Lucy mengikuti Aylee yang melenggang ke dapur membawa piring-piring bekas makan malam mereka. Ia bermaksud membantu Aylee mencuci piring-piring itu.
“Tidak usah repot-repot Lu, biar aku melakukan ini sendiri.” Aylee merebut spons cuci piring yang dipegang Lucy.
“Tidak apa-apa, ini tidak masalah.” Lucy kembali merebut spons itu.
“Maaf, super model sepertimu harus mencuci piring-piringku,” ucapnya dengan senyum ramah.
“Tidak apa, kalau hanya mencuci piring, aku juga bisa.” Lucy menyeringai, namun ia terlihat kikuk melakukannya, kentara sekali ia tak biasa melakukan itu.
“Di rumahmu tak ada pelayan?” tanya Lucy. Aylee menggeleng.
“Tidak, ibuku biasa melakukan semuanya sendiri. Lagi pula dahulu mereka hanya tinggal berdua, jadi tak begitu butuh pelayan.”
Lucy menganggukkan kepalanya tanda mengerti.
“Maaf jika aku bertanya seperti ini, apa kau sudah resmi
Aylee mengamati kopi itu, memutar-mutar paper cupnya seolah mencari tahu siapa pengirim americano itu. Maxime memicingkan mata melihat sikap Aylee yang demikian. Ia lantas menyambangi kubikel Aylee.“Mengapa kau hanya menatap minumanmu tanpa meminumnya?”Aylee terkejut mendapati Maxime sudah berada di sampingnya. Aylee ragu-ragu menyodorkan americanonya pada Maxime.“Kau mau ini, Max?”“Kau sendiri tak ingin meminumnya?” Maxime balik bertanya. Aylee menggeleng cepat, ia ragu meminum kopi yang ia bahkan tak tahu siapa yang memberinya.“Dari penggemarmu lagi?”Aylee tersipu.“Kau mau apa tidak?”“Kebetulan aku belum minum kopi. Ini cukup hangat.” Maxime pada akhirnya meminum americano itu. Maxime memang kerap diberi Aylee makanan atau minuman pemberian pengagumnya.“Ini lumayan juga,” komentarnya sambil lalu menuju meja kerjanya.&ld
Aylee terdiam tanpa kata, suasana keduanya mendadak canggung nyaris hening. Bahkan hembusan angin malam yang semula semilir mengayunkan helaian rambut Aylee seolah mendadak berhenti manakala Martin berucap demikian. Aylee menelan ludahnya susah payah, ia cukup tercekat mendengar ungkapan cinta Martin yang entah sudah berapa kali terlontar dari mulut pria populer itu. Meski demikian sering, ia tak menyangka pria itu berani mengatakan itu ketika usia perceraiannya baru menginjak satu bulan beberapa hari saja. Pada akhirnya Aylee hanya bisa kembali memalingkan wajah, Martin terlihat bersedih, ia bahkan menengadahkan wajahnya, takut jika air matanya akan jatuh di hadapan wanita pujaannya itu. “Jika kau tak bisa menerimaku karena tak cinta, maka aku tak keberatan kau menerima cintaku karena belas kasih, aku sangat mau kau kasihani, Aylee.” Aylee sontak menoleh padanya. “Kasihanilah aku,” kini air mata Martin kadung jatuh, ia tak sempat menyembunyikan lagi. “Martin
Aylee membasuh wajahnya dengan gusar di depan wastafel, ia mengamati wajahnya yang dinilainya terlihat agak lelah. Sejurus kemudian dia memegangi perut bawahnya. Air matanya tak bisa lagi hanya menggenang di pelupuk mata, kini air matanya terjun bebas mengaliri pipi. “Tidak mungkin, aku tidak mungkin hamil kan?”Aylee terpejam melihat testpacknya, ia tak berani melihat hasilnya. Namun perlahan ia membuka matanya, dan mendapati alat pengecekan kadar hcg itu bergaris dua. “Oh, ya Tuhan...” Aylee memejamkan matanya. “Gabe... Aku harus bagaimana?” Aylee lunglai, ia terduduk di kamar mandinya. Perasannya saat ini begitu kacau, satu sisi ia bahagia karena perjuangannya dan Gabe pada akhirnya membuahkan hasil, namun di lain sisi, tentu hal ini tak ia inginkan, mengingat hubungannya dan Gabe kini bukan suami-istri lagi. “Bagaimana mungkin ternyata justru bayiku yang tumbuh tanpa sosok ayahnya.” Aylee terisak seorang diri. **Usai melakukan syutingnya,
Aylee menggigit bibir bawahnya, Jemarinya saling bertautan, pertanda ia begitu gugup saat ini. Martin berlari kecil menuju kamar mandi Aylee, di atas wastafel itu ia mendapati testpack milik Aylee. “Ya Tuhan!” Martin menggelengkan kepalanya. Ia berjalan menuju Aylee yang duduk di kursi kerjanya. “Kau tak akan memberitahukan ini pada Gabe kan?”Aylee meremas rambutnya. “Lalu aku harus apa? Ini anaknya.”Martin bersimpuh di depan Aylee, memeluk lutut wanita yang terlihat kacau itu. “Memangnya jika kau beri tahu ini, dia akan meninggalkan Michelle?”“Tentu, dia akan meninggalkan Michelle. Dia begitu menginginkan bayi ini, lebih dari apa pun.”Martin ternganga, ia begitu takut hal itu akan terjadi. “Dengar, itu mustahil. Ayahmu tak akan mengizinkanmu, Aylee.”“Dia akan berubah pikiran, dia akan memikirkan masa depan cucunya juga. Aku yakin dia akan menerima Gabe jika Gabe mau meninggalkan Michelle untukku. Bukankah itu bagus?”
Aylee beringsak mundur, jantungnya berdegup begitu kencang, aliran darah seolah berhenti di urat-urat nadinya hingga wajahnya kini nyaris pucat. Nafasnya terengah seolah paru-parunya tak dapat lagi menghirup udara. Gabe semakin maju, wanita cantik bermata coklat itu kini terjebak di antara dinding dan tubuh atletis Gabe.Gabe tersenyum menang, tangannya menyibak rambut coklat terang Aylee, menyelipkan rambut panjang itu di belakang telinganya. Gabe lantas mencium telinga Aylee lembut, menekankan bibirnya di sepanjang leher Aylee, wanita itu melenguh. Tak disangka bahwa sentuhan itu nyatanya begitu membuainya. Gabe tersenyum di sela ciumannya. Dengan agresif ia lantas mencium bibir Aylee yang merekah, seolah memang gadis itu menunggu ciuman dari Gabe. Keduanya berciuman tanpa ampun, Gabe begitu brutal menciumnya, memainkan bibir Aylee dengan rakusnya bak singa yang sedang kelaparan. Sejurus kemudian Gabe menanggalkan gaun tidur Aylee, menyibak dadanya, bibirnya nyaris mendarat
Aylee bersiap untuk mengajar di kampus. Ya, gadis itu memang memutuskan untuk tetap berkarier walau kini ia telah menjadi istri seorang CEO perusahaan perangkat lunak yang sangat sukses. Walau ia otomatis sudah memiliki segalanya tanpa harus berlelah-lelah bekerja, ia bersikeras melakukan itu. Karena diam saja di rumah nyatanya hanya membuat ia tertekan, lebih-lebih ia harus mendapati perlakuan Gabe yang kerap menyakitinya. Dengan banyak pertimbangan oleh Gabe dan Natasya, Aylee akhirnya diizinkan mengajar di sebuah kampus swasta kenamaan di kota ini. Sebelum bekerja Aylee memastikan sarapan yang ia buat sudah tertutup rapat di atas meja makan. “Emma, jika nanti Gabe bangun, tolong hangatkan lagi makanannya ya. Aku pergi dulu.” Aylee tersenyum manis kepada pelayannya, Emma. Emma berusia sekitar tiga puluh lima tahun, dia perempuan yang baik yang juga menjadi saksi kekejaman tuan mudanya, Gabriel. Ia pernah berkata pada Aylee bahwa ia ingin melaporkan tindakan
Seperti malam-malam biasanya, Gabe mampir ke apartemen kekasih gelapnya, Michelle. Tentu saja yang mereka lakukan adalah bercinta. Namun dalam pergumulannya malam ini Gabe merasa pikirannya terus tertuju pada Aylee. Gabe segera memakai kemeja dan celananya usai ia menyelesaikan pelepasannya pada Michelle, wanita yang kini masih meringkuk di atas tempat tidur. “Aku pergi dulu.” Pria itu mengecup kening Michelle. Wanita cantik dengan rambut dicat berwarna pirang itu duduk, menutupi tubuh telanjangnya dengan selimut hingga sebatas dada. “Jangan pergi, tinggallah di sini.” Ia memegangi satu lengan Gabe dengan kedua tangannya. Wajahnya merajuk manja. “Maaf sayang, tapi aku harus pulang cepat. Ada pekerjaan penting yang harus aku selesaikan,” dalihnya. Gabriel lalu pergi meninggalkan apartemen Michelle, entah kenapa hatinya terpanggil untuk pulang. ***** Aylee duduk dengan satu tangan menyanggah dagunya, ia lantas melirik jam yang melingkar
Gabriel membelai pipi Aylee, ujung jemarinya lantas ia gerakkan di atas kulit halus gadis itu, menyentuh lehernya lantas turun ke tulang selangka Aylee yang menggoda. Gadis itu memejamkan matanya, ia menikmati itu. Gabe merengkuh tengkuk Aylee, mendekatkan wajah Aylee menuju wajahnya, ia hendak memagut bibir yang menurutnya sensual itu, namun gadis itu berpaling. Hingga bibir Gabe hanya bisa mendarat di pipi Aylee. “Aku tidak mau tidur dengan orang yang tidak ada cinta untuk melakukannya.” Aylee melepas rengkuhan tangan Gabe. Ia beranjak dari ranjangnya dengan membawa laptopnya keluar dari kamar megah itu. Gabe tertawa hampa, harga dirinya terluka mendapati penolakan seperti itu, padahal dahulu Aylee begitu manis terhadapnya. Tentu itu terjadi sebelum pernikahan bencana itu terjadi, sebelum Gabe membisikkan kata yang menyakiti hati perempuan itu. “Angkuh sekali dia. Dia pikir dia secantik itu, huh?” dengusnya kesal. Gabe pagi itu sudah berdand