Sudah dua hari Delia tidak keluar kamar, wajahnya pucat dan tubuhnya mulai melemah. Ia menangis setiap hari, bahkan sejak hari itu ia membenci tubuhnya.
Ini jauh lebih hancur ketika semua orang menuduhnya pembunuh. Tidak ada yang bisa menolong Delia sekarang, jika dia mati pun mungkin jenazahnya akan ditemukan satu minggu kemudian.
Suara pintu digedor keras, Delia yang awalnya sedang menutup mata reflek membuka mata mendengar gedoran tak sabar dari seseorang.
"Kau keluarlah!" teriakannya memekakkan telinga Delia.
Untuk bangkit dan berjalan saja, Delia tidak memiliki tenaga.
"Kau benar-benar ya! Apa sebenarnya yang kau mau hah!" murka Rafael. "Dasar beban!"
Ceklek!
Delia memunculkan wajahnya di balik pintu, sebisa mungkin ia menutupi keadaan kamarnya yang begitu berantakan.
"Ada apa Raf?"
"Oh jadi ini kerjaanmu! Berleha-leha layaknya ratu!" gertaknya dengan rahang mengeras. "Kau bukan permaisuri di sini."
"Maafkan aku Raf. Aku sedang tidak enak badan," sahut Delia lemas, ia sengaja tidak menatap Rafael karena ia masih mengingat jelas kejadian menyakitkan itu.
"Kau pikir aku peduli hah! Cepat bersihkan ruang depan!"
Rafael melihat wajah pucat Delia, tapi pria itu tidak peduli dengan keadaannya, "Bukankah ini yang kau mau?" Ia tersenyum miring.
"Jika bukan karena ulahmu, Renata pasti masih hidup! Mungkin aku sudah hidup bahagia bersamanya,"
Delia memejamkan matanya barang sejenak, ia tau ke mana arah yang akan Rafael katakan.
"Ingat, Renata pergi gara-gara kau!" tuduhnya sembari menunjuk wajah Delia dengan tajam.
'Tuduhan ini lagi...' batinnya lelah.
"Kalaupun aku menjelaskannya lagi, bahwa bukan aku yang membunuh Renata. Kau tetap tidak akan percaya," Ia menahan agar tidak menangis.
Kemudian Rafael tertawa, suaranya cukup nyaring di telinganya, "Percaya?" kelakarnya. "Jelas aku tidak percaya! Aku bukan orang bodoh yang bisa kau tipu!"
Tapi sungguh, kematian itu bukan ulah Delia.
Setiap pembelaan yang keluar dari mulutnya, tidak ada yang akan percaya. Lantas apa yang harus ia lakukan?
"Sudahlah, cepat kau bersihkan rumahku!" perintahnya. "Kepalaku akan semakin sakit jika berinteraksi denganmu!" ujar Rafael sebelum dia pergi.
Dia pikir hanya dirinya saja yang sakit kepala? Nyatanya Delia juga, tidak hanya kepala melainkan mentalnya juga.
***
Gemeretak gigi Rafael ketika melihat sebuah foto yang ia dapatkan, rahangnya mengeras, sorot matanya menandakan jika pria tersebut menahan amarah.
Ia meremas kasar foto tersebut yang berada di tangannya, "Sialan!"
Brak....
Rafael memukul meja kerjanya keras.
"Aku tidak percaya, istrimu ternyata sangatlah licik," Gladis semakin memprovokasi Rafael. "Ah jangan-jangan dia juga bersekongkol dengan Bara."
Bara yang dia maksud adalah laki-laki yang ada di foto dengan Delia.
Karena mendapat hasutan dari Gladis, akhirnya kemarahannya semakin meluap.
Di tempat lain Delia tengah duduk di sofa, tengah bersantai selesai membersihkan rumah Rafael. Meski dengan keadaan lemas, ia tetap menjalankan apa yang pria arogan itu perintah.
Ponsel miliknya bergetar, "Andrew..." beonya sembari menekan tombol hijau di layar.
"Halo Ndrew, kenapa?"
"Halo Del. Kau tidak jadi pergi ke kantor?"
"Tidak, mungkin besok. Aku sedang tidak enak badan,"
"Del, kau benar baik-baik saja 'kan?"
"Ya tenang saja aku baik-baik saja,"
Tiba-tiba pintu terbuka, Delia menoleh dan mendapati Rafael pulang dengan guratan wajah memerah.
Reflek ia langsung mematikan sambungan teleponnya.
"Del!" seru Andrew di seberang sana. "Halo Del!" namun tidak ada sahutan sama sekali dari si empunya.
Delia cukup kaget Rafael pulang lebih awal, 'Ada apa?' pikirnya.
"Sebenarnya apa yang akan kau rencanakan?" kelakar Rafael tanpa basa basi.
"Apa maksudmu?" Jelas Delia tidak mengerti dengan suaminya yang tiba-tiba pulang dan memarahinya.
Ia merasa tidak melakukan kesalahan apapun hari ini, bahkan ia sudah melakukan apa yang pria itu perintahkan.
"Katakan saja!" teriaknya.
Mendengar teriakan Rafael, Delia jadi mulai terpancing. Dia pikir menjadi Delia tidak lelah?
Dadanya naik turun, ia mulai berani menatap balik Rafael. Semua emosi yang ia tahan terkumpul menjadi satu dan siap ia ledakkan.
"Apa? Apa yang harus aku katakan? Kau pulang tiba-tiba lalu memakiku seenaknya! Ya aku tau kau membenciku, tapi jangan kau pikir karena itu aku ingin membalas dendam kepadamu! Terserah, sekarang apapun yang kau katakan aku tidak lagi peduli!" Ia menjeda kalimatnya.
Delia sendiri tidak tau bagaimana bisa ia merangkai kalimat panjang seperti itu.
"Percuma juga! Kau tidak akan percaya dengan wanita licik ini!"
Setelah mengucapkan kalimat tersebut Delia pergi meninggalkan Rafael yang tercenung melihat kemarahan wanita itu.
"Hei! Aku masih belum selesai bicara!"
Namun Delia tidak peduli, ia memilih terus berjalan dan masuk ke dalam kamarnya.
"Sial! Harusnya aku yang marah!" decak Rafael, "Kenapa malah dia yang tampak kesal?" Hanya saja, entah kenapa, hati pria tampan itu justru tak tenang.
Selang satu minggu setelah perdebatan mereka terakhir, Delia jauh lebih banyak diam. Ia tak lagi menjawab Rafael dengan suaranya yang terdengar rapuh. Entah apa yang akan Delia rencakan, yang pasti sekarang wanita tersebut memilih diam."Delia! Cepat kau bukakan pintu untuk Gladis!" teriakan menggelegar dari Rafael membuat Delia yang berada di dalam kamar langsung berdiri dan tanpa membantah membukakan pintu apartemen, sesuai perintahnya.Bukannya senang, Rafael malah sedikit kesal dengan kepatuhan Delia. Yang dia harapkan, Delia menderita, hancur sehancur-hancurnya agar dia merasa puas membalaskan dendam Renata. Hingga Rafael terbesit hendak menyiksanya semakin kejam."Hai Delia," sapanya dengan wajah ketus.Delia hanya menaikkan sebelah alisnya, lucu saja menurutnya. Bagaimana bisa seorang selingkuhan memandang hina istri sah? Ya, meskipun Delia tau Rafael tidak akan pernah sudi menganggapnya seorang istri."Ingat! Di sini kau hanya seekor anjing malang yang harus patuh pada majikanm
Pemandangan Delia yang selalu tampak saat berada di apartemen adalah melihat suaminya dan selingkuhannya bermesraan. Mereka tidak memiliki rasa malu melakukan hal menjijikan di depan Delia. Seperti sekarang ini, mereka sedang menonton film di ruang tengah sambil berpelukan, sesekali mereka berciuman sangat mesra di sana. Delia saja jijik melihatnya, ia terpaksa ada di sana sebab Rafael memintanya membuatkan makanan dan menyiapkan beberapa snack untuk mereka berdua. Delia menyadari bahwa di sana, dirinya tidak lebih dari seorang pembantu. Entah sampai kapan semuanya akan berakhir."Aku harus menyelesaikan semuanya," kata Delia lirih. Ia muak harus mendengar apa yang seharusnya tidak ia dengar.Tak butuh waktu lama dapur kembali bersih, Delia bergegas pergi ke kamarnya. Ia sudah tidak sabar untuk tidur, karena besok Delia harus bangun pagi. Aktivitasnya masih sama seperti hari-hari kemarin, membersihkan seluruh seluk beluk apartemen dan setelah itu ia akan kembali pergi ke kantor.Delia
"Del, apa semua baik-baik saja?" Tanya Andrew tiba-tiba. "Pernikahanmu berjalan semestinya 'kan?" Terdengar dari suaranya, Andrew sangat cemas pada Delia. Delia mengangguk, ia menarik sudut bibirnya ke atas membentuk sebuah lengkungan, "Semua baik. Jangan khawatir.""Kalau semuanya baik, tidak mungkin kau memintaku menjemput. Apalagi kau terlihat sangat panik tadi,"Astaga ternyata Andrew seintens itu mengawasinya. Ia harus lebih pintar menyembunyikan apa yang terjadi sebenarnya. Delia hanya tidak ingin keluarganya kepikiran mengenai hidupnya bersama Rafael, ya meski sebenarnya Delia sudah mulai ingin menyerah.Ia kembali mencoba fokus mengecek dokumen-dokumen yang harus Andrew tanda tangani. Sebisa mungkin ia harus seperti Delia yang di kenal Andrew sebelum menikah dengan Rafael.Hampir saja dia lupa menutupi tangannya yang banyak goresan baru di sana. Buru-buru Delia menarik lengan kemejanya yang sedikit tersingkap. Namun rupanya Andrew tidak mengawasi sampai ke sana, membuat Delia
Rafael mengangkat sebelah sudut bibirnya ke atas, "Jadi begitu kelakuanmu di belakangku?" Delia tak mengerti maksud Rafael, wajah pria itu berubah menjadi dingin padahal tadi di depan Andrew dan Bara seolah-olah dia suami terbaik untuk Delia. Bahkan Rafael juga sempat menggandeng tangan Delia saat mereka pamit untuk pulang lebih dulu, sampai-sampai Andrew percaya bahwa kehidupan Delia bersama Rafael adalah kehidupan yang diinginkan semua orang. Hidup bahagia dan saling mencintai."Maaf aku sempat meragukan Rafael," bisik Andrew ketika Delia hendak berdiri tadi. Yang hanya Delia respon dengan senyuman tipis. Andrew tidak tau saja liciknya Rafael seperti apa, itu hanya topeng. Sekarang semua orang percaya bahwa Delia merupakan wanita terbahagia sejak menjadi istri Rafael. Baiklah, Delia akan mengikuti semua permainan Rafael. Delia yakin jika sesuatu hal diawali dengan keburukan, maka hal itu tidak akan bertahan lama. Percayalah."Wanita murahan!" desisnya tajam.Tidak ada jawaban dari
Delia terkapar di dalam kamar mandi yang penuh darah, setelah pagi tadi ia mendapat tamparan dan jambakan dari Rafael. Karena laki-laki itu tidak terima ketika Delia menceritakan bahwa dirinya telah dipermainkan oleh mendiang Renata. Delia menceritakan bahwa sebenarnya Renata tidak mencintai Rafael, diam-diam gadis itu menjalin hubungan di belakang Rafael dengan Tristan -seorang kapten basket di sekolahnya dulu. Terpaksa ia membuka rahasia yang selama ini Delia pendam, saat jam istirahat Delia hendak pergi ke uks dan tidak sengaja ia melihat Renata sedang berciuman dengan Tristan. Delia kaget hingga menjatuhkan buku dan bolpoinnya. Mendengar itu Renata dan Rafael menyudahi aktifitasnya, kemudian Renata mengajak Delia keluar area sekolah. Renata mengancam Delia bahkan hendak mendorong Delia ke tengah jalan raya, tapi karena Delia mundur alhasil Renata yang jatuh dan tertabrak mobil dari arah belakang hingga menyebabkan wanita itu tewas. Namun kejujuran yang Delia ucapkan tidak membu
Sorenya Anna mengajak Gerald pergi bertemu Gisela. "Anna!" Gisela melambaikan tangannya saat melihat Anna sedang mengandeng bocah laki-laki. Anna langsung berjalan menghampirinya, "Apa sudah lama?" Gisela menggeleng, "Tidak. Baru saja aku sampai." Ia melirik Gerald, "Apakah dia Gerald anakmu?" Anna mengangguk antusias, "Ya dia Gerlad." "Gerald kenalkan ini adalah Aunty Gisela, yang nanti akan mengajar Gerald di sekolah," ujar Anna mengenalkan Gisela kepada Gerald. Gerald mengulurkan tangannya, "Gerald Aunty." Gisela menerima uluran tangan Gerald, "Halo Gerald." Kemudian ia mengusap pucuk kepala Gerald. "Sepertinya Gerald tidak nyaman," bisik Gisela. "Iya Gerald belum terbiasa di tempat ramai seperti ini Gis," "Pesankan Gerald makanan An, aku kasian melihatnya," Gerald memang tidak pernah pergi ke tempat seperti ini, jadi ia tidak terbiasa dengan banyak orang. Biasanya Gerald hanya diam seorang diri di kamar sempit nan gelap itu, "Tenang Sayang, ada mommy di
Delia Anastasya menghembuskan nafasnya pelan menatap pantulan dirinya di cermin.Gaun putih panjang melekat di tubuh proporsionalnya membuat penampilannya malam ini begitu cantik. Hanya saja, semua terasa percuma karena Rafael Ardinata–calon suaminya–justru enggan menatap Delia.Bahkan sebelum acara, Rafael mencekal tangannya keras untuk menunjukkan kebenciannya pada dirinya karena mengira perjodohan keduanya akibat permintaan Delia. Padahal, dirinya pun tak kuasa akan pernikahan itu.Delia tak berani mengecewakan orang tuanya.CEKREK!Terdengar suara pintu terbuka.Delia sontak menoleh dan menemukan sang ibunda, dalam balutan kebaya berwarna caramel yang sengaja dipilih bersama calon ibu mertuanya."Del, sebentar lagi kamu keluar, ya," ucap sang ibu cepat, “Rafael sudah selesai mengucapkan ijab kabul.”Delia pun mengangguk–menahan degupan jantung yang semakin menggila.Tak sengaja, ia melirik tangannya yang terdapat sebuah goresan luka dari Rafael.Dengan cepat, ditariknya lengan gau
"Ugh!"Silau cahaya dan suara kendaraan membuat Delia terbangun. Ia melirik sekitar dan menemukan dirinya di kursi besi. "Ya Tuhan, jadi semalam aku tidur di sini?"Semalam, ia berbohong pada Andrew dan mengatakan bahwa Rafael memperlakukannya dengan baik. Tak mungkin bukan ia mengatakan bahwa terusir dari kamar pengantinnya sendiri, kan? Bisa-bisa, keluarga besarnya akan ribut.Delia menghela nafas berat. Diputuskannya kembali ke hotel.Ia akan mengambil beberapa barang lalu pulang ke rumah orang tuanya.Toh, tidak ada gunanya bagi Delia untuk tetap di sana. Lebih baik, perempuan itu bekerja.Namun, ketika Delia tiba di pintu kamar bernomor 107 itu, ia justru terdiam.Berulang kali, dia menarik nafas–menguatkan diri sebelum membuka pintu dengan sangat pelan."Kau dari mana saja?" sinis Rafael dengan wajah mengantuk. Pria itu bahkan masih bertelanjang dada.Delia tertegun. Tanpa sadar, matanya memperhatikan kondisi kamar hotel yang sangatlah berantakan. Terdapat banyak botol minum di