Rafael meleparkan sebuah kunci kepada Delia, "Itu kunci kamarmu!"
"Jadi di mana kamarku?"
"Kamar pembantu!"
Delia hanya mengangguk lalu pergi dari hadapannya. Ia berjalan ke belakang dengan gontai.
Seolah tidak ada tenaga untuk menjawab Rafael.
Instingnya membawa perempuan tersebut ke sebuah ruangan ber cat putih dengan ukuran yang tidak begitu luas.
Ia sama sekali tidak keberatan berada di kamar itu.
Jaraknya cukup jauh dari kamar Rafael, sehingga ia tidak akan melihat ketika suaminya membawa perempuan lain lagi.
Delia merebahkan dirinya di sana, untung saja tadi Andrew tidak mendengar kala Rafael membentaknya. Meski dari raut wajahnya terlihat sedikit ketidakpercayaan saat ia mengatakan bahwa semua aman.
Kruk...
"Astaga! Ini bunyi perutku?" Ia menepuk perutnya yang rata. "Apa kau lapar hum? Aku lupa tidak memberimu makan ya?"
Akhir-akhir ini dia sering lupa, jika belum memasukkan apapun di dalam perutnya. Dari pagi hingga petang, tidak ia rasakan.
Mungkin terlalu banyak hal berisik di kepalanya.
Mau tidak mau, ia harus kembali bangkit keluar mencari apapun yang bisa dimakan.
Saat Delia keluar, ia melihat Rafael keluar dengsn buru-buru, "Hendak pergi ke mana dia?" beonya.
Namun ia tidak menegurnya, ia kembali meneruskan niatnya untuk memasak.
Tapi Delia tidak menemukan apapun yang dapat ia masak. Bahkan di dalam lemari pendinginnya pun sama.
"Aku harus keluar, mungkin dua bungkus mie instan cukup untuk mengganjal perutku malam ini,"
Ia memutuskan untuk pergi keluar.
Delia berjalan menuju minimarket yang terletak di depan komplek, jaraknya cukup jauh.
Sekitar lima belas menit akhirnya ia sampai di sebuah minimarket dua puluh empat jam, tempatnya tidak terlalu besar tetapi sepertinya lengkap.
Tidak butuh waktu lama, ia segera berjalan ke arah rak mie instan.
Setelah membeli dua mie instan, ia segera pulang. Ia melirik jam di pergelangan tangannya sudah menunjukkan pukul 11.
Langkahnya ia percepat, "Apa daerah di sini memang sesepi ini?" beonya terus berjalan.
Sangking terburu-burunya, Delia tidak sadar jika dirinya melewati jalan yang salah. Ia berhenti sebentar lalu menoleh ke kanan dan ke kiri, Delia yakin tadi ketika berangkat ia tidak melewati jalan ini.
Panik mulai menyerang, sebab tidak ada satu orang pun yang bisa ia tanya.
Tangannya mulai berkeringat, ia juga merasakan dadanya berdegub kencang, tubuhnya pun bergetar.
Tidak, Delia tidak ingin kambuh di tempat sepi ini.
Buru-buru ia mengambil handphone miliknya dari saku hoodie yang ia kenakan, kemudian mencari nama seseorang yang entah tiba-tiba ada di pikirannya.
"Aku mohon angkatlah," Ia mengigit bibir bawahnya dengan getir.
Berulang kali Delia berusaha menghubungi tetap tidak diangkat.
Tetapi Delia tidak menyerah ia tetap menghubungi seseorang tersebut yang nyatanya sedang asyik dengan kekasihnya.
Untungnya di dering terakhir panggilan tersambung, hati Delia sedikit lega meski degub jantungnya masih terus terasa.
"Halo Raf!" suara Delia bergetar. Berharap pria itu segera datang menolongnya.
"Untuk apa kau menghubungiku huh!" Tidak perlu dijelaskan, bagaimana nada yang ia lontarkan.
"Tolong aku, tolong aku Raf. Aku tersesat,"
Rafael mendengar jelas suara ketakutanketakukan Delia. Ia sebenarnya sedikit khawatir, tapi ia tak ingin menunjukkannya.apa pedulinya?
Jadi, KemudianKemudia ia pun tertawa sumbang, "Apa? Menolongmu?"
"Kali ini saja Raf, aku tersesat di sini gelap. Aku takut," lirih Delia sembari memohon agar pria tersebut iba kepadanya.
"Kau mau tersesat, mau hilang, mati sekalipun, aku tidak peduli,"
Delia merasakan sakitnya perkataan Rafael yang menusuk ulu hatinya, "Aku tidak tau harus meminta tolong kepada siapa lagi Raf."
"Jangan harap aku akan menolongmu!"
Baru selesai Rafael berbicara Delia mendengar suara seorang wanita di sebrang sana, "Siapa sayang?" tanyanya dengan nada manja.
Panggilan berakhir.
Tubuh Delia merosot, ia menangis di pinggir jalan gelap.
Bahkan di saat ia berada dalam keadaan mendesak Rafael tidak mau membantunya.
Apa memang dirinya harus menyusul Renata dulu agar pria itu bisa memaafkannya?
Delia menepuk-nepuk dadanya agar sesak di sana hilang, tapi rupanya bukan malah mereda namun semakin terasa menyayat.
Tiba-tiba sebuah tangan terulur ke arahnya, "Berdirilah...."
Delia kini tengah duduk di depan jendela kamar. Keadaannya jauh dari kata baik-baik saja.Jika tidak ada Bara–teman Andrew–, mungkin ia masih menangis seperti wanita gila di pinggir jalan.Kini ada satu lagi koleksi luka Delia, kali ini ia melakukannya hingga tiga kali.Tak ada lagi tangisan meraung-raung, ia cukup bisa mengontrol dirinya setelah membuat luka yang kesekian kalinya.Delia menatap nanar ke arah jendela, rambutnya kusut dan tidak ada kegiatan yang ia lakukan selain duduk merenung.Mungkin besok ia akan pergi ke Dokter Rania, dokter yang biasa menangani Delia.Sudah lama ia tidak mengkonsumsi obat, namun kali ini jika ia biarkan semakin lama Delia takut akan semakin parah.Rafael tak pernah tau setelah kejadian tujuh tahun yang lalu, Delia pernah lebih parah dari malam ini.Beberapa kali Delia mencoba bunuh diri untungnya selalu digagalkan oleh kedua orang tuanya.Rafael tidak pernah tau sehancur apa mentalnya atas tuduhan yang tidak pernah Delia lakukan.Ia juga tidak ta
Semalam Rafael tidak pulang ke rumah. Delia cukup merasa lega. Setidaknya, ia bisa sedikit lebih bebas.Pagi ini, ia juga berniat pergi ke kantor. Bertemu banyak orang mungkin bisa mengurangi beban pikiran yang ditanggungnya.Setelan kemeja berwarna coklat ia padukan dengan rok span selutut, blazernya sengaja tidak Delia kenakan hanya wanita itu sampirkan.Ia menarik nafasnya panjang lalu ia hembuskan perlahan, "Aku percaya hari ini akan berjalan dengan baik." ucapnya sembari mengenakan heels berwarna putih.Delia mengambil tas kerjanya lalu bersiap berangkat. Namun, bertepatan saat ia membuka pintu Rafael datang.Matanya menatap Delia sayu, penampilannya juga jauh berantakan. Bahkan membuat Delia terpengarah dengan keadaan Rafael."Raf, apa kamu baik-baik saja?" tanyanya khawatir.Ia mencoba memegang lengan Rafael tetapi pria itu langsung menepisnya kasar."Jauhkan tanganmu dari tubuhku!"Rafael berusaha berjalan namun karena kepalanya pusing, ia ambruk ke pelukan Delia."Astaga!"
Sudah dua hari Delia tidak keluar kamar, wajahnya pucat dan tubuhnya mulai melemah. Ia menangis setiap hari, bahkan sejak hari itu ia membenci tubuhnya.Ini jauh lebih hancur ketika semua orang menuduhnya pembunuh. Tidak ada yang bisa menolong Delia sekarang, jika dia mati pun mungkin jenazahnya akan ditemukan satu minggu kemudian.Suara pintu digedor keras, Delia yang awalnya sedang menutup mata reflek membuka mata mendengar gedoran tak sabar dari seseorang."Kau keluarlah!" teriakannya memekakkan telinga Delia.Untuk bangkit dan berjalan saja, Delia tidak memiliki tenaga."Kau benar-benar ya! Apa sebenarnya yang kau mau hah!" murka Rafael. "Dasar beban!"Ceklek!Delia memunculkan wajahnya di balik pintu, sebisa mungkin ia menutupi keadaan kamarnya yang begitu berantakan."Ada apa Raf?""Oh jadi ini kerjaanmu! Berleha-leha layaknya ratu!" gertaknya dengan rahang mengeras. "Kau bukan permaisuri di sini.""Maafkan aku Raf. Aku sedang tidak enak badan," sahut Delia lemas, ia sengaja tid
Selang satu minggu setelah perdebatan mereka terakhir, Delia jauh lebih banyak diam. Ia tak lagi menjawab Rafael dengan suaranya yang terdengar rapuh. Entah apa yang akan Delia rencakan, yang pasti sekarang wanita tersebut memilih diam."Delia! Cepat kau bukakan pintu untuk Gladis!" teriakan menggelegar dari Rafael membuat Delia yang berada di dalam kamar langsung berdiri dan tanpa membantah membukakan pintu apartemen, sesuai perintahnya.Bukannya senang, Rafael malah sedikit kesal dengan kepatuhan Delia. Yang dia harapkan, Delia menderita, hancur sehancur-hancurnya agar dia merasa puas membalaskan dendam Renata. Hingga Rafael terbesit hendak menyiksanya semakin kejam."Hai Delia," sapanya dengan wajah ketus.Delia hanya menaikkan sebelah alisnya, lucu saja menurutnya. Bagaimana bisa seorang selingkuhan memandang hina istri sah? Ya, meskipun Delia tau Rafael tidak akan pernah sudi menganggapnya seorang istri."Ingat! Di sini kau hanya seekor anjing malang yang harus patuh pada majikanm
Pemandangan Delia yang selalu tampak saat berada di apartemen adalah melihat suaminya dan selingkuhannya bermesraan. Mereka tidak memiliki rasa malu melakukan hal menjijikan di depan Delia. Seperti sekarang ini, mereka sedang menonton film di ruang tengah sambil berpelukan, sesekali mereka berciuman sangat mesra di sana. Delia saja jijik melihatnya, ia terpaksa ada di sana sebab Rafael memintanya membuatkan makanan dan menyiapkan beberapa snack untuk mereka berdua. Delia menyadari bahwa di sana, dirinya tidak lebih dari seorang pembantu. Entah sampai kapan semuanya akan berakhir."Aku harus menyelesaikan semuanya," kata Delia lirih. Ia muak harus mendengar apa yang seharusnya tidak ia dengar.Tak butuh waktu lama dapur kembali bersih, Delia bergegas pergi ke kamarnya. Ia sudah tidak sabar untuk tidur, karena besok Delia harus bangun pagi. Aktivitasnya masih sama seperti hari-hari kemarin, membersihkan seluruh seluk beluk apartemen dan setelah itu ia akan kembali pergi ke kantor.Delia
"Del, apa semua baik-baik saja?" Tanya Andrew tiba-tiba. "Pernikahanmu berjalan semestinya 'kan?" Terdengar dari suaranya, Andrew sangat cemas pada Delia. Delia mengangguk, ia menarik sudut bibirnya ke atas membentuk sebuah lengkungan, "Semua baik. Jangan khawatir.""Kalau semuanya baik, tidak mungkin kau memintaku menjemput. Apalagi kau terlihat sangat panik tadi,"Astaga ternyata Andrew seintens itu mengawasinya. Ia harus lebih pintar menyembunyikan apa yang terjadi sebenarnya. Delia hanya tidak ingin keluarganya kepikiran mengenai hidupnya bersama Rafael, ya meski sebenarnya Delia sudah mulai ingin menyerah.Ia kembali mencoba fokus mengecek dokumen-dokumen yang harus Andrew tanda tangani. Sebisa mungkin ia harus seperti Delia yang di kenal Andrew sebelum menikah dengan Rafael.Hampir saja dia lupa menutupi tangannya yang banyak goresan baru di sana. Buru-buru Delia menarik lengan kemejanya yang sedikit tersingkap. Namun rupanya Andrew tidak mengawasi sampai ke sana, membuat Delia
Rafael mengangkat sebelah sudut bibirnya ke atas, "Jadi begitu kelakuanmu di belakangku?" Delia tak mengerti maksud Rafael, wajah pria itu berubah menjadi dingin padahal tadi di depan Andrew dan Bara seolah-olah dia suami terbaik untuk Delia. Bahkan Rafael juga sempat menggandeng tangan Delia saat mereka pamit untuk pulang lebih dulu, sampai-sampai Andrew percaya bahwa kehidupan Delia bersama Rafael adalah kehidupan yang diinginkan semua orang. Hidup bahagia dan saling mencintai."Maaf aku sempat meragukan Rafael," bisik Andrew ketika Delia hendak berdiri tadi. Yang hanya Delia respon dengan senyuman tipis. Andrew tidak tau saja liciknya Rafael seperti apa, itu hanya topeng. Sekarang semua orang percaya bahwa Delia merupakan wanita terbahagia sejak menjadi istri Rafael. Baiklah, Delia akan mengikuti semua permainan Rafael. Delia yakin jika sesuatu hal diawali dengan keburukan, maka hal itu tidak akan bertahan lama. Percayalah."Wanita murahan!" desisnya tajam.Tidak ada jawaban dari
Delia terkapar di dalam kamar mandi yang penuh darah, setelah pagi tadi ia mendapat tamparan dan jambakan dari Rafael. Karena laki-laki itu tidak terima ketika Delia menceritakan bahwa dirinya telah dipermainkan oleh mendiang Renata. Delia menceritakan bahwa sebenarnya Renata tidak mencintai Rafael, diam-diam gadis itu menjalin hubungan di belakang Rafael dengan Tristan -seorang kapten basket di sekolahnya dulu. Terpaksa ia membuka rahasia yang selama ini Delia pendam, saat jam istirahat Delia hendak pergi ke uks dan tidak sengaja ia melihat Renata sedang berciuman dengan Tristan. Delia kaget hingga menjatuhkan buku dan bolpoinnya. Mendengar itu Renata dan Rafael menyudahi aktifitasnya, kemudian Renata mengajak Delia keluar area sekolah. Renata mengancam Delia bahkan hendak mendorong Delia ke tengah jalan raya, tapi karena Delia mundur alhasil Renata yang jatuh dan tertabrak mobil dari arah belakang hingga menyebabkan wanita itu tewas. Namun kejujuran yang Delia ucapkan tidak membu