau akan pergi ke mana sayang?"
Ia bisa melihat senyum terbit di wajah Rafael. Apa maksudnya?
Tangan itu mulai membelai wajah Delia, membuat seluruh tubuhnya merinding seketika.
"Sadarlah Raf! Apa yang akan kau lakukan?" Delis menepis tangan besar Rafael. Tetapi pria itu semakin menjadi. "Lepaskan, aku mohon!"
"Seperti apa yang kamu katakan tadi, mari kita bermain-main sayang...." Rafael mendekatkan kepalanya ke wajah Delia.
Sebisa mungkin ia menghindari Rafael, "Apa maksudmu?" Delia menggeleng keras. "Jangan Raf, jangan lakukan ini."
"Oh ayolah, aku membayarmu mahal. Lagipula, ini kan yang kau tunggu?karena ini.,"
"Membayar apa?" Tidak ada celah untuk dirinya kabur, matanya sudah mulai memerah. "Aku tidak ingin melakukannya denganmu!" pekik Delia keras.
"Sudahlah, tidak perlu menolak!," Dengan kesadaran yang tersisa ia mulai membuka paksa pakaian Delia.
Sedangkan di bawah kuasa Rafael, wanita itu tidak bisa melakukan apa-apa selain pasrah dengan air mata yang tanpa ia tahan.
Bibir pria tersebut mendekat ke telinga Delia berbisik lirih, "Akan kupuaskan kamu malam ini."
Seketika, Delia menahan tangis.
Pria di hadapannya ini bahkan tidak menyadari bahwa kini sudah pagi. Apalagi, sadar bahwa yang ada depannya adalah Delia.
Ada sesuatu hal penting yang sudah Delia jaga selama ini dan berakhir direnggut paksa, oleh sosok yang menginginkan dirinya hidup saja tidak.
Pagi ini adalah pagi yang paling suram bagi hidup Delia. Pagi yang tidak ada dalam bayangannya, pagi yang membuatnya ingin mengakhiri hidup lagi.
"Maaf, Gladis. Aku akan bertanggung jawab."
Mendengar itu, kekecewaan Delia menjadi sempurna. Tangis yang sedari tadi ditahannya, akhirnya luruh juga. Perlahan, ia merapikan pakaiannya dan mengurung diri di kamar. Ia sungguh takut akan dunia.
"Seharusnya, pernikahan ini tak pernah ada," lirihnya menahan tangis.
Sudah dua hari Delia tidak keluar kamar, wajahnya pucat dan tubuhnya mulai melemah. Ia menangis setiap hari, bahkan sejak hari itu ia membenci tubuhnya.Ini jauh lebih hancur ketika semua orang menuduhnya pembunuh. Tidak ada yang bisa menolong Delia sekarang, jika dia mati pun mungkin jenazahnya akan ditemukan satu minggu kemudian.Suara pintu digedor keras, Delia yang awalnya sedang menutup mata reflek membuka mata mendengar gedoran tak sabar dari seseorang."Kau keluarlah!" teriakannya memekakkan telinga Delia.Untuk bangkit dan berjalan saja, Delia tidak memiliki tenaga."Kau benar-benar ya! Apa sebenarnya yang kau mau hah!" murka Rafael. "Dasar beban!"Ceklek!Delia memunculkan wajahnya di balik pintu, sebisa mungkin ia menutupi keadaan kamarnya yang begitu berantakan."Ada apa Raf?""Oh jadi ini kerjaanmu! Berleha-leha layaknya ratu!" gertaknya dengan rahang mengeras. "Kau bukan permaisuri di sini.""Maafkan aku Raf. Aku sedang tidak enak badan," sahut Delia lemas, ia sengaja tid
Selang satu minggu setelah perdebatan mereka terakhir, Delia jauh lebih banyak diam. Ia tak lagi menjawab Rafael dengan suaranya yang terdengar rapuh. Entah apa yang akan Delia rencakan, yang pasti sekarang wanita tersebut memilih diam."Delia! Cepat kau bukakan pintu untuk Gladis!" teriakan menggelegar dari Rafael membuat Delia yang berada di dalam kamar langsung berdiri dan tanpa membantah membukakan pintu apartemen, sesuai perintahnya.Bukannya senang, Rafael malah sedikit kesal dengan kepatuhan Delia. Yang dia harapkan, Delia menderita, hancur sehancur-hancurnya agar dia merasa puas membalaskan dendam Renata. Hingga Rafael terbesit hendak menyiksanya semakin kejam."Hai Delia," sapanya dengan wajah ketus.Delia hanya menaikkan sebelah alisnya, lucu saja menurutnya. Bagaimana bisa seorang selingkuhan memandang hina istri sah? Ya, meskipun Delia tau Rafael tidak akan pernah sudi menganggapnya seorang istri."Ingat! Di sini kau hanya seekor anjing malang yang harus patuh pada majikanm
Pemandangan Delia yang selalu tampak saat berada di apartemen adalah melihat suaminya dan selingkuhannya bermesraan. Mereka tidak memiliki rasa malu melakukan hal menjijikan di depan Delia. Seperti sekarang ini, mereka sedang menonton film di ruang tengah sambil berpelukan, sesekali mereka berciuman sangat mesra di sana. Delia saja jijik melihatnya, ia terpaksa ada di sana sebab Rafael memintanya membuatkan makanan dan menyiapkan beberapa snack untuk mereka berdua. Delia menyadari bahwa di sana, dirinya tidak lebih dari seorang pembantu. Entah sampai kapan semuanya akan berakhir."Aku harus menyelesaikan semuanya," kata Delia lirih. Ia muak harus mendengar apa yang seharusnya tidak ia dengar.Tak butuh waktu lama dapur kembali bersih, Delia bergegas pergi ke kamarnya. Ia sudah tidak sabar untuk tidur, karena besok Delia harus bangun pagi. Aktivitasnya masih sama seperti hari-hari kemarin, membersihkan seluruh seluk beluk apartemen dan setelah itu ia akan kembali pergi ke kantor.Delia
"Del, apa semua baik-baik saja?" Tanya Andrew tiba-tiba. "Pernikahanmu berjalan semestinya 'kan?" Terdengar dari suaranya, Andrew sangat cemas pada Delia. Delia mengangguk, ia menarik sudut bibirnya ke atas membentuk sebuah lengkungan, "Semua baik. Jangan khawatir.""Kalau semuanya baik, tidak mungkin kau memintaku menjemput. Apalagi kau terlihat sangat panik tadi,"Astaga ternyata Andrew seintens itu mengawasinya. Ia harus lebih pintar menyembunyikan apa yang terjadi sebenarnya. Delia hanya tidak ingin keluarganya kepikiran mengenai hidupnya bersama Rafael, ya meski sebenarnya Delia sudah mulai ingin menyerah.Ia kembali mencoba fokus mengecek dokumen-dokumen yang harus Andrew tanda tangani. Sebisa mungkin ia harus seperti Delia yang di kenal Andrew sebelum menikah dengan Rafael.Hampir saja dia lupa menutupi tangannya yang banyak goresan baru di sana. Buru-buru Delia menarik lengan kemejanya yang sedikit tersingkap. Namun rupanya Andrew tidak mengawasi sampai ke sana, membuat Delia
Rafael mengangkat sebelah sudut bibirnya ke atas, "Jadi begitu kelakuanmu di belakangku?" Delia tak mengerti maksud Rafael, wajah pria itu berubah menjadi dingin padahal tadi di depan Andrew dan Bara seolah-olah dia suami terbaik untuk Delia. Bahkan Rafael juga sempat menggandeng tangan Delia saat mereka pamit untuk pulang lebih dulu, sampai-sampai Andrew percaya bahwa kehidupan Delia bersama Rafael adalah kehidupan yang diinginkan semua orang. Hidup bahagia dan saling mencintai."Maaf aku sempat meragukan Rafael," bisik Andrew ketika Delia hendak berdiri tadi. Yang hanya Delia respon dengan senyuman tipis. Andrew tidak tau saja liciknya Rafael seperti apa, itu hanya topeng. Sekarang semua orang percaya bahwa Delia merupakan wanita terbahagia sejak menjadi istri Rafael. Baiklah, Delia akan mengikuti semua permainan Rafael. Delia yakin jika sesuatu hal diawali dengan keburukan, maka hal itu tidak akan bertahan lama. Percayalah."Wanita murahan!" desisnya tajam.Tidak ada jawaban dari
Delia terkapar di dalam kamar mandi yang penuh darah, setelah pagi tadi ia mendapat tamparan dan jambakan dari Rafael. Karena laki-laki itu tidak terima ketika Delia menceritakan bahwa dirinya telah dipermainkan oleh mendiang Renata. Delia menceritakan bahwa sebenarnya Renata tidak mencintai Rafael, diam-diam gadis itu menjalin hubungan di belakang Rafael dengan Tristan -seorang kapten basket di sekolahnya dulu. Terpaksa ia membuka rahasia yang selama ini Delia pendam, saat jam istirahat Delia hendak pergi ke uks dan tidak sengaja ia melihat Renata sedang berciuman dengan Tristan. Delia kaget hingga menjatuhkan buku dan bolpoinnya. Mendengar itu Renata dan Rafael menyudahi aktifitasnya, kemudian Renata mengajak Delia keluar area sekolah. Renata mengancam Delia bahkan hendak mendorong Delia ke tengah jalan raya, tapi karena Delia mundur alhasil Renata yang jatuh dan tertabrak mobil dari arah belakang hingga menyebabkan wanita itu tewas. Namun kejujuran yang Delia ucapkan tidak membu
Sorenya Anna mengajak Gerald pergi bertemu Gisela. "Anna!" Gisela melambaikan tangannya saat melihat Anna sedang mengandeng bocah laki-laki. Anna langsung berjalan menghampirinya, "Apa sudah lama?" Gisela menggeleng, "Tidak. Baru saja aku sampai." Ia melirik Gerald, "Apakah dia Gerald anakmu?" Anna mengangguk antusias, "Ya dia Gerlad." "Gerald kenalkan ini adalah Aunty Gisela, yang nanti akan mengajar Gerald di sekolah," ujar Anna mengenalkan Gisela kepada Gerald. Gerald mengulurkan tangannya, "Gerald Aunty." Gisela menerima uluran tangan Gerald, "Halo Gerald." Kemudian ia mengusap pucuk kepala Gerald. "Sepertinya Gerald tidak nyaman," bisik Gisela. "Iya Gerald belum terbiasa di tempat ramai seperti ini Gis," "Pesankan Gerald makanan An, aku kasian melihatnya," Gerald memang tidak pernah pergi ke tempat seperti ini, jadi ia tidak terbiasa dengan banyak orang. Biasanya Gerald hanya diam seorang diri di kamar sempit nan gelap itu, "Tenang Sayang, ada mommy di
Delia Anastasya menghembuskan nafasnya pelan menatap pantulan dirinya di cermin.Gaun putih panjang melekat di tubuh proporsionalnya membuat penampilannya malam ini begitu cantik. Hanya saja, semua terasa percuma karena Rafael Ardinata–calon suaminya–justru enggan menatap Delia.Bahkan sebelum acara, Rafael mencekal tangannya keras untuk menunjukkan kebenciannya pada dirinya karena mengira perjodohan keduanya akibat permintaan Delia. Padahal, dirinya pun tak kuasa akan pernikahan itu.Delia tak berani mengecewakan orang tuanya.CEKREK!Terdengar suara pintu terbuka.Delia sontak menoleh dan menemukan sang ibunda, dalam balutan kebaya berwarna caramel yang sengaja dipilih bersama calon ibu mertuanya."Del, sebentar lagi kamu keluar, ya," ucap sang ibu cepat, “Rafael sudah selesai mengucapkan ijab kabul.”Delia pun mengangguk–menahan degupan jantung yang semakin menggila.Tak sengaja, ia melirik tangannya yang terdapat sebuah goresan luka dari Rafael.Dengan cepat, ditariknya lengan gau