Seperti malam-malam biasanya, Gabe mampir ke apartemen kekasih gelapnya, Michelle. Tentu saja yang mereka lakukan adalah bercinta. Namun dalam pergumulannya malam ini Gabe merasa pikirannya terus tertuju pada Aylee.
Gabe segera memakai kemeja dan celananya usai ia menyelesaikan pelepasannya pada Michelle, wanita yang kini masih meringkuk di atas tempat tidur.
“Aku pergi dulu.” Pria itu mengecup kening Michelle. Wanita cantik dengan rambut dicat berwarna pirang itu duduk, menutupi tubuh telanjangnya dengan selimut hingga sebatas dada.
“Jangan pergi, tinggallah di sini.” Ia memegangi satu lengan Gabe dengan kedua tangannya. Wajahnya merajuk manja.
“Maaf sayang, tapi aku harus pulang cepat. Ada pekerjaan penting yang harus aku selesaikan,” dalihnya. Gabriel lalu pergi meninggalkan apartemen Michelle, entah kenapa hatinya terpanggil untuk pulang.
*****
Aylee duduk dengan satu tangan menyanggah dagunya, ia lantas melirik jam yang melingkar di tangannya, jam menunjukkan pukul sembilan malam.
Ia memainkan ujung-ujung jemarinya untuk mengetuki meja makan. Sesekali ia berdecak kesal.
“Dia tidak akan pulang, Ay. Kau tahu itu,” gumamnya seorang diri. Ia memandang sayang pada makanan lezat yang sudah tersaji manis di atas meja makan.
Aylee hendak makan masakannya itu, namun kedatangan Gabe mengejutkannya.
“Kau pulang?” heran Aylee. Pria itu lantas duduk berseberangan dengannya.
“Kau tak suka aku di sini?” tatapannya tajam, namun tak sinis seperti biasanya.
“Kalau aku tak suka, untuk apa aku repot-repot menyiapkan ini semua?” Aylee menggeleng pelan. Ia lantas menyajikan makanan untuk suaminya itu.
“Jangan salah paham, aku pulang karena aku tak mau mengganggu Michelle. Kau tahu dia mulai sibuk dengan proyek filmnya.” Gabe mulai menyuapkan makanan ke mulutnya, rasanya lezat seperti biasa. Aku Gabe dalam hati.
“Kau pikir aku sangat girang kau pulang?” Aylee menyeringai hampa. Gabe berhenti mengunyah. Ia kesal juga Aylee seperti mengejeknya.
“Baguslah. Aku jadi tak punya beban lagi,” selorohnya asal. Ia kembali menikmati makanan Aylee. Diakuinya masakan Aylee tak kalah rasanya dengan masakan koki hotel bintang lima.
“Jangan pernah terbebani, Rasa cintaku sudah hancur seperti abu dan terbawa angin, sejak kau terang-terangan membawanya ke rumah ini untuk bercinta.” Gabe terkesiap, ia memandang malu pada wanita di seberangnya.
“Kau tahu saat itu aku mabuk.” Sorot mata dengan manik abu-abu itu terlihat bersungguh.
“Aku yakin dalam keadaan sadar pun kau tak segan untuk melakukannya lagi. Kalau saja kau tak malu pada Emma, benar kan?” Gabe mulai terpancing emosinya.
“Lihat, kau masih cemburu. Itu terlihat jelas, Ay.” Gabe tersenyum mengejek. Aylee kesal bercampur malu. Pipi seputih susu itu kini memunculkan semburat merah.
“Tidak mudah membuang perasaan cinta begitu saja, aku makhluk yang punya perasaan, tidak seperti kau,” tandas Aylee membuat Gabe kian kesal.
“Itulah kenapa aku tidak menyukai wanita cerdas sepertimu. Kau mengintimidasiku.”
“Jadi kau menyukai Michelle karena dia bodoh? Aku yakin dia tak akan suka mendengar ini, Gabe.” Aylee menyeringai.
“Lihat? Kau menyebalkan!” kini ia betul-betul kesal. Gabe meninggalkan Aylee, ia berjalan cepat menuju lantai atas, tepatnya menuju kamarnya.
“Kau yang mulai, Gabe. Meski begitu aku akan terus berusaha memenangkan hatimu dengan caraku.”
Aylee duduk bersandar di kepala ranjangnya yang mewah, wanita cantik itu memakai kacamata radiasinya, memangku laptopnya di atas paha dan jemarinya mulai menari di atas keyboard. Gabe yang sudah membersihkan diri keluar dari kamar mandi dengan hanya menggunakan handuk yang melingkari pinggang bawahnya. Tubuh atletis itu tampak terekspos. Gabe lalu naik ke ranjang, pura-pura bersiap untuk tidur.
“Pakai piamamu dulu. Kau tidak akan tidur seperti itu kan?” Aylee fokus lagi pada laptopnya.
“Jangan tegang begitu, kau takut aku sentuh?” Gabe menggodanya. Aylee mencibir.
“Cih, kau mabuk?” ia heran kenapa pria itu bertingkah tak biasa. Biasanya ia bahkan menyuruh Aylee keluar kamar jika ia hendak ganti baju. Aylee kembali mengerjakan tugasnya. Ia memilih tak memedulikan Gabe dengan tubuh yang hampir telanjang.
Pria itu pasti ingin mengejekku. Ia ingin aku merasa menjadi wanita nelangsa yang tak diminati untuk ditiduri. Sialan! Pekiknya.
Gabe mengamati wajah Aylee, rambut panjang yang dibuat bergelombang itu diikat ekor kuda, kulitnya mulus bak porselen, bibirnya begitu sensual, merah muda tanpa harus disulam. Alisnya rapi dan tak begitu tebal, Lagi-lagi itu tanpa permak. Semua yang ada di tubuh gadis itu adalah asli pemberian Tuhan. Bahkan kini mata Gabe semakin liar memandangi dada Aylee yang tegak tanpa memakai bra. Gabe segera memalingkan wajahnya dari tubuh indah gadis itu.
Ia belum pernah dengan saksama mengamati wanita itu.
“Kau mau menggodaku, ya?” ucap Gabe membuat Aylee menaikkan alisnya. Ia memandang bingung pada Gabe.
“Kau benar-benar mabuk,” sinis Aylee berucap. Ia semakin heran dengan tingkah tak biasa Gabe.
“Kau tak memakai bra.” Sontak Aylee menutupi dadanya dengan kedua lengan bawahnya yang ia silangkan.
“Aku memang seperti itu. Kau tahu memakai bra di waktu tidur itu tidak bagus, kau bahkan tak tahu itu. Sudah kubilang aku tak mau repot-repot merayumu. Aku tahu mata dan hatimu hanya melihat aktris kenamaan itu. Jadi jangan merasa terganggu.” Gabe kini malu sendiri. Dia mengutuki dirinya sendiri. Ia lantas berbalik memunggungi Aylee.
“Dasar gila,” desis Aylee pelan. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya. Namun bibirnya menyunggingkan senyum. Akhirnya untuk pertama kalinya Gabe memperhatikan fisiknya, tapi kenapa? Aylee mengangkat kedua bahunya, ia sibuk lagi mengerjakan pekerjaannya.
Gabe mendengar desisan Aylee yang mengatainya, namun ia memilih tak melanjutkan perdebatannya lagi dengan Aylee. Ia kembali mengingat momen saat ia menemani Michelle merayakan keberhasilannya bersama manajemen Michelle dan manajemen Martin, Gabe tentu tahu Martin adalah sahabat dekat Aylee. Saat itu ia tak sengaja mendengar obrolan Martin dan beberapa teman selebritinya.
“Kudengar pria itu sudah beristri, kenapa Michelle masih tak tahu malu menggandengnya kemari?” cibir salah seorang selebriti pria, melirik Gabe.
“Padahal istrinya sangat cantik. Dia juga lulusan luar negeri, Universitas Stanford kalau tak salah. Jika dibanding Michelle, istrinya jauh melampaui itu,” timpal seorang aktor lain.
“Aku rasa tuan CEO itu punya masalah dengan penglihatannya.”
“Aku tahu namanya Aylee. Aku melihat berita pernikahannya di beberapa artikel daring. Dia anggun tapi terlihat panas. Kira-kira apa dia tertarik aktor seperti kita?”
“Jangan memuji fisiknya di depanku.” Mendengar rekannya berkata demikian, Martin bereaksi.
“Kau pikir hanya kau yang tertarik padanya? Tidak bisa dipungkiri dia sangat menawan.”
“Jangan coba-coba mendekatinya!” ancam Martin terlihat serius membuat teman-teman artisnya tertawa.
“Kau bahkan bukan suaminya.”
“Dia terjebak friendzone,” timpal yang lain membuat Martin seketika meneguk Champagnenya.
“Ini kesempatanmu, kawan. Suaminya mungkin tak keberatan jika Aylee diambil olehmu.”
Mendengar itu Gabe mengeratkan genggaman tangannya. Rasanya ia ingin memukuli saja para pria yang membicarakan fisik Aylee. Namun ia sadar saat ini posisinya tak baik, ia saja bahkan tengah menggandeng wanita lain di depan mereka. Sejak saat itulah Gabe kerap memikirkan Aylee.
“Gabe aku serius. Pakai pakaianmu dulu. Kau bisa masuk angin.” Aylee rupanya sesekali memandangi punggung Gabe.
“Kau terganggu? Aku tahu kau menginginkanku, bukan?” Aylee memutar bola matanya. Pria itu Aylee akui punya rasa percaya diri yang tinggi. Gabe beringsak maju, membuat Aylee mulai ketakutan. Pria itu kini menginginkan tubuh istrinya yang sekalipun belum pernah ia jamah.
“Malam ini kau cantik,” bisiknya lirih. Gabe kian mendekat.
Gabriel membelai pipi Aylee, ujung jemarinya lantas ia gerakkan di atas kulit halus gadis itu, menyentuh lehernya lantas turun ke tulang selangka Aylee yang menggoda. Gadis itu memejamkan matanya, ia menikmati itu. Gabe merengkuh tengkuk Aylee, mendekatkan wajah Aylee menuju wajahnya, ia hendak memagut bibir yang menurutnya sensual itu, namun gadis itu berpaling. Hingga bibir Gabe hanya bisa mendarat di pipi Aylee. “Aku tidak mau tidur dengan orang yang tidak ada cinta untuk melakukannya.” Aylee melepas rengkuhan tangan Gabe. Ia beranjak dari ranjangnya dengan membawa laptopnya keluar dari kamar megah itu. Gabe tertawa hampa, harga dirinya terluka mendapati penolakan seperti itu, padahal dahulu Aylee begitu manis terhadapnya. Tentu itu terjadi sebelum pernikahan bencana itu terjadi, sebelum Gabe membisikkan kata yang menyakiti hati perempuan itu. “Angkuh sekali dia. Dia pikir dia secantik itu, huh?” dengusnya kesal. Gabe pagi itu sudah berdand
Aylee begitu canggung, ia tak tahu harus di mana meletakkan tangannya. Calvin menyeringai, ia lantas menuntun kedua tangan Aylee untuk bergelayut di lehernya, sedang tangannya ia letakkan di kedua sisi pinggul gadis itu. Calvin semakin tertarik dengan wanita itu. “Kau punya pinggul yang sempurna. Sulit dipercaya Gabe tak pernah mengajakmu berdansa.” Aylee tersenyum kecut, di mata Gabe hanya Michelle makhluk sempurna di bumi ini, batinnya. Mereka berdansa pelan, Calvin yang tinggi menundukkan kepalanya hingga kepalanya sejajar dengan kepala Aylee, bisa dirasakan Aylee, bibir Calvin begitu dekat dengan lehernya. Bulu romanya meremang seketika. “Kudengar kau putus dengan tunanganmu, Cal?” Aylee mencoba mengajak bicara Calvin, agar wajah pria itu tak terus berada di lehernya. “Sayang sekali, itu benar.” “Kenapa? Kukira kalian akan serius untuk menikah.” Calvin menghela nafas berat. “Aku takut menghadapi pernikahan, Ay. Aku
Aylee yang mengajar mata kuliah algoritma dan pemrograman komputer tengah melakukan presentasi di depan kelas. Karena keanggunan dan kecantikannya serta usia yang masih sangat muda, ia menjadi salah satu dosen yang paling difavoritkan di jurusan teknik komputer walau belum ada satu tahun dia mengajar. Terutama di antara para mahasiswa, hampir setiap minggu ada saja mahasiswa yang memberinya hadiah. Seperti saat ini Aylee mendapatkan sekotak cokelat dari salah seorang pengagumnya. Aylee memakan cokelat itu di sela-sela kegiatannya menyiapkan makan malam. Gabe lantas muncul dan duduk di kursi makannya. Matanya tertuju pada sekotak cokelat yang berbentuk hati. “Dari mana kau mendapat itu? Apa si aktor kesayanganmu itu yang memberinya?” tanyanya sinis. Aylee kaget dengan kehadiran Gabe yang tiba-tiba. “Kau kenapa akhir-akhir ini pulang cepat?” Aylee justru bertanya balik. Gabe mendengus kesal Aylee tak menjawab pertanyaannya. “Kau belum menjawab p
Gabe berjalan mendekati Aylee, gadis itu mendengar suara langkah kaki dan segera menoleh. Gabe sedang menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan Aylee. “Aku tidak tahu kau akan pulang. Aku tak menyiapkan makan malam.” Aylee kembali menatap layar komputernya. Gabe berdiri di samping Aylee. “Tak apa. Aku tidak lapar. Kau tak jadi pergi?” tanya Gabe. “Ya, aku banyak kerjaan.” Gabe tahu Aylee berbohong. “Terimakasih,” seloroh Gabe membuat Emily tercengang. Ia tak salah dengar bukan? Pria itu berterimakasih? “Untuk?” Aylee mendongak, menatap penuh tanya wajah Gabe yang kali ini terlihat lembut. “Mematuhiku. Walau aku tahu aku tak layak mendapat itu.” Gabe menyeringai, ada kegetiran di matanya. “Sudah kubilang aku banyak pekerjaan. Tak perlu merasa seperti itu.” Aylee tak memandang wajah Gabe. Pria itu terkekeh. “Ayolah, Ay. Berhenti pura-pura acuh padaku. Aku tahu kau tak ingin bersikap seperti itu.” Mendengar it
Pagi itu Aylee buru-buru mengemasi pakaiannya, ia lantas memandang nanar tempat tidurnya yang kosong. Ia menggeleng lemah, ia putus asa sekarang. Ia merasa mungkin cinta Gabe memang tak akan pernah ia dapatkan. Ketertarikan Gabe semalam terhadapnya semata-mata mungkin karena ia akhir-akhir ini jarang bergumul dengan kekasihnya, pikir Aylee. Michelle mencium pipi Gabe, pria yang masih tertidur itu menggeliat, lantas ia mengerang. “Ku buatkan kopi untukmu sayang,” ujarnya. Pria itu bangkit untuk duduk, dengan masih di atas tempat tidurnya ia melirik kopi yang Michelle letakkan di atas nakas samping tempat tidur. “Hanya itu?” ia menaikkan alisnya, kentara sekali wajahnya tak suka. “Kau mau apa? Biar aku pesankan sarapan untukmu, apa yang kau suka?” tanya Michelle dengan senyum masih mengembang di bibirnya. Ia begitu senang tiba-tiba semalam Gabe pulang dan langsung mencumbunya tanpa ampun. “Kau masih bertanya apa yang aku suka? Kau jauh lebih dul
Aylee dan Martin sudah bersiap dengan segala peralatan berkudanya. Mereka sudah mengeluarkan kuda-kuda yang hendak mereka tunggangi dari kandangnya. Martin mendekati Aylee dan memakaikan helm pada gadis itu. “Hei, aku bisa sendiri,” tolaknya, namun Martin tak peduli itu. “Kau terlihat sangat cantik,” pujinya seraya memandangi wajah gadis di depannya. “Omong-omong aku tidak tahu masih mahir atau tidak menunggangi Penelope? Aku harap masih bisa,” ucap Aylee mengusap-usap wajah Penelope. “Tentu saja bisa, kau ahlinya, Ay. Sekarang naiklah!” titah Martin yang segera dituruti Aylee. Gadis itu menaiki pelana kuda. Martin turut pula menaiki kudanya yang pamannya beri nama Jake. “Ayo Jake! Susul Penelope dan penunggang cantiknya!” pria itu menghentakkan kedua kakinya pada perut kuda, seketika kuda itu berlari menyusul Aylee yang sudah lebih dulu melaju. Rasanya sudah lama Aylee tak merasa bahagia seperti ini, menaiki kuda seperti ini sangat me
“Gabe..?” Aylee memicingkan matanya. Gabe tak bergeming, ia menatap penuh amarah kepada Martin. “Aku mencarimu seperti orang gila, tapi kau malah bersama aktor sialan ini!” Aylee memejamkan matanya, ia tak mengerti dengan jalan pikiran Gabe. Dia bilang dia tak menyukainya, tapi kenapa dia harus repot-repot mencarinya? “Jaga bicaramu, bung! Kau yang sialan! Kau berselingkuh dengan rekan kerjaku, benar kan? Untuk apa mencari istri yang bahkan sudah tak kau pedulikan lagi? Ceraikan saja dia, tuan Ferdinand yang terhormat!” Aylee melebarkan matanya pada Martin. Dia tak percaya Martin berkata demikian. Gabe terkesiap, ia tak mampu membalas perkataan Martin. Tentu saja dia tahu dia salah, tapi ia juga tentu tak ingin bercerai dengan Aylee. Ia juga bingung dengan kejelasan hubungannya dengan Michelle, entah mau dibawa ke mana hubungannya dengan kekasih gelapnya itu? Namun mendengar Martin mengucapkan demikian, ia tak terima, ia mengeratkan genggaman tanganny
“Aku... Entahlah, Gabe,” jawabnya malu. Gabe menyeringai, lalu mencium puncak hidung Aylee. “Biar aku menafsirkan sendiri kalau begitu.” Gabe menaut kembali bibir Aylee, gadis itu masih membalasnya. Gabe tersenyum di sela ciumannya. “Aku rasa kau sudah begitu siap, sayang.” Sayang dia bilang? Gadis itu merona pipinya. Aylee kian meleleh saja. Aylee akui ia terbujuk rayuan seorang Gabriel. “Bukan hanya menggairahkan, kau juga amat menggemaskan,” ucapnya sambil tersenyum gemas, matanya kian menyiratkan gairah yang kian memuncak saja. Ia lantas mencumbu tubuh istrinya yang sudah hampir telanjang. Kembali menekankan bibirnya di segala tempat. Nafasnya kian memburu sedang Aylee sudah mendesah tak terkendali. Tanpa ia sadari kini tak sehelai benang pun melekat ditubuhnya. “Maaf jika ini akan sakit, sejujurnya aku juga pertama kali melakukan ini pada perempuan yang masih...” Gabe tak meneruskan ucapannya, ia menyeringai kembali. Gabe juga berdebar, s