Aylee keluar dari mobil Gabe dengan gusar, bahkan ia membanting pintu mobil itu. Ia berjalan cepat menuju kamarnya. Gabe mengejarnya setengah berlari. Mencegat lengan mulus istrinya.
“Kau marah padaku?” tanya Gabe dengan ekspresi tanpa dosa. Aylee menghempas tangan Gabe yang memeganginya.
“Kau pikir?!” Aylee muak dengan Gabe yang selalu menganggap enteng perasannya.
“Kau tahu dia kekasihku, mana mungkin aku mengabaikan teleponnya?” ucapnya tanpa wajah menyesal sedikit pun.
“Setidaknya setelah apa yang sudah kau lakukan padaku semalam, aku berharap kau menjaga perasaanku sedikit saja.” Air mata terjun bebas tanpa bisa dibendung lagi dari manik matanya yang cokelat. Gabe memejamkan matanya, ia tahu ia cukup keterlaluan, bukan hanya mengangkat telepon Michelle semata, pria itu justru berjanji akan menginap di apartemen wanita simpanannya itu malam ini. Dan itu didengar sangat jelas oleh Aylee.
“Aku terpaksa berjanji, dia merajuk karena aku menyus
Aylee membuka kotak itu perlahan, dan ia menjumpai sebuah tas bermerk lengkap dengan sertifikatnya. Aylee tahu tas ini super mahal dan keluaran terbaru. Ia belum pernah memiliki tas semahal ini. “Ini dari Gabe?” tanyanya pada Emma. Emma mengangguk, ia memandang takjub tas mewah namun dengan design yang elegan itu. "Marcus yang mengantarnya," jawabnya. “Ada apa dengan pria itu?” Wajah Aylee sarat kebingungan. “Aku rasa kau ada harapan, Nyonya.” Emma tersenyum senang. “Entahlah, Em. Pria itu tak bisa diprediksi.” Aylee mengangkat bahu. Sejurus kemudian ia mengangkat tas itu, memandang senang. Gabe ternyata tahu juga seleranya. ** Gabe duduk menyandar di kepala ranjang Michelle, ia sibuk mengendalikan pekerjaannya lewat ponselnya. Ia melirik sprei kasur itu, kebetulan warnanya adalah putih. Gabe seketika menyeringai mengingat kejadian ketika di rumah paman Gery, sejurus kemudian ia terkekeh sendiri mengingat bagaimana Aylee
Adegan syuting terakhir di malam itu usai dibuat, Martin sudah bersiap untuk pulang. “Ayo pulang, bung!” ajak Eric. “Kau pulanglah dulu, aku ada perlu,” titah Martin pada manajernya itu. “Apa tidak apa-apa jika aku membawa mobilmu? Lantas kau bagaimana?” “Sudahlah, kau pulang saja. Ini misi rahasiaku.” Martin menyeringai. Eric hanya mengangkat bahu. “Terserah kau saja kalau begitu.” Eric lantas pergi menuju mobil Martin yang diparkirkan. Martin merapikan rambut dan bajunya, kemudian menyemprotkan parfum di tubuhnya, setelahnya Martin mencari sosok Michelle, begitu matanya menangkap sosok Michelle, pria itu mendekatinya, lantas merangkul bahu wanita berambut blonde tersebut. “Kau janji menerima ajakan makan malamku, kau tak lupa kan?” Martin tersenyum penuh harap. “Ini bukannya sudah terlalu malam untuk makan malam?” Michelle melirik jam yang melingkar di tangannya. “Itu tak masalah, yang penting kita berdua perg
Martin menyetir mobil Michelle, ia melirik Michelle yang berada di sampingnya. Wanita itu tampak mabuk karena terlalu banyak minum. Setelah tiba di bagasi apartemen, Michelle sudah tertidur. Martin pun terpaksa menggendong wanita itu menuju apartemennya. Begitu sampai di depan pintu, Martin mencoba membangunkannya. “Berapa sandi rumahmu?” tanya Martin. Wanita itu pelan-pelan menyebut angka sandi rumahnya. Setelah berhasil masuk, Martin kembali menggendong Michelle menuju kamarnya. Ia meletakkan Michelle di atas kasurnya, melepas sepatu wanita itu lantas menyelimutinya. “Terima kasih,” ucapnya lirih. Mata Michelle enggan terbuka, rasa kantuk luar biasa menghinggapinya. “Kau minum banyak sekali. Kau sedang ada masalah?” tanya Martin. “Kekasihku belakangan ini mulai memperhatikan sahabatmu itu. Entah apa yang terjadi di antara mereka. Aylee pasti merayunya!” Michelle bersungut. Namun ia masih terpejam, kepalanya terlalu pusing untuk membuka mata.
“Aku mohon jangan begini, Martin.” Aylee menatap memohon ketika bibir Martin hendak mendarat di bibirnya. Martin luluh, pria itu memundurkan wajahnya. Ia melepas tangannya dari lengan Aylee. “Maafkan aku. Aku kacau belakangan ini.” Martin mundur beberapa langkah. Melihat Gabe mulai bersikap seolah tertarik pada Aylee membuat pria itu sangat cemburu. Padahal ia berharap hubungan Aylee dan Gabe segera kandas. Tapi nyatanya mereka justru kian dekat. Bagaimana jika Aylee nanti hamil? Itu pasti akan membuat Aylee semakin sulit berpisah dari Gabriel. Itulah yang terus menerus mengganggu pikirannya. Aylee maju mendekati Martin. “Kau pasti lelah dengan agenda proyek filmmu. Weekend nanti aku akan mengajakmu menyegarkan pikiran, kita akan melihat pameran seni, kau ingat?” Aylee mengelus bahu Martin. Pria itu tersenyum. “Mau minum kopi bersamaku sekarang?” ajak Martin. Pria itu menelan segala cemburu dan kecewanya lagi. Mengais harapannya kembali. “Baik
Aylee menunggu Gabe pulang. Ia duduk di ruang makan dengan ditemani laptop dan kerjaannya yang setia. Aylee menoleh jam yang melingkar di tangannya. Harusnya Gabe sudah pulang dari tadi. Aylee sepertinya harus kembali menelan kecewa. Mungkin Gabe menginap di rumah kekasihnya, Aylee menghela nafas berat. Ia menutup laptopnya dan bangkit dari kursinya. Ia mulai melenggang menjauh dari meja makan itu. “Aylee. Kau belum tidur?” suara itu seketika membuat Aylee amat berbunga. Ia tak bisa menyembunyikan senyumannya. “Kau sangat terlambat, Gabe. Kupikir kau..” “Kau menungguku?” Gabe tersenyum begitu manis padanya. Kentara sekali pria itu terlihat senang. Aylee tak menjawab. Ia menggaruk lehernya yang tak gatal. “Kau mau makan?” tawar Aylee mengalihkan pembicaraan. Pria itu menggeleng. “Perutku bisa buncit, kau selalu menodongku dengan makanan.” Keduanya tertawa. “Aku rasa kau akan tetap tampan walau perutmu buncit.” Gabe menat
“Calvin?” Aylee betul-betul terkejut mendapati fakta bahwa Calvin adalah seorang seniman pahat yang saat ini sedang menjadi tamu di acara pameran seni yang diadakan di kampus tempatnya mengajar. Calvin memeluk Aylee, lantas mencium pipi wanita cantik itu, Martin tertegun melihatnya, seketika rasa kagumnya terhadap pria berambut sebahu itu hilang digantikan oleh rasa cemburu. “Oh, Max. Aku sungguh terkejut. Dia adalah kakak iparku,” Aylee terlihat kagum. Maxime terlihat terkejut juga. “Kebetulan yang luar biasa. Kau punya kakak ipar yang hebat, Ay.” Martin lebih-lebih terkejut. Ia memutuskan untuk berhenti mengagumi Calvin, mengetahui ternyata ia adalah kembaran Gabe, itu membuatnya cukup muak terhadap Calvin juga. “Dan aku punya adik ipar yang sangat cantik dan juga cerdas. Sayang sekali aku tak mengenalnya lebih dulu dibanding Gabe,” candanya. Maxime dan Aylee tertawa, tapi tidak dengan Martin. Pria itu menganggap ucapan Calvin sungguh-sungguh. Marti
Aylee terdiam. Tentu saja dia hanya mencintai pria egois di sampingnya itu, namun ia jelas tak mau mengatakannya. Itu hanya akan membuat pria itu nantinya kian besar kepala dan semakin semena-mena. Sedang Martin, ia adalah pria yang memiliki tempat tersendiri di hatinya karena Aylee sudah bersama pria itu sedari ia berumur 10 tahun, banyak kenangan yang mereka torehkan bersama. “Kau tak berhak menanyakan itu, Gabe.” Ucapan Aylee kian membuat Gabe merasa terluka. “Baiklah, aku menyerah. Kau masih bisa bertemu Martin, tapi tidak sesuka hatimu, dan kalian tidak boleh kontak fisik, kau puas?” tawar Gabe terpaksa. Aylee cukup puas sebenarnya, tentu saja ia tak mungkin melakukan kontak fisik yang di luar normal. Ia sadar ia bersuami. Ia menghargai pernikahannya dengan Gabe. “Bagaimana denganmu dan Michelle?” Aylee menatap kesal. “Ayolah, Ay. Hubunganku dan Michelle dengan hubunganmu dan Martin itu berbeda.” Aylee mengangkat kedua tangannya.
Aylee ternganga tak percaya dengan benda yang tengah ia jabarkan oleh kedua tangannya. Ia lantas meletakkan benda yang adalah lingerie hitam di atas kasurnya lagi. Ia menatap juga lingerie lainnya yang berwarna Champagne. Memikirkan ia memakai ini membuatnya malu sendiri. Terdengar Gabe membuka pintu kamar mandi. Aylee segera memasukkan lingerie-lingerie itu ke dalam kotak kembali. “Kau suka hadiah dariku?” Gabe tersenyum nakal. Aylee mengerucutkan bibirnya. “Kau membeli ini untuk kesenanganmu sendiri,” ujarnya. Gabe menyeringai, membenarkan dalam hati perkataan perempuan cantik di hadapannya. “Kau mengintimidasiku lagi.” Gabe terkekeh. “Kau sungguh ingin aku memakai ini?” Gabe hanya tersenyum menanggapi tanya Aylee. ** Martin termangu menatap Michelle yang tertidur dengan tubuh telanjang yang berbalut selimut. Ia memejamkan matanya, ada kepedihan di hatinya ketika melakukan itu terhadap wanita itu. Padahal ia memimpika