Aku memandang nanar kedalam liang lahat. Menyaksikan peti mati itu perlahan tenggelam didalam sana. Rasanya aku sudah tidak bisa menangis lagi.
Adik kecilku terus meraung menangisi ibu kami yang telah terkubur bersama harapan kami. Josh kecil yang malang.Adikku pengidap autisme, tapi dia sangat mencintai ibu. Aku tidak tau bagaimana aku merawatnya tanpa ibu. Meskipun sebelum ini, ibu sudah setengah gila karena kehilangan ayah.Tanah makam ayah masih basah ketika ibu juga di makamkan disebelahnya. Karena belum dua bulan sejak kepergiannya.Masih teringat jelas di mataku bagaimana kecelakaan yang kami alami hari itu menewaskan ayah. Entah bagaimana kejadian itu begitu mengerikan tapi kami bertiga selamat. Hanya ayah yang langsung tewas ditempat.Ibu menjadi depresi. Satu minggu kami dirawat dirumah sakit dan sejak kejadian itu ibu sering diam dan melamun. Dia tidak pernah memikirkan bagaimana aku dan Josh melewati hari-hari menyedihkan itu.Ayahku seorang pemimpin organisasi rahasia militer amerika. Dan aku merasa ibu sudah mempunyai firasat dan merasa bersalah karena dia yang mengajak kami untuk pergi berlibur.Ibu benar-benar terpukul sampai dia ditemukan dalam keadaan kaku didalam kamarnya saat aku pulang sekolah. Adikku Josh yang menemukannya pertama kali.Sejak kematian ayah, kami dirawat oleh paman. Moriarty Thompson juga anggota organisasi yang di pimpin oleh ayah. Tapi aku tidak tau dia di posisi apa.Sekarang, yang ada dipikiranku hanya bagaimana kami akan melanjutkan hidup. Organisasi membiayai seluruh pengobatan dan kebutuhan kami sejak ayah meninggal hanya sebagai kompensasi.Aku yakin selanjutnya aku harus berusaha menghidupi diri kami sendiri. Aku juga bingung dengan adikku. Jika dia seorang anak yang normal mungkin mudah di bawa ke penitipan anak selama aku bekerja.Selama prosesi pemakaman hingga selesai yang dipikiranku hanya bagaimana melanjutkan hidup. Aku sangat menyayangi adikku. Dan akhir-akhir ini kesehatannya juga buruk.Josh sering terbangun dimalam hari dan mengeluh kesakitan. Dia tidak mau mengatakan bagian mana yang sakit sehingga aku hanya bisa menggendongnya untuk membuatnya tenang dan tidur kembali.Satu minggu setelah kematian ibu, Josh muntah darah. Aku begitu panik karena Josh menjadi lemas dan tidak sadarkan diri.Aku terpaksa menghubungi paman Moriarty. Padahal sebelum ini, ibu selalu mengingatkan aku agar jangan pernah terlibat apapun dengannya.Aku tau ibu pasti memiliki alasan tepat untuk menghindarinya. Tapi aku benar-benar tidak tau harus meminta tolong pada siapa lagi.Paman langsung datang setelah aku menghubunginya. Tanpa basa-basi langsung menggendong Josh dan memasukkannya kedalam mobil.Dia terus menenangkan ku sepanjang perjalanan. Keningnya berkerut dalam dan raut wajahnya sangat khawatir. Aku seperti melihat ayah saat mengkhawatirkan Josh."Semua akan baik-baik saja, nak," kata Paman memelukku dengan canggung. Aku membalas pelukannya pelan. Cukup merasa nyaman."Terima kasih paman," kataku lemah. Tenagaku sudah habis untuk menangisi nasib kami."Jangan berterima kasih seperti itu, aku pamanmu bukan orang lain," jawab paman tidak suka.Kami duduk dengan kikuk di kursi tunggu. Menunggu kabar dari dokter yang tak kunjung keluar."Keluarga Josh?" tanya seorang perawat yang keluar dari ruangan Josh diperiksa.Kami refleks langsung berdiri,"Silahkan keruangan dokter untuk dijelaskan," Kata perawat itu meminta kami mengikutinya.Tanganku gemetar saat memasuki ruangan dokter. Paman menggenggam tanganku begitu erat untuk menenangkanku. Lalu kami duduk berhadapan dengan seorang dokter wanita yang hidungnya begitu tinggi.Dia tersenyum, "Josh sedang dalam keadaan koma. Otaknya bekerja terlalu keras menghadapi tekanan emosional dalam dirinya. Itu menurut pendapatku mengingat kejadian yang baru kalian alami, tapi untuk diagnosis lebih lanjut, kami harus melakukan beberapa pemeriksaan lagi,"Aku terdiam, hatiku begitu sakit hingga rasanya seperti tertusuk jarum yang sangat banyak. Ayah dan ibu sudah pergi, tolong jangan Josh juga tuhan!. Aku ingin menjeritkan itu sekuat tenaga.Tapi yang aku lakukan disini hanya membisu. Kepalaku terasa panas dan berasap sementara mataku mulai berkaca-kaca dan memerah.Paman mengelus punggungku dengan perlahan. Dia tersenyum pada dokter dan membawaku keluar."Tenanglah Hannah, semua akan baik-baik saja. Josh mungkin hanya butuh istirahat untuk menangkan dirinya sendiri," ucap Paman dengan nada rendah dan sedih.Aku menunduk dalam, lalu tubuhku merosot kelantai. Dengan menekuk kedua lutut, aku menenggelamkan wajahku disana. Menangisi nasib malang adikku yang baik dan periang."Josh, maafkan aku!" erangku menyesal.Harusnya aku lebih bisa menjaganya. Hanya dia satu-satunya keluarga yang aku punya. Dan Josh sangat membutuhkan perhatianku.Paman membiarkanku dalam keadaan seperti itu cukup lama. Hingga aku berdiri dan memutuskan untuk menemani Josh.Hatiku perih melihat banyaknya kabel ditubuh dan kepalanya. Aku duduk di sebelahnya dan menggenggam tangannya yang dingin.Entah berapa lama aku rupanya ketiduran disisi Josh. Aku terbangun saat tangan kekar memegang pundakku. Saat aku membuka mata, Paman berdiri bersama seorang wanita paruh baya yang memiliki sorot mata yang tajam.Kami duduk di sofa saling berhadapan. Aku lihat paman begitu tegang dan terus mengawasi ekspresiku. Entah apa yang akan mereka sampaikan."Hannah, dengan sangat menyesal kami harus memberitahumu bahwa kematian ayahmu bukanlah kecelakaan murni," kata wanita yang tidak memperkenalkan dirinya itu."Maksud anda?" tanyaku terkejut."Itu sebuah pembunuhan berencana, Hannah," paman menimpali dengan wajah tegang.Aku berdiri dengan kemarahan meluap. Kami sedang berduka dan adikku sedang koma. Sekarang mereka memberikan kabar buruk pula. Sungguh, luka hatiku begitu dalam.Air mata mengalir deras dipipiku, dan aku berkata dengan bibir bergetar hebat, "apa belum cukup kemalanganku? Apa kalian harus memberitahuku omong kosong ini?"Paman dengan tenang memintaku duduk kembali, "kau harus mendengarkannya hingga selesai nak. Kau harus mengetahuinya,"Aku duduk kembali, tapi enggan menatap wanita gila itu."Asal kau tau Hannah, pelakunya adalah ibumu," katanya tegas, dan penuh emosi.Jika saja bukan didalam rumah sakit, aku sudah menggebrak meja. Tapi aku ingat kami sedang dimana. Dengan mata melotot aku menatap wanita itu dengan sorot mematikan."Ibuku depresi karena kematian ayahku hingga dia meninggal! Dan kalian menuduh ibuku pelaku nya? Kalian sudah gila!" aku berkata dengan geraman tertahan.gigiku terkatup rapat."Hannah, kami bukan menuduh, kami mempunyai buktinya," Paman memberikanku sebuah amplop besar yang berisi foto dan beberapa berkas."Aku tidak mengerti semua ini," keluhku kesal."Ini sebuah rekaman," Paman memutarnya"Tentu saja aku memilih negaraku! Dan aku tidak melupakan tugasku disini!"Aku mendengar suara ibuku yang sedang marah."Bagus. Lakukan besok atau tidak sama sekali. Hanya kau yang bisa membunuhnya," Kata seorang pria diseberang telepon.Hanya sebatas itu isi rekaman itu. Lalu paman menunjukkan video rekaman yang diambil saat ibu sedang melakukan sesuatu dengan mobil ayah, tapi tidak jadi dia lakukan.Beberapa foto ibu bertemu dengan orang-orang yang tidak aku kenali. Masalahnya, foto itu memang sangat mencurigakan."Ini tidak membuktikan apapun!" emosiku memuncak dan aku menyangkal tuduhan mereka."Nak, dengarkan paman sekali saja. Ayahmu sudah tau jika ibumu seorang mata-mata Rusia. Tapi dia sangat mencintai ibumu dan berpura-pura tidak mengetahuinya," Paman berusaha menjelaskan."Tidak mungkin," gumamku tidak percaya.Tapi jika aku ingat-ingat lagi ibu memang memiliki banyak rahasia. Aku bahkan tidak boleh sembarang menyentuh barang-barangnya baik dikamar maupun didapur."Aku yakin kau pasti memiliki kecurigaan," Wanita itu menimpali dengan serius. Dia memberikanku beberapa foto lain.Foto ibu yang bergabung dalam militer. Ibuku memang bertubuh bongsor dan kekar. Dia rajin berolah raga dan itu menurun padaku.Tapi ibu juga memiliki wajah yang sangat cantik dan menawan. Berambut cokelat dengan bibir tipis dan senyuman indah. Dia memiliki mata biru yang cerah. Warna favoritku sejak kecil."Nama asli ibumu adalah Anna Zakharov, dan seorang warga negara rusia yang taat. Ayahmu tau dia mendapat pelatihan khusus sebagai mata-mata di sebuah organisasi rahasia milik rusia. Ayahmu tau hal itu saat kau sudah berusia remaja,""Mereka saling mencintai, Hannah. Ayahmu melindunginya sekuat dan semampu yang dia bisa. Tapi aku yakin pihak Rusia juga melakukan hal yang sama terhadapnya. Konflik di belahan dunia semakin kuat dan keadaan semakin tak terkendali. Sekarang saat yang tepat untuk memulai,""Memulai apa?""Sebenarnya, perang itu tidak pernah usai. Hanya saja, kita melakukan hal-hal bersifat rahasia untuk mencegah hal-hal tidak diinginkan terjadi di negara kita,"Aku terdiam memikirkan fakta yang paman sampaikan. Aku tidak tahu harus percaya ibu atau dia?. Paman memang tidak sering berkunjung karena ibu selalu terang-terangan tidak mau menerimanya.Tapi ayah sangat bangga terhadap adiknya itu. Paman selalu mengirimi kami hadiah secara diam-diam. Hal itu yang membuatku cukup mengenal bagaimana paman bersikap hangat dan menganggapku seperti putrinya sendiri."Jadi paman, untuk apa aku harus mengetahui hal ini? Aku tidak dapat melakukan apapun. Dan bagaimana pun buruknya ibu, dia tetap ibuku," ucapku lemah dan tak berdaya.Benar bukan? Aku tidak bisa melakukan apapun lagi. Selain melanjutkan hidup dan merawat Josh. Memikirkan kematian ayah dan ibu yang secara tidak wajar itu, membuat luka hatiku semakin dalam.Paman memegang tanganku yang dingin. Sorot matanya sendu dan dia bersimpati terhadapku."Hannah, ibumu meninggal karena bunuh diri. Dia sempat meneleponku sebelum menenggak obat itu dan menitipkan kalian padaku,"Paman lalu mengeluarkan ponselnya dan memutar sebuah rekaman telepon."Moriarty! Tolong jaga anak-anak kami. Maafkan aku dan tolong, jangan biarkan mereka sendiri. Hanya dengan mati mereka akan aman. Aku tidak dapat menanggung beban ini lagi. Aku mohon,"Aku tau itu suara ibu. Tidak terasa air mataku menetes lagi."Kate, lupakan semua masalalu. Bertahanlah aku akan datang menyelamatkan kalian. Kau harus hidup demi anak-anakmu. Kasihan mereka Kate!" jawab paman gusar.Tapi sambungan itu sudah terputus. Aku menangis tersedu sambil memeluk diriku sendiri. Apakah belum cukup semua penderitaan ini?"Apa yang bisa aku lakukan paman? Aku bisa apa!" suaraku serak dan bergetar."Jika kau mau membantu kami dalam sebuah operasi rahasia, aku yakin kita akan menemukan jawabannya Hannah," jawab paman lembut dan tenang.Aku menatapnya tak percaya, "operasi rahasia?"Paman mengangguk serius tapi bibirnya tersenyum hangat. Seolah menyiratkan ada harapan baru dalam hidupku yang sudah hancur ini.Aku melihat Josh yang terbaring koma diranjangnya, memikirkan jalan yang ada didepan mataku. Apakah aku harus mengikuti jalan ini? Atau berlari ke arah lain?"Semua tergantung padamu nak, jika kau memutuskan untuk bergabung, kita akan mengetahuinya. Jika kau tidak mau, maka paman siap merawat kalian dan kita anggap ini tidak pernah terjadi dan semuanya hanya hal yang wajar,"Aku mengemudi sendiri saat pulang kerumah. Paman Moriarty ingin mengantarkan tapi aku menolaknya karena ingin mendapatkan waktu untuk memikirkan tawaran paman.Ada sebuah mobil yang aku kenali terparkir di depan rumah saat aku sampai. Dengan perasaan campur aduk aku berusaha menenangkan diri.Itu adalah kakek, ayah dari ibuku. Jika semua identitas ibu palsu, bisa jadi dia juga kakek palsu bukan?. Sebelum turun dari mobil, aku minum sebotol air mineral untuk membasahi tenggorokanku yang tercekat.Aku menatap cermin sebentar dan melakukan senam wajah. Apapun yang aku tau akan aku lupakan selama bersama kakek. Aku berlari dengan senyuman getir dengan air mata tertahan. Saat melihat kakek berdiri di depan pintu aku langsung memeluknya erat, seperti biasa yang aku lakukan sejak kecil."Cucuku sayang," Kakek juga memelukku dengan hangat.Aku mulai menangis sesegukan di dadanya yang bidang. Semua rasa sakit, kekhawatiran dan pikiranku yang kalut tertumpah ruah di depan kakek."Kakek hanya i
Hannah! Hannah!Hannah!Aku menoleh ke arah suara. Tempat ini sunyi, yang aku lihat hanya warna putih. Tidak ada apapun yang bisa aku lihat. Tapi suara itu begitu mendesakku untuk menemukan nya. Siapa disana? Aneh, aku tidak dapat bersuara. Aku menyentuh wajahku, dan bibir ku masih tertempel di tempatnya. Tapi kenapa aku tidak bisa bicara sama sekali?Keanehan ini hanya dapat terjadi di alam mimpi. Begitu lah otakku menyadarkan ku. Hingga aku berusaha sekuat tenaga untuk bangun. Hannah!Suara itu semakin dekat. Dan kali ini, aku bisa merasakan bibirku bergerak, kelopak mataku berkedut, dan tanganku dipegang seseorang.Aku membuka mata, tapi kemudian aku menjerit ketakutan. "Ada apa ini?" Pekik ku ketakutan.Paman Moriarty berdiri disebelahku. Sementara aku duduk di kursi roda seraya diikat kuat. Untung saja mulutku tidak di bungkam."Paman! Ada apa ini? Kenapa aku diikat dan siapa mereka semua!" aku berkata dengan marah. Baru saja aku mempercayainya.Paman tidak melihat ke arahk
" Sudah saatnya kau bangkit, sayang," ujar kakek seraya membuka hordeng jendela. Cahaya silau masuk membuatku menggeliat. Rasanya nyaman sekali berada dikasur empuk di pagi yang sejuk ini. Aku sudah satu minggu berada dirumah kakek tanpa keluar sama sekali. Kerja ku hanya makan tidur dan berpikir. Aku berjanji akan ikut kakek hari ini ke suatu tempat.Kakek hanya tinggal seorang diri dirumah yang sederhana ini. Sebenarnya selama ini, aku hanya tau rumah kakek yang ada di kanada. Setiap liburan aku dan Josh akan menginap disana selama beberapa hari. Disana ada asisten rumah tangga kakek yang mengurus semua keperluan kami. Kakek selalu mengajak kami main ski saat bersalju. Melatihku memanah dengan berburu rusa di hutan bersamanya. Kadang kami juga main baseball untuk melatih kecepatanku.Aku tidak menyadari sudah dilatih sejak kecil. Di sekolah juga aku mengikuti kelas karate meskipun aku tidak pernah ikut dalam turnamen. Ibu dan ayah melarangku untuk ikut serta. Setelah selesai b
"Kastil?" tanyaku takjub pada kakek.Kakek tersenyum, "ya, kau menyukainya?""Hidup dikastil kerajaan mungkin menjadi impian setiap gadis kecil kakek,""Tapi itu bukan kastil kerajaan, sayangku,"Senyumanku lenyap, " Tentu saja," gumamku kecewa."Anna juga memandangi kastil itu dengan takjub sebelum dia pergi kesana sebagai gadis bertekad kuat, dan dia keluar sebagai " The Wife" Paling berbakat," ujar kakek sangat bangga."The wife?" aku sedikit bingung dengan sebutan itu,"Kau akan mengerti saat sudah tiba disana, sekarang ayo kita terbang kesana," Ajak kakek semangat."Terbang?" kali ini aku geli mendengarnya.Tapi kakek tidak bercanda soal terbang itu, terbang yang dia maksud merupakan bergelantungan diatas tali panjang sejauh mata memandang ke arah kastil.Aku berjingkrak senang karena kami sangat sering melakukan permainan ini ditaman hiburan. Awalnya aku takut, tapi karena paksaan kakek dan bimbingan darinya, aku jadi ketagihan.Setelah memasang sabuk pengaman kami berdua pun me
"Ayah, kenalkan calon istriku," kata Alexey pada seorang pria tua beruban yang sedang menikmati sore yang cerah di halaman belakang rumahnya.Dia menatap ke arahku dan tersenyum begitu lebar. Barisan giginya yang rapi tampak sumringah, dia berdiri seraya merentangkan tangan padaku. Aku maju, dengan canggung menerima pelukan dari pria yang baru saja aku temui. Meski sudah tua, dia tampak sangat sehat dan berotot. Aku jadi tau dari mana Alexey mendapatkan senyumannya yang menawan."Vladimir, siapa namamu nona?" tanya nya sopan."Hannah Thompson," jawabku gugup."Cantik sekali seperti orangnya. Nah nak, mari temani aku bermain catur," ajak Vladimir pada putranya."Boleh aku saja yang temani?" tanyaku menawarkan diri. Aku sering mengalahkan ayah bermain catur. Dia sangat bangga padaku karena aku ahli dalam strategi. Dan sekarang, aku ingin mencoba kemampuanku pada orang lain. Apakah itu benar-benar kemampuanku atau ayah hanya mengalah untuk membesarkan hatiku.Vladimir cukup terkejut de
"Bisa tolong pejamkan matamu?" pinta penata rias padaku. Aku menurut saja dan menikmati setiap polesan diwajahku.Aku sedang berada di dalam kamar pengantin. Kamar Alexey di rumah keluarga Ovechkin yang disulap menjadi kamar yang indah.Aku mendengar gumaman rendah para tamu yang hadir di pernikahan kami hari ini. Meskipun hanya pernikahan kontrak, tapi kegugupan membuat saraf-sarafku tegang.Setelah riasanku selesai, aku memakai gaun pengantin berwarna putih tulang. Gaun warisan ibunya Alexey yang ukurannya pas untukku. Alexey bersikeras ingin datang ke butik, tapi aku menolak karena Vladimir menunjukkanku gaun cantik itu. Vladimir sangat berterima kasih padaku dan memberikan cincin pernikahan mereka sebagai ungkapan bahagianya."Oh putriku yang cantik," Vladimir berseru di ambang pintu. Aku tersenyum malu seraya memperhatikan ekor gaun dengan detail payet berbentuk kupu-kupu. Vladimir datang untuk memelukku dan mengecup pucuk kepalaku."Jangan menangis, nanti maskaramu luntur," B
Deru angin menghiasi perjalanan udara kami. Pemandangan indah terhampar begitu hijau dengan undakan bukit-bukit batu yang curam dan terlihat berbahaya. Alexey mencoba menggenggam tanganku. Dia tampak terkejut karena tanganku yang dingin dan sedikit gemetar. Tatapan matanya seakan bertanya kenapa?Aku menggeleng lembut seraya tersenyum. Percuma berbicara di atas sini. Tidak akan terdengar apapun kecuali suara baling-baling dan angin. Helikopter itu membawa kami ke sebuah landasan yang tampak sepi. Alexey membantu melepaskan sabuk pengaman dan menarikku bersamanya menuruni helikopter itu.Aku merunduk sampai terasa suara baling-baling mulai menjauh. Alexey melambai tangan pada mereka dan terus membawaku bersamanya."Kita akan kemana?" tanyaku bingung."Ganti pesawat," jawab Alexey singkat padat dan jelas. Benar saja, sebuah pesawat jenis Airbus ACJ319neo terparkir cantik di landasan dan sudah siap berangkat . Aku sempat tertegun, seberapa jauh Alexey akan membawaku dengan pesawat itu
"apa kau gila Alex? Hongkong?" pekikku tak percaya."sstttt, tenanglah istriku yang manis. kita akan memulai hidup baru disini," "disini " mataku semakin melotot.Alexey mengangguk sambil tersenyum cerah, "kita baru saja mendarat di hongkong," Aku ingin pingsan saja, tapi ingat kami memiliki misi penting untuk dilakukan. Meskipun Alexey sudah memastikan tidak banyak adegan berbahaya dalam tugas pertama ku ini, tapi aku tetap saja merasa gugup.Alexey membawa koper kami berdua keluar pesawat dengan dua tangannya, tapi memintaku menggandeng tangan kanannya. Aku menurut saja, daripada aku kesasar.Jika berangkat di landasan yang sepi, kali ini kami mendarat di bandara yang cukup padat. Beberapa mata menatap kami yang baru saja keluar dari pesawat jet pribadi.Aku begitu lengket pada Alexey, takut dengan suasana negara baru yang belum pernah aku kunjungi. Jika saja ini liburan sungguhan, mungkin aku akan menikmatinya. "bersikap santailah, Hannah, tidak ada yang akan mengenalimu disini,
Harry dan Lily benar-benar sangat membantu. Alexey yang biasanya selalu bugar juga tampak kelelahan. Banyak sekali barang-barang yang menurutku tidak terlalu dibutuhkan. "Alex," aku mencoba membangunkannya saat sudah selesai memasak makan malam. Dia bergumam sedikit lalu kembali terlelap. Terpaksa aku duduk di depan wajahnya. Alex memiliki wajah yang sempurna, bahkan tubuhnya. Aku tidak dapat mencegah tanganku menyusuri lengan Alex yang di hiasi otot juga urat-urat yang menonjol. "Apa kau sedang mengagumi suamimu yang sedang tidur, sayang?" Aku terlompat kaget, mungkin dengan ekspresi yang lucu hingga Alexey tertawa terbahak-bahak. Menunduk malu merupakan jalan terbaik saat ini. "Hei," Alex menangkap daguku, "aku tidak masalah sayang, aku senang kau mengagumi ku, hmmm," "Maaf," jawabku merasa malu, "Untuk apa?" Alexey memaksaku menatap matanya yang indah. Sewarna ombak yang berpadu dengan badai, itu mempesonaku. "Karena bertindak tidak sopan," suaraku seperti orang
Mobil berhenti didepan gang sempit yang sama sekali tidak muat dilalui kendaraan bermotor. Meskipun itu hanya sekedar sebuah sepeda motor. Sang sopir membantu kami membawakan koper Sementara aku berjalan mesra bersama Alexey menuju rumah baru kami.Rumah sederhana yang tidak terlalu besar. Aku merasa sangat heran karena aku sangat menyukai rumah baru kami. Senyuman cerah terbit diwajahku setelah merasa bisa betah disini. Tapi yang membuatku merasa pusing, beberapa barang rumah tangga berjejalan dihalaman. Sampai hampir menutupi halaman rumah tetangga baru kami.Saat Alexey membuka pintu. Seorang pria baru saja sampai dan dia merupakan tetangga baru kami.Alexey langsung menghampirinya dengan keramah tamahan yang belum pernah aku lihat."hai, kami baru saja pindah. maafkan barang-barang kami yang berserakan di halamanmu," kata Alexey basa- basi."oh tidak masalah, aku juga dulu pernah jadi orang baru. bahkan lebih parah dari ini," jawab pria itu sambil menertawakan diri sendiri. "
"apa kau gila Alex? Hongkong?" pekikku tak percaya."sstttt, tenanglah istriku yang manis. kita akan memulai hidup baru disini," "disini " mataku semakin melotot.Alexey mengangguk sambil tersenyum cerah, "kita baru saja mendarat di hongkong," Aku ingin pingsan saja, tapi ingat kami memiliki misi penting untuk dilakukan. Meskipun Alexey sudah memastikan tidak banyak adegan berbahaya dalam tugas pertama ku ini, tapi aku tetap saja merasa gugup.Alexey membawa koper kami berdua keluar pesawat dengan dua tangannya, tapi memintaku menggandeng tangan kanannya. Aku menurut saja, daripada aku kesasar.Jika berangkat di landasan yang sepi, kali ini kami mendarat di bandara yang cukup padat. Beberapa mata menatap kami yang baru saja keluar dari pesawat jet pribadi.Aku begitu lengket pada Alexey, takut dengan suasana negara baru yang belum pernah aku kunjungi. Jika saja ini liburan sungguhan, mungkin aku akan menikmatinya. "bersikap santailah, Hannah, tidak ada yang akan mengenalimu disini,
Deru angin menghiasi perjalanan udara kami. Pemandangan indah terhampar begitu hijau dengan undakan bukit-bukit batu yang curam dan terlihat berbahaya. Alexey mencoba menggenggam tanganku. Dia tampak terkejut karena tanganku yang dingin dan sedikit gemetar. Tatapan matanya seakan bertanya kenapa?Aku menggeleng lembut seraya tersenyum. Percuma berbicara di atas sini. Tidak akan terdengar apapun kecuali suara baling-baling dan angin. Helikopter itu membawa kami ke sebuah landasan yang tampak sepi. Alexey membantu melepaskan sabuk pengaman dan menarikku bersamanya menuruni helikopter itu.Aku merunduk sampai terasa suara baling-baling mulai menjauh. Alexey melambai tangan pada mereka dan terus membawaku bersamanya."Kita akan kemana?" tanyaku bingung."Ganti pesawat," jawab Alexey singkat padat dan jelas. Benar saja, sebuah pesawat jenis Airbus ACJ319neo terparkir cantik di landasan dan sudah siap berangkat . Aku sempat tertegun, seberapa jauh Alexey akan membawaku dengan pesawat itu
"Bisa tolong pejamkan matamu?" pinta penata rias padaku. Aku menurut saja dan menikmati setiap polesan diwajahku.Aku sedang berada di dalam kamar pengantin. Kamar Alexey di rumah keluarga Ovechkin yang disulap menjadi kamar yang indah.Aku mendengar gumaman rendah para tamu yang hadir di pernikahan kami hari ini. Meskipun hanya pernikahan kontrak, tapi kegugupan membuat saraf-sarafku tegang.Setelah riasanku selesai, aku memakai gaun pengantin berwarna putih tulang. Gaun warisan ibunya Alexey yang ukurannya pas untukku. Alexey bersikeras ingin datang ke butik, tapi aku menolak karena Vladimir menunjukkanku gaun cantik itu. Vladimir sangat berterima kasih padaku dan memberikan cincin pernikahan mereka sebagai ungkapan bahagianya."Oh putriku yang cantik," Vladimir berseru di ambang pintu. Aku tersenyum malu seraya memperhatikan ekor gaun dengan detail payet berbentuk kupu-kupu. Vladimir datang untuk memelukku dan mengecup pucuk kepalaku."Jangan menangis, nanti maskaramu luntur," B
"Ayah, kenalkan calon istriku," kata Alexey pada seorang pria tua beruban yang sedang menikmati sore yang cerah di halaman belakang rumahnya.Dia menatap ke arahku dan tersenyum begitu lebar. Barisan giginya yang rapi tampak sumringah, dia berdiri seraya merentangkan tangan padaku. Aku maju, dengan canggung menerima pelukan dari pria yang baru saja aku temui. Meski sudah tua, dia tampak sangat sehat dan berotot. Aku jadi tau dari mana Alexey mendapatkan senyumannya yang menawan."Vladimir, siapa namamu nona?" tanya nya sopan."Hannah Thompson," jawabku gugup."Cantik sekali seperti orangnya. Nah nak, mari temani aku bermain catur," ajak Vladimir pada putranya."Boleh aku saja yang temani?" tanyaku menawarkan diri. Aku sering mengalahkan ayah bermain catur. Dia sangat bangga padaku karena aku ahli dalam strategi. Dan sekarang, aku ingin mencoba kemampuanku pada orang lain. Apakah itu benar-benar kemampuanku atau ayah hanya mengalah untuk membesarkan hatiku.Vladimir cukup terkejut de
"Kastil?" tanyaku takjub pada kakek.Kakek tersenyum, "ya, kau menyukainya?""Hidup dikastil kerajaan mungkin menjadi impian setiap gadis kecil kakek,""Tapi itu bukan kastil kerajaan, sayangku,"Senyumanku lenyap, " Tentu saja," gumamku kecewa."Anna juga memandangi kastil itu dengan takjub sebelum dia pergi kesana sebagai gadis bertekad kuat, dan dia keluar sebagai " The Wife" Paling berbakat," ujar kakek sangat bangga."The wife?" aku sedikit bingung dengan sebutan itu,"Kau akan mengerti saat sudah tiba disana, sekarang ayo kita terbang kesana," Ajak kakek semangat."Terbang?" kali ini aku geli mendengarnya.Tapi kakek tidak bercanda soal terbang itu, terbang yang dia maksud merupakan bergelantungan diatas tali panjang sejauh mata memandang ke arah kastil.Aku berjingkrak senang karena kami sangat sering melakukan permainan ini ditaman hiburan. Awalnya aku takut, tapi karena paksaan kakek dan bimbingan darinya, aku jadi ketagihan.Setelah memasang sabuk pengaman kami berdua pun me
" Sudah saatnya kau bangkit, sayang," ujar kakek seraya membuka hordeng jendela. Cahaya silau masuk membuatku menggeliat. Rasanya nyaman sekali berada dikasur empuk di pagi yang sejuk ini. Aku sudah satu minggu berada dirumah kakek tanpa keluar sama sekali. Kerja ku hanya makan tidur dan berpikir. Aku berjanji akan ikut kakek hari ini ke suatu tempat.Kakek hanya tinggal seorang diri dirumah yang sederhana ini. Sebenarnya selama ini, aku hanya tau rumah kakek yang ada di kanada. Setiap liburan aku dan Josh akan menginap disana selama beberapa hari. Disana ada asisten rumah tangga kakek yang mengurus semua keperluan kami. Kakek selalu mengajak kami main ski saat bersalju. Melatihku memanah dengan berburu rusa di hutan bersamanya. Kadang kami juga main baseball untuk melatih kecepatanku.Aku tidak menyadari sudah dilatih sejak kecil. Di sekolah juga aku mengikuti kelas karate meskipun aku tidak pernah ikut dalam turnamen. Ibu dan ayah melarangku untuk ikut serta. Setelah selesai b
Hannah! Hannah!Hannah!Aku menoleh ke arah suara. Tempat ini sunyi, yang aku lihat hanya warna putih. Tidak ada apapun yang bisa aku lihat. Tapi suara itu begitu mendesakku untuk menemukan nya. Siapa disana? Aneh, aku tidak dapat bersuara. Aku menyentuh wajahku, dan bibir ku masih tertempel di tempatnya. Tapi kenapa aku tidak bisa bicara sama sekali?Keanehan ini hanya dapat terjadi di alam mimpi. Begitu lah otakku menyadarkan ku. Hingga aku berusaha sekuat tenaga untuk bangun. Hannah!Suara itu semakin dekat. Dan kali ini, aku bisa merasakan bibirku bergerak, kelopak mataku berkedut, dan tanganku dipegang seseorang.Aku membuka mata, tapi kemudian aku menjerit ketakutan. "Ada apa ini?" Pekik ku ketakutan.Paman Moriarty berdiri disebelahku. Sementara aku duduk di kursi roda seraya diikat kuat. Untung saja mulutku tidak di bungkam."Paman! Ada apa ini? Kenapa aku diikat dan siapa mereka semua!" aku berkata dengan marah. Baru saja aku mempercayainya.Paman tidak melihat ke arahk