Share

Bukan Orang ke Tiga

Aylee yang mengajar mata kuliah algoritma dan pemrograman komputer tengah melakukan presentasi di depan kelas. Karena keanggunan dan kecantikannya serta usia yang masih sangat muda, ia menjadi salah satu dosen yang paling difavoritkan di jurusan teknik komputer walau belum ada satu tahun dia mengajar.

Terutama di antara para mahasiswa, hampir setiap minggu ada saja mahasiswa yang memberinya hadiah. Seperti saat ini Aylee mendapatkan sekotak cokelat dari salah seorang pengagumnya.

Aylee memakan cokelat itu di sela-sela kegiatannya menyiapkan makan malam. Gabe lantas muncul dan duduk di kursi makannya. Matanya tertuju pada sekotak cokelat yang berbentuk hati.

“Dari mana kau mendapat itu? Apa si aktor kesayanganmu itu yang memberinya?” tanyanya sinis. Aylee kaget dengan kehadiran Gabe yang tiba-tiba.

“Kau kenapa akhir-akhir ini pulang cepat?” Aylee justru bertanya balik. Gabe mendengus kesal Aylee tak menjawab pertanyaannya.

“Kau belum menjawab pertanyaanku.” Gabe geram, ia mengeratkan giginya.

“Apa itu penting dijawab? Aku pikir kau masa bodoh,” ujarnya santai sembari memanggang salmonnya di atas pan.

“Kau bilang kau menghargai pernikahan. Inikah yang disebut menghargai? Menerima pemberian dari pria lain?” Aylee memutar bola matanya, ia semakin merasa aneh pada suaminya.

“Kau ke mana saja? Ini bukan kali pertama aku diberi hadiah, kau tak pernah mempermasalahkan ini. Lagi pula ini pemberian mahasiswaku. Bukan dari Martin.” Gabe menelan ludah. Jadi Aylee begitu populer? Ia tak sadar ternyata istrinya begitu menarik di mata orang lain.

Aylee menghidangkan pan seared salmon dengan saus mentai di samping salmon.

“Kau sendiri.. apa kau bertengkar dengan Michelle?” hati-hati Aylee menanyakan itu. Gabe terdiam beberapa saat.

“Tentu saja tidak. Dia sibuk dengan filmnya.” Gabe menyantap hidangan yang disajikan Aylee. Aylee mengangguk, tentu saja seperti itu. Memangnya alasan apa yang diharapkan Aylee? Aylee mungkin terlalu berharap banyak. Perubahan Gabe nyatanya hanya karena ia sedikit merasa kesepian karena kesibukan kekasihnya itu.

Ketika keduanya sibuk dengan makanannya masing-masing, dering ponsel Aylee berbunyi. Ia melihat nama ‘Martin my bestie' di layar ponselnya. Gabe diam-diam melirik ponsel Aylee.

“Ada apa, Martin?” sahut Aylee.

“Aku ingin mengajakmu berakhir pekan, aku ingin mengunjungi peternakan paman Gery, aku tahu kau juga merindukannya, tentu saja merindukan kuda-kudanya lebih tepatnya.” Aylee tak bisa menahan seringainya.

Ia memang suka berkuda. Ketika Martin berkunjung ke rumah paman Gery, pemuda itu selalu mengajak Aylee. Mengajari Aylee menunggang kuda, hingga akhirnya gadis itu menyukai olahraga itu. Namun sejak bekerja di perusahaan perangkat lunak milik Gabe, Aylee tak pernah berkuda lagi, tentu karena Martin juga semakin sibuk seiring dengan popularitasnya yang kian bertambah.

“Bukankah kau sedang sibuk dengan proyekmu?”

“Ada jeda dua hari libur, aku juga ingin sekedar menenangkan diri walau hanya sebentar, agar aku bisa semangat lagi menjalani syuting. Jadi, apa kau mau, Ay?” tanya Martin. Aylee melirik Gabe yang juga sesekali meliriknya.

“Tentu aku mau, aku juga tidak ada jam mengajar.”

“Baiklah kalau begitu. Aku akan mengabari paman Gery. Dah!” Martin mematikan teleponnya.

Gabe lantas berdehem, ia menatap Aylee tajam dan sinis.

“Kau tak meminta izinku dulu?” Gabe menunjuk wajahnya.

“Apa kau akan mengizinkan?” Aylee menatap Gabe ragu.

“Tentu saja tidak,” jawabnya enteng.

“Kenapa begitu?” Aylee terlihat kesal.

“Kau sudah bersuami ingat? Apa pantas kalian pergi berdua saja?”

Aylee menarik nafas berat.

“Kau bahkan tidur di apartemen wanita yang bukan istrimu, apa aku pernah melarangmu?” Gabe tergagap.

“Keputusanku tetap sama. Aku tak mengizinkanmu.” Gabe menatap lurus-lurus mata Aylee.

“Aku akan pergi. Dengan atau tanpa izinmu.” Aylee sungguh kesal. Pria itu selalu seenaknya sendiri. Ia lantas meninggalkan Gabe. Wanita itu pergi menuju kamarnya.

Sudah lewat tengah malam, Aylee tak bisa memejamkan matanya. Ia memandangi sebelah ranjangnya, tampak kosong. Perdebatan mereka di ruang makan barusan membuat Gabe marah dan kembali meninggalkan rumah mereka. Aylee menghembus nafas berat.

Gabe berada di apartemen Michelle, wanita itu girang bukan main Gabe kembali dalam dekapannya. Ia terus menggoda Gabe walau pria itu terlihat tak berselera untuk bercinta, pikirannya masih berkecamuk tentang Aylee yang berani melanggarnya.

Gabe hendak memakai pengamannya, namun Michelle mencegat tangannya.

“Tidak usah memakai ini. Aku sungguh tak apa-apa.” Michelle mencium penuh gairah bibir Gabe.

“Kau tahu aku punya istri. Aku tak mungkin menghamilimu.”

Michelle menatap sinis kekasihnya.

“Aku bukan orang ketiga di sini. Aku lebih berhak atasmu. Akan bagus jika aku hamil, kita akan lebih mudah bersama. Aylee pasti akan menceraikanmu jika itu terjadi.”

Gabe menjauhkan diri dari Michelle.

“Jangan gila. Kau pikir ibuku akan diam saja? Dia tak akan melepas Aylee.”

“Jadi maksudmu aku hanya akan menjadi jalangmu selamanya?”

“Hei, jangan seperti itu. Kau wanita yang kucintai.”

“Kalau begitu aku mau dirimu seutuhnya,” pintanya. Gabe terdiam. Kini beban pikirannya kian bertambah.

Gabe tak pulang beberapa hari, hingga sekarang akhir pekan pun tiba. Malam itu Aylee duduk di meja kerjanya. Berkutat dengan komputernya.

Emma masuk membawakan secangkir kopi dan sepiring cookies untuk nyonya mudanya.

“Terima kasih, Em,” ucapnya tulus.

“Kalau aku jadi kau, aku akan pergi bersenang-senang dengan Martin. Kau terlalu baik untuk tuan muda Gabe.”

Aylee tersenyum kepada pelayannya itu.

“Lagi pula aku banyak pekerjaan. Lain kali saja aku akan ikut Martin.” Emma tersenyum kagum, Gabe harusnya bersyukur mendapatkan pendamping seperti Aylee, batinnya.

Tak selang berapa lama Gabe memasuki rumahnya. Ia lantas menghampiri Emma yang sedang bersiap untuk pulang. Ya, Emma tak tidur di kediaman mereka. Bisa dibilang Emma dipekerjakan secara paruh waktu. Emma akan datang ketika pagi untuk mencuci dan membereskan rumah. Kecuali jika Gabe dan Aylee menyuruh ia datang jika ada keperluan tertentu.

“Kau masih di sini?” Gabe mengerutkan dahi.

“Nyonya Aylee menyuruhku datang tadi sore.”

Gabe sontak melebarkan matanya.

“Aylee ada di sini?” tanyanya hampir tak percaya.

“Kau tak mengizinkan dia pergi, maka dia tak akan pergi.” Jawaban Emma membuat dada Gabe seketika sesak oleh rasa bersalah. Dia sudah merajuk berhari-hari tak pulang karena mengira Aylee akan pergi dengan Martin. Namun di satu sisi ia senang, Aylee menurut padanya.

Gabe lantas segera pergi ke kamarnya, namun ia tak mendapati Aylee ada di situ. Ia mencoba membuka kamar mandi, dia juga tak menemukan sosok wanita cantik itu.

Gabe berpikir, beberapa saat kemudian ia memutuskan mencari Aylee di ruang kerja gadis itu.

Dan begitu tiba, ia mendapati istrinya sedang berkutat dengan komputernya. Dengan sesekali ia menyeruput kopinya untuk sekedar menghilangkan kantuk yang mulai hinggap. Gabe tersenyum pahit menatap punggung Aylee.

Setelah segala perlakuannya yang seenaknya dan egois, Aylee masih mematuhi pria itu. Walau Gabe yakin sebetulnya gadis itu sangat ingin pergi berkuda bersama Martin. Gabe ingat, sewaktu masih mendekati Aylee, Gadis itu pernah bercerita bahwa ia menyukai beberapa olahraga maskulin, seperti berkuda, menaiki motor trail, dan memanjat tebing. Di balik anggunnya, dia tentu sosok wanita yang kuat. Gabe yang saat itu hanya berpura-pura tertarik padanya, tak menggubris perihal hobi Aylee, ia tak mengajak gadis itu melakukan hobinya, walau Gabe yakin gadis itu akan sangat senang jika diajak melakukan salah satu hobi maskulinnya. Hatinya kini kian dipenuhi rasa bersalah.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status