Aylee beringsak mundur, jantungnya berdegup begitu kencang, aliran darah seolah berhenti di urat-urat nadinya hingga wajahnya kini nyaris pucat. Nafasnya terengah seolah paru-parunya tak dapat lagi menghirup udara. Gabe semakin maju, wanita cantik bermata coklat itu kini terjebak di antara dinding dan tubuh atletis Gabe.
Gabe tersenyum menang, tangannya menyibak rambut coklat terang Aylee, menyelipkan rambut panjang itu di belakang telinganya. Gabe lantas mencium telinga Aylee lembut, menekankan bibirnya di sepanjang leher Aylee, wanita itu melenguh. Tak disangka bahwa sentuhan itu nyatanya begitu membuainya. Gabe tersenyum di sela ciumannya. Dengan agresif ia lantas mencium bibir Aylee yang merekah, seolah memang gadis itu menunggu ciuman dari Gabe. Keduanya berciuman tanpa ampun, Gabe begitu brutal menciumnya, memainkan bibir Aylee dengan rakusnya bak singa yang sedang kelaparan. Sejurus kemudian Gabe menanggalkan gaun tidur Aylee, menyibak dadanya, bibirnya nyaris mendarat di area itu. Namun Aylee tiba-tiba Aylee terbangun, ternyata semuanya hanya mimpi.
Nafasnya tersengal, ia menutupi dadanya yang masih terbungkus rapi di balik gaun tidurnya. Matanya mengedar pandang sekeliling kamarnya. Tak ada Gabe di situ.
Ia mengelap keringat yang membasahi keningnya. Beranjak dari tempat tidurnya, Aylee berjalan menuju dapur. Ia melihat jam di layar ponselnya, sudah jam tiga pagi dan pria itu masih belum pulang.
Usai meneguk air mineral yang sedetik lalu diambilnya dari kulkas, ia mulai menelepon pria yang sudah beberapa bulan ini menjadi suaminya. Namun seperti yang Aylee duga, pria itu tak akan menjawab telepon darinya. Ia pastilah sedang menginap di apartemen kekasihnya, Michelle Morgan.
Aylee menertawai diri sendiri, bisa-bisanya ia mimpi dicumbu oleh pria brengsek yang sudah menikahinya secara paksa. Okay, ralat. Bukan dipaksa sebetulnya, lebih tepatnya dijebak. Lelaki brengsek itu adalah Gabriel Ferdinand suaminya, yang kerap ia panggil Gabe.
Gabriel Ferdinand adalah bosnya di perusahaan tempat Aylee bekerja, pada awalnya pria itu begitu manis dan baik padanya, sewajarnya seorang pria yang tertarik dengan wanita, Gabe, cukup meyakinkan. Aylee tentu saja mudah dibuai olehnya, selain dari ia CEO muda, ia memiliki paras rupawan dengan tubuh atletis sempurna yang membuat banyak wanita jatuh hati padanya, termasuk Aylee. Gabe yang belum ada sebulan memacarinya, langsung melamar Aylee. Tentu saja gadis polos itu girang bukan main, ia tanpa pikir panjang menerima lamaran Gabe. Namun begitu pernikahan itu usai terlaksana, di malam pertama yang harusnya mereka bercumbu mesra, Gabe justru membisikkan satu kalimat yang membuat Aylee menjatuhkan air matanya dengan begitu mudah.
“Jangan harap aku mau menyentuhmu, kamu cantik tapi tak cukup membuatku menginginkanmu. Aku menikahimu hanya sebagai kedok agar orang tuaku tak terus-terusan memisahkanku dari Michelle. Kamu tipikal sempurna untuk orang tuaku, namun bukan untukku.” Begitu tak punya perasaan saat pria itu melontarkan kata-kata menyakitkan baginya.
“Jadi kamu menjebakku? Kamu menikahiku agar kamu bisa terus berhubungan dengan dia tanpa takut dicurigai mama dan papa?” Gabe tersenyum sinis, begitu menakutkan. Citranya yang manis saat dia menjadi kekasihnya kini hilang sama sekali. Aylee mengerti kenapa orang tua Gabe tak menyukai Michelle, sebab gadis itu seorang aktris ibu kota yang punya banyak skandal, itu berbanding terbalik dengan citra keluarga Gabe yang terpandang dan sempurna tanpa cela. Aylee sendiri bukan dari keluarga pengusaha, kedua orang tua Aylee adalah dosen di Universitas ternama di negara ini. Keluarga Aylee cukup disegani karena riwayat pendidikan dan attitude mereka yang baik. Itulah mengapa orang tua Gabe sangat menyetujui hubungan Gabe dan Aylee, lebih-lebih di keluarga Gabe tidak ada anak perempuan, jadi ibu Gabe, Natasya Ferdinand sangat menyukai menantunya itu.
“Aku akan bicara dengan orang tuamu,” ancam Aylee dengan suara bergetar, ia masih shock dengan kenyataan pilu yang menimpanya. Gabe memegangi dagu Aylee.
“Coba saja bilang. Aku akan menceraikanmu, kamu tentu ingat Ayahmu memiliki riwayat penyakit jantung, jika dia tahu anaknya dicerai belum sehari setelah pernikahan, kamu tentu tahu apa yang akan terjadi.” Bahkan pria brengsek itu mengancam Aylee, membuat gadis itu tak berdaya dibuatnya.
Aylee menitikkan air matanya lagi ketika mengingat kejadian itu. Sudah hampir empat bulan ini ia bergumul dengan rasa pedih, harga dirinya seolah tak ada lagi. Lelaki itu membuat Aylee merasa menjadi wanita paling tak diinginkan, ia begitu rendah di mata suaminya.
Dering ponsel Aylee berbunyi. Ia segera melihat layar di ponselnya, namun bukan Gabe yang meneleponnya. Nama ‘Martin my Bestie' yang tertera.
“Pagi sekali kamu meneleponku?” jawab Aylee sembari ia berjalan menuju kamarnya kembali.
“Aku baru pulang dari Lounge. Kepalaku pusing, aku tak bisa tidur, Ay.” Suara Martin dari seberang.
“Kamu minum?” Aylee sedikit khawatir dengan pria yang sejak ia berumur sepuluh tahun sudah menjadi sahabatnya itu.
“Aku hanya minum sedikit, Ay. Kamu tahu mereka ke lounge untuk merayakan keberhasilanku mendapat kontrak film itu, mana mungkin aku tak ikut minum? Hanya sekedar menghormati manajemenku.” Aylee mengerti, kini pria kesayangannya itu memang sudah beberapa tahun ini sudah terjun ke dalam industri hiburan, tentu itu akan lekat dengan dunia malam seperti itu. Apa pun itu, asalkan Martin bahagia, ia ikut bahagia.
Martin yang tampan mengawali kariernya sedari sekolah menengah atas dengan menjadi seorang model, menjadi aktor papan atas adalah mimpinya, dan kini segala kerja kerasnya mulai menunjukkan hasil. Ia kini akhirnya mendapatkan proyek perdananya sebagai seorang pemeran utama dalam sebuah film.
“Kalau begitu harusnya kamu tidur. Kenapa malah meneleponku?”
“Selain dari aku rindu suaramu, aku ingin menyampaikan sesuatu padamu.” Aylee terdiam, ia cukup penasaran dengan perkataan Martin. Namun ia juga takut mendengar kabar yang akan membuatnya sedih.
“A-ada apa memang?” Aylee gugup.
“Coba tebak!” ucap Martin, namun belum sempat Aylee berbicara suara Martin kembali terdengar.
“Suamimu barusan bersama kami. Michelle adalah lawan mainku di film ini.” Aylee menghela nafas berat, kini Gabe sudah begitu terang-terangan menunjukkan hubungan mereka rupanya. Ia bahkan ikut merayakan keberhasilan Michelle di Lounge, Aylee yakin mereka juga pada akhirnya memesan kamar di hotel tersebut. Aylee menjilat bibirnya, ia lantas memaksakan diri untuk tersenyum, lantas suaranya berusaha ditegarkan.
“Aku tidak apa-apa, Martin,” ucap Aylee berbanding terbalik dengan hatinya yang kembali hancur lebur. Namun ini sudah biasa untuknya, bahkan ia pernah menjumpai hal yang lebih gila dari ini. Gabe bahkan pernah mengajak Michelle ke rumah mereka dan bercinta dengan Michelle dengan Aylee masih berada di rumah itu. Hati wanita mana yang tak sakit? perlakuan Gabe betul-betul membuat Aylee merasa jijik pada dirinya sendiri, karena ia tak mampu membuat pria itu sedikit saja tertarik padanya, bahkan pria itu justru seperti menganggapnya tak ada. Adakah pernikahan yang lebih buruk dari ini?.
“Aku akan membalas perbuatannya padamu, Ay. Aku bersumpah!” gertak Martin, pria tampan itu terdengar serius. Tanpa sepengetahuan Aylee pria itu lantas tersenyum licik. Pria itu punya rencana.
Aylee bersiap untuk mengajar di kampus. Ya, gadis itu memang memutuskan untuk tetap berkarier walau kini ia telah menjadi istri seorang CEO perusahaan perangkat lunak yang sangat sukses. Walau ia otomatis sudah memiliki segalanya tanpa harus berlelah-lelah bekerja, ia bersikeras melakukan itu. Karena diam saja di rumah nyatanya hanya membuat ia tertekan, lebih-lebih ia harus mendapati perlakuan Gabe yang kerap menyakitinya. Dengan banyak pertimbangan oleh Gabe dan Natasya, Aylee akhirnya diizinkan mengajar di sebuah kampus swasta kenamaan di kota ini. Sebelum bekerja Aylee memastikan sarapan yang ia buat sudah tertutup rapat di atas meja makan. “Emma, jika nanti Gabe bangun, tolong hangatkan lagi makanannya ya. Aku pergi dulu.” Aylee tersenyum manis kepada pelayannya, Emma. Emma berusia sekitar tiga puluh lima tahun, dia perempuan yang baik yang juga menjadi saksi kekejaman tuan mudanya, Gabriel. Ia pernah berkata pada Aylee bahwa ia ingin melaporkan tindakan
Seperti malam-malam biasanya, Gabe mampir ke apartemen kekasih gelapnya, Michelle. Tentu saja yang mereka lakukan adalah bercinta. Namun dalam pergumulannya malam ini Gabe merasa pikirannya terus tertuju pada Aylee. Gabe segera memakai kemeja dan celananya usai ia menyelesaikan pelepasannya pada Michelle, wanita yang kini masih meringkuk di atas tempat tidur. “Aku pergi dulu.” Pria itu mengecup kening Michelle. Wanita cantik dengan rambut dicat berwarna pirang itu duduk, menutupi tubuh telanjangnya dengan selimut hingga sebatas dada. “Jangan pergi, tinggallah di sini.” Ia memegangi satu lengan Gabe dengan kedua tangannya. Wajahnya merajuk manja. “Maaf sayang, tapi aku harus pulang cepat. Ada pekerjaan penting yang harus aku selesaikan,” dalihnya. Gabriel lalu pergi meninggalkan apartemen Michelle, entah kenapa hatinya terpanggil untuk pulang. ***** Aylee duduk dengan satu tangan menyanggah dagunya, ia lantas melirik jam yang melingkar
Gabriel membelai pipi Aylee, ujung jemarinya lantas ia gerakkan di atas kulit halus gadis itu, menyentuh lehernya lantas turun ke tulang selangka Aylee yang menggoda. Gadis itu memejamkan matanya, ia menikmati itu. Gabe merengkuh tengkuk Aylee, mendekatkan wajah Aylee menuju wajahnya, ia hendak memagut bibir yang menurutnya sensual itu, namun gadis itu berpaling. Hingga bibir Gabe hanya bisa mendarat di pipi Aylee. “Aku tidak mau tidur dengan orang yang tidak ada cinta untuk melakukannya.” Aylee melepas rengkuhan tangan Gabe. Ia beranjak dari ranjangnya dengan membawa laptopnya keluar dari kamar megah itu. Gabe tertawa hampa, harga dirinya terluka mendapati penolakan seperti itu, padahal dahulu Aylee begitu manis terhadapnya. Tentu itu terjadi sebelum pernikahan bencana itu terjadi, sebelum Gabe membisikkan kata yang menyakiti hati perempuan itu. “Angkuh sekali dia. Dia pikir dia secantik itu, huh?” dengusnya kesal. Gabe pagi itu sudah berdand
Aylee begitu canggung, ia tak tahu harus di mana meletakkan tangannya. Calvin menyeringai, ia lantas menuntun kedua tangan Aylee untuk bergelayut di lehernya, sedang tangannya ia letakkan di kedua sisi pinggul gadis itu. Calvin semakin tertarik dengan wanita itu. “Kau punya pinggul yang sempurna. Sulit dipercaya Gabe tak pernah mengajakmu berdansa.” Aylee tersenyum kecut, di mata Gabe hanya Michelle makhluk sempurna di bumi ini, batinnya. Mereka berdansa pelan, Calvin yang tinggi menundukkan kepalanya hingga kepalanya sejajar dengan kepala Aylee, bisa dirasakan Aylee, bibir Calvin begitu dekat dengan lehernya. Bulu romanya meremang seketika. “Kudengar kau putus dengan tunanganmu, Cal?” Aylee mencoba mengajak bicara Calvin, agar wajah pria itu tak terus berada di lehernya. “Sayang sekali, itu benar.” “Kenapa? Kukira kalian akan serius untuk menikah.” Calvin menghela nafas berat. “Aku takut menghadapi pernikahan, Ay. Aku
Aylee yang mengajar mata kuliah algoritma dan pemrograman komputer tengah melakukan presentasi di depan kelas. Karena keanggunan dan kecantikannya serta usia yang masih sangat muda, ia menjadi salah satu dosen yang paling difavoritkan di jurusan teknik komputer walau belum ada satu tahun dia mengajar. Terutama di antara para mahasiswa, hampir setiap minggu ada saja mahasiswa yang memberinya hadiah. Seperti saat ini Aylee mendapatkan sekotak cokelat dari salah seorang pengagumnya. Aylee memakan cokelat itu di sela-sela kegiatannya menyiapkan makan malam. Gabe lantas muncul dan duduk di kursi makannya. Matanya tertuju pada sekotak cokelat yang berbentuk hati. “Dari mana kau mendapat itu? Apa si aktor kesayanganmu itu yang memberinya?” tanyanya sinis. Aylee kaget dengan kehadiran Gabe yang tiba-tiba. “Kau kenapa akhir-akhir ini pulang cepat?” Aylee justru bertanya balik. Gabe mendengus kesal Aylee tak menjawab pertanyaannya. “Kau belum menjawab p
Gabe berjalan mendekati Aylee, gadis itu mendengar suara langkah kaki dan segera menoleh. Gabe sedang menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan Aylee. “Aku tidak tahu kau akan pulang. Aku tak menyiapkan makan malam.” Aylee kembali menatap layar komputernya. Gabe berdiri di samping Aylee. “Tak apa. Aku tidak lapar. Kau tak jadi pergi?” tanya Gabe. “Ya, aku banyak kerjaan.” Gabe tahu Aylee berbohong. “Terimakasih,” seloroh Gabe membuat Emily tercengang. Ia tak salah dengar bukan? Pria itu berterimakasih? “Untuk?” Aylee mendongak, menatap penuh tanya wajah Gabe yang kali ini terlihat lembut. “Mematuhiku. Walau aku tahu aku tak layak mendapat itu.” Gabe menyeringai, ada kegetiran di matanya. “Sudah kubilang aku banyak pekerjaan. Tak perlu merasa seperti itu.” Aylee tak memandang wajah Gabe. Pria itu terkekeh. “Ayolah, Ay. Berhenti pura-pura acuh padaku. Aku tahu kau tak ingin bersikap seperti itu.” Mendengar it
Pagi itu Aylee buru-buru mengemasi pakaiannya, ia lantas memandang nanar tempat tidurnya yang kosong. Ia menggeleng lemah, ia putus asa sekarang. Ia merasa mungkin cinta Gabe memang tak akan pernah ia dapatkan. Ketertarikan Gabe semalam terhadapnya semata-mata mungkin karena ia akhir-akhir ini jarang bergumul dengan kekasihnya, pikir Aylee. Michelle mencium pipi Gabe, pria yang masih tertidur itu menggeliat, lantas ia mengerang. “Ku buatkan kopi untukmu sayang,” ujarnya. Pria itu bangkit untuk duduk, dengan masih di atas tempat tidurnya ia melirik kopi yang Michelle letakkan di atas nakas samping tempat tidur. “Hanya itu?” ia menaikkan alisnya, kentara sekali wajahnya tak suka. “Kau mau apa? Biar aku pesankan sarapan untukmu, apa yang kau suka?” tanya Michelle dengan senyum masih mengembang di bibirnya. Ia begitu senang tiba-tiba semalam Gabe pulang dan langsung mencumbunya tanpa ampun. “Kau masih bertanya apa yang aku suka? Kau jauh lebih dul
Aylee dan Martin sudah bersiap dengan segala peralatan berkudanya. Mereka sudah mengeluarkan kuda-kuda yang hendak mereka tunggangi dari kandangnya. Martin mendekati Aylee dan memakaikan helm pada gadis itu. “Hei, aku bisa sendiri,” tolaknya, namun Martin tak peduli itu. “Kau terlihat sangat cantik,” pujinya seraya memandangi wajah gadis di depannya. “Omong-omong aku tidak tahu masih mahir atau tidak menunggangi Penelope? Aku harap masih bisa,” ucap Aylee mengusap-usap wajah Penelope. “Tentu saja bisa, kau ahlinya, Ay. Sekarang naiklah!” titah Martin yang segera dituruti Aylee. Gadis itu menaiki pelana kuda. Martin turut pula menaiki kudanya yang pamannya beri nama Jake. “Ayo Jake! Susul Penelope dan penunggang cantiknya!” pria itu menghentakkan kedua kakinya pada perut kuda, seketika kuda itu berlari menyusul Aylee yang sudah lebih dulu melaju. Rasanya sudah lama Aylee tak merasa bahagia seperti ini, menaiki kuda seperti ini sangat me