Aylee bersiap untuk mengajar di kampus. Ya, gadis itu memang memutuskan untuk tetap berkarier walau kini ia telah menjadi istri seorang CEO perusahaan perangkat lunak yang sangat sukses. Walau ia otomatis sudah memiliki segalanya tanpa harus berlelah-lelah bekerja, ia bersikeras melakukan itu.
Karena diam saja di rumah nyatanya hanya membuat ia tertekan, lebih-lebih ia harus mendapati perlakuan Gabe yang kerap menyakitinya. Dengan banyak pertimbangan oleh Gabe dan Natasya, Aylee akhirnya diizinkan mengajar di sebuah kampus swasta kenamaan di kota ini.
Sebelum bekerja Aylee memastikan sarapan yang ia buat sudah tertutup rapat di atas meja makan.
“Emma, jika nanti Gabe bangun, tolong hangatkan lagi makanannya ya. Aku pergi dulu.” Aylee tersenyum manis kepada pelayannya, Emma. Emma berusia sekitar tiga puluh lima tahun, dia perempuan yang baik yang juga menjadi saksi kekejaman tuan mudanya, Gabriel. Ia pernah berkata pada Aylee bahwa ia ingin melaporkan tindakannya pada Natasya, namun Aylee terus melarangnya. Ia tak ingin ada yang terlibat dalam masalah rumah tangganya. Entah keyakinan dari mana, namun Aylee berharap perlakuan Gabe terhadapnya suatu hari bisa berubah.
“Hati-hati, Nyonya.” Bibir Emma tersenyum, namun matanya menyiratkan belas kasih yang amat dalam pada perempuan cantik di hadapannya.
Jam menunjukkan sudah pukul sepuluh pagi, namun Gabe masih tertidur, ia pulang pagi setelah semalam tadi menemani Michelle di acara perayaannya, jadi ia merasa masih ingin berlama-lama tidur walau suara dering ponselnya terus berbunyi. Ia menyerah, menggertakkan giginya karena kesal dan beranjak dari kasurnya untuk meraih ponsel yang tergeletak di atas nakas samping tempat tidur.
“Ada apa, Grace?” tanya pria itu ketus pada Grace, sekretarisnya.
“Makan siang nanti bapak ada rapat dengan klien,” terang wanita itu lambat-lambat takut bosnya murka karena sudah mengganggu waktu istirahatnya.
“Ya. Aku akan datang tepat waktu.” Pria rupawan itu segera memasuki kamar mandi. Setelah usai dengan mandinya, ia bersiap untuk pergi ke kantor. Ia menghampiri Emma yang sedang mencuci di ruang laundry.
“Aylee sudah berangkat?” tanya Gabe membuat wanita itu kaget dengan keberadaan pria itu yang dirasanya tiba-tiba.
“Sudah dari pagi sekali, Tuan. Nyonya Aylee tadi sudah buatkan sarapan untuk tuan, mau saya hangatkan dulu?”
Gabe berdecak kesal, ia heran kenapa wanita itu selalu menyiapkan makanan untuknya walau Gabe sudah memperlakukannya dengan buruk. Bahkan ketika Aylee sudah berlelah-lelah membuat makan malam, Gabe kerap tak pulang. Ia tak peduli sama sekali, menurut Gabe harusnya Aylee tak perlu repot-repot bertingkah seolah menjadi istri ideal, karena sampai kapan pun ia tak akan menghargai semua itu. Namun Aylee keras kepala.
Gabe melewati meja makannya, ia hendak terus saja berlalu untuk segera ke kantor, namun ia menghentikan langkahnya. Ia berbalik dan kembali ke meja makan. Ia membuka tudung saji, dan mendapati panekuk dengan toping syrup maple dan buah cranberry segar di atasnya, ini menu kesukaannya.
Sialan! Gadis itu bebal juga.
Setelah pertengkaran hebat kemarin akibat ikutnya Gabe dalam acara perayaan Michelle, Aylee masih bisa membuatkan makanan kesukaannya. Gabe terdiam beberapa saat mengamati panekuk itu, namun sejurus kemudian ia memilih menutup kembali tudung saji itu.
****
Usai mengajar, Aylee dikejutkan dengan seorang lelaki yang sudah menunggunya di tempat parkir. Lelaki itu memakai jaket dan celana denim, memakai topi hitam lengkap dengan kacamata dan masker yang berwarna senada. Aylee tersenyum, tentu saja pria itu adalah Martin. Ia bersandar pada Porsche miliknya yang berwarna kuning. Tangannya melambai pada Aylee. Mungkin jika tak memakai masker, pria itu akan terlihat tersenyum begitu manis terhadap gadis yang kini sudah menjadi istri seorang CEO.
“Pamer mobil baru, ya?” Aylee bersedekap. Ia tak bisa menahan senyumnya memandangi mobil sport baru milik Martin.
“Mau mencoba menaikinya, Bu dosen?” Aylee mengedar pandang seluruh area parkir itu. Martin terdengar terkekeh.
“Kau takut suamimu marah?” ledek Martin. Aylee mengerucutkan bibirnya.
“Aku masih waras, dia tak akan repot-repot kemari. Yang aku takutkan paparazi. Kau sekarang bukan Martin yang dulu, yang bebas aku ajak ke mana saja.”
“Lantas apa gunanya aku memakai masker?” Aylee tersenyum. Ia senang Martin di sini, namun ia juga tak merasa bebas seperti dulu, walau pada hakikatnya ia istri yang tak dianggap, dia tetap merasa ia ingin menjaga kehormatannya dengan tak sembarangan pergi dengan laki-laki lain.
“Aku merindukanmu, Nona Anderson. Bisa kita pergi walau hanya satu jam lamanya? Aku mohon,” pintanya dengan kedua tangannya menggenggam kedua telapak tangan Aylee. Aylee tak bergeming. Harusnya pria itu memanggilnya dengan sebutan nyonya Ferdinand, namun tentu saja Martin masih menganggapnya lajang seperti dahulu, dia sungguh membenci suaminya, Gabriel Ferdinand. Aylee tersenyum getir.
“Aku akan jarang ada waktu senggang, proyekku akan segera dimulai, aku takut akan lama lagi bertemu denganmu, Ay. Bisa kita pergi? Aku akan menyuruh asistenku mengantar mobilmu ke rumah.” Aylee menggigit bibirnya, tanda ragu. Martin gemas bukan main jika melihat Aylee melakukan itu pada bibirnya. Bibir tipis namun penuh berwarna merah muda alami dengan belah di tengah membuat Aylee begitu cantik di mata Martin. Martin menelan ludah mengamati bibir favoritnya itu.
Aylee memutar bola matanya.
“Baiklah.” Martin membukakan pintu untuk Aylee, wanita anggun itu lantas memasuki Porsche Martin.
Martin terus memperhatikan Aylee yang berada di sampingnya.
“Aylee, kapan kau cerai dengan suami brengsekmu itu?” tanya Martin membuat Aylee melebarkan matanya.
“Kau sahabatku tapi mendoakan rumah tanggaku seburuk itu.” Aylee bersungut-sungut.
“Buka matamu, Ay. Dia terus menyakitimu. Kau ini tidak berhutang apa-apa dengan keluarga Ferdinand. Untuk apa berlelah-lelah mempertahankan rumah tangga sialanmu itu? Kalau orang tuamu tahu Gabe bedebah itu memperlakukanmu seperti ini, mereka akan sedih. Kau putri semata wayang mereka.” Pria itu kesal bukan main melihat Aylee masih terlihat ingin mempertahankan rumah tangga mereka.
“Itulah alasanku masih bertahan, aku tak ingin membuat mereka sedih.”
“Itu konyol.”
Aylee menggeleng pelan. Pria itu tak tahu Aylee masih mencintainya.
“Jangan bilang apa-apa pada orang tuaku, Martin.”
“Kau masih mencintainya meski akhirnya kau tahu dia hanya memanfaatkanmu? Naif sekali.” Martin Menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Aku membencinya, sungguh.”Aylee bohong ketika mengucapkan itu. Martin tertawa hampa.
“Sudahlah, Martin. Kau tak akan menyia-nyiakan waktu satu jam berharga kita untuk membahas dia kan?” Aylee mengelus bahu Martin. Mencoba menenangkan pria super rupawan dengan manik mata berwarna biru gelap itu. Mendapat sentuhan itu Martin menjadi tenang. Wanita cantik nan anggun itu memang selalu bisa membuatnya senang sekaligus membuatnya patah hati. Namun sungguh ia tak bisa membenci wanita itu, walau empat tahun silam cinta Martin terang-terangan ditolaknya. Justru mungkin dengan fakta bahwa rumah tangga Aylee tak bahagia, Martin akan melancarkan serangannya kembali. Dia berpikir masih ada harapan untuknya, entah cara apa nanti yang akan dilakukannya.
Seperti malam-malam biasanya, Gabe mampir ke apartemen kekasih gelapnya, Michelle. Tentu saja yang mereka lakukan adalah bercinta. Namun dalam pergumulannya malam ini Gabe merasa pikirannya terus tertuju pada Aylee. Gabe segera memakai kemeja dan celananya usai ia menyelesaikan pelepasannya pada Michelle, wanita yang kini masih meringkuk di atas tempat tidur. “Aku pergi dulu.” Pria itu mengecup kening Michelle. Wanita cantik dengan rambut dicat berwarna pirang itu duduk, menutupi tubuh telanjangnya dengan selimut hingga sebatas dada. “Jangan pergi, tinggallah di sini.” Ia memegangi satu lengan Gabe dengan kedua tangannya. Wajahnya merajuk manja. “Maaf sayang, tapi aku harus pulang cepat. Ada pekerjaan penting yang harus aku selesaikan,” dalihnya. Gabriel lalu pergi meninggalkan apartemen Michelle, entah kenapa hatinya terpanggil untuk pulang. ***** Aylee duduk dengan satu tangan menyanggah dagunya, ia lantas melirik jam yang melingkar
Gabriel membelai pipi Aylee, ujung jemarinya lantas ia gerakkan di atas kulit halus gadis itu, menyentuh lehernya lantas turun ke tulang selangka Aylee yang menggoda. Gadis itu memejamkan matanya, ia menikmati itu. Gabe merengkuh tengkuk Aylee, mendekatkan wajah Aylee menuju wajahnya, ia hendak memagut bibir yang menurutnya sensual itu, namun gadis itu berpaling. Hingga bibir Gabe hanya bisa mendarat di pipi Aylee. “Aku tidak mau tidur dengan orang yang tidak ada cinta untuk melakukannya.” Aylee melepas rengkuhan tangan Gabe. Ia beranjak dari ranjangnya dengan membawa laptopnya keluar dari kamar megah itu. Gabe tertawa hampa, harga dirinya terluka mendapati penolakan seperti itu, padahal dahulu Aylee begitu manis terhadapnya. Tentu itu terjadi sebelum pernikahan bencana itu terjadi, sebelum Gabe membisikkan kata yang menyakiti hati perempuan itu. “Angkuh sekali dia. Dia pikir dia secantik itu, huh?” dengusnya kesal. Gabe pagi itu sudah berdand
Aylee begitu canggung, ia tak tahu harus di mana meletakkan tangannya. Calvin menyeringai, ia lantas menuntun kedua tangan Aylee untuk bergelayut di lehernya, sedang tangannya ia letakkan di kedua sisi pinggul gadis itu. Calvin semakin tertarik dengan wanita itu. “Kau punya pinggul yang sempurna. Sulit dipercaya Gabe tak pernah mengajakmu berdansa.” Aylee tersenyum kecut, di mata Gabe hanya Michelle makhluk sempurna di bumi ini, batinnya. Mereka berdansa pelan, Calvin yang tinggi menundukkan kepalanya hingga kepalanya sejajar dengan kepala Aylee, bisa dirasakan Aylee, bibir Calvin begitu dekat dengan lehernya. Bulu romanya meremang seketika. “Kudengar kau putus dengan tunanganmu, Cal?” Aylee mencoba mengajak bicara Calvin, agar wajah pria itu tak terus berada di lehernya. “Sayang sekali, itu benar.” “Kenapa? Kukira kalian akan serius untuk menikah.” Calvin menghela nafas berat. “Aku takut menghadapi pernikahan, Ay. Aku
Aylee yang mengajar mata kuliah algoritma dan pemrograman komputer tengah melakukan presentasi di depan kelas. Karena keanggunan dan kecantikannya serta usia yang masih sangat muda, ia menjadi salah satu dosen yang paling difavoritkan di jurusan teknik komputer walau belum ada satu tahun dia mengajar. Terutama di antara para mahasiswa, hampir setiap minggu ada saja mahasiswa yang memberinya hadiah. Seperti saat ini Aylee mendapatkan sekotak cokelat dari salah seorang pengagumnya. Aylee memakan cokelat itu di sela-sela kegiatannya menyiapkan makan malam. Gabe lantas muncul dan duduk di kursi makannya. Matanya tertuju pada sekotak cokelat yang berbentuk hati. “Dari mana kau mendapat itu? Apa si aktor kesayanganmu itu yang memberinya?” tanyanya sinis. Aylee kaget dengan kehadiran Gabe yang tiba-tiba. “Kau kenapa akhir-akhir ini pulang cepat?” Aylee justru bertanya balik. Gabe mendengus kesal Aylee tak menjawab pertanyaannya. “Kau belum menjawab p
Gabe berjalan mendekati Aylee, gadis itu mendengar suara langkah kaki dan segera menoleh. Gabe sedang menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan Aylee. “Aku tidak tahu kau akan pulang. Aku tak menyiapkan makan malam.” Aylee kembali menatap layar komputernya. Gabe berdiri di samping Aylee. “Tak apa. Aku tidak lapar. Kau tak jadi pergi?” tanya Gabe. “Ya, aku banyak kerjaan.” Gabe tahu Aylee berbohong. “Terimakasih,” seloroh Gabe membuat Emily tercengang. Ia tak salah dengar bukan? Pria itu berterimakasih? “Untuk?” Aylee mendongak, menatap penuh tanya wajah Gabe yang kali ini terlihat lembut. “Mematuhiku. Walau aku tahu aku tak layak mendapat itu.” Gabe menyeringai, ada kegetiran di matanya. “Sudah kubilang aku banyak pekerjaan. Tak perlu merasa seperti itu.” Aylee tak memandang wajah Gabe. Pria itu terkekeh. “Ayolah, Ay. Berhenti pura-pura acuh padaku. Aku tahu kau tak ingin bersikap seperti itu.” Mendengar it
Pagi itu Aylee buru-buru mengemasi pakaiannya, ia lantas memandang nanar tempat tidurnya yang kosong. Ia menggeleng lemah, ia putus asa sekarang. Ia merasa mungkin cinta Gabe memang tak akan pernah ia dapatkan. Ketertarikan Gabe semalam terhadapnya semata-mata mungkin karena ia akhir-akhir ini jarang bergumul dengan kekasihnya, pikir Aylee. Michelle mencium pipi Gabe, pria yang masih tertidur itu menggeliat, lantas ia mengerang. “Ku buatkan kopi untukmu sayang,” ujarnya. Pria itu bangkit untuk duduk, dengan masih di atas tempat tidurnya ia melirik kopi yang Michelle letakkan di atas nakas samping tempat tidur. “Hanya itu?” ia menaikkan alisnya, kentara sekali wajahnya tak suka. “Kau mau apa? Biar aku pesankan sarapan untukmu, apa yang kau suka?” tanya Michelle dengan senyum masih mengembang di bibirnya. Ia begitu senang tiba-tiba semalam Gabe pulang dan langsung mencumbunya tanpa ampun. “Kau masih bertanya apa yang aku suka? Kau jauh lebih dul
Aylee dan Martin sudah bersiap dengan segala peralatan berkudanya. Mereka sudah mengeluarkan kuda-kuda yang hendak mereka tunggangi dari kandangnya. Martin mendekati Aylee dan memakaikan helm pada gadis itu. “Hei, aku bisa sendiri,” tolaknya, namun Martin tak peduli itu. “Kau terlihat sangat cantik,” pujinya seraya memandangi wajah gadis di depannya. “Omong-omong aku tidak tahu masih mahir atau tidak menunggangi Penelope? Aku harap masih bisa,” ucap Aylee mengusap-usap wajah Penelope. “Tentu saja bisa, kau ahlinya, Ay. Sekarang naiklah!” titah Martin yang segera dituruti Aylee. Gadis itu menaiki pelana kuda. Martin turut pula menaiki kudanya yang pamannya beri nama Jake. “Ayo Jake! Susul Penelope dan penunggang cantiknya!” pria itu menghentakkan kedua kakinya pada perut kuda, seketika kuda itu berlari menyusul Aylee yang sudah lebih dulu melaju. Rasanya sudah lama Aylee tak merasa bahagia seperti ini, menaiki kuda seperti ini sangat me
“Gabe..?” Aylee memicingkan matanya. Gabe tak bergeming, ia menatap penuh amarah kepada Martin. “Aku mencarimu seperti orang gila, tapi kau malah bersama aktor sialan ini!” Aylee memejamkan matanya, ia tak mengerti dengan jalan pikiran Gabe. Dia bilang dia tak menyukainya, tapi kenapa dia harus repot-repot mencarinya? “Jaga bicaramu, bung! Kau yang sialan! Kau berselingkuh dengan rekan kerjaku, benar kan? Untuk apa mencari istri yang bahkan sudah tak kau pedulikan lagi? Ceraikan saja dia, tuan Ferdinand yang terhormat!” Aylee melebarkan matanya pada Martin. Dia tak percaya Martin berkata demikian. Gabe terkesiap, ia tak mampu membalas perkataan Martin. Tentu saja dia tahu dia salah, tapi ia juga tentu tak ingin bercerai dengan Aylee. Ia juga bingung dengan kejelasan hubungannya dengan Michelle, entah mau dibawa ke mana hubungannya dengan kekasih gelapnya itu? Namun mendengar Martin mengucapkan demikian, ia tak terima, ia mengeratkan genggaman tanganny