Deru angin menghiasi perjalanan udara kami. Pemandangan indah terhampar begitu hijau dengan undakan bukit-bukit batu yang curam dan terlihat berbahaya.
Alexey mencoba menggenggam tanganku. Dia tampak terkejut karena tanganku yang dingin dan sedikit gemetar. Tatapan matanya seakan bertanya kenapa?Aku menggeleng lembut seraya tersenyum. Percuma berbicara di atas sini. Tidak akan terdengar apapun kecuali suara baling-baling dan angin.Helikopter itu membawa kami ke sebuah landasan yang tampak sepi. Alexey membantu melepaskan sabuk pengaman dan menarikku bersamanya menuruni helikopter itu.Aku merunduk sampai terasa suara baling-baling mulai menjauh. Alexey melambai tangan pada mereka dan terus membawaku bersamanya."Kita akan kemana?" tanyaku bingung."Ganti pesawat," jawab Alexey singkat padat dan jelas.Benar saja, sebuah pesawat jenis Airbus ACJ319neo terparkir cantik di landasan dan sudah siap berangkat . Aku sempat tertegun, seberapa jauh Alexey akan membawaku dengan pesawat itu?"Ayolah, supaya kita bisa istirahat," ajak Alexey padaku yang malah berdiri mematung"Tapi aku lapar," keluhku sedikit kesal.Aku sudah membayangkan hidangan pernikahan kami yang terlihat lezat dan harumnya membuatku keroncongan.Sayangnya kami malah langsung pergi tanpa di bungkuskan bekal perjalanan.Alexey sedikit tertawa, tapi senyumannya membuatku yakin disana pasti sudah disediakan makanan. Jadi aku menurut saja saat dia menarikku kembali.Kabin pesawat itu membuatku takjub. Cukup mewah dan muat hingga 15 penumpang. Ada satu kamar dengan ranjang empuk yang sudah aku rindukan.Alexey menawariku membantu membuka gaun pengantin yang masih melekat di tubuhku. Dengan senang hati aku menerima tawarannya.Hal pertama yang harus aku biasakan dalam hubungan kontrak kami adalah, mengganti pakaian di depannya. Perasaan canggung sempat merayapi sarafku, tapi mengingat aku sudah jadi siapa sekarang, membuatku yakin.Alexey juga tampak biasa saja melihat gaunku turun dan aku keluar dari sana. Melegakan saat melepasnya, karena gaun itu cukup berat dengan detail payetnya yang tebal.Alexey memberikan gaun lain sebagai pengganti gaun pengantin yang berat itu. Sama-sama berwarna putih tulang berbahan brokat, hanya saja lebih pendek.Setelah melepas sanggul, kucoba merapikan rambutku yang acak-acakan."Sini aku bantu,"Alexey hanya mengganti tuksedonya dengan kemeja yang lebih santai. Lalu dia memintaku duduk dan menghadap cermin. Dia tampak menikmati saat menyisir rambutku."Terima kasih," gumamku menatap Alexey melalui kaca."Untuk apa?" tanyanya tanpa melihatku. Dia sedang berkutat dengan rambutku yang kusut. Sedikit mengoleskan lotion rambut disana."Karena sudah bersikap baik padaku,""Aku hanya ingin kita merasa nyaman, Hannah. Tugas ini cukup berat dan mengundang bahaya. Nyawa jadi taruhan kita, lagi pula kita suami istri yang sah bukan?"Aku mengangguk, membayangkan bagaimana bentuk bahaya yang akan aku hadapi nantinya. Awalnya aku berpikir menikah dengan Alexey akan membuat hidupku menjadi seperti neraka.Bagaimana tidak? Sejak pertama bertemu hingga memutuskan untuk memilihku sebagai pasangan dalam misi, Alexey bersikap sangat kaku dan dingin.Raut wajahnya menandakan dia tidak pernah main-main dan jarang tersenyum.Entah tugas besar apa yang menantiku. Mengingat jabatan Alexey cukup tinggi di organisasi itu. Dan sekarang, aku harus ikut bersamanya untuk menuntaskan misi penting ini.Karena kelelahan, aku tertidur di ranjang empuk kabin pesawat itu. Entah sejak kapan aku mulai terpejam. Rasanya nyaman sekali saat Alexey menyisir rambutku sambil memijat pelipis ku. Dia mungkin merasa kasihan padaku.Aku larut dalam mimpi yang hening. Hingga sebuah cahaya putih berjalan ke arahku. Entah itu apa atau siapa. Tapi cahaya itu seakan menjadi magnet yang memaksaku untuk maju mendekatinya."Putriku," suara lembut yang kurindukan menggema di udara .Setelah bias cahaya itu memudar, sosok cantik yang berpakaian indah perlahan membuka tanganya sangat lebar.Aku berlari dan langsung memeluknya erat. Aku tau itu mimpi, tapi rasanya begitu nyata hingga aku menangis."Ibu," gumamku serak. Mencoba memandangi wajahnya tapi aku tak sanggup melihat cahayanya.Yang kulihat hanya senyuman. Dia mengangguk sambil memelukku. Kemudian mencium keningku lama sekali. Kehangatan perlahan menjalar dari wajah hingga ke sekujur tubuhku."Kau harus kuat sayang. Percayalah pada Alex," ucap ibu tepat ditelingaku hingga menggema di kepalaku.Aku mengangguk patuh. Merasa heran mengapa aku masih mempercayai ibuku setelah apa yang terjadi pada ayah dan keluarga kami.Namun hati kecilku, bagian terdalam jiwaku merasa bahwa ibu tidak bermaksud mencelakai ayah. Aku tau bagaimana ayah dan ibu saling mencintai.Senyuman mengembang begitu indah di wajah ibu yang semakin pudar bagai ditelan cahaya. Aku mencoba terus menggapainya tapi aku tak mampu.Bayangan ibu menghilang melalui bias cahaya redup di udara. Meninggalkan jejak kristal indah yang membuat mataku mengerjap karena kilaunya.Mataku terbuka. Yang aku sadari lebih dulu adalah tubuhku terasa hangat dan terhimpit. Saat aku hendak berbalik, kulihat sebuah tangan putih nan kekar memeluk pinggangku."Kau sudah bangun?"Ah ya. Aku sudah lupa jika kami sudah menikah. Hampir saja kakiku akan menerjang dari balik selimut."Sepertinya tidurmu nyenyak dan mimpimu indah? Apa kau memimpikan aku?" tanya Alexey seakan menggodaku."Berhenti merayuku," keluhku malu."Tidak berdosa jika aku merayu istriku sendiri, Hannah. Nah kau bilang mau makan tapi malah tidur,""Oh iya, aku sudah lupa,""Hmmm," Alexey tersenyum kecut, "bisa-bisanya kau melupakan rasa laparmu,"Aku hanya nyengir, tapi tak urung mengikuti Alexey keluar kamar dan duduk di kursi yang sudah disiapkan makanan."Boleh beri aku sedikit petunjuk tujuan kita?" tanyaku disela mengunyah daging steak wagyu yang enak sekali.Alexey diam sejenak. Seakan menimbang mengabulkan permintaanku. Dia menatapku lekat dari balik bulu matanya yang hitam, lebat dan lentik.Aku sangat iri dengan visual yang dimiliki Alexey. Wajahnya bertulang rahang tegas dengan belahan di dagu. Bahkan seakan itu tak cukup, bibirnya pun seksi berbelah.Hidungnya tinggi mancung dengan satu lubang manis di sisi kiri pipinya. Alisnya tebal dan ada satu belahan miring di bagian kanan."Kenapa kau menatapku seperti itu?" tanya Alexey dengan suara rendah yang basah.Aku mengerjap salah tingkah, "tidak apa-apa. Aku hanya berpikir sangat tidak adil saja,"Dia tertegun bingung, "apanya yang tidak adil? Apa kau merasa tersiksa setelah tiga jam menikah denganku?"Aku mendeteksi perasaan kecewa dari balik pertanyaannya. Tapi kutepis jauh-jauh rasa percaya diriku."Fisikmu terlalu sempurna Alexey Ovechkin!""Oh!"Alexey memalingkan wajahnya sambil berdehem kecil. Aku memberinya minum takut dia tersedak atau merasa mau muntah."Dan alex,""Ya?""Kau belum memberiku petunjuk," kataku mengingatkanAlex berubah ke mode serius dan mulai menatapku lagi. Kali ini aku tidak terlalu merasa terpesona. Ku pikir itu memang caranya menatap seseorang."Sebenarnya Hannah, kita sedang memulai misi,"Jawaban itu membuatku menelan air liur dengan berat. Aku ikut pelatihan "the wife" Hanya satu bulan. Dan menurutku itu tidak ada apa-apanya jika melihat anggota lain yang sudah dilatih sejak kecil."Kau gila?""Tenang Hannah, kau bersamaku,""Alex, aku hanya akan menjadi beban bagimu!""Benarkah?" tanya Alexey mengerling padaku, "aku yakin kau bahkan lebih berguna dibandingkan aku,"Senyuman Alexey membuatku merinding tapi tak urung ku masukkan potongan terakhir steak ku kedalam mulut. Mengunyahnya cepat dengan sedikit geram."Jangan menggodaku Alexey! Tidak lucu!"Alexey tergelak geli, " Aku tidak sedang menggodamu Hannah. Tapi kau memang sangat menggoda,"Oh tuhan! Ingin sekali rasanya aku menggetok kepala Alex dengan hot plate di depanku. Tapi dia tampak sangat menikmati momen kami ini.Akhirnya aku memutuskan untuk mengalah dan mencoba bertanya lebih lanjut,"Dimana tepatnya, ?""Coba tebak?"Aku menilik keluar jendela dan yang terlihat hanya awan dan samudera biru yang luas dengan beberapa titik kecil hijau."apa kau gila Alex? Hongkong?" pekikku tak percaya."sstttt, tenanglah istriku yang manis. kita akan memulai hidup baru disini," "disini " mataku semakin melotot.Alexey mengangguk sambil tersenyum cerah, "kita baru saja mendarat di hongkong," Aku ingin pingsan saja, tapi ingat kami memiliki misi penting untuk dilakukan. Meskipun Alexey sudah memastikan tidak banyak adegan berbahaya dalam tugas pertama ku ini, tapi aku tetap saja merasa gugup.Alexey membawa koper kami berdua keluar pesawat dengan dua tangannya, tapi memintaku menggandeng tangan kanannya. Aku menurut saja, daripada aku kesasar.Jika berangkat di landasan yang sepi, kali ini kami mendarat di bandara yang cukup padat. Beberapa mata menatap kami yang baru saja keluar dari pesawat jet pribadi.Aku begitu lengket pada Alexey, takut dengan suasana negara baru yang belum pernah aku kunjungi. Jika saja ini liburan sungguhan, mungkin aku akan menikmatinya. "bersikap santailah, Hannah, tidak ada yang akan mengenalimu disini,
Mobil berhenti didepan gang sempit yang sama sekali tidak muat dilalui kendaraan bermotor. Meskipun itu hanya sekedar sebuah sepeda motor. Sang sopir membantu kami membawakan koper Sementara aku berjalan mesra bersama Alexey menuju rumah baru kami.Rumah sederhana yang tidak terlalu besar. Aku merasa sangat heran karena aku sangat menyukai rumah baru kami. Senyuman cerah terbit diwajahku setelah merasa bisa betah disini. Tapi yang membuatku merasa pusing, beberapa barang rumah tangga berjejalan dihalaman. Sampai hampir menutupi halaman rumah tetangga baru kami.Saat Alexey membuka pintu. Seorang pria baru saja sampai dan dia merupakan tetangga baru kami.Alexey langsung menghampirinya dengan keramah tamahan yang belum pernah aku lihat."hai, kami baru saja pindah. maafkan barang-barang kami yang berserakan di halamanmu," kata Alexey basa- basi."oh tidak masalah, aku juga dulu pernah jadi orang baru. bahkan lebih parah dari ini," jawab pria itu sambil menertawakan diri sendiri. "
Harry dan Lily benar-benar sangat membantu. Alexey yang biasanya selalu bugar juga tampak kelelahan. Banyak sekali barang-barang yang menurutku tidak terlalu dibutuhkan. "Alex," aku mencoba membangunkannya saat sudah selesai memasak makan malam. Dia bergumam sedikit lalu kembali terlelap. Terpaksa aku duduk di depan wajahnya. Alex memiliki wajah yang sempurna, bahkan tubuhnya. Aku tidak dapat mencegah tanganku menyusuri lengan Alex yang di hiasi otot juga urat-urat yang menonjol. "Apa kau sedang mengagumi suamimu yang sedang tidur, sayang?" Aku terlompat kaget, mungkin dengan ekspresi yang lucu hingga Alexey tertawa terbahak-bahak. Menunduk malu merupakan jalan terbaik saat ini. "Hei," Alex menangkap daguku, "aku tidak masalah sayang, aku senang kau mengagumi ku, hmmm," "Maaf," jawabku merasa malu, "Untuk apa?" Alexey memaksaku menatap matanya yang indah. Sewarna ombak yang berpadu dengan badai, itu mempesonaku. "Karena bertindak tidak sopan," suaraku seperti orang
Aku memandang nanar kedalam liang lahat. Menyaksikan peti mati itu perlahan tenggelam didalam sana. Rasanya aku sudah tidak bisa menangis lagi.Adik kecilku terus meraung menangisi ibu kami yang telah terkubur bersama harapan kami. Josh kecil yang malang.Adikku pengidap autisme, tapi dia sangat mencintai ibu. Aku tidak tau bagaimana aku merawatnya tanpa ibu. Meskipun sebelum ini, ibu sudah setengah gila karena kehilangan ayah. Tanah makam ayah masih basah ketika ibu juga di makamkan disebelahnya. Karena belum dua bulan sejak kepergiannya. Masih teringat jelas di mataku bagaimana kecelakaan yang kami alami hari itu menewaskan ayah. Entah bagaimana kejadian itu begitu mengerikan tapi kami bertiga selamat. Hanya ayah yang langsung tewas ditempat.Ibu menjadi depresi. Satu minggu kami dirawat dirumah sakit dan sejak kejadian itu ibu sering diam dan melamun. Dia tidak pernah memikirkan bagaimana aku dan Josh melewati hari-hari menyedihkan itu.Ayahku seorang pemimpin organisasi rahasia
Aku mengemudi sendiri saat pulang kerumah. Paman Moriarty ingin mengantarkan tapi aku menolaknya karena ingin mendapatkan waktu untuk memikirkan tawaran paman.Ada sebuah mobil yang aku kenali terparkir di depan rumah saat aku sampai. Dengan perasaan campur aduk aku berusaha menenangkan diri.Itu adalah kakek, ayah dari ibuku. Jika semua identitas ibu palsu, bisa jadi dia juga kakek palsu bukan?. Sebelum turun dari mobil, aku minum sebotol air mineral untuk membasahi tenggorokanku yang tercekat.Aku menatap cermin sebentar dan melakukan senam wajah. Apapun yang aku tau akan aku lupakan selama bersama kakek. Aku berlari dengan senyuman getir dengan air mata tertahan. Saat melihat kakek berdiri di depan pintu aku langsung memeluknya erat, seperti biasa yang aku lakukan sejak kecil."Cucuku sayang," Kakek juga memelukku dengan hangat.Aku mulai menangis sesegukan di dadanya yang bidang. Semua rasa sakit, kekhawatiran dan pikiranku yang kalut tertumpah ruah di depan kakek."Kakek hanya i
Hannah! Hannah!Hannah!Aku menoleh ke arah suara. Tempat ini sunyi, yang aku lihat hanya warna putih. Tidak ada apapun yang bisa aku lihat. Tapi suara itu begitu mendesakku untuk menemukan nya. Siapa disana? Aneh, aku tidak dapat bersuara. Aku menyentuh wajahku, dan bibir ku masih tertempel di tempatnya. Tapi kenapa aku tidak bisa bicara sama sekali?Keanehan ini hanya dapat terjadi di alam mimpi. Begitu lah otakku menyadarkan ku. Hingga aku berusaha sekuat tenaga untuk bangun. Hannah!Suara itu semakin dekat. Dan kali ini, aku bisa merasakan bibirku bergerak, kelopak mataku berkedut, dan tanganku dipegang seseorang.Aku membuka mata, tapi kemudian aku menjerit ketakutan. "Ada apa ini?" Pekik ku ketakutan.Paman Moriarty berdiri disebelahku. Sementara aku duduk di kursi roda seraya diikat kuat. Untung saja mulutku tidak di bungkam."Paman! Ada apa ini? Kenapa aku diikat dan siapa mereka semua!" aku berkata dengan marah. Baru saja aku mempercayainya.Paman tidak melihat ke arahk
" Sudah saatnya kau bangkit, sayang," ujar kakek seraya membuka hordeng jendela. Cahaya silau masuk membuatku menggeliat. Rasanya nyaman sekali berada dikasur empuk di pagi yang sejuk ini. Aku sudah satu minggu berada dirumah kakek tanpa keluar sama sekali. Kerja ku hanya makan tidur dan berpikir. Aku berjanji akan ikut kakek hari ini ke suatu tempat.Kakek hanya tinggal seorang diri dirumah yang sederhana ini. Sebenarnya selama ini, aku hanya tau rumah kakek yang ada di kanada. Setiap liburan aku dan Josh akan menginap disana selama beberapa hari. Disana ada asisten rumah tangga kakek yang mengurus semua keperluan kami. Kakek selalu mengajak kami main ski saat bersalju. Melatihku memanah dengan berburu rusa di hutan bersamanya. Kadang kami juga main baseball untuk melatih kecepatanku.Aku tidak menyadari sudah dilatih sejak kecil. Di sekolah juga aku mengikuti kelas karate meskipun aku tidak pernah ikut dalam turnamen. Ibu dan ayah melarangku untuk ikut serta. Setelah selesai b
"Kastil?" tanyaku takjub pada kakek.Kakek tersenyum, "ya, kau menyukainya?""Hidup dikastil kerajaan mungkin menjadi impian setiap gadis kecil kakek,""Tapi itu bukan kastil kerajaan, sayangku,"Senyumanku lenyap, " Tentu saja," gumamku kecewa."Anna juga memandangi kastil itu dengan takjub sebelum dia pergi kesana sebagai gadis bertekad kuat, dan dia keluar sebagai " The Wife" Paling berbakat," ujar kakek sangat bangga."The wife?" aku sedikit bingung dengan sebutan itu,"Kau akan mengerti saat sudah tiba disana, sekarang ayo kita terbang kesana," Ajak kakek semangat."Terbang?" kali ini aku geli mendengarnya.Tapi kakek tidak bercanda soal terbang itu, terbang yang dia maksud merupakan bergelantungan diatas tali panjang sejauh mata memandang ke arah kastil.Aku berjingkrak senang karena kami sangat sering melakukan permainan ini ditaman hiburan. Awalnya aku takut, tapi karena paksaan kakek dan bimbingan darinya, aku jadi ketagihan.Setelah memasang sabuk pengaman kami berdua pun me
Harry dan Lily benar-benar sangat membantu. Alexey yang biasanya selalu bugar juga tampak kelelahan. Banyak sekali barang-barang yang menurutku tidak terlalu dibutuhkan. "Alex," aku mencoba membangunkannya saat sudah selesai memasak makan malam. Dia bergumam sedikit lalu kembali terlelap. Terpaksa aku duduk di depan wajahnya. Alex memiliki wajah yang sempurna, bahkan tubuhnya. Aku tidak dapat mencegah tanganku menyusuri lengan Alex yang di hiasi otot juga urat-urat yang menonjol. "Apa kau sedang mengagumi suamimu yang sedang tidur, sayang?" Aku terlompat kaget, mungkin dengan ekspresi yang lucu hingga Alexey tertawa terbahak-bahak. Menunduk malu merupakan jalan terbaik saat ini. "Hei," Alex menangkap daguku, "aku tidak masalah sayang, aku senang kau mengagumi ku, hmmm," "Maaf," jawabku merasa malu, "Untuk apa?" Alexey memaksaku menatap matanya yang indah. Sewarna ombak yang berpadu dengan badai, itu mempesonaku. "Karena bertindak tidak sopan," suaraku seperti orang
Mobil berhenti didepan gang sempit yang sama sekali tidak muat dilalui kendaraan bermotor. Meskipun itu hanya sekedar sebuah sepeda motor. Sang sopir membantu kami membawakan koper Sementara aku berjalan mesra bersama Alexey menuju rumah baru kami.Rumah sederhana yang tidak terlalu besar. Aku merasa sangat heran karena aku sangat menyukai rumah baru kami. Senyuman cerah terbit diwajahku setelah merasa bisa betah disini. Tapi yang membuatku merasa pusing, beberapa barang rumah tangga berjejalan dihalaman. Sampai hampir menutupi halaman rumah tetangga baru kami.Saat Alexey membuka pintu. Seorang pria baru saja sampai dan dia merupakan tetangga baru kami.Alexey langsung menghampirinya dengan keramah tamahan yang belum pernah aku lihat."hai, kami baru saja pindah. maafkan barang-barang kami yang berserakan di halamanmu," kata Alexey basa- basi."oh tidak masalah, aku juga dulu pernah jadi orang baru. bahkan lebih parah dari ini," jawab pria itu sambil menertawakan diri sendiri. "
"apa kau gila Alex? Hongkong?" pekikku tak percaya."sstttt, tenanglah istriku yang manis. kita akan memulai hidup baru disini," "disini " mataku semakin melotot.Alexey mengangguk sambil tersenyum cerah, "kita baru saja mendarat di hongkong," Aku ingin pingsan saja, tapi ingat kami memiliki misi penting untuk dilakukan. Meskipun Alexey sudah memastikan tidak banyak adegan berbahaya dalam tugas pertama ku ini, tapi aku tetap saja merasa gugup.Alexey membawa koper kami berdua keluar pesawat dengan dua tangannya, tapi memintaku menggandeng tangan kanannya. Aku menurut saja, daripada aku kesasar.Jika berangkat di landasan yang sepi, kali ini kami mendarat di bandara yang cukup padat. Beberapa mata menatap kami yang baru saja keluar dari pesawat jet pribadi.Aku begitu lengket pada Alexey, takut dengan suasana negara baru yang belum pernah aku kunjungi. Jika saja ini liburan sungguhan, mungkin aku akan menikmatinya. "bersikap santailah, Hannah, tidak ada yang akan mengenalimu disini,
Deru angin menghiasi perjalanan udara kami. Pemandangan indah terhampar begitu hijau dengan undakan bukit-bukit batu yang curam dan terlihat berbahaya. Alexey mencoba menggenggam tanganku. Dia tampak terkejut karena tanganku yang dingin dan sedikit gemetar. Tatapan matanya seakan bertanya kenapa?Aku menggeleng lembut seraya tersenyum. Percuma berbicara di atas sini. Tidak akan terdengar apapun kecuali suara baling-baling dan angin. Helikopter itu membawa kami ke sebuah landasan yang tampak sepi. Alexey membantu melepaskan sabuk pengaman dan menarikku bersamanya menuruni helikopter itu.Aku merunduk sampai terasa suara baling-baling mulai menjauh. Alexey melambai tangan pada mereka dan terus membawaku bersamanya."Kita akan kemana?" tanyaku bingung."Ganti pesawat," jawab Alexey singkat padat dan jelas. Benar saja, sebuah pesawat jenis Airbus ACJ319neo terparkir cantik di landasan dan sudah siap berangkat . Aku sempat tertegun, seberapa jauh Alexey akan membawaku dengan pesawat itu
"Bisa tolong pejamkan matamu?" pinta penata rias padaku. Aku menurut saja dan menikmati setiap polesan diwajahku.Aku sedang berada di dalam kamar pengantin. Kamar Alexey di rumah keluarga Ovechkin yang disulap menjadi kamar yang indah.Aku mendengar gumaman rendah para tamu yang hadir di pernikahan kami hari ini. Meskipun hanya pernikahan kontrak, tapi kegugupan membuat saraf-sarafku tegang.Setelah riasanku selesai, aku memakai gaun pengantin berwarna putih tulang. Gaun warisan ibunya Alexey yang ukurannya pas untukku. Alexey bersikeras ingin datang ke butik, tapi aku menolak karena Vladimir menunjukkanku gaun cantik itu. Vladimir sangat berterima kasih padaku dan memberikan cincin pernikahan mereka sebagai ungkapan bahagianya."Oh putriku yang cantik," Vladimir berseru di ambang pintu. Aku tersenyum malu seraya memperhatikan ekor gaun dengan detail payet berbentuk kupu-kupu. Vladimir datang untuk memelukku dan mengecup pucuk kepalaku."Jangan menangis, nanti maskaramu luntur," B
"Ayah, kenalkan calon istriku," kata Alexey pada seorang pria tua beruban yang sedang menikmati sore yang cerah di halaman belakang rumahnya.Dia menatap ke arahku dan tersenyum begitu lebar. Barisan giginya yang rapi tampak sumringah, dia berdiri seraya merentangkan tangan padaku. Aku maju, dengan canggung menerima pelukan dari pria yang baru saja aku temui. Meski sudah tua, dia tampak sangat sehat dan berotot. Aku jadi tau dari mana Alexey mendapatkan senyumannya yang menawan."Vladimir, siapa namamu nona?" tanya nya sopan."Hannah Thompson," jawabku gugup."Cantik sekali seperti orangnya. Nah nak, mari temani aku bermain catur," ajak Vladimir pada putranya."Boleh aku saja yang temani?" tanyaku menawarkan diri. Aku sering mengalahkan ayah bermain catur. Dia sangat bangga padaku karena aku ahli dalam strategi. Dan sekarang, aku ingin mencoba kemampuanku pada orang lain. Apakah itu benar-benar kemampuanku atau ayah hanya mengalah untuk membesarkan hatiku.Vladimir cukup terkejut de
"Kastil?" tanyaku takjub pada kakek.Kakek tersenyum, "ya, kau menyukainya?""Hidup dikastil kerajaan mungkin menjadi impian setiap gadis kecil kakek,""Tapi itu bukan kastil kerajaan, sayangku,"Senyumanku lenyap, " Tentu saja," gumamku kecewa."Anna juga memandangi kastil itu dengan takjub sebelum dia pergi kesana sebagai gadis bertekad kuat, dan dia keluar sebagai " The Wife" Paling berbakat," ujar kakek sangat bangga."The wife?" aku sedikit bingung dengan sebutan itu,"Kau akan mengerti saat sudah tiba disana, sekarang ayo kita terbang kesana," Ajak kakek semangat."Terbang?" kali ini aku geli mendengarnya.Tapi kakek tidak bercanda soal terbang itu, terbang yang dia maksud merupakan bergelantungan diatas tali panjang sejauh mata memandang ke arah kastil.Aku berjingkrak senang karena kami sangat sering melakukan permainan ini ditaman hiburan. Awalnya aku takut, tapi karena paksaan kakek dan bimbingan darinya, aku jadi ketagihan.Setelah memasang sabuk pengaman kami berdua pun me
" Sudah saatnya kau bangkit, sayang," ujar kakek seraya membuka hordeng jendela. Cahaya silau masuk membuatku menggeliat. Rasanya nyaman sekali berada dikasur empuk di pagi yang sejuk ini. Aku sudah satu minggu berada dirumah kakek tanpa keluar sama sekali. Kerja ku hanya makan tidur dan berpikir. Aku berjanji akan ikut kakek hari ini ke suatu tempat.Kakek hanya tinggal seorang diri dirumah yang sederhana ini. Sebenarnya selama ini, aku hanya tau rumah kakek yang ada di kanada. Setiap liburan aku dan Josh akan menginap disana selama beberapa hari. Disana ada asisten rumah tangga kakek yang mengurus semua keperluan kami. Kakek selalu mengajak kami main ski saat bersalju. Melatihku memanah dengan berburu rusa di hutan bersamanya. Kadang kami juga main baseball untuk melatih kecepatanku.Aku tidak menyadari sudah dilatih sejak kecil. Di sekolah juga aku mengikuti kelas karate meskipun aku tidak pernah ikut dalam turnamen. Ibu dan ayah melarangku untuk ikut serta. Setelah selesai b
Hannah! Hannah!Hannah!Aku menoleh ke arah suara. Tempat ini sunyi, yang aku lihat hanya warna putih. Tidak ada apapun yang bisa aku lihat. Tapi suara itu begitu mendesakku untuk menemukan nya. Siapa disana? Aneh, aku tidak dapat bersuara. Aku menyentuh wajahku, dan bibir ku masih tertempel di tempatnya. Tapi kenapa aku tidak bisa bicara sama sekali?Keanehan ini hanya dapat terjadi di alam mimpi. Begitu lah otakku menyadarkan ku. Hingga aku berusaha sekuat tenaga untuk bangun. Hannah!Suara itu semakin dekat. Dan kali ini, aku bisa merasakan bibirku bergerak, kelopak mataku berkedut, dan tanganku dipegang seseorang.Aku membuka mata, tapi kemudian aku menjerit ketakutan. "Ada apa ini?" Pekik ku ketakutan.Paman Moriarty berdiri disebelahku. Sementara aku duduk di kursi roda seraya diikat kuat. Untung saja mulutku tidak di bungkam."Paman! Ada apa ini? Kenapa aku diikat dan siapa mereka semua!" aku berkata dengan marah. Baru saja aku mempercayainya.Paman tidak melihat ke arahk