“Aku mohon jangan begini, Martin.” Aylee menatap memohon ketika bibir Martin hendak mendarat di bibirnya. Martin luluh, pria itu memundurkan wajahnya. Ia melepas tangannya dari lengan Aylee.
“Maafkan aku. Aku kacau belakangan ini.” Martin mundur beberapa langkah. Melihat Gabe mulai bersikap seolah tertarik pada Aylee membuat pria itu sangat cemburu. Padahal ia berharap hubungan Aylee dan Gabe segera kandas. Tapi nyatanya mereka justru kian dekat. Bagaimana jika Aylee nanti hamil? Itu pasti akan membuat Aylee semakin sulit berpisah dari Gabriel. Itulah yang terus menerus mengganggu pikirannya.
Aylee maju mendekati Martin.
“Kau pasti lelah dengan agenda proyek filmmu. Weekend nanti aku akan mengajakmu menyegarkan pikiran, kita akan melihat pameran seni, kau ingat?” Aylee mengelus bahu Martin. Pria itu tersenyum.
“Mau minum kopi bersamaku sekarang?” ajak Martin. Pria itu menelan segala cemburu dan kecewanya lagi. Mengais harapannya kembali.
“Baik
Aylee menunggu Gabe pulang. Ia duduk di ruang makan dengan ditemani laptop dan kerjaannya yang setia. Aylee menoleh jam yang melingkar di tangannya. Harusnya Gabe sudah pulang dari tadi. Aylee sepertinya harus kembali menelan kecewa. Mungkin Gabe menginap di rumah kekasihnya, Aylee menghela nafas berat. Ia menutup laptopnya dan bangkit dari kursinya. Ia mulai melenggang menjauh dari meja makan itu. “Aylee. Kau belum tidur?” suara itu seketika membuat Aylee amat berbunga. Ia tak bisa menyembunyikan senyumannya. “Kau sangat terlambat, Gabe. Kupikir kau..” “Kau menungguku?” Gabe tersenyum begitu manis padanya. Kentara sekali pria itu terlihat senang. Aylee tak menjawab. Ia menggaruk lehernya yang tak gatal. “Kau mau makan?” tawar Aylee mengalihkan pembicaraan. Pria itu menggeleng. “Perutku bisa buncit, kau selalu menodongku dengan makanan.” Keduanya tertawa. “Aku rasa kau akan tetap tampan walau perutmu buncit.” Gabe menat
“Calvin?” Aylee betul-betul terkejut mendapati fakta bahwa Calvin adalah seorang seniman pahat yang saat ini sedang menjadi tamu di acara pameran seni yang diadakan di kampus tempatnya mengajar. Calvin memeluk Aylee, lantas mencium pipi wanita cantik itu, Martin tertegun melihatnya, seketika rasa kagumnya terhadap pria berambut sebahu itu hilang digantikan oleh rasa cemburu. “Oh, Max. Aku sungguh terkejut. Dia adalah kakak iparku,” Aylee terlihat kagum. Maxime terlihat terkejut juga. “Kebetulan yang luar biasa. Kau punya kakak ipar yang hebat, Ay.” Martin lebih-lebih terkejut. Ia memutuskan untuk berhenti mengagumi Calvin, mengetahui ternyata ia adalah kembaran Gabe, itu membuatnya cukup muak terhadap Calvin juga. “Dan aku punya adik ipar yang sangat cantik dan juga cerdas. Sayang sekali aku tak mengenalnya lebih dulu dibanding Gabe,” candanya. Maxime dan Aylee tertawa, tapi tidak dengan Martin. Pria itu menganggap ucapan Calvin sungguh-sungguh. Marti
Aylee terdiam. Tentu saja dia hanya mencintai pria egois di sampingnya itu, namun ia jelas tak mau mengatakannya. Itu hanya akan membuat pria itu nantinya kian besar kepala dan semakin semena-mena. Sedang Martin, ia adalah pria yang memiliki tempat tersendiri di hatinya karena Aylee sudah bersama pria itu sedari ia berumur 10 tahun, banyak kenangan yang mereka torehkan bersama. “Kau tak berhak menanyakan itu, Gabe.” Ucapan Aylee kian membuat Gabe merasa terluka. “Baiklah, aku menyerah. Kau masih bisa bertemu Martin, tapi tidak sesuka hatimu, dan kalian tidak boleh kontak fisik, kau puas?” tawar Gabe terpaksa. Aylee cukup puas sebenarnya, tentu saja ia tak mungkin melakukan kontak fisik yang di luar normal. Ia sadar ia bersuami. Ia menghargai pernikahannya dengan Gabe. “Bagaimana denganmu dan Michelle?” Aylee menatap kesal. “Ayolah, Ay. Hubunganku dan Michelle dengan hubunganmu dan Martin itu berbeda.” Aylee mengangkat kedua tangannya.
Aylee ternganga tak percaya dengan benda yang tengah ia jabarkan oleh kedua tangannya. Ia lantas meletakkan benda yang adalah lingerie hitam di atas kasurnya lagi. Ia menatap juga lingerie lainnya yang berwarna Champagne. Memikirkan ia memakai ini membuatnya malu sendiri. Terdengar Gabe membuka pintu kamar mandi. Aylee segera memasukkan lingerie-lingerie itu ke dalam kotak kembali. “Kau suka hadiah dariku?” Gabe tersenyum nakal. Aylee mengerucutkan bibirnya. “Kau membeli ini untuk kesenanganmu sendiri,” ujarnya. Gabe menyeringai, membenarkan dalam hati perkataan perempuan cantik di hadapannya. “Kau mengintimidasiku lagi.” Gabe terkekeh. “Kau sungguh ingin aku memakai ini?” Gabe hanya tersenyum menanggapi tanya Aylee. ** Martin termangu menatap Michelle yang tertidur dengan tubuh telanjang yang berbalut selimut. Ia memejamkan matanya, ada kepedihan di hatinya ketika melakukan itu terhadap wanita itu. Padahal ia memimpika
“Mungkin buku,” celetuknya membuat Gabe seketika mengernyit dahi. “Kau memang sesuatu,” ucap Gabe takjub. “Stok buku bacaanku habis, mungkin beberapa buku akan aku butuhkan,” terangnya “Aku akan membelikan berapa pun buku yang kau inginkan, jika itu maumu.” Gabe tersenyum senang. Gadis itu baginya memesona dengan segala keunikannya. Dia akui, dia semakin jatuh hati padanya, bukan hanya perihal paras dan tubuhnya yang memikat, tapi ia juga jatuh hati dengan kepribadian gadis itu yang berbeda dari gadis lain pada umumnya. “Baiklah kalau begitu. Tapi mobilku bagaimana?” Aylee menunjuk mobilnya. “Marcus akan membawa mobilmu.” Gabe menaut tangan Aylee untuk mengikutinya memasuki mobilnya. ** Mereka berdua menyusuri pusat perbelanjaan mencari toko buku favorit Aylee, sepanjang perjalanan itu Gabe tak melepas tautan tangannya terhadap Aylee. Tangan Aylee jadi begitu sibuk, satu tangan memegangi mawarnya dan satu tangan dimiliki tangan
Dering ponsel Gabe berbunyi, mata Michelle dan mata Gabe kompak memandang ponsel yang kini ada di genggaman tangan Gabe. Sebelum Gabe sempat mengangkat telepon yang bertuliskan ‘Cantikku' di layar ponsel, Michelle lebih dulu menyambar ponsel itu, dan mematikannya. “Perempuan udik itu tak selugu yang kau pikir, Gabe. Dia hanya, ” “Jangan sebut dia udik, dia wanita berpendidikan,” sergahnya, tak Terima dengan celaan Michelle terhadap wanitanya. “Persetan dengan itu, dia merayu Martin, kau tahu?” Michelle kehabisan akal, Gabe terlihat kokoh dipihak Aylee. “Jangan bicara konyol, sudahlah Michelle, aku harus pulang. Kita bicarakan hubungan kita besok, okay?” “Kalau Aylee tak merayunya mana mungkin Martin setia di sampingnya? Tak ada persahabatan antara lelaki dan perempuan, Gabe. Kau percaya itu? Jika kau terus selugu ini, mereka akan menusukmu dari belakang. Jadi sebelum perasaanmu terlampau dalam pada wanita murahan itu, kau harus mengendalikan h
Gabe remaja menahan tangan Calvin ketika kakaknya menyeret koper keluar dari kamarnya. Gabe menangis memohon agar tak ditinggalkan Calvin. “Cal, jangan pergi aku mohon. Aku tak bisa hidup tanpamu,” rengeknya seperti anak kecil, Gabe saat itu memanglah Gabe yang lemah dan manja. “Aku harus pergi, aku ingin hidup bersama papa.” Calvin melepas jemari Gabe satu persatu dari tangannya. “Aku ikut kalau begitu, Cal.” “Itu tidak bisa. Kau bersama mama,” ucapnya tenang. “Kalau begitu kau tinggallah bersama aku dan mama.” “Aku ingin jadi Seniman seperti papa, jika aku di sini, mama akan menyuruhku menjadi sepertinya.” “Maka jadilah seperti mama demi aku, Cal.” Calvin menyeringai hampa. “Aku tak mau lagi jadi bayang-bayangmu, aku punya hidupku sendiri, dan kau berhenti bergantung padaku, urus hidupmu sendiri, Gabe!” Gabe seperti tercabik hatinya ketika Calvin berkata demikian, pasalnya selama ini ia mengira kakakny
Michelle terus menghubungi Martin, namun pria itu acuh padanya. Bahkan ketika di lokasi syuting pun pria itu terus berusaha menghindari Michelle. Sejak percintaan mereka terjadi, Martin kembali dingin kepada Michelle seperti dahulu. Michelle kian merasa terpuruk, ia merasa dicampakkan oleh dua pria yang ia pikir mencintainya. Bahkan Michelle kini nekat menyambangi kediaman Martin. Eric lantas pasang badan menghalau bertemunya Martin dengan Michelle. “Maaf nona Morgan, Martin saat ini tengah istirahat, dia kurang sehat belakangan ini. Jika ada yang ingin Anda sampaikan padanya, bisa lewat aku saja,” terang Eric. Michelle tersenyum masam. “Bilang padanya ini masalah yang serius, izinkan aku masuk saja, aku yakin dia tak akan keberatan.” “Tidak bisa saat ini, nona Morgan. Besok kalian libur syuting, kalian bisa bertemu besok. Aku akan buatkan janji dengannya, okay?” Michelle tampak kesal namun ia menyetujui tawaran Eric. “Baiklah, tepati janjimu!” Michel
Aylee menggigit bibir bawahnya, Jemarinya saling bertautan, pertanda ia begitu gugup saat ini. Martin berlari kecil menuju kamar mandi Aylee, di atas wastafel itu ia mendapati testpack milik Aylee. “Ya Tuhan!” Martin menggelengkan kepalanya. Ia berjalan menuju Aylee yang duduk di kursi kerjanya. “Kau tak akan memberitahukan ini pada Gabe kan?”Aylee meremas rambutnya. “Lalu aku harus apa? Ini anaknya.”Martin bersimpuh di depan Aylee, memeluk lutut wanita yang terlihat kacau itu. “Memangnya jika kau beri tahu ini, dia akan meninggalkan Michelle?”“Tentu, dia akan meninggalkan Michelle. Dia begitu menginginkan bayi ini, lebih dari apa pun.”Martin ternganga, ia begitu takut hal itu akan terjadi. “Dengar, itu mustahil. Ayahmu tak akan mengizinkanmu, Aylee.”“Dia akan berubah pikiran, dia akan memikirkan masa depan cucunya juga. Aku yakin dia akan menerima Gabe jika Gabe mau meninggalkan Michelle untukku. Bukankah itu bagus?”
Aylee membasuh wajahnya dengan gusar di depan wastafel, ia mengamati wajahnya yang dinilainya terlihat agak lelah. Sejurus kemudian dia memegangi perut bawahnya. Air matanya tak bisa lagi hanya menggenang di pelupuk mata, kini air matanya terjun bebas mengaliri pipi. “Tidak mungkin, aku tidak mungkin hamil kan?”Aylee terpejam melihat testpacknya, ia tak berani melihat hasilnya. Namun perlahan ia membuka matanya, dan mendapati alat pengecekan kadar hcg itu bergaris dua. “Oh, ya Tuhan...” Aylee memejamkan matanya. “Gabe... Aku harus bagaimana?” Aylee lunglai, ia terduduk di kamar mandinya. Perasannya saat ini begitu kacau, satu sisi ia bahagia karena perjuangannya dan Gabe pada akhirnya membuahkan hasil, namun di lain sisi, tentu hal ini tak ia inginkan, mengingat hubungannya dan Gabe kini bukan suami-istri lagi. “Bagaimana mungkin ternyata justru bayiku yang tumbuh tanpa sosok ayahnya.” Aylee terisak seorang diri. **Usai melakukan syutingnya,
Aylee terdiam tanpa kata, suasana keduanya mendadak canggung nyaris hening. Bahkan hembusan angin malam yang semula semilir mengayunkan helaian rambut Aylee seolah mendadak berhenti manakala Martin berucap demikian. Aylee menelan ludahnya susah payah, ia cukup tercekat mendengar ungkapan cinta Martin yang entah sudah berapa kali terlontar dari mulut pria populer itu. Meski demikian sering, ia tak menyangka pria itu berani mengatakan itu ketika usia perceraiannya baru menginjak satu bulan beberapa hari saja. Pada akhirnya Aylee hanya bisa kembali memalingkan wajah, Martin terlihat bersedih, ia bahkan menengadahkan wajahnya, takut jika air matanya akan jatuh di hadapan wanita pujaannya itu. “Jika kau tak bisa menerimaku karena tak cinta, maka aku tak keberatan kau menerima cintaku karena belas kasih, aku sangat mau kau kasihani, Aylee.” Aylee sontak menoleh padanya. “Kasihanilah aku,” kini air mata Martin kadung jatuh, ia tak sempat menyembunyikan lagi. “Martin
Aylee mengamati kopi itu, memutar-mutar paper cupnya seolah mencari tahu siapa pengirim americano itu. Maxime memicingkan mata melihat sikap Aylee yang demikian. Ia lantas menyambangi kubikel Aylee.“Mengapa kau hanya menatap minumanmu tanpa meminumnya?”Aylee terkejut mendapati Maxime sudah berada di sampingnya. Aylee ragu-ragu menyodorkan americanonya pada Maxime.“Kau mau ini, Max?”“Kau sendiri tak ingin meminumnya?” Maxime balik bertanya. Aylee menggeleng cepat, ia ragu meminum kopi yang ia bahkan tak tahu siapa yang memberinya.“Dari penggemarmu lagi?”Aylee tersipu.“Kau mau apa tidak?”“Kebetulan aku belum minum kopi. Ini cukup hangat.” Maxime pada akhirnya meminum americano itu. Maxime memang kerap diberi Aylee makanan atau minuman pemberian pengagumnya.“Ini lumayan juga,” komentarnya sambil lalu menuju meja kerjanya.&ld
Lucy mengikuti Aylee yang melenggang ke dapur membawa piring-piring bekas makan malam mereka. Ia bermaksud membantu Aylee mencuci piring-piring itu.“Tidak usah repot-repot Lu, biar aku melakukan ini sendiri.” Aylee merebut spons cuci piring yang dipegang Lucy.“Tidak apa-apa, ini tidak masalah.” Lucy kembali merebut spons itu.“Maaf, super model sepertimu harus mencuci piring-piringku,” ucapnya dengan senyum ramah.“Tidak apa, kalau hanya mencuci piring, aku juga bisa.” Lucy menyeringai, namun ia terlihat kikuk melakukannya, kentara sekali ia tak biasa melakukan itu.“Di rumahmu tak ada pelayan?” tanya Lucy. Aylee menggeleng.“Tidak, ibuku biasa melakukan semuanya sendiri. Lagi pula dahulu mereka hanya tinggal berdua, jadi tak begitu butuh pelayan.”Lucy menganggukkan kepalanya tanda mengerti.“Maaf jika aku bertanya seperti ini, apa kau sudah resmi
Aylee menyirami bunga di greenhouse milik ibunya, Melisa. Sepulang mengajar, ia tak tahu harus melakukan apa. Tak banyak tugas, juga tak lagi sibuk menyiapkan segala keperluan dan makanan untuk suaminya, Gabriel. Ya, sudah hampir sebulan ini mereka pisah ranjang.“Gabe sudah mengirimkan surat perceraian yang harus kau tanda tangani, Ay.”Ucapan Melisa membuat Aylee seketika menjatuhkan alat penyiramnya.Ia tak kuasa menahan tangisnya, beberapa waktu lalu Gabe menemuinya ke rumah. Namun Robin tentu saja menolak ajakan rujuk Gabe. Walau ia datang bersama Natasya, Robin tetap tak menghendaki Gabe kembali pada Aylee, lebih-lebih jika Gabe memiliki dua istri. Maka kesepakatan cerai pun tak terelakkan lagi.“Jangan menangisi dia lagi, air matamu sudah cukup banyak terkuras menangisi pria brengsek itu. Dia tak pantas kau tangisi demikian. Jika ayahmu tahu kau masih seperti ini, dia bisa terpukul, Ay.”Aylee segera menghapus air mat
Michelle berdiri di depan rumah Gabriel dengan pongahnya. Tangan satu menekan bell rumah Gabriel, satu tangan lagi memegangi gagang koper. Tak selang berapa lama Emma membuka pintu dengan raut wajah kesalnya.“Halo, Emma. Beri sambutan untuk nyonya Ferdinandmu yang baru,” sapa Michelle dengan senyum mengejek pada Emma. Emma memutar bola matanya.“Maaf, nona. Tapi tuan muda tidak berpesan apa pun padaku perihal kedatanganmu. Jadi, aku tak bisa mengizinkanmu masuk begitu saja.” Emma tersenyum tak kalah mengejek. Michelle mendengus kesal, ia lantas menelepon Gabe.“Sayang, aku sudah berdiri di depan rumahmu, namun Emma tak mau memberi izin padaku untuk masuk. Padahal, perutku sedang keram sekarang, kepalaku juga pusing. Tolong beri pengertian padanya sayang.” Nada suaranya dibuat lembut. Emma mendesis melihat kepura-puraan itu.“Dia ingin bicara.” Michelle memberikan ponselnya pada Emma.“Baik tuan
“Tidak Aylee!”Aylee memejamkan matanya.“Lalu harus bagaimana? Kau tak mungkin memiliki dua istri.”“Aku akan mempertanggung jawabkan perbuatanku, namun tidak akan menikahinya.”“Apa dia setuju?” tanya Aylee putus asa. Gabe terdiam.“Ini yang dia mau. Kau menikahinya.” Aylee memejamkan matanya sejenak. Menelan segala sakitnya, mencoba mengontrol emosinya.“Aku tak mau berpisah darimu.” Gabe memeluk erat tubuh Aylee.“Kau harus bertanggung jawab, Gabe.” Aylee melepas pelukan Gabe.“Bantu aku Aylee, bantu aku meyakinkan orang tuamu bahwa aku sungguh mencintaimu.” Gabe terlihat nelangsa.“Sulit meyakinkan mereka dengan kondisi seperti ini. Ini di luar kendali. Kita tidak punya jalan lain, bayimu butuh sosok ayahnya. Nikahi dia.”“Aku tidak mencintainya.”“Itu sudah terlambat, Gabe. Seg
Martin menunggu Aylee di salah satu restoran favorit mereka, ia beralasan ingin bercerita perihal hubungannya dengan Lucy, padahal Martin hanya ingin melihat apakah ada tanda-tanda Michelle sudah mulai merusak hubungan Aylee dan Gabe. Aylee berjalan ke arah Martin, ia melambaikan tangan ketika matanya bersobok dengan mata Martin.“Harusnya kau ajak Lucy juga,” protesnya ketika tak ia dapati Lucy di sekitar Martin. Martin tersenyum kecut.“Aku ingin menceritakan perihalnya padamu, tak lucu jika ia juga berada di sini sementara aku membicarakannya kan?” Martin menggeleng-gelengkan kepalanya. Aylee terkekeh, ia lantas duduk berseberangan dengan Martin.“Well, apa kau pada akhirnya jatuh hati pada gadis muda itu?” tanya Aylee dengan senyum menggoda.“Tidak secepat itu juga... Aku hanya tertarik padanya, dia cukup berbeda dari gadis kebanyakan.”“Aku bisa melihat itu, dia luar biasa, dan tentu saja s