Aku mengemudi sendiri saat pulang kerumah. Paman Moriarty ingin mengantarkan tapi aku menolaknya karena ingin mendapatkan waktu untuk memikirkan tawaran paman.
Ada sebuah mobil yang aku kenali terparkir di depan rumah saat aku sampai. Dengan perasaan campur aduk aku berusaha menenangkan diri.Itu adalah kakek, ayah dari ibuku. Jika semua identitas ibu palsu, bisa jadi dia juga kakek palsu bukan?. Sebelum turun dari mobil, aku minum sebotol air mineral untuk membasahi tenggorokanku yang tercekat.Aku menatap cermin sebentar dan melakukan senam wajah. Apapun yang aku tau akan aku lupakan selama bersama kakek.Aku berlari dengan senyuman getir dengan air mata tertahan. Saat melihat kakek berdiri di depan pintu aku langsung memeluknya erat, seperti biasa yang aku lakukan sejak kecil."Cucuku sayang," Kakek juga memelukku dengan hangat.Aku mulai menangis sesegukan di dadanya yang bidang. Semua rasa sakit, kekhawatiran dan pikiranku yang kalut tertumpah ruah di depan kakek."Kakek hanya ingin mengetahui kabarmu, bagaimana dengan keadaan Josh? Katanya dia koma?"Sepersekian detik itu aku terkejut. Bagaimana kakek bisa tau kabar itu? Padahal kami belum memberitahu siapapun. Tapi aku bersikap seolah itu hal yang wajar."Dokter masih melakukan diagnosa lebih lengkap untuk mengambil tindakan, Kek." Jawabku menunduk sedih.Kakek tersenyum lemah, dia mengecup keningku sambil menepuk-nepuk pundakku agar tenang."Jangan khawatir, Josh prajurit yang kuat. Dia akan sadar sebentar lagi sayang. Kau harus jaga dirimu baik-baik,""Baiklah kek,"Kakek berpamitan pulang. Aku merasa lega saat melihat mobilnya sudah hilang dari pandangan. Setidaknya kakek tidak curiga aku sudah mengetahui banyak hal.Aku mengemasi baju-baju ke dalam koper. Tak lupa boneka T-rex kesayangan Josh juga aku bawa. Paman berpesan aku tidak boleh terlalu lama dirumah.Dia juga memberitahuku beberapa tempat penyimpanan senjata yang dimiliki ibu. Aku mematikan lampu dan menutup jendela. Memastikan semua pintu sudah terkunci.Ibuku suka membuat kue. Dan didapurnya dia memiliki alat masak yang sangat lengkap, termasuk oven besar yang berada dibawah kompor.Aku membuka oven dan meraba Langit-langitnya sampai aku menemukan satu tombol persegi yang rata. Aku menekannya hingga berbunyi suara "klik" Lalu sebuah laci muncul dari bawah oven.Aku membuka laci tersembunyi itu dan mendapati pistol pendek berwarna hitam pekat. Melihat itu tanganku gemetaran. Meskipun sudah menduganya, aku tetap saja terkejut.Bukannya aku takut memegang pistol itu. Sejak kecil ibu selalu membawaku pergi ke pelatihan menembak, memanah, berkuda, dan latihan renang rutin setiap minggu.Ibu selalu beralasan itu merupakan cara kami menghabiskan waktu sesama wanita. Aku senang sekali karena kami bisa melakukan banyak hal seru hanya sesama wanita. Bahkan aku lebih banyak foto bersama ibu ketimbang ayah.Aku memeriksa pistol itu berisi tapi belum dikokang. Jadi aku menyimpannya di pinggan untuk berjaga.Aku tidak tau alasan kakek datang kesini. Tapi aku melihat gelagat aneh dari caranya melihat kerumah kami. Dia juga terlihat gugup dan kikuk saat aku memeluknya tadi.Setelah semu persiapan selesai, aku bergegas keluar rumah. Sekeliling rumah sangat sunyi. Biasanya, jika hampir senja seperti ini, banyak orang berlalu lalang pulang dari taman, pulang kerja, atau anak-anak yang berlarian, ada pula yang bersepeda.Mungkin hanya perasaan ku saja yang berpikir parno. Suara jangkrik terdengar begitu keras sangking sunyinya. Aku membuka pintu mobil dengan tangan gemetar.Angin aneh meniup tengkukku. Memaksaku berpaling dan begitu terkejut saat melihat sebuah peluru datang kearahku.Jangan terkejut! Aku sudah terbiasa mendapat pelatihan militer dari ibuku secara diam-diam. Bahkan ayah juga sering melatihku di pekarangan belakang rumah.Sekian detik yang lamban itu aku menunduk. Beruntung peluru itu hanya menembus kaca depan mobilku bukan kepalaku.Tanpa berpikir panjang, aku langsung masuk ke mobil dan tancap gas. Peluru mulai datang lagi satu persatu. Dari situ aku tau penembaknya hanya satu orang. Jika lebih, aku sudah mati.Sambil mengemudi dengan ketakutan aku merogoh kantong celanaku, merutuki kenapa saat genting seperti ini susah sekali mengeluarkan ponselku dari dalam sana.Karena kesal aku hanya terus ngebut untuk sampai kerumah sakit. Setelah memastikan keadaan aman, aku mengendap-ngendap masuk hingga bertemu paman yang menabrakku.Astaga! Aku terlompat kaget."Hannah! Ada apa?" tanya paman panik.Aku tau bagaimana rupaku saat ini. Pantulan di cermin sudah menjelaskan kenapa paman bisa tau aku sedang ketakutan.Karena bibirku kelu, paman langsung memapahku ke kamar Josh.Keadaan disana membuatku lebih takut lagi. Ada sepuluh pria kekar dengan wajah sangar sedang berjaga. Mataku melotot dan bibirku hampir terbang.Paman mengerti dan dia memintaku duduk sambil menyuguhkan minum. Paman selalu memberiku air putih. Dia sangat menjaga kesehatan."Bisa kau ceritakan apa yang membuat wajahmu pucat?" tanya paman lembut, dia duduk menghadapku."Ada yang mencoba membunuhku, kurasa," jawabku tidak yakin.Paman menautkan alisnya, "maksudmu?""Jika dia berniat membunuhku tentu dia bisa Paman, tapi dia hanya menakuti aku dengan semua peluru nyasar itu,"Senyuman sinis terbit diwajah paman, "kau memang cerdas, pantas saja mereka mengincarmu setelah ibumu mengakhiri hidupnya,""Apa?" suaraku meninggi mendengar kata "incar"." Nak, seorang gadis yang lahir dari seorang mata-mata yang luar biasa cerdas dan cantik, ditambah seorang ayah yang juga berjiwa militer, tentu akan menjadi incaran negara manapun,"Aku terdiam, tidak bisa menanggapi lagi. Paman lalu pindah disebelahku dan mengusap punggungku pelan."Paman yakin kau menguasai semua yang dikuasai ibumu dan kakakku,""Benar, tapi mungkin tidak semuanya,""Ingat semua hadiah yang paman berikan?"Aku mengangguk. Semua mainan itu masih ku simpan rapi di dalam loteng. Ayah menyulap loteng menjadi ruang bermain kami.Jadi aku akan naik kesana setiap malam sebelum tidur untuk memecahkan kasus yang diberikan paman. Semua itu akan ditukar dengan hadiah nantinya."Berapa banyak yang kau ingat?" tanya paman senang.Aku berpikir, "hampir semuanya,""Bagus, itu cukup untuk bekalmu nanti,""Bekal apa?" seketika panik menelusup ke seluruh tubuhku.Paman hanya tersenyum penuh arti. Kemudian semuanya menjadi gelap karena aku jatuh mencium lantai dengan kepala melayang-layang.Hal terakhir yang aku ingat adalah, suara Josh yang memanggilku."Josh! Josh! Josh!"Bibirku berusaha mengucapkan nama adikku sekuat yang aku bisa. Tapi itu sia-sia, karena suaraku tenggelam bersama kesadaran ku.Hannah! Hannah!Hannah!Aku menoleh ke arah suara. Tempat ini sunyi, yang aku lihat hanya warna putih. Tidak ada apapun yang bisa aku lihat. Tapi suara itu begitu mendesakku untuk menemukan nya. Siapa disana? Aneh, aku tidak dapat bersuara. Aku menyentuh wajahku, dan bibir ku masih tertempel di tempatnya. Tapi kenapa aku tidak bisa bicara sama sekali?Keanehan ini hanya dapat terjadi di alam mimpi. Begitu lah otakku menyadarkan ku. Hingga aku berusaha sekuat tenaga untuk bangun. Hannah!Suara itu semakin dekat. Dan kali ini, aku bisa merasakan bibirku bergerak, kelopak mataku berkedut, dan tanganku dipegang seseorang.Aku membuka mata, tapi kemudian aku menjerit ketakutan. "Ada apa ini?" Pekik ku ketakutan.Paman Moriarty berdiri disebelahku. Sementara aku duduk di kursi roda seraya diikat kuat. Untung saja mulutku tidak di bungkam."Paman! Ada apa ini? Kenapa aku diikat dan siapa mereka semua!" aku berkata dengan marah. Baru saja aku mempercayainya.Paman tidak melihat ke arahk
" Sudah saatnya kau bangkit, sayang," ujar kakek seraya membuka hordeng jendela. Cahaya silau masuk membuatku menggeliat. Rasanya nyaman sekali berada dikasur empuk di pagi yang sejuk ini. Aku sudah satu minggu berada dirumah kakek tanpa keluar sama sekali. Kerja ku hanya makan tidur dan berpikir. Aku berjanji akan ikut kakek hari ini ke suatu tempat.Kakek hanya tinggal seorang diri dirumah yang sederhana ini. Sebenarnya selama ini, aku hanya tau rumah kakek yang ada di kanada. Setiap liburan aku dan Josh akan menginap disana selama beberapa hari. Disana ada asisten rumah tangga kakek yang mengurus semua keperluan kami. Kakek selalu mengajak kami main ski saat bersalju. Melatihku memanah dengan berburu rusa di hutan bersamanya. Kadang kami juga main baseball untuk melatih kecepatanku.Aku tidak menyadari sudah dilatih sejak kecil. Di sekolah juga aku mengikuti kelas karate meskipun aku tidak pernah ikut dalam turnamen. Ibu dan ayah melarangku untuk ikut serta. Setelah selesai b
"Kastil?" tanyaku takjub pada kakek.Kakek tersenyum, "ya, kau menyukainya?""Hidup dikastil kerajaan mungkin menjadi impian setiap gadis kecil kakek,""Tapi itu bukan kastil kerajaan, sayangku,"Senyumanku lenyap, " Tentu saja," gumamku kecewa."Anna juga memandangi kastil itu dengan takjub sebelum dia pergi kesana sebagai gadis bertekad kuat, dan dia keluar sebagai " The Wife" Paling berbakat," ujar kakek sangat bangga."The wife?" aku sedikit bingung dengan sebutan itu,"Kau akan mengerti saat sudah tiba disana, sekarang ayo kita terbang kesana," Ajak kakek semangat."Terbang?" kali ini aku geli mendengarnya.Tapi kakek tidak bercanda soal terbang itu, terbang yang dia maksud merupakan bergelantungan diatas tali panjang sejauh mata memandang ke arah kastil.Aku berjingkrak senang karena kami sangat sering melakukan permainan ini ditaman hiburan. Awalnya aku takut, tapi karena paksaan kakek dan bimbingan darinya, aku jadi ketagihan.Setelah memasang sabuk pengaman kami berdua pun me
"Ayah, kenalkan calon istriku," kata Alexey pada seorang pria tua beruban yang sedang menikmati sore yang cerah di halaman belakang rumahnya.Dia menatap ke arahku dan tersenyum begitu lebar. Barisan giginya yang rapi tampak sumringah, dia berdiri seraya merentangkan tangan padaku. Aku maju, dengan canggung menerima pelukan dari pria yang baru saja aku temui. Meski sudah tua, dia tampak sangat sehat dan berotot. Aku jadi tau dari mana Alexey mendapatkan senyumannya yang menawan."Vladimir, siapa namamu nona?" tanya nya sopan."Hannah Thompson," jawabku gugup."Cantik sekali seperti orangnya. Nah nak, mari temani aku bermain catur," ajak Vladimir pada putranya."Boleh aku saja yang temani?" tanyaku menawarkan diri. Aku sering mengalahkan ayah bermain catur. Dia sangat bangga padaku karena aku ahli dalam strategi. Dan sekarang, aku ingin mencoba kemampuanku pada orang lain. Apakah itu benar-benar kemampuanku atau ayah hanya mengalah untuk membesarkan hatiku.Vladimir cukup terkejut de
"Bisa tolong pejamkan matamu?" pinta penata rias padaku. Aku menurut saja dan menikmati setiap polesan diwajahku.Aku sedang berada di dalam kamar pengantin. Kamar Alexey di rumah keluarga Ovechkin yang disulap menjadi kamar yang indah.Aku mendengar gumaman rendah para tamu yang hadir di pernikahan kami hari ini. Meskipun hanya pernikahan kontrak, tapi kegugupan membuat saraf-sarafku tegang.Setelah riasanku selesai, aku memakai gaun pengantin berwarna putih tulang. Gaun warisan ibunya Alexey yang ukurannya pas untukku. Alexey bersikeras ingin datang ke butik, tapi aku menolak karena Vladimir menunjukkanku gaun cantik itu. Vladimir sangat berterima kasih padaku dan memberikan cincin pernikahan mereka sebagai ungkapan bahagianya."Oh putriku yang cantik," Vladimir berseru di ambang pintu. Aku tersenyum malu seraya memperhatikan ekor gaun dengan detail payet berbentuk kupu-kupu. Vladimir datang untuk memelukku dan mengecup pucuk kepalaku."Jangan menangis, nanti maskaramu luntur," B
Deru angin menghiasi perjalanan udara kami. Pemandangan indah terhampar begitu hijau dengan undakan bukit-bukit batu yang curam dan terlihat berbahaya. Alexey mencoba menggenggam tanganku. Dia tampak terkejut karena tanganku yang dingin dan sedikit gemetar. Tatapan matanya seakan bertanya kenapa?Aku menggeleng lembut seraya tersenyum. Percuma berbicara di atas sini. Tidak akan terdengar apapun kecuali suara baling-baling dan angin. Helikopter itu membawa kami ke sebuah landasan yang tampak sepi. Alexey membantu melepaskan sabuk pengaman dan menarikku bersamanya menuruni helikopter itu.Aku merunduk sampai terasa suara baling-baling mulai menjauh. Alexey melambai tangan pada mereka dan terus membawaku bersamanya."Kita akan kemana?" tanyaku bingung."Ganti pesawat," jawab Alexey singkat padat dan jelas. Benar saja, sebuah pesawat jenis Airbus ACJ319neo terparkir cantik di landasan dan sudah siap berangkat . Aku sempat tertegun, seberapa jauh Alexey akan membawaku dengan pesawat itu
"apa kau gila Alex? Hongkong?" pekikku tak percaya."sstttt, tenanglah istriku yang manis. kita akan memulai hidup baru disini," "disini " mataku semakin melotot.Alexey mengangguk sambil tersenyum cerah, "kita baru saja mendarat di hongkong," Aku ingin pingsan saja, tapi ingat kami memiliki misi penting untuk dilakukan. Meskipun Alexey sudah memastikan tidak banyak adegan berbahaya dalam tugas pertama ku ini, tapi aku tetap saja merasa gugup.Alexey membawa koper kami berdua keluar pesawat dengan dua tangannya, tapi memintaku menggandeng tangan kanannya. Aku menurut saja, daripada aku kesasar.Jika berangkat di landasan yang sepi, kali ini kami mendarat di bandara yang cukup padat. Beberapa mata menatap kami yang baru saja keluar dari pesawat jet pribadi.Aku begitu lengket pada Alexey, takut dengan suasana negara baru yang belum pernah aku kunjungi. Jika saja ini liburan sungguhan, mungkin aku akan menikmatinya. "bersikap santailah, Hannah, tidak ada yang akan mengenalimu disini,
Mobil berhenti didepan gang sempit yang sama sekali tidak muat dilalui kendaraan bermotor. Meskipun itu hanya sekedar sebuah sepeda motor. Sang sopir membantu kami membawakan koper Sementara aku berjalan mesra bersama Alexey menuju rumah baru kami.Rumah sederhana yang tidak terlalu besar. Aku merasa sangat heran karena aku sangat menyukai rumah baru kami. Senyuman cerah terbit diwajahku setelah merasa bisa betah disini. Tapi yang membuatku merasa pusing, beberapa barang rumah tangga berjejalan dihalaman. Sampai hampir menutupi halaman rumah tetangga baru kami.Saat Alexey membuka pintu. Seorang pria baru saja sampai dan dia merupakan tetangga baru kami.Alexey langsung menghampirinya dengan keramah tamahan yang belum pernah aku lihat."hai, kami baru saja pindah. maafkan barang-barang kami yang berserakan di halamanmu," kata Alexey basa- basi."oh tidak masalah, aku juga dulu pernah jadi orang baru. bahkan lebih parah dari ini," jawab pria itu sambil menertawakan diri sendiri. "
Harry dan Lily benar-benar sangat membantu. Alexey yang biasanya selalu bugar juga tampak kelelahan. Banyak sekali barang-barang yang menurutku tidak terlalu dibutuhkan. "Alex," aku mencoba membangunkannya saat sudah selesai memasak makan malam. Dia bergumam sedikit lalu kembali terlelap.Terpaksa aku duduk di depan wajahnya. Alex memiliki wajah yang sempurna, bahkan tubuhnya. Aku tidak dapat mencegah tanganku menyusuri lengan Alex yang di hiasi otot juga urat-urat yang menonjol. "Apa kau sedang mengagumi suamimu yang sedang tidur, sayang?" Aku terlompat kaget, mungkin dengan ekspresi yang lucu hingga Alexey tertawa terbahak-bahak. Menunduk malu merupakan jalan terbaik saat ini."Hei," Alex menangkap daguku, "aku tidak masalah sayang, aku senang kau mengagumi ku, hmmm," "Maaf," jawabku merasa malu,"Untuk apa?" Alexey memaksaku menatap matanya yang indah. Sewarna ombak yang berpadu dengan badai, itu mempesonaku."Karena bertindak tidak sopan," suaraku seperti orang yang terhipnoti
Mobil berhenti didepan gang sempit yang sama sekali tidak muat dilalui kendaraan bermotor. Meskipun itu hanya sekedar sebuah sepeda motor. Sang sopir membantu kami membawakan koper Sementara aku berjalan mesra bersama Alexey menuju rumah baru kami.Rumah sederhana yang tidak terlalu besar. Aku merasa sangat heran karena aku sangat menyukai rumah baru kami. Senyuman cerah terbit diwajahku setelah merasa bisa betah disini. Tapi yang membuatku merasa pusing, beberapa barang rumah tangga berjejalan dihalaman. Sampai hampir menutupi halaman rumah tetangga baru kami.Saat Alexey membuka pintu. Seorang pria baru saja sampai dan dia merupakan tetangga baru kami.Alexey langsung menghampirinya dengan keramah tamahan yang belum pernah aku lihat."hai, kami baru saja pindah. maafkan barang-barang kami yang berserakan di halamanmu," kata Alexey basa- basi."oh tidak masalah, aku juga dulu pernah jadi orang baru. bahkan lebih parah dari ini," jawab pria itu sambil menertawakan diri sendiri. "
"apa kau gila Alex? Hongkong?" pekikku tak percaya."sstttt, tenanglah istriku yang manis. kita akan memulai hidup baru disini," "disini " mataku semakin melotot.Alexey mengangguk sambil tersenyum cerah, "kita baru saja mendarat di hongkong," Aku ingin pingsan saja, tapi ingat kami memiliki misi penting untuk dilakukan. Meskipun Alexey sudah memastikan tidak banyak adegan berbahaya dalam tugas pertama ku ini, tapi aku tetap saja merasa gugup.Alexey membawa koper kami berdua keluar pesawat dengan dua tangannya, tapi memintaku menggandeng tangan kanannya. Aku menurut saja, daripada aku kesasar.Jika berangkat di landasan yang sepi, kali ini kami mendarat di bandara yang cukup padat. Beberapa mata menatap kami yang baru saja keluar dari pesawat jet pribadi.Aku begitu lengket pada Alexey, takut dengan suasana negara baru yang belum pernah aku kunjungi. Jika saja ini liburan sungguhan, mungkin aku akan menikmatinya. "bersikap santailah, Hannah, tidak ada yang akan mengenalimu disini,
Deru angin menghiasi perjalanan udara kami. Pemandangan indah terhampar begitu hijau dengan undakan bukit-bukit batu yang curam dan terlihat berbahaya. Alexey mencoba menggenggam tanganku. Dia tampak terkejut karena tanganku yang dingin dan sedikit gemetar. Tatapan matanya seakan bertanya kenapa?Aku menggeleng lembut seraya tersenyum. Percuma berbicara di atas sini. Tidak akan terdengar apapun kecuali suara baling-baling dan angin. Helikopter itu membawa kami ke sebuah landasan yang tampak sepi. Alexey membantu melepaskan sabuk pengaman dan menarikku bersamanya menuruni helikopter itu.Aku merunduk sampai terasa suara baling-baling mulai menjauh. Alexey melambai tangan pada mereka dan terus membawaku bersamanya."Kita akan kemana?" tanyaku bingung."Ganti pesawat," jawab Alexey singkat padat dan jelas. Benar saja, sebuah pesawat jenis Airbus ACJ319neo terparkir cantik di landasan dan sudah siap berangkat . Aku sempat tertegun, seberapa jauh Alexey akan membawaku dengan pesawat itu
"Bisa tolong pejamkan matamu?" pinta penata rias padaku. Aku menurut saja dan menikmati setiap polesan diwajahku.Aku sedang berada di dalam kamar pengantin. Kamar Alexey di rumah keluarga Ovechkin yang disulap menjadi kamar yang indah.Aku mendengar gumaman rendah para tamu yang hadir di pernikahan kami hari ini. Meskipun hanya pernikahan kontrak, tapi kegugupan membuat saraf-sarafku tegang.Setelah riasanku selesai, aku memakai gaun pengantin berwarna putih tulang. Gaun warisan ibunya Alexey yang ukurannya pas untukku. Alexey bersikeras ingin datang ke butik, tapi aku menolak karena Vladimir menunjukkanku gaun cantik itu. Vladimir sangat berterima kasih padaku dan memberikan cincin pernikahan mereka sebagai ungkapan bahagianya."Oh putriku yang cantik," Vladimir berseru di ambang pintu. Aku tersenyum malu seraya memperhatikan ekor gaun dengan detail payet berbentuk kupu-kupu. Vladimir datang untuk memelukku dan mengecup pucuk kepalaku."Jangan menangis, nanti maskaramu luntur," B
"Ayah, kenalkan calon istriku," kata Alexey pada seorang pria tua beruban yang sedang menikmati sore yang cerah di halaman belakang rumahnya.Dia menatap ke arahku dan tersenyum begitu lebar. Barisan giginya yang rapi tampak sumringah, dia berdiri seraya merentangkan tangan padaku. Aku maju, dengan canggung menerima pelukan dari pria yang baru saja aku temui. Meski sudah tua, dia tampak sangat sehat dan berotot. Aku jadi tau dari mana Alexey mendapatkan senyumannya yang menawan."Vladimir, siapa namamu nona?" tanya nya sopan."Hannah Thompson," jawabku gugup."Cantik sekali seperti orangnya. Nah nak, mari temani aku bermain catur," ajak Vladimir pada putranya."Boleh aku saja yang temani?" tanyaku menawarkan diri. Aku sering mengalahkan ayah bermain catur. Dia sangat bangga padaku karena aku ahli dalam strategi. Dan sekarang, aku ingin mencoba kemampuanku pada orang lain. Apakah itu benar-benar kemampuanku atau ayah hanya mengalah untuk membesarkan hatiku.Vladimir cukup terkejut de
"Kastil?" tanyaku takjub pada kakek.Kakek tersenyum, "ya, kau menyukainya?""Hidup dikastil kerajaan mungkin menjadi impian setiap gadis kecil kakek,""Tapi itu bukan kastil kerajaan, sayangku,"Senyumanku lenyap, " Tentu saja," gumamku kecewa."Anna juga memandangi kastil itu dengan takjub sebelum dia pergi kesana sebagai gadis bertekad kuat, dan dia keluar sebagai " The Wife" Paling berbakat," ujar kakek sangat bangga."The wife?" aku sedikit bingung dengan sebutan itu,"Kau akan mengerti saat sudah tiba disana, sekarang ayo kita terbang kesana," Ajak kakek semangat."Terbang?" kali ini aku geli mendengarnya.Tapi kakek tidak bercanda soal terbang itu, terbang yang dia maksud merupakan bergelantungan diatas tali panjang sejauh mata memandang ke arah kastil.Aku berjingkrak senang karena kami sangat sering melakukan permainan ini ditaman hiburan. Awalnya aku takut, tapi karena paksaan kakek dan bimbingan darinya, aku jadi ketagihan.Setelah memasang sabuk pengaman kami berdua pun me
" Sudah saatnya kau bangkit, sayang," ujar kakek seraya membuka hordeng jendela. Cahaya silau masuk membuatku menggeliat. Rasanya nyaman sekali berada dikasur empuk di pagi yang sejuk ini. Aku sudah satu minggu berada dirumah kakek tanpa keluar sama sekali. Kerja ku hanya makan tidur dan berpikir. Aku berjanji akan ikut kakek hari ini ke suatu tempat.Kakek hanya tinggal seorang diri dirumah yang sederhana ini. Sebenarnya selama ini, aku hanya tau rumah kakek yang ada di kanada. Setiap liburan aku dan Josh akan menginap disana selama beberapa hari. Disana ada asisten rumah tangga kakek yang mengurus semua keperluan kami. Kakek selalu mengajak kami main ski saat bersalju. Melatihku memanah dengan berburu rusa di hutan bersamanya. Kadang kami juga main baseball untuk melatih kecepatanku.Aku tidak menyadari sudah dilatih sejak kecil. Di sekolah juga aku mengikuti kelas karate meskipun aku tidak pernah ikut dalam turnamen. Ibu dan ayah melarangku untuk ikut serta. Setelah selesai b
Hannah! Hannah!Hannah!Aku menoleh ke arah suara. Tempat ini sunyi, yang aku lihat hanya warna putih. Tidak ada apapun yang bisa aku lihat. Tapi suara itu begitu mendesakku untuk menemukan nya. Siapa disana? Aneh, aku tidak dapat bersuara. Aku menyentuh wajahku, dan bibir ku masih tertempel di tempatnya. Tapi kenapa aku tidak bisa bicara sama sekali?Keanehan ini hanya dapat terjadi di alam mimpi. Begitu lah otakku menyadarkan ku. Hingga aku berusaha sekuat tenaga untuk bangun. Hannah!Suara itu semakin dekat. Dan kali ini, aku bisa merasakan bibirku bergerak, kelopak mataku berkedut, dan tanganku dipegang seseorang.Aku membuka mata, tapi kemudian aku menjerit ketakutan. "Ada apa ini?" Pekik ku ketakutan.Paman Moriarty berdiri disebelahku. Sementara aku duduk di kursi roda seraya diikat kuat. Untung saja mulutku tidak di bungkam."Paman! Ada apa ini? Kenapa aku diikat dan siapa mereka semua!" aku berkata dengan marah. Baru saja aku mempercayainya.Paman tidak melihat ke arahk