Gabe berjalan mendekati Aylee, gadis itu mendengar suara langkah kaki dan segera menoleh. Gabe sedang menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan Aylee.
“Aku tidak tahu kau akan pulang. Aku tak menyiapkan makan malam.” Aylee kembali menatap layar komputernya. Gabe berdiri di samping Aylee.
“Tak apa. Aku tidak lapar. Kau tak jadi pergi?” tanya Gabe.
“Ya, aku banyak kerjaan.” Gabe tahu Aylee berbohong.
“Terimakasih,” seloroh Gabe membuat Emily tercengang. Ia tak salah dengar bukan? Pria itu berterimakasih?
“Untuk?” Aylee mendongak, menatap penuh tanya wajah Gabe yang kali ini terlihat lembut.
“Mematuhiku. Walau aku tahu aku tak layak mendapat itu.” Gabe menyeringai, ada kegetiran di matanya.
“Sudah kubilang aku banyak pekerjaan. Tak perlu merasa seperti itu.” Aylee tak memandang wajah Gabe. Pria itu terkekeh.
“Ayolah, Ay. Berhenti pura-pura acuh padaku. Aku tahu kau tak ingin bersikap seperti itu.”
Mendengar itu Aylee berdiri, ia menatap tajam Gabriel.
“Apa aku punya pilihan? Haruskah aku terus terlihat menyedihkan dengan bersikap seolah tak terjadi apa-apa dalam pernikahan kita?” Gabe menunduk. Ia menjilat bibirnya. Ia lantas menyeringai namun matanya terlihat sedih.
“Harusnya tak kupilih kau untuk kujebak dalam pernikahan ini.”
Aylee menajamkan pandangannya.
“Kau terlalu istimewa untuk diperlakukan seperti itu.”
Hati Aylee mencelus, ia tak menyangka ucapan Gabe yang barusan keluar dari mulutnya.
****
Suara bell apartemen Michelle berbunyi. Ia segera berlari ke arah pintu sembari membenahi tatanan rambutnya.
Pintu dibuka dan mendapati Martin sedang berdiri di depan pintu dengan senyuman dingin.
“Sedang apa kau di sini?” Michelle memicingkan matanya.
“Boleh aku masuk? Aku membawa makanan untukmu,” ujarnya sembari menunjukkan sekantung box berisi makanan.
“Terimakasih, tapi kau tak perlu repot-repot.” Michelle hendak menutup kembali pintunya namun tangan Martin menghalanginya.
“Baiklah jika kau tak ingin aku masuk, tapi terima ini.” Martin menggenggamkan kantung itu pada tangan Michelle.
“Aku pergi,” pamitnya dengan senyum mengembang di bibir indah Martin.
Michelle tertegun, ia merasa jantungnya berdesir. Ia memandangi punggung pria itu hingga sosoknya tak terlihat lagi.
***
Gabe mendekati Aylee, pria itu memegangi kedua bahu istrinya. Aylee segera melepas tangan Gabe. Aylee merasa tatapan pria itu aneh, tak sinis juga tak ada amarah di situ. Aylee justru khawatir sekarang, tatapan pria itu seperti singa yang lapar. Gabe bahkan menelisik tubuh Aylee dengan seksama.
“Gabe, aku akan menyiapkanmu makanan. Kurasa hanya omelette tak akan masalah kan?” tanpa menunggu persetujuan Gabe, wanita anggun itu segera berlalu menuju dapur.
“Apa dia kabur lagi? Kenapa jadi menggemaskan begitu?” Gabe tertawa sendiri.
Gabe mengikuti wanita itu ke dapur. Mengamati sosok Aylee yang berkutat dengan alat-alat memasaknya. Aylee merasa risih ditatap seperti itu. Sikap Gabe semakin berbeda, itu membuat Aylee bingung.
“Makanlah.” Usai menghidangkan itu Aylee hendak menuju kamarnya. Namun tangan Gabe mencegatnya.
“Aku makan sendirian?” wajah Gabe terlihat memelas.
“Aku sudah makan,” jawabnya.
“Temani aku. Dan itu perintah, kau tak akan melanggar itu kan?” Aylee memutar bola matanya. Ia lantas duduk di depan Gabe.
“Kau memang suka seenaknya,” seloroh Aylee menatap kesal ke arah suaminya.
“Aku tahu,” jawabnya enteng, sejurus kemudian ia menyuapkan omelette ke mulutnya. Aylee menggelengkan kepalanya.
“Oh Tuhan, aku tak percaya aku menikahimu.” Emily memegangi dadanya, berharap kesabaran tak pernah habis dalam hatinya. Gabe justru terkekeh.
“Kau membuatku sedih, Ay.”
Aylee memalingkan wajahnya, Pura-pura tak mendengar suaminya.
“Apa kau menyesal menikahiku?” tanya Gabe dengan raut wajah serius. Aylee mengedarkan pandangannya, tak ingin menatap Gabe.
“Mungkin iya.” Jawaban Aylee membuat Gabe terenyuh hatinya.
“Ada apa denganmu? Kau aneh hari ini, Gabe. Michelle mencampakkanmu?” Aylee tak tahan lagi dengan sikap Gabe yang dirasanya aneh.
“Mana mungkin? Mustahil aku tak diinginkan.” Mendengar itu Aylee tertawa seketika.
“Kenapa tertawa?” Wajah Gabe bingung.
“Kau sangat percaya diri,” ucapnya membuat Gabe tersenyum.
“Aku juga tahu kau menginginkan aku juga.” Tatapan Gabe menggodanya. Aylee menelan ludahnya. Nyatanya memang yang dikatakan Gabe adalah fakta. Dengan segala perlakuan Gabe padanya, pria itu masih berarti di hatinya.
“Kau luar biasa aneh.” Aylee menutupi perasaannya dengan mencoba mengejeknya. Aylee melenggang meninggalkan Gabe menuju kamarnya, sebelum pria itu sukses membuat pipinya bersemu merah.
***
Aylee menggosok giginya di depan wastafel, tiba-tiba Gabe masuk mengagetkannya. Aylee segera berkumur.
“Hei, aku sedang menggunakan kamar mandi. Tunggulah sebentar!”
Namun Gabe tak menggubris Aylee. Ia melepas satu persatu bajunya. Aylee menutup setengah matanya, dan dia bergegas menuju pintu kamar mandi untuk keluar. Namun Gabe menahan tangan Aylee. Pria itu terkekeh melihat Aylee menutupi matanya. Saat ini Gabe sudah tak berbusana.
“Ayolah, aku ini suamimu. Lihat aku,” godanya.
“Dasar gila! Lepaskan aku, Gabe!” Aylee masih terpejam. Itu semakin membuat Gabe gemas. Ia lantas mencium bibir istrinya sekilas.
“Gabe!” Aylee bersungut. Pria itu malah makin menggodanya. Ia memeluk Aylee dengan tubuh telanjangnya. Itu membuat Aylee panas dingin. Gabe mencium lagi bibir Aylee, namun kali ini ia mencium Aylee intens, melumat bibir gadis itu dengan piawainya. Mencecap bibir atas dan bawah Aylee bergantian. Bahkan lidahnya kini menerobos masuk mencari lidah Aylee. Pertahanan Aylee kini koyak, nyatanya wanita itu menikmati ciumannya. Ia membalas ciuman Gabe hingga bibir keduanya saling bertautan. Aylee mencoba mengumpulkan kesadarannya. Ia lantas melepas tautan bibir Gabe.
“Kau bilang kau tak tertarik menyentuhku. Kenapa melakukan ini?”
Gabe membelai rambut gadis itu.
“Nyatanya aku sekarang begitu menginginkanmu. Aku akui, aku menjilat ludahku sendiri, Ay. Aku sangat menginginkanmu. Bibirmu sangat manis,” Ia menciumi lagi bibir Aylee, gadis itu terbuai lagi. Walau akal sehatnya menolak dicumbu Gabe, namun reaksi tubuhnya berkata lain. Tubuhnya dengan senang hati menerima sentuhan-sentuhan Gabe. Bahkan pria itu kini menyibak gaun Aylee, tangannya hendak meraba bagian intim Aylee. Namun wanita itu mencegatnya.
“Aku suamimu, biarkan aku melakukan ini, Ay.”
“Aku tidak bisa, Gabe.”
“Kenapa?” mata Gabe terlihat kecewa.
“Kau belum mencintaiku kan?”
Gabe terdiam, ia juga bingung dengan perasaannya.
“Kenapa kau bersikeras? Aku tahu kau menginginkan ini juga.” Gabe mengunci tubuh Aylee lagi. Mencium kembali gadis itu.
“Aku sangat ingin, Gabe. Namun dengan cinta. Aku ingin kau melakukannya karena cinta.” Gabe menyerah. Ia melepas tubuh Aylee.
“Kalau begitu aku belum bisa mengabulkannya.” Gabe berbalik, ia berjalan menuju bilik transparan yang berada di kamar mandi. Menyalakan shower dan meremas rambutnya gusar. Ia terpaksa meredam hasratnya lagi. Aylee begitu menyiksanya.
Aylee juga tersiksa dengan keadaan ini. Apa permintaannya berlebihan? Apa cinta Gabe tak mungkin bisa ia dapatkan?
Pagi itu Aylee buru-buru mengemasi pakaiannya, ia lantas memandang nanar tempat tidurnya yang kosong. Ia menggeleng lemah, ia putus asa sekarang. Ia merasa mungkin cinta Gabe memang tak akan pernah ia dapatkan. Ketertarikan Gabe semalam terhadapnya semata-mata mungkin karena ia akhir-akhir ini jarang bergumul dengan kekasihnya, pikir Aylee. Michelle mencium pipi Gabe, pria yang masih tertidur itu menggeliat, lantas ia mengerang. “Ku buatkan kopi untukmu sayang,” ujarnya. Pria itu bangkit untuk duduk, dengan masih di atas tempat tidurnya ia melirik kopi yang Michelle letakkan di atas nakas samping tempat tidur. “Hanya itu?” ia menaikkan alisnya, kentara sekali wajahnya tak suka. “Kau mau apa? Biar aku pesankan sarapan untukmu, apa yang kau suka?” tanya Michelle dengan senyum masih mengembang di bibirnya. Ia begitu senang tiba-tiba semalam Gabe pulang dan langsung mencumbunya tanpa ampun. “Kau masih bertanya apa yang aku suka? Kau jauh lebih dul
Aylee dan Martin sudah bersiap dengan segala peralatan berkudanya. Mereka sudah mengeluarkan kuda-kuda yang hendak mereka tunggangi dari kandangnya. Martin mendekati Aylee dan memakaikan helm pada gadis itu. “Hei, aku bisa sendiri,” tolaknya, namun Martin tak peduli itu. “Kau terlihat sangat cantik,” pujinya seraya memandangi wajah gadis di depannya. “Omong-omong aku tidak tahu masih mahir atau tidak menunggangi Penelope? Aku harap masih bisa,” ucap Aylee mengusap-usap wajah Penelope. “Tentu saja bisa, kau ahlinya, Ay. Sekarang naiklah!” titah Martin yang segera dituruti Aylee. Gadis itu menaiki pelana kuda. Martin turut pula menaiki kudanya yang pamannya beri nama Jake. “Ayo Jake! Susul Penelope dan penunggang cantiknya!” pria itu menghentakkan kedua kakinya pada perut kuda, seketika kuda itu berlari menyusul Aylee yang sudah lebih dulu melaju. Rasanya sudah lama Aylee tak merasa bahagia seperti ini, menaiki kuda seperti ini sangat me
“Gabe..?” Aylee memicingkan matanya. Gabe tak bergeming, ia menatap penuh amarah kepada Martin. “Aku mencarimu seperti orang gila, tapi kau malah bersama aktor sialan ini!” Aylee memejamkan matanya, ia tak mengerti dengan jalan pikiran Gabe. Dia bilang dia tak menyukainya, tapi kenapa dia harus repot-repot mencarinya? “Jaga bicaramu, bung! Kau yang sialan! Kau berselingkuh dengan rekan kerjaku, benar kan? Untuk apa mencari istri yang bahkan sudah tak kau pedulikan lagi? Ceraikan saja dia, tuan Ferdinand yang terhormat!” Aylee melebarkan matanya pada Martin. Dia tak percaya Martin berkata demikian. Gabe terkesiap, ia tak mampu membalas perkataan Martin. Tentu saja dia tahu dia salah, tapi ia juga tentu tak ingin bercerai dengan Aylee. Ia juga bingung dengan kejelasan hubungannya dengan Michelle, entah mau dibawa ke mana hubungannya dengan kekasih gelapnya itu? Namun mendengar Martin mengucapkan demikian, ia tak terima, ia mengeratkan genggaman tanganny
“Aku... Entahlah, Gabe,” jawabnya malu. Gabe menyeringai, lalu mencium puncak hidung Aylee. “Biar aku menafsirkan sendiri kalau begitu.” Gabe menaut kembali bibir Aylee, gadis itu masih membalasnya. Gabe tersenyum di sela ciumannya. “Aku rasa kau sudah begitu siap, sayang.” Sayang dia bilang? Gadis itu merona pipinya. Aylee kian meleleh saja. Aylee akui ia terbujuk rayuan seorang Gabriel. “Bukan hanya menggairahkan, kau juga amat menggemaskan,” ucapnya sambil tersenyum gemas, matanya kian menyiratkan gairah yang kian memuncak saja. Ia lantas mencumbu tubuh istrinya yang sudah hampir telanjang. Kembali menekankan bibirnya di segala tempat. Nafasnya kian memburu sedang Aylee sudah mendesah tak terkendali. Tanpa ia sadari kini tak sehelai benang pun melekat ditubuhnya. “Maaf jika ini akan sakit, sejujurnya aku juga pertama kali melakukan ini pada perempuan yang masih...” Gabe tak meneruskan ucapannya, ia menyeringai kembali. Gabe juga berdebar, s
Hallo teman-teman kesayangan 💗💗 Semoga kalian menyukai cerita pertamaku ini, menyenangkan sekali bisa menulis di sini. Bagaimana pendapat kalian tentang karakter-karakter di cerita ini? Kalian bisa menyampaikan kritik dan sarannya terhadap cerita ini lewat komen ya ☺ tentunya dengan bahasa yang santun 😁 Tetap ikuti cerita ini karena akan banyak kejutan di bab-bab selanjutnya. Pembaruan bab juga akan dilakukan secara rutin agar bisa nyaman dinikmati oleh teman-teman penyuka kisah rumah tangga si anggun, Aylee dan si arrogant Tuan Gabriel Ferdinand yang terhormat 😃 Mohon dukungannya jika kalian menyukai cerita Pernikahan Jebakan dengan memberi vote dan komennya. Itu sangat berarti. Dukungan kalian adalah moodbooster untukku. ❤❤
Aylee keluar dari mobil Gabe dengan gusar, bahkan ia membanting pintu mobil itu. Ia berjalan cepat menuju kamarnya. Gabe mengejarnya setengah berlari. Mencegat lengan mulus istrinya. “Kau marah padaku?” tanya Gabe dengan ekspresi tanpa dosa. Aylee menghempas tangan Gabe yang memeganginya. “Kau pikir?!” Aylee muak dengan Gabe yang selalu menganggap enteng perasannya. “Kau tahu dia kekasihku, mana mungkin aku mengabaikan teleponnya?” ucapnya tanpa wajah menyesal sedikit pun. “Setidaknya setelah apa yang sudah kau lakukan padaku semalam, aku berharap kau menjaga perasaanku sedikit saja.” Air mata terjun bebas tanpa bisa dibendung lagi dari manik matanya yang cokelat. Gabe memejamkan matanya, ia tahu ia cukup keterlaluan, bukan hanya mengangkat telepon Michelle semata, pria itu justru berjanji akan menginap di apartemen wanita simpanannya itu malam ini. Dan itu didengar sangat jelas oleh Aylee. “Aku terpaksa berjanji, dia merajuk karena aku menyus
Aylee membuka kotak itu perlahan, dan ia menjumpai sebuah tas bermerk lengkap dengan sertifikatnya. Aylee tahu tas ini super mahal dan keluaran terbaru. Ia belum pernah memiliki tas semahal ini. “Ini dari Gabe?” tanyanya pada Emma. Emma mengangguk, ia memandang takjub tas mewah namun dengan design yang elegan itu. "Marcus yang mengantarnya," jawabnya. “Ada apa dengan pria itu?” Wajah Aylee sarat kebingungan. “Aku rasa kau ada harapan, Nyonya.” Emma tersenyum senang. “Entahlah, Em. Pria itu tak bisa diprediksi.” Aylee mengangkat bahu. Sejurus kemudian ia mengangkat tas itu, memandang senang. Gabe ternyata tahu juga seleranya. ** Gabe duduk menyandar di kepala ranjang Michelle, ia sibuk mengendalikan pekerjaannya lewat ponselnya. Ia melirik sprei kasur itu, kebetulan warnanya adalah putih. Gabe seketika menyeringai mengingat kejadian ketika di rumah paman Gery, sejurus kemudian ia terkekeh sendiri mengingat bagaimana Aylee
Adegan syuting terakhir di malam itu usai dibuat, Martin sudah bersiap untuk pulang. “Ayo pulang, bung!” ajak Eric. “Kau pulanglah dulu, aku ada perlu,” titah Martin pada manajernya itu. “Apa tidak apa-apa jika aku membawa mobilmu? Lantas kau bagaimana?” “Sudahlah, kau pulang saja. Ini misi rahasiaku.” Martin menyeringai. Eric hanya mengangkat bahu. “Terserah kau saja kalau begitu.” Eric lantas pergi menuju mobil Martin yang diparkirkan. Martin merapikan rambut dan bajunya, kemudian menyemprotkan parfum di tubuhnya, setelahnya Martin mencari sosok Michelle, begitu matanya menangkap sosok Michelle, pria itu mendekatinya, lantas merangkul bahu wanita berambut blonde tersebut. “Kau janji menerima ajakan makan malamku, kau tak lupa kan?” Martin tersenyum penuh harap. “Ini bukannya sudah terlalu malam untuk makan malam?” Michelle melirik jam yang melingkar di tangannya. “Itu tak masalah, yang penting kita berdua perg