Delia kini tengah duduk di depan jendela kamar. Keadaannya jauh dari kata baik-baik saja.
Jika tidak ada Bara–teman Andrew–, mungkin ia masih menangis seperti wanita gila di pinggir jalan.
Kini ada satu lagi koleksi luka Delia, kali ini ia melakukannya hingga tiga kali.
Tak ada lagi tangisan meraung-raung, ia cukup bisa mengontrol dirinya setelah membuat luka yang kesekian kalinya.
Delia menatap nanar ke arah jendela, rambutnya kusut dan tidak ada kegiatan yang ia lakukan selain duduk merenung.
Mungkin besok ia akan pergi ke Dokter Rania, dokter yang biasa menangani Delia.
Sudah lama ia tidak mengkonsumsi obat, namun kali ini jika ia biarkan semakin lama Delia takut akan semakin parah.
Rafael tak pernah tau setelah kejadian tujuh tahun yang lalu, Delia pernah lebih parah dari malam ini.
Beberapa kali Delia mencoba bunuh diri untungnya selalu digagalkan oleh kedua orang tuanya.
Rafael tidak pernah tau sehancur apa mentalnya atas tuduhan yang tidak pernah Delia lakukan.
Ia juga tidak tau sebesar apa usaha Delia untuk menghilangkan traumanya.
"Dan sekarang aku sudah menjadi istrinya?" lirih Delia seolah tak percaya sembari menatap langit yang gelap, tidak ada bintang yang bersinar membuat hawa malam ini terasa lebih sunyi.
Bisa dibayangkan setiap kata yang keluar dari mulut Rafael hanyalah kebencian, "Apa lebih baik aku mati saja?"
****
“Raf?”Ini sudah ketiga kalinya Rafael tak fokus saat berbicara dengan Gladis akibat panggilan Delia tadi.
Meski Rafael berusaha tak peduli, entah mengapa, ia jadi mendiamkan perempuan di sampingnya.
Tak bisa dipungkiri bahwa kehadiran Delia seolah membuat Renata hadir kembali dalam ingatannya yang selama ini Rafael kubur.
Dulu, Renata sempat menuduh Rafael menyimpan rasa pada Delia karena bersikap baik padanya. Padahal, Rafael yakin ia tak merasakan apa pun untuk wanita itu. Ia hanya bersikap baik saja. Lalu, semua berakhir buruk dengan kematian Renata.
Rafael seketika menyugar rambutnya kasar.
“Sorry, aku harus pergi.” Ia segera berdiri dan melangkah pergi–meninggalkan Gladis begitu saja.
"Sayang, kau akan pergi ke mana?” tanya Galdis cemberut dan manja.
Namun, Rafael terus saja melangkah tanpa memedulikannya.Pria itu tidak benar-benar mencintai Gladis.
Wanita itu sengaja ia jadikan kekasih hanya untuk menghancurkan perasaan Delia. Toh, Rafael juga sudah memberikan bayaran yang setimpal untuknya. Dari tempat tinggal sampai barang-barang mewah yang selalu ia idamkan.
Tanpa disadarinya, Gladis mengepalkan tangan marah. "Sialan! Apa karena wanita pembunuh itu Rafael meninggalkanku?" kesalnya, “lihat saja! Akan kuberi pelajaran dia!”
Dalam diam, ia melihat Rafael yang langsung mengendarai mobilnya seperti kesetanan. Ia berusaha menemukan Delia, tapi tak menemukannya.
Menyadari tindakannya yang aneh, Rafael memukul setirnya. “Untuk apa aku mengkhawatirkan perempuan itu?”
Ia pun memutar balik arah, hingga mobil itu berhenti di depan sebuah gedung perkantoran yang sebentar lagi jatuh ke tangannya karena menikahi Delia.
Rafael melangkah lebar-lebar menuju ruangan yang terletak di lantai paling atas– satu-satunya tempat yang ingin Rafael kunjungi saat ini.
Pintu terbuka otomatis kemudian ia memukul tembok dengan keras, hingga membuat kubu-kubu tangannya memerah, "Sial!" teriaknya sekeras mungkin.
"Perempuan itu membuat kepalaku pecah!" pekik Rafael.
Matanya tak sengaja menatap pigura yang sengaja Rafael taruh di atas meja kerjanya.
Terpampang jelas wajah Rafael dan Renata yang sedikit cemberut dalam foto yang diambil sebelum kecelakaan menimpa kekasihnya itu.
"Hingga hari ini aku belum bisa memaafkan dia Sayang," beo Rafael, “akan kubuktikan padamu bahwa aku tidak pernah mengkhianatimu. Delia harus merasakan sakit yang kau rasakan.”
Tangannya mengepal kencang.
Baginya, kematian Renata adalah salah Delia.
Hanya wanita itulah yang ada di tempat kejadian–membuat Rafael bersumpah menjebloskan Delia dengan tangannya sendiri waktu itu. Hanya saja, orang tua Delia membayar cukup mahal agar wanita itu aman, bahkan dari penyelidikan polisi yang sudah Rafael rancang sedemikian rupa.
Rafael seketika menyeringai kala teringat Delia sudah menjadi istrinya. Ia akan membalaskan dendam yang tersimpan begitu lama.
"Meski dia adalah istriku, tapi dia harus menyadari dan menyesali setiap harinya karena merebut tempat yang seharusnya dimiliki Renata," ucapnya, “kejadian seperti tadi tidak boleh terulang.”
Semalam Rafael tidak pulang ke rumah. Delia cukup merasa lega. Setidaknya, ia bisa sedikit lebih bebas.Pagi ini, ia juga berniat pergi ke kantor. Bertemu banyak orang mungkin bisa mengurangi beban pikiran yang ditanggungnya.Setelan kemeja berwarna coklat ia padukan dengan rok span selutut, blazernya sengaja tidak Delia kenakan hanya wanita itu sampirkan.Ia menarik nafasnya panjang lalu ia hembuskan perlahan, "Aku percaya hari ini akan berjalan dengan baik." ucapnya sembari mengenakan heels berwarna putih.Delia mengambil tas kerjanya lalu bersiap berangkat. Namun, bertepatan saat ia membuka pintu Rafael datang.Matanya menatap Delia sayu, penampilannya juga jauh berantakan. Bahkan membuat Delia terpengarah dengan keadaan Rafael."Raf, apa kamu baik-baik saja?" tanyanya khawatir.Ia mencoba memegang lengan Rafael tetapi pria itu langsung menepisnya kasar."Jauhkan tanganmu dari tubuhku!"Rafael berusaha berjalan namun karena kepalanya pusing, ia ambruk ke pelukan Delia."Astaga!"
Sudah dua hari Delia tidak keluar kamar, wajahnya pucat dan tubuhnya mulai melemah. Ia menangis setiap hari, bahkan sejak hari itu ia membenci tubuhnya.Ini jauh lebih hancur ketika semua orang menuduhnya pembunuh. Tidak ada yang bisa menolong Delia sekarang, jika dia mati pun mungkin jenazahnya akan ditemukan satu minggu kemudian.Suara pintu digedor keras, Delia yang awalnya sedang menutup mata reflek membuka mata mendengar gedoran tak sabar dari seseorang."Kau keluarlah!" teriakannya memekakkan telinga Delia.Untuk bangkit dan berjalan saja, Delia tidak memiliki tenaga."Kau benar-benar ya! Apa sebenarnya yang kau mau hah!" murka Rafael. "Dasar beban!"Ceklek!Delia memunculkan wajahnya di balik pintu, sebisa mungkin ia menutupi keadaan kamarnya yang begitu berantakan."Ada apa Raf?""Oh jadi ini kerjaanmu! Berleha-leha layaknya ratu!" gertaknya dengan rahang mengeras. "Kau bukan permaisuri di sini.""Maafkan aku Raf. Aku sedang tidak enak badan," sahut Delia lemas, ia sengaja tid
Selang satu minggu setelah perdebatan mereka terakhir, Delia jauh lebih banyak diam. Ia tak lagi menjawab Rafael dengan suaranya yang terdengar rapuh. Entah apa yang akan Delia rencakan, yang pasti sekarang wanita tersebut memilih diam."Delia! Cepat kau bukakan pintu untuk Gladis!" teriakan menggelegar dari Rafael membuat Delia yang berada di dalam kamar langsung berdiri dan tanpa membantah membukakan pintu apartemen, sesuai perintahnya.Bukannya senang, Rafael malah sedikit kesal dengan kepatuhan Delia. Yang dia harapkan, Delia menderita, hancur sehancur-hancurnya agar dia merasa puas membalaskan dendam Renata. Hingga Rafael terbesit hendak menyiksanya semakin kejam."Hai Delia," sapanya dengan wajah ketus.Delia hanya menaikkan sebelah alisnya, lucu saja menurutnya. Bagaimana bisa seorang selingkuhan memandang hina istri sah? Ya, meskipun Delia tau Rafael tidak akan pernah sudi menganggapnya seorang istri."Ingat! Di sini kau hanya seekor anjing malang yang harus patuh pada majikanm
Pemandangan Delia yang selalu tampak saat berada di apartemen adalah melihat suaminya dan selingkuhannya bermesraan. Mereka tidak memiliki rasa malu melakukan hal menjijikan di depan Delia. Seperti sekarang ini, mereka sedang menonton film di ruang tengah sambil berpelukan, sesekali mereka berciuman sangat mesra di sana. Delia saja jijik melihatnya, ia terpaksa ada di sana sebab Rafael memintanya membuatkan makanan dan menyiapkan beberapa snack untuk mereka berdua. Delia menyadari bahwa di sana, dirinya tidak lebih dari seorang pembantu. Entah sampai kapan semuanya akan berakhir."Aku harus menyelesaikan semuanya," kata Delia lirih. Ia muak harus mendengar apa yang seharusnya tidak ia dengar.Tak butuh waktu lama dapur kembali bersih, Delia bergegas pergi ke kamarnya. Ia sudah tidak sabar untuk tidur, karena besok Delia harus bangun pagi. Aktivitasnya masih sama seperti hari-hari kemarin, membersihkan seluruh seluk beluk apartemen dan setelah itu ia akan kembali pergi ke kantor.Delia
"Del, apa semua baik-baik saja?" Tanya Andrew tiba-tiba. "Pernikahanmu berjalan semestinya 'kan?" Terdengar dari suaranya, Andrew sangat cemas pada Delia. Delia mengangguk, ia menarik sudut bibirnya ke atas membentuk sebuah lengkungan, "Semua baik. Jangan khawatir.""Kalau semuanya baik, tidak mungkin kau memintaku menjemput. Apalagi kau terlihat sangat panik tadi,"Astaga ternyata Andrew seintens itu mengawasinya. Ia harus lebih pintar menyembunyikan apa yang terjadi sebenarnya. Delia hanya tidak ingin keluarganya kepikiran mengenai hidupnya bersama Rafael, ya meski sebenarnya Delia sudah mulai ingin menyerah.Ia kembali mencoba fokus mengecek dokumen-dokumen yang harus Andrew tanda tangani. Sebisa mungkin ia harus seperti Delia yang di kenal Andrew sebelum menikah dengan Rafael.Hampir saja dia lupa menutupi tangannya yang banyak goresan baru di sana. Buru-buru Delia menarik lengan kemejanya yang sedikit tersingkap. Namun rupanya Andrew tidak mengawasi sampai ke sana, membuat Delia
Rafael mengangkat sebelah sudut bibirnya ke atas, "Jadi begitu kelakuanmu di belakangku?" Delia tak mengerti maksud Rafael, wajah pria itu berubah menjadi dingin padahal tadi di depan Andrew dan Bara seolah-olah dia suami terbaik untuk Delia. Bahkan Rafael juga sempat menggandeng tangan Delia saat mereka pamit untuk pulang lebih dulu, sampai-sampai Andrew percaya bahwa kehidupan Delia bersama Rafael adalah kehidupan yang diinginkan semua orang. Hidup bahagia dan saling mencintai."Maaf aku sempat meragukan Rafael," bisik Andrew ketika Delia hendak berdiri tadi. Yang hanya Delia respon dengan senyuman tipis. Andrew tidak tau saja liciknya Rafael seperti apa, itu hanya topeng. Sekarang semua orang percaya bahwa Delia merupakan wanita terbahagia sejak menjadi istri Rafael. Baiklah, Delia akan mengikuti semua permainan Rafael. Delia yakin jika sesuatu hal diawali dengan keburukan, maka hal itu tidak akan bertahan lama. Percayalah."Wanita murahan!" desisnya tajam.Tidak ada jawaban dari
Delia terkapar di dalam kamar mandi yang penuh darah, setelah pagi tadi ia mendapat tamparan dan jambakan dari Rafael. Karena laki-laki itu tidak terima ketika Delia menceritakan bahwa dirinya telah dipermainkan oleh mendiang Renata. Delia menceritakan bahwa sebenarnya Renata tidak mencintai Rafael, diam-diam gadis itu menjalin hubungan di belakang Rafael dengan Tristan -seorang kapten basket di sekolahnya dulu. Terpaksa ia membuka rahasia yang selama ini Delia pendam, saat jam istirahat Delia hendak pergi ke uks dan tidak sengaja ia melihat Renata sedang berciuman dengan Tristan. Delia kaget hingga menjatuhkan buku dan bolpoinnya. Mendengar itu Renata dan Rafael menyudahi aktifitasnya, kemudian Renata mengajak Delia keluar area sekolah. Renata mengancam Delia bahkan hendak mendorong Delia ke tengah jalan raya, tapi karena Delia mundur alhasil Renata yang jatuh dan tertabrak mobil dari arah belakang hingga menyebabkan wanita itu tewas. Namun kejujuran yang Delia ucapkan tidak membu
Sorenya Anna mengajak Gerald pergi bertemu Gisela. "Anna!" Gisela melambaikan tangannya saat melihat Anna sedang mengandeng bocah laki-laki. Anna langsung berjalan menghampirinya, "Apa sudah lama?" Gisela menggeleng, "Tidak. Baru saja aku sampai." Ia melirik Gerald, "Apakah dia Gerald anakmu?" Anna mengangguk antusias, "Ya dia Gerlad." "Gerald kenalkan ini adalah Aunty Gisela, yang nanti akan mengajar Gerald di sekolah," ujar Anna mengenalkan Gisela kepada Gerald. Gerald mengulurkan tangannya, "Gerald Aunty." Gisela menerima uluran tangan Gerald, "Halo Gerald." Kemudian ia mengusap pucuk kepala Gerald. "Sepertinya Gerald tidak nyaman," bisik Gisela. "Iya Gerald belum terbiasa di tempat ramai seperti ini Gis," "Pesankan Gerald makanan An, aku kasian melihatnya," Gerald memang tidak pernah pergi ke tempat seperti ini, jadi ia tidak terbiasa dengan banyak orang. Biasanya Gerald hanya diam seorang diri di kamar sempit nan gelap itu, "Tenang Sayang, ada mommy di