Aylee menggigit bibir bawahnya, Jemarinya saling bertautan, pertanda ia begitu gugup saat ini. Martin berlari kecil menuju kamar mandi Aylee, di atas wastafel itu ia mendapati testpack milik Aylee.
“Ya Tuhan!” Martin menggelengkan kepalanya. Ia berjalan menuju Aylee yang duduk di kursi kerjanya.“Kau tak akan memberitahukan ini pada Gabe kan?”Aylee meremas rambutnya.“Lalu aku harus apa? Ini anaknya.”Martin bersimpuh di depan Aylee, memeluk lutut wanita yang terlihat kacau itu.“Memangnya jika kau beri tahu ini, dia akan meninggalkan Michelle?”“Tentu, dia akan meninggalkan Michelle. Dia begitu menginginkan bayi ini, lebih dari apa pun.”Martin ternganga, ia begitu takut hal itu akan terjadi.“Dengar, itu mustahil. Ayahmu tak akan mengizinkanmu, Aylee.”“Dia akan berubah pikiran, dia akan memikirkan masa depan cucunya juga. Aku yakin dia akan menerima Gabe jika Gabe mau meninggalkan Michelle untukku. Bukankah itu bagus?”Aylee beringsak mundur, jantungnya berdegup begitu kencang, aliran darah seolah berhenti di urat-urat nadinya hingga wajahnya kini nyaris pucat. Nafasnya terengah seolah paru-parunya tak dapat lagi menghirup udara. Gabe semakin maju, wanita cantik bermata coklat itu kini terjebak di antara dinding dan tubuh atletis Gabe.Gabe tersenyum menang, tangannya menyibak rambut coklat terang Aylee, menyelipkan rambut panjang itu di belakang telinganya. Gabe lantas mencium telinga Aylee lembut, menekankan bibirnya di sepanjang leher Aylee, wanita itu melenguh. Tak disangka bahwa sentuhan itu nyatanya begitu membuainya. Gabe tersenyum di sela ciumannya. Dengan agresif ia lantas mencium bibir Aylee yang merekah, seolah memang gadis itu menunggu ciuman dari Gabe. Keduanya berciuman tanpa ampun, Gabe begitu brutal menciumnya, memainkan bibir Aylee dengan rakusnya bak singa yang sedang kelaparan. Sejurus kemudian Gabe menanggalkan gaun tidur Aylee, menyibak dadanya, bibirnya nyaris mendarat
Aylee bersiap untuk mengajar di kampus. Ya, gadis itu memang memutuskan untuk tetap berkarier walau kini ia telah menjadi istri seorang CEO perusahaan perangkat lunak yang sangat sukses. Walau ia otomatis sudah memiliki segalanya tanpa harus berlelah-lelah bekerja, ia bersikeras melakukan itu. Karena diam saja di rumah nyatanya hanya membuat ia tertekan, lebih-lebih ia harus mendapati perlakuan Gabe yang kerap menyakitinya. Dengan banyak pertimbangan oleh Gabe dan Natasya, Aylee akhirnya diizinkan mengajar di sebuah kampus swasta kenamaan di kota ini. Sebelum bekerja Aylee memastikan sarapan yang ia buat sudah tertutup rapat di atas meja makan. “Emma, jika nanti Gabe bangun, tolong hangatkan lagi makanannya ya. Aku pergi dulu.” Aylee tersenyum manis kepada pelayannya, Emma. Emma berusia sekitar tiga puluh lima tahun, dia perempuan yang baik yang juga menjadi saksi kekejaman tuan mudanya, Gabriel. Ia pernah berkata pada Aylee bahwa ia ingin melaporkan tindakan
Seperti malam-malam biasanya, Gabe mampir ke apartemen kekasih gelapnya, Michelle. Tentu saja yang mereka lakukan adalah bercinta. Namun dalam pergumulannya malam ini Gabe merasa pikirannya terus tertuju pada Aylee. Gabe segera memakai kemeja dan celananya usai ia menyelesaikan pelepasannya pada Michelle, wanita yang kini masih meringkuk di atas tempat tidur. “Aku pergi dulu.” Pria itu mengecup kening Michelle. Wanita cantik dengan rambut dicat berwarna pirang itu duduk, menutupi tubuh telanjangnya dengan selimut hingga sebatas dada. “Jangan pergi, tinggallah di sini.” Ia memegangi satu lengan Gabe dengan kedua tangannya. Wajahnya merajuk manja. “Maaf sayang, tapi aku harus pulang cepat. Ada pekerjaan penting yang harus aku selesaikan,” dalihnya. Gabriel lalu pergi meninggalkan apartemen Michelle, entah kenapa hatinya terpanggil untuk pulang. ***** Aylee duduk dengan satu tangan menyanggah dagunya, ia lantas melirik jam yang melingkar
Gabriel membelai pipi Aylee, ujung jemarinya lantas ia gerakkan di atas kulit halus gadis itu, menyentuh lehernya lantas turun ke tulang selangka Aylee yang menggoda. Gadis itu memejamkan matanya, ia menikmati itu. Gabe merengkuh tengkuk Aylee, mendekatkan wajah Aylee menuju wajahnya, ia hendak memagut bibir yang menurutnya sensual itu, namun gadis itu berpaling. Hingga bibir Gabe hanya bisa mendarat di pipi Aylee. “Aku tidak mau tidur dengan orang yang tidak ada cinta untuk melakukannya.” Aylee melepas rengkuhan tangan Gabe. Ia beranjak dari ranjangnya dengan membawa laptopnya keluar dari kamar megah itu. Gabe tertawa hampa, harga dirinya terluka mendapati penolakan seperti itu, padahal dahulu Aylee begitu manis terhadapnya. Tentu itu terjadi sebelum pernikahan bencana itu terjadi, sebelum Gabe membisikkan kata yang menyakiti hati perempuan itu. “Angkuh sekali dia. Dia pikir dia secantik itu, huh?” dengusnya kesal. Gabe pagi itu sudah berdand
Aylee begitu canggung, ia tak tahu harus di mana meletakkan tangannya. Calvin menyeringai, ia lantas menuntun kedua tangan Aylee untuk bergelayut di lehernya, sedang tangannya ia letakkan di kedua sisi pinggul gadis itu. Calvin semakin tertarik dengan wanita itu. “Kau punya pinggul yang sempurna. Sulit dipercaya Gabe tak pernah mengajakmu berdansa.” Aylee tersenyum kecut, di mata Gabe hanya Michelle makhluk sempurna di bumi ini, batinnya. Mereka berdansa pelan, Calvin yang tinggi menundukkan kepalanya hingga kepalanya sejajar dengan kepala Aylee, bisa dirasakan Aylee, bibir Calvin begitu dekat dengan lehernya. Bulu romanya meremang seketika. “Kudengar kau putus dengan tunanganmu, Cal?” Aylee mencoba mengajak bicara Calvin, agar wajah pria itu tak terus berada di lehernya. “Sayang sekali, itu benar.” “Kenapa? Kukira kalian akan serius untuk menikah.” Calvin menghela nafas berat. “Aku takut menghadapi pernikahan, Ay. Aku
Aylee yang mengajar mata kuliah algoritma dan pemrograman komputer tengah melakukan presentasi di depan kelas. Karena keanggunan dan kecantikannya serta usia yang masih sangat muda, ia menjadi salah satu dosen yang paling difavoritkan di jurusan teknik komputer walau belum ada satu tahun dia mengajar. Terutama di antara para mahasiswa, hampir setiap minggu ada saja mahasiswa yang memberinya hadiah. Seperti saat ini Aylee mendapatkan sekotak cokelat dari salah seorang pengagumnya. Aylee memakan cokelat itu di sela-sela kegiatannya menyiapkan makan malam. Gabe lantas muncul dan duduk di kursi makannya. Matanya tertuju pada sekotak cokelat yang berbentuk hati. “Dari mana kau mendapat itu? Apa si aktor kesayanganmu itu yang memberinya?” tanyanya sinis. Aylee kaget dengan kehadiran Gabe yang tiba-tiba. “Kau kenapa akhir-akhir ini pulang cepat?” Aylee justru bertanya balik. Gabe mendengus kesal Aylee tak menjawab pertanyaannya. “Kau belum menjawab p
Gabe berjalan mendekati Aylee, gadis itu mendengar suara langkah kaki dan segera menoleh. Gabe sedang menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan Aylee. “Aku tidak tahu kau akan pulang. Aku tak menyiapkan makan malam.” Aylee kembali menatap layar komputernya. Gabe berdiri di samping Aylee. “Tak apa. Aku tidak lapar. Kau tak jadi pergi?” tanya Gabe. “Ya, aku banyak kerjaan.” Gabe tahu Aylee berbohong. “Terimakasih,” seloroh Gabe membuat Emily tercengang. Ia tak salah dengar bukan? Pria itu berterimakasih? “Untuk?” Aylee mendongak, menatap penuh tanya wajah Gabe yang kali ini terlihat lembut. “Mematuhiku. Walau aku tahu aku tak layak mendapat itu.” Gabe menyeringai, ada kegetiran di matanya. “Sudah kubilang aku banyak pekerjaan. Tak perlu merasa seperti itu.” Aylee tak memandang wajah Gabe. Pria itu terkekeh. “Ayolah, Ay. Berhenti pura-pura acuh padaku. Aku tahu kau tak ingin bersikap seperti itu.” Mendengar it
Pagi itu Aylee buru-buru mengemasi pakaiannya, ia lantas memandang nanar tempat tidurnya yang kosong. Ia menggeleng lemah, ia putus asa sekarang. Ia merasa mungkin cinta Gabe memang tak akan pernah ia dapatkan. Ketertarikan Gabe semalam terhadapnya semata-mata mungkin karena ia akhir-akhir ini jarang bergumul dengan kekasihnya, pikir Aylee. Michelle mencium pipi Gabe, pria yang masih tertidur itu menggeliat, lantas ia mengerang. “Ku buatkan kopi untukmu sayang,” ujarnya. Pria itu bangkit untuk duduk, dengan masih di atas tempat tidurnya ia melirik kopi yang Michelle letakkan di atas nakas samping tempat tidur. “Hanya itu?” ia menaikkan alisnya, kentara sekali wajahnya tak suka. “Kau mau apa? Biar aku pesankan sarapan untukmu, apa yang kau suka?” tanya Michelle dengan senyum masih mengembang di bibirnya. Ia begitu senang tiba-tiba semalam Gabe pulang dan langsung mencumbunya tanpa ampun. “Kau masih bertanya apa yang aku suka? Kau jauh lebih dul